Eleventh
Pukul sepuluh pagi, Alvin seharusnya sudah berada di belakang kubikelnya berkutat dengan setumpuk data yang akan diproses menjadi Laporan. Sekarang ia hanya bisa menjadi orang bodoh yang menunggu di belakang kemudinya, menatap Galea yang masih berdiri di halte busway.
Alvin bukannya tak mau menghampiri Galea untuk sekadar menawarkan perempuan itu tumpangan, dilihat dari satu jam yang lalu sepertinya Galea memang tidak mempunyai niatan untuk menaiki salah satu Busway yang sudah berlalu-lalang sejak tadi.
Dulu, saat Alvin dalam diam mengamati pergerakan Senja, yang terekam retinanya tak hanya ada Senja. Ada Galea, perempuan yang memang selalu di samping Senja. Ada Galea yang mengomel saat anak lelaki kelas menggoda Senja dengan siulan-siulan atau godaan yang Alvin yakini sangat terdengar menjijikan sebenarnya. Ada Clara yang begitu feminin.
Galea sepertinya memang terlalu fokus dengan persahabatannya, gadis cuek yang selalu mengomel jika anak kelas telat membayar uang kas.
Alvin menyerah setelah mengamati Galea terlalu lama dari belakang kemudi, ia turun dari mobilnya yang sudah menepi sejak tadi. Langkah lebarnya membuat Alvin cepat sampai di samping Galea yang masih asyik dengan pikirannya sendiri.
"Mau nunggu berapa lama lagi di sini?" Alvin menyentak kesadaran Galea, bukan hanya Galea yang tersentak. Alvin juga.
Pria itu bisa melihat jelas setitik air mata di ujung pelupuk Galea.
"Apaan sih Vin?" Galea melirik ke samping, ia takut menjadi bahan tontonan orang-orang yang kebetulan sedang berada di halte busway. "Gue lagi nunggu busway."
"Butuh berapa lama lagi? lo udah duduk di sini lebih dari satu jam, udah ada sebelas busway yang lewat, dan lo masih mau bilang lagi nunggu busway?" Alvin tertawa mengejek, tangannya yang menggantung di udara kini memegang lengan Galea.
"Apa lagi?" Galea berusaha menekan suaranya serendah mungkin, ia jelas tidak ingin terlihat emosi.
"Gue anterin." Alvin mendahului langkah Galea, menuntun Galea berjalan ke arah mobilnya seolah-olah jika ia tak menggenggam lengan Galea maka gadis itu akan tersesat.
"Gue nggak ada jadwal ngajar hari ini."
Alvin menahan langkahnya sebelum ia sampai di depan mobilnya, lalu untuk apa Galea menunggu busway jika ia tidak ada jadwal mengajar? Tatapan bingung yang dilayangkan Alvin sama sekali tak mempengaruhi wajah datar Galea.
Sampai Alvin membuang napas kesal Galea masih diam, anehnya saat Alvin tetap menuntun Galea masuk ke dalam mobilnya Galea tak menolak atau sekedar melontarkan kata bantahan sepatahpun. Gadis itu tiba-tiba menjadi seorang penurut.
Alvin megambil ponselnya lalu mengirim pesan pada Bang Rahman jika sepertinya hari ini ia tidak akan bisa masuk kantor. Melirik sekilas pada Galea yang sudah memasang sabuk pengaman Alvin kembali menghela napas, kenapa hari ini Galea begitu diam dan penurut?
"Nggak takut gue culik lo, Gal?" Alvin berusaha mengurai diamnya Galea, tapi percuma saja gadis yang tengah nyaman duduk di sampingnya kini sama selali tak merespon.
Ini suasananya kok kayak lagi uji nyali. Alvin pasrah saja sampai tempat tujuannya, ia mengajak Galea pergi menonton.
"Gagal...," Alvin membukakan pintu mobilnya untuk Galea. "Yo!!"
"Ngapain?"
"Nonton aja yuk, mau Screen X atau Velvet?" tanya Alvin, sadar atau tidak tangannya sudah mengenggam kembali tangan Galea.
"Nggak deh, gue butuh teman ngobrol lo mau jadi temen ngobrol gue?" tanya Galea.
"Jangan kan teman ngobrol, teman hidup aja gue mau deh. Nggak usah lo paksa juga gue akan nyerahin diri kalau lo minta jadi temen hidup." Alvin tersenyum, mengusap puncak kepala Galea hingga wajah gadis itu bersemu merah.
"Di Kafe?" mata Galea menyisir sekitarnya, Alvin membawanya ke salah satu mall di daerah jakarta selatan.
"Ayo." Alvin menuntun langkah Galea menuju salah satu Kafe yang ada di dalam mall.
Alvin tahu ada yang salah dengan Galea, saat gadis itu terhenyak kaget mendapati dirinya berdiri di halte busway. Ada air mata di ujung pelupuknya, ada sedih yang tersirat begitu jelas di wajah Galea.
"Vin." Galea memulai pembicaraan membuat fokus Alvin kini hanya padanya, setelah memesan beberapa kopi dan cake Alvin memerintah Galea untuk duduk lebih dulu sementara ia yang membawa pesanannya setelah mengantri di kasir.
"Ya?" Alvin membuka gula kemasan agar kopinya tidak terlalu pahit.
"Menurut lo perceraian itu gimana?"
Sebelah alis Alvin terangkat, ia tidak mengerti kemana arah pembicaraan Galea. Perceraian bagaimana apanya? Prosesnya? memangnya Galea mau bercerai dengan siapa?
"Maksud lo? perceraian apanya nih? Dampaknya? Prosesnya atau Tata caranya?" rentetan kata tanya itu membuat seulas senyum terbit di wajah Galea yang sejak tadi di tekuk.
"Menurut lo kenapa ada perceraian? Kenapa harus bercerai? Dulu gue mikir kenapa mereka menikah kalau memang nggak cocok, kayak kenapa lo sekolah kalau ujung-ujungnya lo bandel dan malah di DO. Perumpamaannya ya gitu, kenapa lo menikah kalau ujung-ujungnya bercerai?"
Alvin menarik napas pelan, bahunya terangkat sedikit. Ia memberi tatapan lembut pada Galea, karena Alvin tahu Galea bukan gadis yang mudah didebat. "Ada orang yang nikah punya niat untuk bercerai? Nggak ada, Gal. Mereka menikah karena punya niat baik menyempurnakan ibadah, selain itu juga kita itu Homo sapiens yang butuh orang lain, kita butuh pasangan, suka atau tidak hukumnya begitu. Allah sudah menciptakan manusia berpasang-pasangan, ada yang jodoh di dunia, ada yang menemukan jodohnya di akhirat. Ada yang jodoh dunia-akhirat."
Galea menunggu kata demi kata yang keluar dari mulut Alvin, ia menyesap kopi nya untuk membasahi mulutnya yang kering. Memainkan jemarinya di bibir cup hanya agar tidak terlalu fokus mengamati wajah Alvin, karena ketika Alvin menjelaskan sesuatu dengan wajah seriusnya Galea merasa tersesat. Pipinya akan bersemu tanpa perintah.
"Perceraian itu ada, dan kita bisa memilih untuk tidak melakukannya selagi kita masih bisa berusaha. Tapi jika perceraian itu jalan yang terbaik, kita tidak bisa memaksakan kehendak. Karena sesuatu yang dipaksa hanya akan menyakiti diri sendiri." ibu jari Alvin mengusap pelan dagu Galea membuat gadis itu tersentak sedikit kaget dengan tindakan tiba-tiba yang dilakukan Alvin, "Selama ini prinsip menikah lo bagaimana? Harus saling cinta kah biar nggak cerai nantinya?"
"Nggak, bagi gue menikah itu nggak harus karena cinta. Yang terpenting adalah pasangan gue dan gue punya satu pemikiran yang sama, awalnya itu dulu aja untuk meminimalisir perselisahan nantinya."
"Artinya lo egois," ucap Alvin, "Lo egois karena butuh teman hidup yang mau nurutin pikiran lo, lo nggak berani mencari solusi di antara perbedaan cara berpikir. Lo nggak mau pilihan lo kalah, akhirnya lo pikir cari orang yang punya satu pikiran sama lo. Lo dan Zona nyaman hidup lo."
Galea merasa hatinya terkerat, Alvin berhasil menampar keras egonya. Karena Galea takut berdebat, karena Galea benci pertengkaran.
"Tante Fania mau cerai," lirih Galea matanya menatap kosong cup kopi di depannya. "Orang dewasa selalu berpikir jika perpisahan adalah jalan yang terbaik, padahal mereka udah lama bersama kenapa harus cerai?"
"Karena kita hanya penonton, Gal. Kita hanya melihat tanpa merasakan, tanpa tahu rasanya bagaimana. Tante Fania yang lebih tau rasanya bagaimana, Tante Fania yang tahu bagaimana perubahan sifat suaminya. Menurut lo apa tante Fania akan minta cerai gitu aja tanpa pertimbangan? dia lebih tahu tentang rumah tangganya, dia yang menjalaninya."
"Cry if you want...," Alvin menepuk pipi Galea. "Gue tahu lo peduli sama Tante Fania, tapi bisakan sebelum peduli dengan orang lain lo peduliin diri lo sendiri."
"Udah cukup lo jadi hero untuk orang lainnl. Lo nggak pernah berani bahagia, lo takut kalau kebahagian lo hanya angan yang berujung rasa sakit."
Alvin ingat bagaimana Galea selalu menjadi pihak yang mengalah, bagaimana ia selalu mengutamakan orang lain dibandingkan dirinya. Galea tidak mau berdebat, karena ia bukan orang yang suka memaksakan kehendak. Mungkin itu salah satu alasan Galea mencari teman hidup yang satu pemikiran agar ia tidak perlu berdebat, karena Galea akan selalu mengalah.
"Vin...," tenggorokan Galea terasa kering, inginnya membungkam mulut Alvin agar pria itu berhenti meracau. Galea merasa jika Alvin berusaha melucuti egonya.
"Please, be happy my Gagal. Hidup lo akan terlalu sia-sia kalau banyak memikirkan rasa takut." Alvin ingin merengkuh tubuh ringkih Galea ke dalam pelukannya, menyemangati gadis di depannya jika dunia akan baik-baik saja.
Dan yang Alvin bisa lakukan hanya mengusap tulang pipi Galea dengan ibu jarinya, "Kalau lo merasa hari lo berat, jangan pernah menanggungnya sendiri. Gue mau kok menanggung beban lo bersama-sama, gue memang nggak sehebat gatot kaca. Tapi gue punya pundak yang bisa lo jadikan tempat sandaran untuk berkeluh-kesah."
TBC
A/N :
Ciyeee yang lama nunggu update ciyee.
Gue nggak akan update next part kalau votenya nggak nyampe 000000kkkkkkkkkkkkreburatus $???)
Tapi bohong, becanda oyyyy.
Gue mah nggak target vote kok, kalau ada yang nanya Kak Ora kenapa nggak update. Votenya dikit ya?
Kagak suerr deh, vote segimana juga gue mah kalau update yah update.
Jadi mengertilah kalau gue nggak update itu karena kerjaan di Dunia nyata sedang butuh perhatian lebih bukan karena vote 😂😂
Baru part sebelas TT
Siapa yang kangen Bang Alvin? Gue mau apdet lancar tapi kok urusannya ada aja yaa.
Kayaknya bakalan jarang update untuk bulan-bulan ini.
Karena gue pindah kantor, yuuup gue ini detik-detik gue resign dari kantor lama jadi harus mutasi data perusahaan yang segitu banyaknya.
Senin ini udah mulai kerja di kantor baru TT padahal gue butuh liburan 😭 #Jancurhaaathoyyy
Sampai part sebelas ini ada yang bisa nebak kisah Alvin dan Galea itu gimana?
Ada yang tau inti masalah mereka itu apa? ayooooo.....
Salam Hangat
Ora the Dreamer 😘
8/11/2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top