AAM 11 || Curhatan Sinta.

Hari ini aku berniat membeli kado untuk Anniversary yang di gembor-gemborkan Rudolf kemaren, karena aku tidak tau mau mengado apa, akhirnya aku menguhubi Sinta, berjanjian ketemuan di mall. Tapi orang yang di tunggu belum muncul juga.

Mengingat nama Sinta, membuatku ingat chat-tingan tidak jelas sama cewek yang juga bernama Sinta, namun jelas mereka berbeda, meski namanya mencurigakan.

"Hey, udah nunggu lama?"

Kepalaku menoleh, menatap Sinta dengan tampang kesal.

"Udah lumutan gua, Sin."

Dia terkekeh. "Sorry, tadi abang lemot sih, cuman minta di anterin ke sini persyaratan seabrek."

Aku tersenyum geli, berdiri dari duduk di kursi yang di sediakan Mall dan berjalan kearah escalator.

"Yaudah gua maafin,"

"Tapi loe ngajak gua kesini ada apa? Biasanya kan loe sibuk sama Rudolf."

Aku meringis mendengarnya, terdengar seperti... melupakan sahabat setelah mempunyai pacar.

"Gak setiap hari juga kale, gua perginya sama Rudolf."

Dia memasang wajah sok shock. "Gak setiap hari?" kemudian mencibir. "Kalian gak berdua doang itu kalo loe lagi di kelas sama di WC."

"Lebay loe ah, gak segitunya juga kale!"

Dia mendengus geli. "Loe belum jawab pertanyaan gua, Monyet!"

Aku terkekeh salah tingkah. "Guam au beli kado buat Rudolf."

Sinta memandangku dengan pandangan aneh. Aku juga memandangnya tidak kalah aneh.

"Ada apa?"

Sinta menggeleng. "Buat apa? Ultah Rudolf kan masih jauh."

Aku menatap Sinta tidak percaya. "Kok loe bias tau ultah dia?"

Entah ini hanya delusiku saja atau memang benar, kalau Sinta seperti tergagap, seolah dia baru saja mengatakan hal yang salah.

"Facebook dia, kebetulan gua inget, kan Ultah dia beda sebulan sama gua."

Keningku berkerut tidak percaya, tapi memangnya ada penjelasan yang lebih masuk akal ketimbang itu? Tidak kan? Lagian Rudolf kan sudah menjadi artis playboy di kampus, jadi bukan hal yang aneh kalau banyak orang tau.

"Gua pikir loe juga sama Rudolf," kataku iseng. Memperhatikan etalase took yang berjejer rapi. Mau beli kado apa? Baju? Udah pasti mainstream. Jam? Dia sudah punya banyak. Topi? Di kira dia mau manggung? Sepatu? Sudah sekamar dia. Eumh... apa ya?.

"Menurut loe gimana kalo gua suka sama cowok?"

Kepalaku menoleh, menatapnya bingung. "Ya baguslah, artinya loe masih lurus."

Sinta berdecak. Tangannya menggeplak kepalaku gemes, tapi sakit.

Aku mencibir, mengelus kepalaku yang habis di geplak SInta. Emangnya aku baru saja salah bicara apa? Jawabanku kan benar!.

"Bukan gitu maksudnya, Monyet!" Sinta menggeram kesal.

Aku tertawa. "Ya habis loe, pertanyaanya ambigu." Kepalaku menoleh, kembali menatap etalase.

"Kalau gua suka sama cowok yang udah punya pacar gimana?"

Langkahku terhenti, mataku melotot tidak percaya. "Loe mau jadi pelakor?" tanyaku sanksi.

Kepalanya menggeleng. "Gak, sebenernya gua udah di jodohin sama dia sejak kecil, tapi dia gak suka sama gua, malah suka cewek lain... padahal gua yang suka sama dia sejak kecil. Gak adil banget kan, Ta?"

Aku meringis, bingung harus menjawab apa. "Terus cowok itu gimana?"

"Gimana apanya?"

Ku hela nafas kesal. "Dia tau loe suka sama dia gak?"

Kepalanya mengangguk dengan hembusan nafas lelah. "Semalem gua habis di marahin sama dia,"

"Kenapa?"

Matanya menatapku sejenak, seolah ragu untuk kembali bercerita. "Gua ngerjain ceweknya."

Mulutku menganga untuk sesaat dan setelahnya tertawa geli. "Loe ngapain sih? Kurang kerjaan banget."

Dia membrenggut kesal. "Gua kan sakit hati, Ta. Gua udah bilang ke dia kalo gua suka sama dia dan nyuruh putusin ceweknya, eh malah dianya gak perduli dan sibuk chattingan sama cewek itu."

Keningku mengkerut heran. "Loe... beneran suka sama dia?" tanyaku hati-hati.

Dia menghela nafas lelah. "Gua udah suka sama dia sejak SD, Ta. Dan prasaan gua itu gak main-main."

Kepalaku menggeleng dramatisir. "Terus mau loe apa?" melupakan sejenak untuk membeli kado buat Rudolf. Sepertinya, Sinta lebih butuh aku saat ini.

"Gua pengen mereka putus."

Keningku mengkerut tidak setuju. "Itu namanya egois, kan?!"

"Gua gak perduli, Ta. Gua udah sabar sama dia selama ini, tapi gua gak bisa lagi. Gua cinta sama dia, tapi dia selalu nganggep gua gak ada, kalo ada pertemuan keluarga dia juga kayak peduli gitu. Gua selalu berusaha buat jadi apa yang dia mau, tapi gak mempan."

Aku bingung harus bagaimana sekarang. Membuatnya mengerti kalau menjadi pihak ketiga itu tidak enak, nanti dia yang akan sakit hati. Aku pernah menjadi seperti Sinta, tapi aku tidak pernah berusaha untuk menjauhkan om Andre sama siapapun yang dia dekati, aku hanya memendamnya dalam hati.

Tapi, posisi Sinta itu sangat menguntungkan, dia sudah di jodohkan sama lelaki itu, dan dia berhak meminta lelaki itu untuk putus dengan ceweknya. Dan permasalahannya, aku juga cewek, kalau Rudolf memutuskanku demi orang lain, pasti sakit.

"Emh," aku bingung sendiri sekarang. "Kenapa loe gak coba ngerelain dia aja?" aku lebih memilih jalur aman. Menyetujui ide Sinta itu di larang. Sekarang aku yang egois.

Matanya melirikku kesal. "Bukan apa-apa, Sin. Kan tadi loe sendiri yang bilang kalo loe udah ngelakuin apapun agar doi ngelirik loe, tapi itu percuma, dia tetep nganggep loe gak ada. Percaya deh, kalo loe terusin itu bakal sakit banget."

Sinta menundukkan kepalanya, aku tidak tau apa yang sedang dia pikirkan, jadi aku hanya mengelus pundaknya lembut.

"Tapi... apapun yang loe ambil, gua bakal ngedukung loe kok." Aku menjadi seorang pengecut sekarang.

Melihat Sinta berwajah murung dan putus asa membuat hati kecilku berteriak tidak tega. Sinta itu sahabat kecilku, susah senang kita bersama. SD kita satu kelas sampai SMA, dan sekarang Univ pun satu kampus meski beda fakultas.

"Tapi..." aku menjadi seorang plin-plan. "Apapun yang loe ambil, itu ada resiko. Dan resikonya itu yang kadang berat. Pikirin baik-baik ya?" nyatanya menjadi seorang sahabat untuk selalu mendukung keinginan sahabatnya itu susah.

"Gua percaya sih, loe gak akan tega nyakiti hati cewek itu, apalagi kalo mereka saling cinta."

Dia tersenyum miris. "Loe gak tau, Ta. Seseorang bisa berubah hanya karena cinta."

Aku meneguk air liur susah payah. Apa yang di bicarakan Sinta benar. Aku membuktikannya sendiri, aku pun merasakan keberubahan itu di hidupku.

"Gua harap, loe masih jadi Sinta yang gua kenal." Harapku cemas. Mengelus pundaknya lembut.

"Loe tau, Ta?"

"Hem?"

"Jangan terlalu berharap, terlalu tinggi loe berharap, terlalu sakit nanti jatuhnya." Aku tidak mengerti apa yang ingin dia sampaikan dari kata-kata itu. "Gua balik dulu ya, loe nyari kado-nya sendiri aja, ada gua juga gak akan bisa bantu."

Mataku menatap punggung Sinta bingung. Perubahan itu memang hal yang manusiawi, entah itu menjadi baik atau buruk, tergantung lingkungan yang berada di sikitar kita. Dan aku benar-benar berharap, kalau Sinta tidak mengambil langkah yang akan membuatnya dalam masalah.

Kuhela nafas berat. Yasudah, mau bagaimana lagi? Aku harus mencari kado sendiri buat Rudolf.

Aku beridiri dari duduk, menatap etalase toko tanpa minat. Apa yang harus aku beli buat Rudolf?.

"Nanti malem, jadi kan nge-band-nya?"

Band?

Kepalaku menoleh, menatap segorombolan anak SMA sedang duduk di luar café.

"Jadi dong, gua kan udah gitarnya." Sahut anak lainnya yang berambut kribo. Teman-temannya yang menyorakinya, melemparinya dengan makanan di depan mereka.

Gitar...? Ah! Aku tau.... Rudolf kan hobi main gitar, dan kebetulan juga, gitarnya kemaren rusak pas di pinjam sama teman sefakultas dia. Benar! Gitar!.

Aku berbalik arah, menuruni escalator dan berjalan cepat. Kenapa tidak kepikiran dari tadi? Bodohnya diriku!.

Menyetop taxi yang kebetulan lewat, menyuruhnya untuk membawaku ketempat toko yang menjual gitar.

Mataku mengerjap bingung, gitar mana yang harus ku beli? Seharusnya tadi Sinta tidak pergi begitu saja, dia kan juga suka main gitar.

"Mau beli gitar apa, Mbak?"

Aku terlonjak kaget, menatap Mas-Mas yang tiba berada di dekatku. Dia tersenyum geli melihatku terkejut. Aku kembali di landa bingung.

"Saya, nyari gitar yang buat cowok, dia udah pinter main gitar Mas, tau?"

Keningnya mengkerut, menatapku geli.

"Buat kado ya?"

Aku tersenyum canggung. "Iya, Mas."

"Sini, gua tunjukin gitar biar loe bisa milih. Buat cowok loe kan?"

Aku tergagap, meringis malu. "Iya,"

Masnya tertawa geli. "Gak usah malu juga, banyak kok cewek kesini beli gitar buat cowoknya."

Kepalaku mengangguk. Itu kan mereka bukan aku! Batinku menggerutu tidak jelas.

"Nah, loe tinggal milih deh, yang mana yang menurut loe cocok buat cowok loe."

Keningku mengkerut. "Saya gak tau soal gitar Mas,"

Kepalanya menggeleng geli. "Yaudah, gua kasih pilihan ya. Itu yang pojok, warna item metalik, yang kece badai namanya Gitar Elektrik, Harganya 5 Juta. Terus yang warnanya Kuning kecoklatan, yang bolong-bolongnya beda sendiri, yang lain ada di tengah dan dia bandel pengen di atas bawah, ada gambar nada music juga, itu namanya Gitar Elektrik semi akustik. Harganya Beti sama Gitar Elektrik. Tinggal pilih yang mana?"

"Kok cuman dua Mas yang di terangin?"

Dia terkekeh. "Kalo satu toko gua terangin semua, manyun entar."

Aku meringis.

"Jadi?"

"Jadi tambah bingung."

"Lah?" Masnya kemudian tertawa lepas, kepalanya menggeleng geli. "Loe dateng ke sini gak ada tujuan apa?"

Kepalaku menggeleng. Masnya tertawa semakin keras.

"Widih, ada yang bahagia nih, ketawanya kenceng amat." Kepalaku menoleh kebelakang, tersenyum kaku saat menyadari siapa yang datang. "Loh, Ita. Loe ngapain di sini?"

"Ngemis,"

Itu bukan aku yang jawab, melainkan Mas-Mas penjaga toko ini.

Revan tertawa mendengar perkataan Mas-Mas itu, aku membrenggut.

"Seriusan, loe ngapain di sini?"

"Nyari kado buat Rudolf."

Alisnya naik keatas, menatapku bingung. Sepertinya aku tau apa yang akan dia ucapkan.

"Ultahnya kan masih lama, Ta?"

Tuhkan!

"Emangnya kalo ngasih kado harus nunggu ultah ya?"

Dia tertawa lagi, apanya yang lucu?.

"Gak usah manyun-manyun dong. Sekarang gua tau, kenapa Rudolf selalu ngisengin loe, muka loe di isengin buat candu sih."

Mataku meliriknya horror. "Emangnya gua Narkoba apa?"

"Kurang lebih."

Aku membrenggut. "Udahlah, loe ngapain di sini? Pergi sana kalo gak ada kepentingan."

Kedua lelaki itu tertawa. Kenapa semua orang selalu tertawa kalau sedang kesal? Apa mereka berpikir aku badut!.

"Jangan bikin gua ketawa lagi. Pengen pipis jadinya."

Mataku mendelik kearah Revan. "Jorok!"

Dan dia kembali tertawa. Apanya yang lucu?.

"Udah, udah. Loe mau beli gitar buat siapa?"

Senyumku merekah sempurna, kenapa tidak minta bantuan Revan? Dia kan sahabat Rudolf, sudah pasti tau kesukaan Rudolf.

"Rudolf."

Matanya menatapku geli. "Ciee ciee,"

"Apaan sih loe! Gak ada yang cie-cie! Pilihin cepet!"

"Siap komanda!" Revan bergaya hormat polisi saat melihat atasannya. Aku mendengus. Membiarkan Revan memilih gitar buat Rudolf.

"Kayaknya ini keren, Ta. Rudolf pasti suka."

Keningku mengkerut tidak yakin. "Yakin loe?"

Kepalanya mengangguk mantap. "Dia pernah bilang pengen punya gitar ini soalnya."

"Oke, gua pilih itu."

Mataku menatap gitar merah maroon polos di padukan warna coklat agak hitam di bawah samping bolongan yang bertuliskan GRETSHC.

"GRETSCH, itu apa?"

Revan menatapku tidak percaya dan tawanya kembali meledak. Dia ini!.

"Itu namanya, Ta. Masak loe gak tau?" kepalaku menggeleng. "Gretsch gitar akustik. Itu nama gitar ini."

Aku tersenyum dan mengangguk. Tidak penting apa yang namanya, yang penting sekarang aku mendapatkan hadiah untuk Rudolf, yang kata Revan sangat dia inginkan. Kerenkan?!.

To be continued.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top