AAM 09 || Mungkin Ini Hal Yang Baik

Pikiranku terus melalang buana memikirkan perkataan Joana dan Jeana, sauadara kembar itu membuatku tidak bisa berhenti untuk tidak memikirkan ucapan mereka.

Kumatikan lampu belajarku dan menumpukan kepala di atas meja penuh buku mata kuliah. Kenapa sekarang aku mulai membuka diri untuk dunia luar? Padahal dulu kalo ada tugas kelompok hanya datang untuk tugas, setelah itu aku langsung pulang, tidak ingin berlama-lama dengan orang asing.

Tapi sekarang berbeda, aku mulai ikut nimbrung saat ada anak kampus yang sedang menggosip dan kadang kala aku pun ikut menimpali. Ini berbeda dari duniaku sebelumnya, tapi aku merasa baik-baik saja dan bahkan jauh lebih bahagia sekarang. Itu berkat siapa? Berkat Rudolf! Kenapa bisa? Karena dia selalu membawaku ketempat yang tidak pernah kuduga sebelumnya, menarikku agar aku ikut bergabung, membuatku berpikir ulang tentang dunia yang sudah ketempati sejak lahir, membuatku merasakan hal baru, hal yang tidak pernah kujamah, hal yang membuatku asing namun menyenangkan. Ya semua itu karena Rudolf, tapi bukan berarti aku cinta dia kan?.

"Tutup kedua bola mata loe, tenangin pikiran loe dan rileks, berusahalah gak mikirin apapun, dan biarin otak loe kosong, nanti loe bakal lihat siapa yang dateng."

Perkataan Jeana terngiang di telingaku. Aku meringis sesaat, masak aku harus melakukan hal bodoh seperti itu? Kepalaku menggeleng, aku tau siapa Jeana, dia itu manusia aneh yang kelangkaannya tidak akan pernah ada yang menyamai, kalau aku menuruti perkataan Jeana, mungkin aku harus ke Psikiater!.

Lama aku berpikir tentang hal ini sampai aku inget dengan mbah-mbah yang katanya tau segalanya.

Kubuka laptop dan mulai berseluncur di dunia G, yang O-nya double dan ada Le-nya.

Cara mengetahui kita mencintainya atau tidak.

Mengklik blog paling awal dan membacanya dengan teliti. Keningku berkerut tidak mengerti, oke, aku salah masuk blog, aku mulai membaca judul artikel-nya, dan semua yang menyangkut sama sekali tidak ada hubungannya dengan ku.

"Bagaimana Cara agar gebetan kita tau kita mencintai-nya?" aku sukses melongo berat. Ini bukan artikel yang kubutuhkan, Nyai.

"Cara mengetahui prasaan dia tanpa bertanya. What the?" aku semakin spechlees.

"3 Cara untuk mengetahui apakah dia mencintaimu." Kutepuk keningku gemes. "Bukan Mbah!"

"Masih gak yakin sama kekasihmu? Yuk cek 13 tanda kamu..." kepalaku menggeleng dramatisir. "Gua malah gak yakin sama hati gua sendiri, gimana sih loe!"

"Bagaimana cara agar gebetan tau kita mencintainya," aku mendesah lelah. "Gebetan, Pala loe!"

Kututup laptop dengan kekesalan luarbiasa menumpuk. Aku nyarinya apa keluarnya apa, katanya mbah-mbah itu tau segalanya, mana? Mana?! Gak ada! Pembohong!.

"Tutup kedua bola mata loe, tenangin pikiran loe dan rileks, berusahalah gak mikirin apapun, dan biarin otak loe kosong, nanti loe bakal lihat siapa yang dateng."

Kata-kata si jenius Jeana kembali terngiang. Batinku memaksa untuk melakukan hal itu, tapi otakku menolak tegas, sudah kubilang kan Jeana itu orang yang aneh!.

Saat batin dan otak sedang bertengkar bunyi notification membuyarkan ke-demoan mereka.

Ku lepas ces dari handphone dan melihat Rudolf mengirim satu gambar. Pantai yang tadi kita kunjungi untuk melihat sunset terpampang indah di sana. Senyumku merekah, dia pintar juga ngambil gambar.

Indah kan?

Aku tersenyum dan mengangguk.

"Lumayan, aku gak tau kamu bisa motret kayak gitu."

Halah! Mau muji bagus aja pake kata lumayan. :P

Aku tersenyum geli. "Biar kamu gak Geer."

Wkwkwkwk. Besok kita hunting lagi gimana?.

"Hunting kemana?"

Kehatimu.

Aku tersenyum geli. "Hatiku gak bisa kunjungi, gemboknya rusak."

Kasian, pantes wajahnya murung terus, gak ada yang mampir sih!.

Aku berdecak, dia ini. "Bodo! Emangnya kamu, hatinya selalu di kunjungin sama wanita cantik dan sexi."

Cemburu yah? :v :v

Kalo Iya aku seneng banget ini.

Kugigit bibir bawahku gemes, kepalaku menggeleng kecil. "Dasar Gila!"

Aku emang gila! Dan kamu yang bikin aku gila!

Kujedukkan kepalaku di meja, senyuman terukir di bibirku. "Gombal loe basi."

Oh iya, kemaren lupa ngangetin makanya basi. :v

Aku terkekeh. "Dasar!"

Dasar apa? Dasar ganteng? Aku emang ganteng dari kecil.

"Narsis!"

Narsis gini pacar kamu loh, It.

"Iya yah, kok bisa jadi pacar yah? Padahal jelek."

Hahahaha. Jelek-jelek gini pernah pacaran beberapa kali! Harus bangga kamu sama aku. :v

"Beberapa kali? Berpuluh-puluh kali, kale. Gak nyadar diri."

Terimakasih loh pujianya, itu tandanya aku lebih ganteng dari papa kamu kan?.

Aku tertawa ngakak membacanya. "Kegantengan mu mah gak ada yng bisa ngalahin. Anjing aja kalah."

Ini cewek omongannya! Kok bisa ya jadi pacarku? Kamu guna-guna aku, ya? Hayoo ngaku?!

"Iya, aku guna-guna dengan kecantikan seorang Ita yang tak terkalahkan."

Hidih!

Aku cemberut membacanya.

Tapi emang iya, kamu cantik, cantik banget It, apalagi kalo di samain sama pantat paci yang habis buat masak. Beuh!

"Oh ngehina? Iya? Oke fine, dasar playboy katak!"

Playboy katak gini pacar kamu loh.

Aku tau, dia di sana pasti sedang tertawa bahagia.

"Udah, gak usah bercanda, besok mau hunting kemana?"

Tidak ada jawaban setelah itu, lama aku menunggu dan terus mengecek BBM namun belum juga ada balasan, di read saja belum, bagaimana bias di balas?.

"Oey! Masih idup kan?"

Kembali belum ada balasan. Mataku melirik jam dinding yang masih menunjuk angka 9, tidak mungkin dia tidur secepat ini kan?.

Kuhela nafas pasrah, mematikan wifi dan kembali mengeces-nya. Mungkin dia memang sudah tidur atau mungkin juga dia lagi main game? Ah sudahlah, besok juga ketemu.

Aku berdiri dari kursi, berjalan kearah bad cover, membuka selimut dan bersiap untuk tidur, sebelum ketokan di pintu menghentikan niatanku.

Kepala mama melongok di sana dengan senyuman lebar tanpa dosa.

"Ada apa, Ma?"

"Cuman pengen ngobrol sama anak mama yang paling cantik," katanya berjalan mendekat setelah menutup pintu.

"Tumben,"

Mama mendengus, "Apanya yang tumben? Kamu aja yang sibuk sama dunia sendiri." Protesan mama hanya ku tanggapi senyuman tanpa dosa. Mama duduk di tepi ranjang, memandangku dengan pandangan aneh. "Akhir-akhir ini Mama lihat, mbak sering keluar sama Rudolf, kenapa?"

Keningku mengkerut. "Loh, bukannya mama ya, yang nyuruh Ita jalan-jalan sama Rudolf?"

Mama menghela nafas, "Tapi gak setiap hari dan balik sebelum magrib kan, mbak?"

"Mama ini gimana sih? Ita di rumah terus salah, keluar juga salah."

"Bukan begitu," mama Nampak menghela nafas lelah. "Mama emang gak larang mbak pergi sama Rudolf, tapi mbak akhir-akhir ini kalo pergi gak pernah ngasih kabar, di telpon juga jarang di angkat, Mama kan juga khawatir." Mama mengelus rambutku lembut, "Mbak kan cewek, pergaulan anak sekarang kan lebih parah dari yang dulu, mbak. Wajarkan Mama khawatir?"

"Gini deh Ma," ku tegapkan dudukku, menatap mama dengan serius. "Ita kan perginya sama Rudolf, mama juga kenal Rudolf lama, kan?"

"Ini bukan masalah itu, mbak." Mama Nampak menghela nafas, "Begini saja, kalau mbak mau kemana-mana ijin dulu sama mama atau papa, jangan main pergi dan pulang seenaknya, kemaren papa khawatir loh, nyariin Mbak yang belum pulang, padahal udah jam 10 lebih."

Aku meringis, "Maaf Ma, Ita kemaren kumpul sama temen-temen, jadi lupa pulang."

Mama menggeleng. "Jangan di ulangi lagi, Papa kira kamu kenapa-kenapa sampe belum pulang."

"Iya, Ita minta maaf yah, Ma."

"Jangan minta maaf sama Mama, minta maaf sama Papa, dia khawatir banget tau."

Aku mengangguk merasa bersalah.

Mama berdiri dari duduknya, berjalan selangkah sebelum kembali berhenti dan menatapku dalam. "Oh, iya. Mbak kalo ada apa-apa cerita aja sama Mama, gak usah gengsi-gensi-an. Bagi Mama sama Papa, mbak itu masih kecil, belum dewasa." Kata mama mencubit pipiku gemes. Aku merengut. "Mama ke kamar dulu, ya. Sana tidur, biar besok gak kesiangan."

Aku mengangguk manut, merebahkan diri dengan nyaman, namun kata-kata Jeana kembali terngiang.

Kubuka lagi mataku dengan enggan, melirik mama yang sudah sampai di depan pintu.

"Emh, Ma." Mama berhenti memutar hendle, kepalanya menengok kearahku dengan Tanya. Aku ragu untuk bertanya, tapi kalau tidak di coba, kita tidak akan tau hasilnya, bukan?. "Temen Ita kemaren ngasih saran aneh, menurut mama harus di coba apa nggak?"

Mama Nampak berpikir. "Kalau itu baik buat kamu, kenapa gak di coba?"

"Kalau hasilnya gak sesuai? Lagian Ma, yang ngasih saran itu agak-agak sarap."

Mama tersenyum geli. "Siapapun yang ngasih saran, kalau itu baik, kenapa gak di coba? Jangan pandang siapa yang ngasih saran, tapi apa isi saran itu." Aku merengut. "Soal hasil, itu kan belakangan. Ibaratnya, kamu jual buah, mau ada yang beli atau gak, itukan belakangan, yang penting kita sudah berusaha."

Aku terdiam, berpikir, mencerna ucapan Mama yang benar adanya.

"Sudah sana tidur, jangan terlalu di pikirin, nanti kamu gak bisa tidur. Selamat malam, sayang."

"Malam, Ma."

Mama tidak menyahut lagi, beliau menutup pintu dengan senyuman lembut. Kembali kurebahkan badan, menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong.

Menghela nafas panjang dan dalam, menutup mata mencoba rilex. Cukup susah untuk melakukan intruksi Jeana, namun, lama kelamaan aku mulai terbawa suasana, mengosongkan pikiran, menunggu siapa yang akan dating, atau hanya bayangan hitam seperti apa yang kulihat sekarang.

Samar-samar aku melihat bayangan seseorang seolah mendekat, senyumannya yang menawan membuat nafasku sesak, tubuhnya seperti berkilau, dia seperti bukan manusia, dia terlalu indah untuk menjadi manusia.

"Ita," suaranya pun terdengar merdu, seperti melodi dentingan piano di pintu surga.

Rudolf, batinku penuh Tanya, mataku yang semula menyipit karena sinarnya terlalu kuat menampakkan sosok lelaki yang sangat aku kenali, senyum-nya juga sangat indah.

Tangannya mencubit pipiku gemes, jantungku berdetak tidak karuan. Dia terlalu memukau sampai mataku tidak bisa menolak pesonanya yang begitu kuat.

"Bagun,"

Keningku mengkerut tidak mengerti. Apa? Dia tadi bilang apa?.

"Mbak Ita, Woy!! Bangun!!"

Mataku terbuka lebar, suara yang tadi terdengar merdu tergantikan suara cempreng khas fairuz. Kepalaku pening sesaat karena cahaya matahari yang masuk, di tambah dengan mataku yang terbuka spontan. Aku menggeram pelan.

"Mimpi apa sih, sampe di bangunin susah amat." Fairuz masih mengomel tidak jelas.

"Loe tuh yang ngapain, bangunin orang seenaknya, pusing nih pala gua."

"Suruh siapa tidurnya kebo!" katanya di susul dengan suara pintu tertutup kencang. Anak itu benar-benar...!

Kupijit pelipisku pelan, berharap rasa pening yang mendera cepat menghilang. Jadi tadi itu mimpi ya? Astaga! Kenapa aku bisa mimpiin Rudolf, seperti itu sih? Ini pasti gara-gara ide jeana yang tidak masuk akal.

.

Kupijit keningku pelan, bukan karena pusing yang mendera, namun mataku yang sepertinya sudah terkontaminasi dengan mimpi semalam. Kulirik Rudolf yang sedang tertawa dengan Jeana, tawanya terlihat sangat menawan, berbeda dari hari-hari biasanya, atau sama? Entahlah, dulu aku tidak terlalu memikirkan hal itu, boro-boro memperhatikan, melihat saja sudah malas.

Matanya menatapku masih dengan senyumannya yang lebar. Kurasakan jantungku mulai berdegub tidak karuan, paru-paruku terasa sesak dan menghambat jalur pernapasan untuk mengambil udara. Ini sangat menyiksa.

Keningnya mengkerut heran. Kualihkan pandanganku agar tidak kembali menatapnya, bisa mati sesak napas kalau masih nekat untuk menatapnya dalam jangka panjang.

"Kenapa, It?" alisnya menukik.

Kepalaku menggeleng kaku, gila! Jantungku semakin berdetak tidak beraturan. Kuhembuskan nafas lega saat dia tidak lagi memperpanjang masalah dan kembali asik berbicara dengan Jeana.

"Widih, ada Rudolf," Joana menepuk pundakku kencang dengan senyuman meremehkan dan menarik kursi di samping sebelah kiriku. Kepalaku kembali menoleh kearah kanan saat kudengar suara tarikan kursi, Sinta duduk di sana dengan senyuman tipis.

"Gak hunting kemana gitu, Dolf?"

Rudolf terlihat berpikir sejenak dan tersenyum menawan. Okay! Otakku mulai eror!. "Lagi ada perlu sama keluarga, nanti malem harus standby di rumah soalnya. Jadi huntingnya di tunda, iya kan, It?"

Kuangkat kedua bahuku acuh. Aku tidak tau kalau nanti dia ada keluarga, dia hanya bilang ada acara.

"Aduh si Ita, di Tanya sang pacar kok cuek bebek sih? Entar di embat cewek lain."

Jeana tertawa keras. Rudolf tersenyum kalem.

"Emangnya siapa yang mau sama dia? Jelek gitu, gua mau aja udah syukur die,"

Joana terbahak. "Gak kebalik ya? Loe yang beruntung dapetin Rudolf, bukan dia, harusnya loe yang bersyukur."

Mataku mendelik jengkel, bisa-bisanya dia membullyku di depan Rudolf! Kan jadi malu. Eh wait! Sejak kapan aku harus malu sama kutu kampret itu? Aduh otakku eror.

"Tuh, kamu yang beruntung dapetin aku, bukan aku yang beruntung." Rudolf ikut tertawa karenanya.

Aku mencebir. "Dapetin playboy kayak kamu kok beruntung, adanya bunting!"

"Eh cie cie, yang udah pake aku-kamu, cie cie... Ita, ciee... katanya gak cinta, kok sekarang pake aku-kamu, aduh co cweet." Joana menyenggol lenganku menggoda, aku semakin cemberut.

"Ciee ciee Ita, ciee." Jeana kembali ngakak. Mempunyai dua sahabat seperti mereka hanya akan menambah kesal saja!.

Rudolf tersenyum kalem di depan ku, tangannya menopang dagu, senang melihatku yang sedang di bully sama sahabat kedua kampret ku.

"Ngaku aja, Ta, ngaku kalo loe cinta sama Rudolf, gak usah di tutupi, kita ngerti kok." Joana kembali berulah.

"Betul itu, Ta. Gak usah bohong sama kita, percuma loe bohong juga, gak akan mempan!" Jeana berbicara di sela-sela ketawanya.

"Udah ngaku aja, kalo gak ngaku entar gua jodohin Rudolf sama temen gua loh, ngaku aja, ngaku." Joana masih mencoba jadi provakator.

"Emangnya gua Narapidana apa, harus ngaku!"

"Halah, sok-sok an ngeles, gua beneran jodohin Rudolf sama Sani nih, Sani kan naksir berat sama Rudolf."

Aku berdecak mendengar perkataan Jeana. Kok rasanya sakit ya? Tidak rela begitu.

"Telpon ah," Jeana mengeluarkan handphone-nya dan mulai menekan-menggeser layar handphone-nya. "Sani, Sani, Ah ini dia, kontaknya ketemu."

Mataku melotot melihat Jeana yang menaruh handphone-nya di telinga.

"Halo Sani, Loe mau gak jadi pacar kedua Rudolf?"

Dengan cepat ku rebut handphone Jeana dan mematikannya, Gila! Dia beneran menelphone si Sani-Sani itu.

"Jangan harap." Sebelum aku mematikan sambungan telephone Jeana aku berteriak sadis yang di sambut galak tawa saudara kembar terkampret sepanjang masa.

"Ciee cemburu, ciee." Jeana dan Joana berteriak norak, tangan mereka menjudingku dan setelahnya tertawa bahagia.

Aku ingin tenggelam di rawa-rawa saat ini, apa yang aku lakuin? Mau taruh mana mukaku ini? Kulirik Rudolf takut-takut, ingin melihat ekspresi cowok absurd itu, namun ekspresinya yang terlihat shock membuatku yakin ingin membuang diri di rawa-rawa. Apa yang harus aku lakuin sekarang? Bodoh kamu, Ta! Bodoh!.

"Jangan di ledekin terus, kasian Itanya." Itu suara Rudolf, aku semakin memperdalam tundakan kepala, aku malu, woy!.

"Oke, oke. Kita gak akan ngeledekin cewek loe lagi," Jeana berbicara masih dengan nada geli di sana. Aku membrengut, pasti mereka semakin gencar untuk membullyku setelah ini.

Deringan ponsel membuatku mendongak kepala, kulihat Rudolf melihat layar handphonenya sejenak sebelum pamit untuk mengangkat telephone dari abi-nya.

Joana menyenggol lenganku, wajah geli terpancar indah di sana, aku mendengus. "Jadi sekarang udah ngakuin kalo loe cinta sama Rudolf?" aku membeku, bingung harus berkata apa.

"Udah jelas lah Jo, lihat kan tadi kelakuanya kayak apa pas gua nelpn Sani? Itu tuh namanya cemburu."

Keningku mengkerut, cemburu? Aku pernah ngalamin cemburu, masih ingat tentang cinta sepihak ku yang naas kan? Dan yah, aku rasa memang aku ngalamin hal itu. Tapi sejak kapan?.

"Woy!" suara cempreng khas duo kembar kampret itu menyentakku dari lamunan "Malah bengong, tuh Rudolf ngajakin balik,"

Kepalaku mendongak, melihat Rudolf yang sudah menentang tas-nya dan menatapku bingung. Aku tersenyum kecil, menyeruput jus manggaku dan ikut berdiri, menyampirkan tas slempang di bahu kanan.

"Ayo,"

Dia tersenyum geli dan menggandeng tanganku keluar café setelah berpamitan dengan ketiga sahabat karibku.

"Kenapa melamun?" Rudolf bertanya setelah memakaikan helm.

"Gak kenapa-kenapa, cuman lagi mikir sesuatu aja."

Dia tersenyum tipis dan mengangguk, memakai helm sebelum naik ke motor kesayangannya.

"Maaf ya, hari ini aku gak bisa ngajak kamu jalan-jalan,"

Kepalaku menggeleng, naik ke motor Rudolf, memposisikan duduk ku agar nyaman. "Gak papa kok, lagian hari ini mendung, nanti kalo di jalan kehujanan malah gawat."

Dia terkekeh. "Baiklah tuan putri. Pegangan yang kenceng ya, aku mau ngebut."

"Hah? Apa?!"

Tanpa menjawab pertanyaanku Rudolf sudah melajukan motornya dengan kecepatan yang luar biasa, ku peluk pinggangnya erat, berdoa agar terhindar dari kecelakaan atau apapun yang akan membahayakan nyawa kami. Namun aku tidak takut lagi, di perjalanan yang menegangkan aku merasa damai, bau Rudolf merasuk ke indra penciumanku, membuatku merasa nyaman dan di lindungi.

Mungkin tidak, aku memang sudah jatuh cinta dengan Rudolf tanpa aku ketahui, diam-diam mengidolakannya dan perlahan menggeser posisi idola ke rasa suka dan kembali menggeser di rasa cinta. Memang terlalu cepat untuk jatuh cinta dengannya, dan aku pun masih tidak tau seberapa besar aku mencintainya, yang aku tau, aku hanya merasa nyaman dan tidak ingin kehilangan. Menyayanginya sangat. Dan aku sangat takut untuk kembali kehilangan.

To Be Continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top