AAM 06 || Mereka Siapa?

Kalian pasti pernah melihat orang jahat berpura-pura menjadi baik hanya untuk mencari simpati, tapi bagaimana jika orang baik menyembunyikan kebaikan mereka dan bertingkah seolah dia tidak perduli dengan dunia? Aku mengenal satu orang yang seperti itu. Pria yang ku caci setiap hari, pria yang ingin kejebloskan kedalam tanah dan menguburnya.

Dulu aku membencinya hingga rasanya malas hanya untuk bertatap muka, tapi kini semuanya berbeda, sejak hari itu, hari dimana Rudolf membawaku ke kampung kumuh yang memprihatinkan, aku memandangnya berbeda. Dia menjadi salah satu orang yang kugami di dunia ini. Meski aku tidak akan sudi untuk mengatakannya.

Bibirku merekah sempurna melihat motor Rudolf berhenti tepat di depanku, kaca helm full face-nya di buka dan menyunggingkan senyum sok kecakepan.

Aku mendecih, mengambil helm hitam yang dia sodorkan dan duduk di belakang motor kesayangannya. Dan entah kenapa, aku sudah mulai terbiasa dengan Rudolf yang berotasi di sekitarku, hanya satu yang masih belum berubah, sifat jailnya terkadang membuatku ingin menerjunkannya di jurang terdalam.

"Pegangan yang kenceng, gua mau ngebut."

Aku yang belum benar-benar nyaman duduk di belakangnya harus segera mendekapnya erat saat dia tiba-tiba melajukan motornya dengan kecepatan paling gila.

"LOE MAU MATI YA, HUH?!" teriakku geram bukan main.

Dia hanya mengangguk dan semakin melajukan motornya bak pembalap di sirquit.

Jantungku berdegup kencang, tanganku semakin erat mencengkram perut Rudolf, suara klakson mewarnai perjalanan kami, kata-kata kasar yang di layangkan untuk Rudolf samar-samar terdengar.

Mataku tertutup erat, aku ingin membunuh Rudolf, aku ingin memutilasi tubuhnya menjadi bagian kecil-kecil dan membuangnya di kandang ayam.

Tanpa sadar air mataku menetes, aku takut, sangat takut.

Suara kekehan menyebalkan terdengar mangalun indah di telingaku. Kucoba untuk membuka mata secara perlahan, bangunan familiar Nampak jelas di indra penglihatanku. Dengan cepat ku lepaskan pelukan Rudolf dan turun dari motor.

Mataku memincing tajam. "Apa yang lucu?!"

Rudolf terbatuk, aku menyumpahinya agar mati karena tersedak.

"Gak ada yang lucu kok, cuman asik aja balapan di jalanan umum kayak gini, loe juga ngerasain kan?" dia bertanya dengan wajah berseri.

Kepalaku menggeleng prihatin. "Otak loe kejedot tembok mana? Bagian mananya sih yang lucu, Dolf? Gua udah bilang kan, kalo mau mati ya mati aja sendiri, jangan ajak gua!"

Rudolf menaikkan salah satu alisnya, senyuman geli terpancar. Aku sungguh ingin membunuhnya!.

Kulepas helm yang masih menempel dan melemperkannya kearah Rudolf yang di tangkap sempurna. "Dasar Gila!" kulangkahkan kakiku menjauh darinya, sejauh mungkin.

Dia tertawa mendengar amukanku. Kuhentikan langkahku dan menoleh, menatapnya yang masih cengengesan tidak jelas di atas motor. Mungkin dia punya penyakit bipolar1.

Kugelengkan kepalaku dramatisir dan kembali melangkah. Bodo amat sama Rudolf, dia bukan pria yang patut untuk di kasihani, justru dia pria yang patut untuk di mutilasi!.

Batinku masih menggerutu atas kekurang ajaran Rudolf di jalan beraspal. Sudah sering dia bertingkah seperti itu, dan aku masih terlalu takut untuk merasakan sensasinya lagi. Bisa di bilang aku mudah untuk merasakan trauma, dan sulit untuk melupakannya.

Kurasakan rangkulan di pundakku. Kepalaku menoleh, mendapati Jeana sedang tersenyum manis lengkap dengan tatapan jailnya. Oh tuhan! Kenapa aku harus selalu berurusan dengan mahluk yang kejailannya sudah di atas wajar?.

"Gua lihat, loe makin hari makin mesra aja sama Rudolf." Dia bertanya dengan senyuman menyebalkan.

Kuputar kedua bola mataku malas. "Siapa yang mesra? Kalo kayak gitu mesra, gimana berantemnya, Je?" tanyaku gemas.

Dia tertawa. "Loe gak nyadar? Loe itu selalu mesra sama Rudolf. Loe selalu bereaksi kalo dia jailin."

"Semua orang juga bakal bereaksi kalo di jailin, Je."

Jeana tertawa renyah dan menggeleng kepala pelan. "Tapi loe itu bukan orang."

Mataku melotot ganas. Dia tertawa.

"Coba gua tanya, waktu loe di jailin sama penggemar Rudolf, loe gak bereaksi apa-apa, malah muka loe makin datar." Katanya meraup mukaku.

Kusingkirkan tangannya di depan wajahku. "Itu bully, Je. Bukan jail."

"Sama aja, ah."

Aku hanya menghela nafas, malas untuk mendebatkan hal yang tidak penting. Kubelokkan kaki kearah loker, memutar kunci dan membukanya.

Jeana melambai yang tidak ku hirukan. Lagi-lagi aku hanya mampu menghela nafas, berusaha sabar dengan keadaan yang sedang mengusikku.

Tanganku meraih kertas-kertas dan menjatuhkannya di ubin. Tanpa membaca satu persatu aku tau apa tulisan di kertas-kertas itu. Hanya tulisan berupa hujatan yang tidak suka aku berpacaran dengan Rudolf, kata-kata menyakitkan hati jika aku masih keukeh untuk membacanya.

Aku hanya berpacaran dengan Rudolf, bukan berpacaran dengan artis dunia yang top. Rudolf bukan lah artis papan daun sampai mereka harus melakukan hal ini setiap hari. Apa mereka tidak lelah? Aku saja lelah kok.

"Bully lagi?"

Kepalaku menoleh, melihat Sinta yang berdecak jengkel, tangannya memungut salah satu kertas di sana, sebelum dia berhasil untuk membaca, ku rebut kertas itu dan merobeknya. Kalau Sinta membaca kertas-kertas ini dia hanya akan meledak-ledak tidak jelas.

"Gak usah di urusin, Sin. Mereka hanya kurang kerjaan," kataku menginjak-nginjak kertas dengan kekesalan luar biasa. Aku memang diam saja, tapi bukan berarti aku tidak kesal kan?.

Sinta mendengus, Bibirnya mencebik kekanakan. Niat ku ingin menaruh laptop di loker sirna sudah, sekarang loker bukan lagi tampat aman untuk menyimpan barang pribadi, di luar sana ada banyak mata yang mempunyai akal cerdik untuk memuaskan kebencian mereka. Dan aku tidak ingin ada hal buruk terjadi dengan laptopku.

Memang aku bisa meminta hal baru dan akan segera di turuti, tapi laptop ini adalah laptop pemberian nenek saat aku masuk di SMA favorite, laptop ini adalah barang peninggalan nenek sebelum dia pergi menyusul kakek di atas sana.

"Udahlah, loe putusin aja si Rudolf, biang rusuh tau gak sih tuh anak?"

Aku mendengus geli. "Kenapa jadi loe yang marah sih, Sin? Selagi mereka belum main fisik itu sudah cukup."

Sinta mendesis jengkel. "Loe tuh ya!" geramnya menjuding kearahku. Tatapan matanya menampilkan banyak hal.

Aku tau dia khawatir, tapi tidak ada yang perlu di khawatirin selama mereka belum melakukan hal yang berarti bukan?.

"Nanti juga mereka lelah sendiri, udahlah, gak usah sensi." Kataku mengelus lengannya dan tersenyum manis.

Dia mendengus jengkel, menolehkan kepalanya ke samping. Satu tanda kalau dia tidak ingin mendengar apapun.

"Gua titip laptop gua, ya? Nanti kalo jam pelajaran pak Agus gua ambil lagi." Kusodorkan laptop kearahnya.

Dia masih memanyunkan bibirnya, tatapan matanya juga masih terlihat jengkel, tangannya menarik laptopku kasar. Aku hanya tersenyum maklum dan pamit, karena pelajaran pak Bejo sebentar lagi akan di mulai.

Dua jam berlalu setelah menahan diri untuk tidak menguap di pelajaran drainase dan sanitasi lingkungan akhirnya berakhir. Kuhembuskan nafas lelah, setelah ini ada pelajaran pak Agus tentang manajemen sumber daya air.

Tapi sebelum itu, ada satu hal yang sejak tadi ku tahan. Aku ingin ke WC untuk menuangkan cairan urin di tempatnya.

Semua mata memandangku saat aku masuk dalam WC, tenang, aku tidak salah masuk kok, memang mereka selalu bersikap berlebihan dimanapun aku melangkah. Sudah menjadi makanan sehari-hari untuk hal seperti ini.

Ku buka bilik WC yang kosong dan masuk kedalam, rasa keram yang tadi kurasa sudah menghilang terganti dengan rasa lega.

Keningku mengkerut melihat toilet yang kugunakan tidak bisa di buka. Oh... jangan lagi.

Kuhembuskan nafas kesal. Hal percuma saat seperti adalah berteriak alay seolah mempunyai tenggorokan labih, hal itu hanya akan membuat mereka yang membully kita senang, karena menang.

Tapi hal sia-sia yang akan kita lakukan saat seperti hanya bisa diam, berharap malaikat penolong dating. Please! Jangan korban sinetron!.

Dan hal yang paling tepat meminta bantuan lewat telpon. Kenapa aku bilang tepat? Karena aku malas untuk berteriak alay, dan aku juga bukan orang dungu yang hanya akan diam saja menunggu keajaiban datang kepadaku.

Ku tekan kontak Joana dan mendial-nya, menunggunya untuk mengangkat, cukup lama sebelum telponku akhirnya di angkat.

"Kenapa lagi, Ta?"

"Gua kekunci di toilet,"

Seseorang di sebrang sana mendengus.

"Kenapa loe lebih milih gua buat nyelametin loe ketimbang Sinta?"

Kuputar kedua bolamataku malas.

"Gua cuman kekunci, bukan mau di bunuh, kata-kata loe terlalu hiperbolis."

Seseorang disana lagi-lagi mendengus.

"Kenapa gua?" Dia kembali bertanya tentang hal yang sama.

"Sinta terlalu heboh." Dan cukup. Berbicara dengan Joana tidak perlu berbasi-basi apalagi harus menyusun kata-kata sederhana agar dia mengerti.

Panggilan terputus, aku duduk di atas kloset yang tertutup, menunggu Joana datang seperti sebelum-sebelumnya.

Namun hari ini aku terlalu sial. Guyuran air dari atas membuatku sadar. Kalau mereka tidak akan pernah lelah hanya untuk membully seseorang.

Kuhembuskan nafas geram. Kesabaranku mulai naik saat ini. "Mau kalian apa?" tanyaku dingin.

Seseorang yang sejak tadi cekikikan di luar sana menendang pintu di depanku.

"Loe gak mungkin gak tau, apa yang kita ingini."

Kata 'kita' membuatku tau, kalau hal ini sudah terencana.

"Putus sama Rudolf?"

Mereka kembali tertawa. "Kalo loe udah tau, kenapa gak loe putusin?" suaranya berbeda dari suara yang pertama.

"Gimana ya? Gua udah sayang sih sama Rudolf, jadi susah."

Suara gedebuk kembali terdengar, pintu di depanku bergetar. Aku hanya tersenyum miring melihatnya.

"Eh, lagian loe itu gak tau diri banget sih, muka pas-pasan aja sok kecakepan."

"Meskipun muka gua ini pas-pasan tapi Rudolf jadi milik gua, kan? Kenapa kalian yang merasa cantik ini bisa kalah sama cewek yang mukanya pas-pasan?"

Pintu di depan ku kembali bergetar. Mereka hanya sekumpulan cewek yang hanya bisa menggunakan otot ketimbang otak. Memang apa gunanya membullyku seperti ini? Apa mereka pikir aku bakal putus dari Rudolf hanya karena mereka bully?.

"Loe itu jalang biadab!"

Aku memutar kedua bola mata malas. "Terimakasih,"

Dan pintu di depanku kembali bergetar. Aku tersenyum geli. Kenapa mereka hobi sekali menendang pintu itu?.

"Eh loe---"

"Ada apa ini?" itu suara Joana. Tidak ada yang menyahut, aku hanya mendengar suara langkah kaki semakin menjauh.

Rencanaku selalu berjalan mulus, mereka takut dengan Joana, memangnya siapa yang berani melawan iblis cantik satu itu? Meski tingkahnya terlalu feminism tapi jangan salah, dia pemegang sabuk hitam di taekwondo.

Pintu yang tadi di aniyaya sama orang tidak jelas terbuka, menampilkan sosok Joana yang sedang berpose sok keren. Tubuhnya menyender di tiang pintu, kedua tangannya bersidakap dengan mata siap mengadili.

"Apa yang baru aja gua denger itu gak salah?" tatapan jail dia layangkan.

"Gak, itu cuman basa-basi."

Keningnya berkerut, tatapan jail-nya masih melekat sempurna. "Masak? Gua baru denger loh basa-basi kayak gitu."

"Udah deh gak usah rempong."

Dan Joana tertawa keras, mengabaikan delikanku yang ingin mengulitinya.

.

Hari ini seperti hari-hari sebelumnya, Rudolf mengajakku jalan-jalan, setelah beberapa kali dia mengajakku ke tempat yang tidak pernah kubayangkan, kali ini aku exited menunggu tempat mana lagi yang akan dia kunjungi. Manusia itu tidak bisa di tebak jalan pikirannya, sekalipun kita sudah mengenalnya berpuluh-puluh tahun.

Bibirku semakin merekah melihat Rudolf mengeluarkan motor kesayangannya dan berhenti tepat di depanku, tangannya menyodorkan helm yang akhir-akhir ini sering ku pakai.

"Jangan ngebut-ngebut." Mataku mendelik galak.

Dia tertawa dan mengangguk.

Kupakai helm-nya dan duduk manis di boncengannya, kali ini dia membawa motor dengan kecepatan normal, ku buka kaca helm-ku dan melihat jalanan yang sesak akan kendaraan.

"Kita mau kemana?" tanyaku berteriak di antara kebisingan kota yang tidak pernah padam.

"Penasaran?" tanyanya terdengar nada jail di sana.

Mau bicara iya, gengsi, mau bicara tidak. Bohong banget.

"Biasa aja," akhirnya hanya kata itu yang keluar. Rudolf tertawa dan mengangguk, gayanya seolah tidak percaya dengan apa yang ku katakan.

"Kalau penasaran gua cepetin,"

Mataku melotot horror. "NGGAAKK!!"

Dan manusia kampret satu kembali tertawa. Dasar jahanam!.

Setelah berbelok ke sana kemari Rudolf menghentikan laju motornya. Keningku berkerut saat Rudolf menghentikan motornya di ruko. Ekspetasiku jatuh. Aku pikir dia akan mengajakku mengenal dunia lain lagi, ternyata dia hanya mengajakku ke warung deket jembatan. Kalau ingin ke warung, kenapa harus jauh sekali dari kota?.

"Kita ngapain ke sini?"

Rudolf menoleh, menatapku dengan senyuman jail. Aku mencebir.

"Kenapa muka loe kecewa gitu?"

"Gak, siapa yang kecewa? Sotoy loe."

Dia tersenyum geli. "Sini, deh." Tangannya menarik lenganku menjauh dari warung tempat dia memarkirkan motornya.

Sebenernya dia ingin mengajakku kemana? Langkah kakiku melaju menuruti Rudolf yang menuruni undakan tangga. Keningku semakin mengkerut tidak mengerti jalan pikiran pria di depanku.

Tanpa berkomentar apapun aku mengikuti kemana langkah Rudolf pergi, dari kejauhan kulihat ada 3 anak kecil sedang bermain air, bercanda dengan teman-temannya yang lain. Mereka seolah tidak mempunyai beban hidup apapun.

Salah satu dari mereka menoleh kearah kami berjalan.

"Kak Rudolf!"

Aku merasa de javu.

Rudolf melambaikan tangannya gembira, salah! Norak. Aku ingin mengejeknya tapi ku urungkan melihat matanya yang begitu hidup. Aku seolah terhipnotis.

Anak-anak itu keluar dari dalam air dan berlari, menghampiri Rudolf tanpa perlu memakai baju mereka terlebih dulu.

Mereka berpelukan, kemaren, waktu datang ke rumah deket pembuangan sampah, Rudolf hanya mengelus dan mengacak rambut mereka bukan memeluk. Aku seolah bisa merasakan kerinduan yang begitu dalam.

"Davan, kangen kakak." Salah satu anak yang memeluk Rudolf mengatakan hal itu dengan cairan Kristal yang siap tumpah.

Rudolf melepaskan pelukannya dan mengacak rambut anak kecil yang sedikit ikal, hidungnya pesek, matanya besar dan jernih, pipinya gembil. Rudolf mencubit pipi itu gemes dan terkekeh serak.

Keningku berkerut mendengar suara Rudolf yang aneh. Apa itu hanya perasaanku saja?.

"Devan sama yang lain apa kabar?"

Aku benar. Suara Rudolf memang serak, seolah dia berusaha menahan rasa tangis. Aku tahu, karena aku sering melakukannya, bahkan aku hapal bagaimana rasa sakit di tenggorokan saat kita mencoba melakukan hal itu.

"Kita baik kok, Kak." Anak yang lain menyahut. Postur tubuhnya hampir sama dengan Devan, warna kulit mereka juga sama, kecoklatan, menandakan mereka senang bermain di luar ruangan, bedanya, yang ini hidungnya lebih mancung dan pipinya tidak gembil. "tapi bunda sering sakit-sakitan, kak."

"Bunda gak pernah cerita sama kakak,"

Anak di sebelah anak tadi yang berbicara menyikut, seolah menyalahkan mulutnya yang terlampau jujur. Anak yang di sikut tertawa salah tingkah.

"Bunda gak sakit parah kok, kak. Bunda hanya sakit kepala ringan. Kak Rudolf gak usah khawatir, kan ada Kafka sama yang lain jagain bunda." Dia... terlampau dewasa untuk anak sebayanya. Fairuz sepertinya kalah dewasa. Sebenernya, mereka itu siapa?.

Aku tidak tau bagaimana ekspresi Rudolf, aku hanya tau, kalau Rudolf mengacak rambut anak bernama Kafka lembut.

"Iya, Baim kan juga jagain bunda."

"Bohong, Baim bisanya cuman main!" Devan berujar sadis.

Aku tersenyum, mereka sedang berlomba untuk menunjukkan kalau mereka bisa menjaga bunda-nya.

"Rudolf." Panggilan seseorang menghentikan acara haru biru antara 3 anak kecil dan 1 remaja menuju dewasa.

Rudolf berdiri dari jongkonya, "Bunda,"

Wanita yang di panggil Bunda melangkah mendekat, beliau tidak kalah cantik dengan Mama Rudolf, hanya saja, beliau tidak setinggi mama dan tidak berhijab, kulitnya kuning langsat, matanya lumayan sipit, hidungnya agak mancung, dan rambutnya sudah ada yang beruban.

"Kenapa baru datang, nak? Bunda kangen sekali sama kamu." Kata beliau memeluk tubuh Rudolf.

Rudolf membalas pelukan beliau, tubuh orang yang di panggil bunda hilang tertutupi tubuh Rudolf yang terlalu kekar, mereka berpelukan seperti anak dan ibu yang sudah lama tidak bertemu.

"Maafin Rudolf, Bunda. Rudolf terlalu sibuk sama kuliah, sampe gak sempet ngunjungin bunda." Nadanya begitu halus, tatapannya juga sangat lembut, bibirnya tersenyum sempurna.

"Gak papa, yang penting Rudolf sehat,"

Rudolf mengangguk dan mengecup puncak kepala wanita paruh baya itu. Tatapan sayang yang begitu dalam terpancar jelas di kedua bola mata Rudolf.

Mata sang bunda melirikku, dan beberapa detik selanjutnya senyum merekah hadir di wajah wanita itu.

Aku kikuk bukan main, hanya bisa mengangguk.

"Wah, Rudolf sudah besar ya? Sudah berani ngajak pacar Rudolf pulang?"

Keningku berkerut. Pulang?.

Rudolf menoleh kearahku dan tersenyum canggung. Melepaskan pelukannya dari sang bunda.

"Rudolf kan emang udah besar, Nda." Panggilannya terasa imut.

Aku menahan senyum mengejek saat Rudolf berbicara seperti itu. Dia terlihat... manja.

Wanita itu mengacak rambut Rudolf gemes, senyuman manis sejak tadi tersungging indah di sana, senyuman menenangkan.

"Udah berani pacaran ya sekarang kamu, Dolf?"

Udah berani katanya? Dari dulu tante. Bahkan dia jadi playboy. Ingin sekali aku berteraik seperti itu.

"Kenapa gak di kenalin ke Bunda?"

Rudolf menatapku canggung, dan aku melebarkan senyuman mengejek, selama ini dia selalu berhasil membuat tensi darahku naik, sekarang giliranku untuk membalas dendam.

Dia mendengus geli.

"Ini Ita bunda, temen dari kecil Rudolf."

Tante itu tersenyum keibuan, kusambut tangannya dan menyalimi khidmat.

"Pacar kamu cantik ya, pintar kamu nyari jodoh."

Aku salah tingkah. "Makasih tante,"

Rudolf tersenyum mengejek. "Jangan di puji Nda, nanti dia ngelunjak."

Aku mencebik kesal. Dia selalu saja berhasil membuatku bete setengah hidup.

Tante itu tertawa renyah. Tangannya mengacak rambut ku lembut, aku merasa menjadi anak kecil sekarang. Mama saja tidak pernah mengacak rambutku lagi saat sudah duduk di bangku SMA.

"Kamu ini, Dolf." Tante itu mencubit pipi Rudolf gemes, Rudolf meringis namun senyuman tersungging di sana. "jangan panggil tante, panggil aja bunda."

Aku tergagap seketika. "A.. ah iya, bunda." Terasa sangat asing ketika aku mengatakan hal itu.

Rudolf tersenyum mengejek, aku merengut kesal bukan main, baru sebentar balas dendamnya sekarang kembali lagi seperti semula. Dia ini memang iblis.

"Kenalin sayang, mereka adik-adik Rudolf. Yang pendek itu namanya Devan, dia makannya paling banyak, sebelah Devan namanya Baim, dan yang paling ganteng itu namanya Kafka. Ayo salim sama kakak."

Tutur bahasanya terlalu lembut. Mereka menyalimi tanganku satu persatu, aku bahagia bukan main.

"Nah, kamu harus ikut bunda ke rumah, masih ada banyak adik Rudolf yang harus kamu tau."

Mataku membelo. Hah?! Seriusan? Masih banyak? Memangnya mereka lahirnya bagaimana?.

Mataku melirik Rudolf meminta kepastian, yang di lirik tersenyum aneh.





NB:

Bipolar atau ManicDepressive itu gangguan mental yang menyerang kondisi psikis seseorang. Ataukepribadian Ganda.     

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top