AAM 05 || Sisi Lain Rudolf II
Bumi sedang menangis, sejak tadi pagi langit sudah menumpuhkan air matanya, memberi tahu warga bumi kalau mereka sedang berduka.
Ku ketuk kaca rumah tanpa minat, pandanganku focus menatap rintikan hujan dengan tatapan menerawang. Dulu saat papa masih sibuk dengan dunianya sendiri, dulu saat aku berpikir kalau papa membenciku, dulu ya dulu sekali, kejadian yang membuat hidupku terasa berbeda, lebih berwarna dan bermakna.
Bibirku tersenyum kecil mengingat hal dulu, saat hujan, papa mencariku karena keluar apartemen tanpa pamit, aku marah sama papa, karena melupakan janjinya untuk datang ke sekolah yang sedang melaksanakan pameran. Saat itu aku bertemu wanita yang kupikir mama kandungku, karena wajah mereka sama, dan yeah sekarang dia menjadi mama ku. Orang penting dalam hidupku.
Membahas masalalu tidak akan pernah ada habisnya, mengingat itu secara spontan aku mengingat Rudolf. Masih ingatkan kita berteman waktu masih kecil?.
Waktu itu aku baru pulang sekolah kehujanan dan jatuh sakit, sedangkan pas di hari itu mama serta papa sedang ke luar kota, aku tidak ikut karena sedang menghadapi UN sekolah dasar. Seharusnya ada nenek di rumah, tapi beliau sedang tidak ada, entah pergi kemana.
Aku masih ingat dengan jelas, waktu itu aku sakit di rumah yang sepi, di rumah ini tidak ada bibi karena mama tidak suka. Dan entah secara kebetulan atau memang takdir, Rudolf mampir ke rumahku dan melihatku yang meringkuk kedinginan di sofa.
Baju sekolahku masih melekat sempurna, karena memang aku belum berganti baju, kepalaku mendadak pusing kala itu. Dan aku pun masih ingat dengan jelas ekspresi Rudolf yang panic luar biasa, dia menjerit memanggil mamanya seperti anak gadis melihat bangkai tikus.
Aku tersenyum geli mengingat hal itu. Tidak terasa sekarang semuanya sudah berubah, Rudolf mungkin melupakan hal itu, tapi aku tidak, itu adalah kenangan manis. Kalau dulu Rudolf tidak mampir ke rumah mungkin sekarang sudah berbeda, aku pasti sudah terkubur dalam tanah karena hipotermia.
"Loe kenapa senyum-senyum sendiri kayak orang gila gitu, It?"
Jantungku berhenti berdetak sedetik dan kemudian berdetak lebih keras dari sebelumnya. Nafasku tercekat. Dengan kesal kepalaku menoleh kebelakang, melihat Rudolf sedang menatapku heran.
"Loe ngapain ngagetin gua, sih?" sentakku kesal bukan main.
Rudolf tersenyum geli. "Gua udah salam dari tadi, nyokap loe aja udah manggil loe berkali-kali, ngasih tau kalau gua datang, eh loenya lagi sibuk sendiri."
Keningku berkerut tidak percaya. "Bohong!"
"Yee... Tanya aja tuh sama tante, lagian loe hujan-hujan ngalamun, kesambet setan hujan tau rasa loe."
Aku mencibir mendengarnya. "Lah loe sendiri ngapain ke sini?!"
Rudolf tersenyum sok cakep dan duduk di kursi sampingku, matanya menatap halaman belakang yang basah terguyur air hujan, daun-daun melambai gembira tertiup angin.
"Gua pengen ngajakin loe hunting." Katanya menoleh kearahku.
Kuputar kedua bolamataku malas. Seharusnya dia tau jawabannya tanpa bertanya.
"Ngapain? Bikin capek aja,"
Rudolf tersenyum geli, matanya melirikku dengan pandangan mencemooh.
"Daripada loe di rumah terus kayak ayam mau bertelur, mending ikut gua, Refreshing."
"Ogah." Tanpa berpikir banyak aku menjawab pertanyaan Rudolf tanpa minat.
"Terus loe ngapain di rumah terus? Dunia ini terlalu indah untuk loe sia-sia in, It."
"Terus?"
"Nah, mangkanya loe harus ikut gua biar bisa nikmatin indahnya dunia ini, selagi kita masih muda, It." Dia masih berusaha agar aku ikut. Tapi aku males untuk pergi-pergi seperti itu. Mending di rumah, tidur, atau berselancar di dunia internet.
"Itu benar sayang, selagi kamu masih muda, harus nikmati masa muda kamu dengan baik."
Rudolf menjetikkan jari dengan wajah berseri-seri.
"Males ah ma, Hujan."
Mama mencebik. "Alasan. Lagian apa enaknya sih kamu ngedekem mulu di kamar? Mending keluar sama Rudolf, dapat wawasan baru."
"Bener itu tante."
Aku cemberut. "Ma, sekarang itu kalau nyari wawasan gak perlu keluar rumah, di rumah juga bisa kali, Ma."
Mama menghela nafas berat. Rudolf diam menyimak.
"Memang, tapi suasananya berbeda. Kalau kamu hanya melihat lewat internet gak ada kepuasan batin sayang."
Rudolf mengangguk membenarkan. Mama mengacak rambut Rudolf gemes, dan pemuda itu hanya tersenyum lima jari.
"Tapi, Ma..."
"Udah! Mama gak nerima penolakan ya, kalau kamu masih mau di rumah, nanti mama laporin sama papa kamu, biar intenetnya di copot sekalian."
"Ma!" seruku memprotes. "Jangan dong!"
"Makanya, ikut pergi sana."
"Jadi mama ngusir?"
"Iya!"
Dan aku hanya bisa cemberut mendengar perkataan mama. Mama melengos tidak perduli. Kenapa si playboy katak harus ke sini segala?! Aku dendam setengah mati padanya, bukan setengah hidup lagi!.
.
Hujan pun berhenti tidak lama setelah perdebatan atau pengusiran mama terhadap anak cewek satu-satunya di rumah ini.
Aku masih cemberut tidak terima, aku bisa saja memilih stay di rumah tapi ancaman mama itu bukan ancaman sambal, yang pedas di awal tapi hilang di akhir. Ancaman mama itu benar-benar ancaman! Fairuz pernah melawan ancaman mama dulu, dan keesokan harinya Fairuz harus merelakan DVD game-nya di buang. Benar-benar di buang bukan di taruh di gudang.
Udara ibukota yang biasa terasa panas kini terasa dingin, genangan air terlihat di pinggir jalan. Hujan yang mengguyur tadi cukup deras mengakibatkan jalanan menjadi licin dan becek. Ini salah satu factor kenapa aku malas untuk keluar!.
Rudolf masih melajukan motornya dengan kecepatan sedang, mataku memindai sekitar, gedung-gedung yang menjulang tinggi menjadi pemandangan hal yang sudah lama, tapi lama kelamaan gedung-gedung itu tidak Nampak lagi.
Kepalaku menoleh kebelakang melihat gedung pencakar tinggi yang semakin menjauh. Rudlof mau membawaku kemana?.
Jalanan aspal yang tadi terasa mulus kini sedikit berombak, jalanan aspalnya tidak semulus jalan di ibukota. Bau sampah tercium di indra penciumanku yang sedikit sensitive tentang hal-hal berbau busuk seperti ini.
Tanganku mengibas-ngibas di depan hidung. Baunya semakin lama semakin menyengat, tumpukan sampah terlihat menggunung di sisi kanan dan kiriku. Pemandangan yang baru pertama kali kulihat. Dia mau membawaku kemana lagi? Setelah kemaren berhasil membuatku makan di warung, sekarang dia ingin membawaku kemana?.
Tak lama motor yang di kendarai Rudolf berhenti. Ragu-ragu aku turun dari motor, menyerahkan helm padanya, mataku menatap sekeliling dengan jijik. Ini bukan tempatku, sungguh.
"Loe mau hunting di sini?" tanyaku sanksi dan mencemooh.
Rudolf menoleh, menurunkan helm-nya dan tersenyum sok kecakepan.
"Loe gak pernah ke sini kan?"
"Yang bener aja dong, Dolf! Bayangin aja gak pernah! Loe gila ya?!" tanyaku kesal bukan main, apa yang ada di pikirannya sebenarnya?.
Rudolf tersenyum tipis. "Ta," dia memanggilku dengan nama kecil yang dulu sering dia ucap. "Ada banyak hal di muka bumi ini yang gak akan bisa loe lihat."
"Tapi, Dolf!"
"Ta, dengerin gua, ya! Meski tempatnya seperti ini, tapi justru inilah yang menjual nilai lebih."
"Maksud?"
Dia lagi-lagi tersenyum tipis, aku benci senyumannya, aku lebih suka dia tersenyum menyebalkan seperti kemaren atau tadi, daripada tersenyum seperti ini.
"Loe masih inget pertanyaan gua di atap kemaren kan?"
"Hubungannya apa?"
"Loe akan lihat dunia yang jauh lebih berbeda dari dunia loe."
"Ha?!" aku sukses di buat pusing dengan kata-katanya, dia terlalu berputar-putar dalam mencari kosa kata, apa tidak ada kosa kata lain yang lebih sederhana?!.
"Kak Rudolf!" panggilan ceria anak-anak menyentakkan ku dari pikiranku sendiri. Kepalaku menoleh kesamping kanan, melihat beberapa anak yang sedang berlari menghampiri Rudolf. Pakaian mereka terlihat kumuh, bahkan ada beberapa bagian yang robek. Aku speechless.
Mataku melihat Rudolf yang tersenyum hangat dan turun dari motornya. Paper bag yang tadi dia bawa di serahkan sama anak-anak itu. Aku merasa berada di dunia yang lain.
Rudolf berbeda dari yang aku ketahui selama ini, dia terlihat lembut sekarang. Okay! Otakku mungkin terkena virus sekarang!.
"Wah kue. Pasti enak." Seru salah satu dari mereka dan mengambil kue itu lalu memakannya. Anak-anak yang lain ikut melakukan hal yang sama, mereka tertawa dan berkata kalau kuenya benar-benar nikmat.
Aku pernah merasakannya, dan aku pikir rasanya seperti kue-kue pada umumnya, tidak ada yang berbeda, tapi anak-anak itu memakannya seolah itu adalah makanan paling enak di dunia ini.
"Kalian suka?" Rudolf bertanya lembut, tangannya mengcak surai anak-anak itu yang berwarna coklat, bukan karena mereka warnai tapi karena paparan sinar mentari.
"Ini enak banget kak." Kata salah satu dari mereka. Kepalanya mengangguk khidmat dan mulutnya kembali mengunyah kue-nya.
Rudolf menoleh, menatapku dengan senyuman tipis. Aku terdiam, terpaku, tidak tau harus berbuat apa. Jujur saja aku bingung. Mereka seperti orang yang tidak pernah makan sebelumnya, cara mereka makan terlihat rakus.
"Makannya pelan-pelan aja, nanti kesedak lho." Rudolf masih berbicara lembut. Dia benar-benar terlihat berbeda.
Mereka mengangguk kompak dan mengubah cara makan, jauh lebih hati-hati sekarang.
"loh, Gaga, kenapa kuenya gak kamu makan?" Tanya Rudolf. Mataku spontan menatap anak laki-laki yang memang diam hanya memandangi kuenya.
Bibirnya tersenyum tipis. "Ibu belum makan dari kemaren kak, boleh gak kuenya aku kasih Ibu?" aku menahan nafas mendengarnya. Belum makan dari kemaren?.
Mataku menatap adik-adik itu penuh Tanya. Kalau ibu anak itu belum makan, apa itu artinya mereka semua juga belum makan?.
Rudolf tersenyum dan berjongkok di depan anak itu, tangannya mengelus pipi kurus anak itu. "Ga, kamu makan aja, kakak masih punya kok makanan lainnya, kamu gak usah khawatir sama ibu kamu, ya." Rudolf tersenyum menenangkan. Auranya terlihat berbeda sekarang. "Kamu juga pasti belum makan, kan, dari kemaren?" Aku merasa tersentil sekarang.
Aku sering malas makan kalau lauknya tidak sesuai dengan seleraku, aku juga sering tidak menghabiskan makananku tanpa tau kalau ada orang di luar sana yang berusaha menahan lapar. Aku merasa.... Menjadi buruk.
Kepala anak itu mengangguk dan memakannya dengan lahap. Rudolf seolah ingin menunjukan dunia lain dari dunia yang ku tempati selama ini. Mungkin memang itu yang benar-benar dia lakukan belakangan ini.
Rudolf bangkit dari jongkoknya, matanya menatapku teduh, aku bingung harus berekspresi seperti apa. Rudolf yang di depanku seperti bukan pria tengil yang terus-terusan mengerjaiku tanpa ampun, dia bukan seperti pria yang mempunyai banyak pacar. Dia.... Terlihat dewasa dan menawan.
Aku tersenyum miris. Rudolf sudah terlalu banyak tau tentang dunia ini, sedangkan aku hanya tau tentang dunia internet. Dunia semu.
Mama benar, kita memang bisa tau tentang dunia luar dengan internet, tapi kita tidak akan bisa merasakan euforia-nya, sensasinya, atau apapun jenisnya.
"Nah adik-adik, perkenalkan, ini Kak Ita, dia pacar kakak."
Semua anak langsung menoleh kearahku dan tersenyum lebar. Aku tersenyum kikuk, dalam hati mengutuk Rudolf yang seenaknya main ngenalin orang tanpa permisi.
"Wah, pacarnya kak Rudolf cantik ya,"
Aku tersenyum salah tingkah. Seumur-umur aku tidak pernah di puji cantik, kecuali mereka yang ingin modus, atau mempunyai maksud terselubung. Tapi mereka anak kecil, tidak mungkin punya maksud terselubung, mereka masih polos. Adikku saja tidak pernah memuji cantik.
"Jangan di puji, nanti dia sok kecakepan."
Aku merengut. Mataku mendelik sebal. Apa dia ini tidak bisa lihat orang bahagia sedikit?.
Anak-anak itu tertawa menggemaskan. Mau tidak mau aku ikut tertawa. Bau busuk dari sampah-sampah memang tidak menghilang, tapi baunya tidak semenyengat awal-awal tadi, dan aku merasa... baik-baik saja dengan baunya.
Mereka terus bercanda tertawa, Rudolf sesekali melirikku, aku tau, tapi ogah untuk menatap balik, jadi aku hanya tersenyum kecil saat anak-anak itu mulai mengerjai temannya yang lain dan mereka berlarian.
"Nyesel?" pertanyaan retorik yang membuatku geram.
Kepalaku menggeleng.
"Aku tau, karena itu, aku ngajak kamu ke sini, agar kamu gak bertumpu sama kehidupan kamu aja, Ta."
Mataku menatap Rudolf lama, "Tumben waras."
Dia tertawa mendengar sindiranku. "Aku memang selalu waras kali, It."
Okay, sekarang aku tau, kata-kata 'Ta' dia keluarkan saat sedang berbicara serius. Aku paham sekarang.
"Mereka tinggal di sini?" tanyaku mengalihkan topic.
Rudolf tersenyum lembut, pancaran matanya terasa hidup. "Iya, mereka gak punya uang untuk menyewa rumah yang layak huni."
Aku merasa tersindir, meski aku yakin kalau Rudolf tidak berniat menyindir.
"Mau lihat-lihat?" Rudolf bertanya setelah terdiam beberapa detik.
Kepalaku mengangguk. Aku penasaran bagaimana rumah mereka. Dari kayu? Kardu? Atau apa?.
Rudolf mengajakku berkeliling, dan aku baru sadar, kalau Rudolf membawa beberapa paper bag yang cukup banyak.
"Isinya kue?" tanyaku iseng.
Rudolf berbalik menatapku dan mengangguk. Aku hanya terdiam. Mataku menatap paper bag Rudolf yang terlihat banyak. Kenapa aku tidak sadar kalau dia tadi membawa paper bag? Mungkin karena selama perjalanan aku sibuk menggerutu sampai tidak tau. Apa aku segitu apatisnya sama dunia luar? Jawabannya mungkin Ya.
Tak cukup jauh kami berjalan, di depanku ada beberapa perumahan kayu yang sudah leyot, kanan kiri rumah mereka terdapat gunungan sampah yang melebihi tinggi rumah mereka. Aku tidak bisa membayangkan mereka tinggal di rumah itu bertahun-tahun lamanya.
Rudolf menyapa mereka dengan ramah, memberi paper bag satu rumah satu. Pikirku tentang Rudolf selama ini salah, dia tidak sejahat yang aku pikir, dia... malaikat berwujud jin.
Rudolf masih senang membuat kericuhan, maksudku, mengenalkan ku sebagai kekasihnya. Dan ketika ada orang yang mengatakan aku cantik, dia melarangnya tegas, sebagai candaan. Merasa di hargai. Iya. Aku sangat merasa di hargai, hatiku menghangat karena perlakuan abnormal pria itu.
Sekarang aku tau kenapa para mantan Rudolf tidak membencinya setelah mereka putus, mungkin karena Rudolf menghargai mereka sebagai perempuan.
Tampilan Rudolf memang tidak mengijinkan orang lain untuk berpikir dia baik, bukan karena tampilannya bak preman kesasar, atau dia punya tato di tubuhnya, bukan, maksudku tampilan adalah sifatnya yang suka gonta-ganti pacar seperti ganti baju setiap harinya. Dan itu salah satu sifatnya yang membuat minus.
Rudolf mengantarku pulang sebelum petang, dalam perjalanan pulang aku terus berpikir hal apa yang sudah aku lakukan selama hidupku? Bermain ke mall, meminta hal macam-macam sama papa, suka ngambek kalau tidak di belikan. Sibuk menghabiskan uang tanpa pikir panjang. Dan semakin lama aku berpikir tidak ada hal positive yang aku lakukan.
Aku hidup dengan duniaku sendiri. Selama ini aku memegang teguh prinsip 'hidup hidup mu sendiri, jangan urusi kehidupan orang lain', tapi ternyata salah. Tidak semua hal harus seperti itu. Aku tau hal itu sekarang.
Rudolf menepikan motornya di depan gerbang rumahku, aku turun dan menyerahkan helm-nya, sebelum benar-benar kuserahkan aku bertanya suatu hal.
"Kenapa loe ngajak gua kesana, Dolf?"
Rudolf tersenyum tipis. "Karena gua pikir, udah saatnya loe ngerubah cara hidup loe, It."
Aku terdiam, mematung, bahkan setelah Rudolf memarkirkan motornya di garasi rumahnya,
Benakku penuh dengan Tanya, apa segitu buruknya aku memandang hidup ini?
To Be Continued....!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top