AAM 04 || Sisi Lain Rudolf
Kata banyak orang, cinta itu anugrah, ada sedih ada bahagia. Komplit seperti rujak cingur makanan khas Surabaya yang menjadi makanan favorit Fairuz. Kata banyak orang juga cinta tidak harus selalu bersama. Kali ini aku setuju, cinta memang tidak harus bersama yang bermaksud, cinta tidak selamanya menyatukan orang-orang, apalagi jika orang itu hanya mencintai sepihak.
Sinta pernah berfilosofi cinta sepihak itu ibaratnya makan nasi tanpa ada lauk, memang mengenyangkan tapi terasa hambar dan menyakitkan. Jeana juga pernah bercerita cinta bertepuk sebelah tangan sama saja seperti kita ingin menepuk nyamuk, berharap nyamuk itu mati, tapi nyatanya kosong, nyamuk itu masih hidup, karena hanya satu tangan yang menepuk, sama dengan cinta, jika hanya satu tangan tidak akan ada kisah yang sangat mengharukan atau menyenangkan, yang ada hanya menyakitkan.
Entah dari mana mereka mendapat kata-kata yang nyeleneh tapi ngena itu. Tapi menurutku, cinta sepihak seperti ginjal yang ada di tubuh kita. Jika ginjal kita satu maka kita akan mudah terkena darah tinggi, karena ginjal memiliki fungsi yang terkait aliran darah dan juga produksi sel darah merah. Dan akan sangat membosankan jika aku masih membahas tentang hidup hanya satu ginjal. Akan menjadi pelajaran Biologi yang sangat membosankan. Intinya, hidup dengan satu ginjal akan mudah terserang penyakit. Sama seperti cinta sepihak, akan mudah terkena penyakit, penyakit yang tidak akan pernah ada obatnya. Patah hati berkali-kali.
Dan aku sudah sering merasakannya, sudah hapal betul bagaimana bentuknya. Abstrak tapi menyakitkan, dan aku hanya bisa tersenyum di balik kesakitan hatiku yang paling dalam.
Sama seperti saat ini, saat mama dengan semena-mena memanggil dia dan istrinya untuk datang berkunjung, memang bukan hal yang baru lagi, sudah sering seperti ini dan aku terlalu kenyang untuk merasakan sakit secara bertubi-tubi.
"Gimana, Nad? Suka gak kuenya?"
Orang di ajak bicara tersenyum manis dan elegant, sangat elegant, jauh di banding aku. Dia terlihat sangat dewasa dan cantik, di bagian manapun aku kalah pamor. Pantas saja Om Andre tergila-gila dengan-nya.
"Ini enak banget, May." Katanya sopan. Dan aku terlalu malas untuk memuji seseorang sekarang. Sungguh! Aku hanya ingin berkata pedas dan menghujat.
Mereka terus mengobrol dan sesekali tertawa di dapur, khas mama-mama yang ingin berekplorasi di dapur untuk menciptakan menu baru. Sedangkan para bapak-bapak atau adik-kakak sedang bicara serius di teras belakang. Ini menyebalkan. Memang sampai saat ini belum ada tanda-tanda untuk mereka bermesraan seperti sebelum-sebelumnya, dan itu sudah membuat ku kesal setengah hidup.
"Kak, It. Bantuin Albi ngerjain soal matematik dong,"
"Mana bisa dia, orang dia oon kok,"
Mataku melirik Fairuz sinis, tapi tidak ada kata bantahan yang ku keluarkan. Lebih baik di bilang Oon daripada harus berpusing-pusing ria.
"Kerjain diri, kakak dulu selalu ngerjain sendiri kok kalo ada PR." Kataku acuh.
Albi mencibir. "Kakak kan gak punya kakak, mangkanya ngerjain sendiri."
Aku tersenyum kalem mendengar perkataan Albi. Sama sekali tidak terganggu dengan wajah cemberut adik kedua ku.
"Minta sama mas, aja. Kan katanya dia pinter."
"Gak-gak-gak, ogah. Gua ada perlu sebentar lagi. Enak aja loe kalo ngomong."
Aku tersenyum sinis. "Ada perlu apa gak bisa?" tanyaku lengkap dengan senyuman meremehkan.
Si Albi hanya terkikik mendengar perkataanku.
"Gua males ngajarin anak bebal kayak dia."
"Aku gak bebal, cuman susah aja." Albi ngeles.
"Sama aja!"
Albi cemberut di sebelahku. Fairuz masih merapihkan rambutnya di kaca lemari yang penuh dengan document kantor papa. Aku tersenyum sinis.
"Ma! Fai mau jalan sama ceweknya nih, gak mau ngajarin adek soal Matematik."
Fairuz melotot kearahku, tatapan penuh permusuhan dia layangkan. Aku hanya tersenyum santai dan kembali menatap TV.
"Fai, awas kalo kamu berani kayak papa, kamu." Mama berteriak keras mengultimatum Fairuz.
Albi dan aku tertawa kencang, orang yang di fitnah langsung berwajah masam. Itu artinya dia tidak bisa berkumpul dengan geng tidak jelas-nya. Mau beralasan seperti apapun, mama akan tetap menolak dengan tegas.
"Enggak ada yang mau ketemu pacar kok, Ma. Mau kerja kelompok sama Rodi."
"Jangan bohong kamu Fai," mama berjalan tegas kearah ruang Tv, di tangannya ada toples bening berisi kue kering yang mungkin baru di bikin mama, di belakang mama ada istri dari orang yang ku cintai. Nyesek.
"Gak bohong, Ma. Mas mana pernah bohong sih."
Aku mencibir, Albi pura-pura mual dan mama memutar kedua bola matanya malas.
"Jangan kayak sinetron. Gak pernah bohong apanya, setiap hari kerjaanya bohong mulu."
Skakmat.
Albi tertawa terpingkal-pingkal mendengar ucapan mama, kakak cantik yang sudah punya anak tersenyum anggun, dan aku diam merasakan rasa iri yang semakin dalam.
"Gak pernah ya, Ma. Mas kan anak baik, jadi gak mungkin bohong." Dia masih berusaha membela diri.
"Anak baik mana? Buktinya tiap hari bohong kok, mau mama beberin semua kebohongan kamu? Sekalian ada papa kamu, biar di potong uang jajanya entar."
Albi semakin bahagia. Fairuz semakin berwajah masam. Jika sudah begini, dia tidak akan bisa berkutik. Anak yang masih minta uang jajan sama orang tua mana bisa bergerak jika sudah di ancam seperti ini?.
Fairuz mendelikkan matanya kearahku, aku masih adem ayem di sofa, merasa tidak terganggu sama sekali dengan tatapan dahsyat Fairuz. Sudah kebal di tatap seperti itu.
"Mas keluar cuman sebentar aja kok ma, Maghrib nanti udah pulang. Janji."
Mama mendelikkan matanya. Sekarang aku tau darimana gen Fairuz suka mendelik-mendelik seperti itu.
"Kamu pikir mama bakal percaya? Mama udah kenyang sama janji kamu Fai," itu artinya Big No for ever.
Tapi Fairuz bukan cowok yang gampang nyerah, dia terus berusaha agar di ijinkan untuk keluar, tipu daya muslihat andalannya dia kerahkan semua, tapi mama juga bukan anak kemaren sore yang mudah terbujuk. Dia tetap dengan pendiriannya. Sampai sebuah suara mengintrupsi obrolan mama dan Fai.
"Assalamu'alaikum." Aku hapal luar kepala siapa pemilik suara bass itu.
"Wa'alaikum salam." Mama menyahut ceria. Tampang gaharnya tadi hilang entah kemana. "Eh Rudolf. Mau ngajak Ita keluar ya nak?" mama sudah tersenyum mencurigakan.
"Iya tante, boleh?"
Sok sopan! Batinku mendengus.
"Boleh dong." Seru mama semangat, kelewat semangat. Mataku melirik mama yang sudah menyuruhku untuk berdiri, namun aku masih stay di sofa, seolah tidak pernah mendengar apapun.
"Ita, itu udah di ajakin Rudolf pergi, sayang."
Sebelum mulutku terbuka untuk protes ada suara lain yang ingin berprotes.
"Tadi mas gak boleh pergi, kok sekarang Mbak boleh pergi? Itu gak adil ma, not fair!"
Aku tersenyum geli mendengarnya. Sok-sok an pake inggris, nilai bahasa inggris aja 5.
"Kamu masih kecil, dan kamu kalo keluyuran gak pernah ingat waktu. Kalo kakak kamu perginya hanya sebentar. Lagian mama udah kenal Rudolf sejak dia kecil, bukan kayak temen kamu yang sukanya pake baju gak jelas gitu." Mama sudah mulai mengomel. Dan akan terasa malas kalau sudah mendengar omelan mama yang tidak akan pernah ada ujungnya. Dan aku lebih memilih aman.
"Ita pergi dulu, ma." Pamitku langsung menarik lengan Rudolf menjauh. Tanpa menggubris ceramahan mama yang di layangkan untuk Fairuz. Sang tersangka hanya mencebikkan bibirnya tidak perduli.
"Kok main pergi aja sih? Gak sopan It, belum salim sama mama kamu."
Kuputar kedua bola mataku malas. "Gua udah gedhe, Dolf."
"Dan bukan berarti loe bisa seenaknya aja, meskipun loe udah besar, loe harus tetep hormat sama nyokap loe." Dia berseru marah.
"Gua sopan kok sama nyokap gua, bukan karena gua gak salim gua gak sopan ya!" seruku keki, bukan hanya karena tidak salim sekali aku tidak sopan. Dia tidak tau apapun, dan main nge judge sesuka hatinya.
Rudolf menghembuskan nafas pasrah. "Baiklah, tapi seenggaknya loe haris salim sebelum keluar."
"Gak usah sok alim deh," sungutku semakin keki.
Kurentangkan tanganku didepannya, menyuruhnya untuk berhenti bicara saat kulihat dia ingin kembali mengajak debat.
"Loe mau ngajak gua kemana?" tanyaku malas sembari berjalan.
Dia menghela nafas, mungkin masih kesal sama perdebatan yang tadi, tapi apa pedulinya? Kenapa dia mendadak sok alim begini? Memang sih keluarganya itua agamis. Ibunya berhijab, yang katanya hafiz, abinya juga anak pesantren dan sekarang adiknya yang bernama Fahmi sedang menuntut ilmu di pondok, hanya dia yang kelakuannya kurang waras.
"Ngajak loe makan," katanya cuek.
Kulirik dia yang mungkin masih kesal dengan perdebatan tidak penting tadi. Kepalaku mengangguk malas dan naik ke sepeda motor kesangannya.
Jalanan malam hari ini cukup lenggang, tidak butuh waktu yang lama untuk kita sampai di tempat warung yang sering Rudolf kunjungi. Aku masih heran dengan sikap pemuda ini, setauku mamanya punya butik sendiri dan papanya juga punya café sendiri yang sudah membuka cabang pulau lain, dan tidak mungkin kan uang sakunya sekritis ini?.
"Kok warung?" tanyaku sanksi, menatap sekeliling dengan pandangan kurang yakin. Menurutku warung di pinggir jalan itu tidak higienis.
Rudolf melepas helm-nya, menaruhnya di spion dan menatapku datar. "Kenapa? Takut sakit perut?" tanyanya mencemooh.
Kulirik sadis. "Kalau udah tau, kenapa masih nanya?"
Rudolf tertawa meremehkan. "Hidup loe terlalu mujur jadi orang." Entah ini hinaan atau pujian?.
"Terimakasih,"
Dia mendengus jengkel dan berjalan kearah warung yang hanya di tutupi spanduk. Keningku berkerut ragu, debu pasti bisa masuk dengan leluasa di tempat ini, makanannya juga pasti sudah terkena debu. Astaga, kalau sakit perut bagaimana?.
"Gua ngajak loe ke sini buat makan, bukan buat melamun."
Rudolf dengan semena-mena menarik tanganku untuk masuk ke dalam warung, jujur saja, aku ragu tingkat dewa tentang ke higienis-an tempat makan ini.
"Kalo gua sakit perut gimana?" bisikku takut.
Rudolf menghela nafas jengkel, matanya menatapku tak kalah jengkel. "Kalo loe sakit perut, tinggal ke rumah sakit, gampangkan?" katanya acuh.
Kugeplak kepalanya dengan kejengkelan luar biasa, mataku mendelik tidak terima.
"Apa? Benarkan? Kalo sakit ya bawa ke rumah sakit, bukan ke dukun."
Aku berdesis jengkel, bicara dengan manusia sepertinya memang susah, mungkin IQ-nya sudah tiarap. Ini bukan masalah kalo sakit di bawa ke rumah sakit, tapi masalah ke higeinis-an makanan itu.
Sekarang itu manusia gampang terkena penyakit karena pola hidup mereka yang terlalu menggampangkan kesehatan tubuh dan ke higienis-an suatu makanan.
"Udah deh, loe gak usah rempong, gua dari dulu makan di sini gak kenapa-kenapa kok," lanjutnya dengan tampang sebal.
Aku berdecak jengkel.
"Mau pesen apa, Mbak-Mas?" Tanya mas-mas yang jual makanan.
Aku hanya diam saja tidak menyahut, membiarkan Rudolf memesankan makanan untukku, entah apapun makanan yang dia pesan aku hanya pasrah, nanti kalau sakit perut cukup bunuh pria di sampingku, dan semuanya beres.
"Ayam bakar dua ya mas, yang dada jangan paha. Minumnya es jeruk manis 2."
Si mas-mas penjual makanan tersenyum menyagupi dan mulai berbicara dengan rekannya.
Mataku menatap sekeliling warung yang ramai. Banyak orang yang berkunjung ke warung ini, ada yang duduk lesehan, ada yang duduk di bangku sepertiku dan Rudolf, kebanyakan dari mereka anak mahasiswi yang sedang berkumpul.
Jujur, ini adalah pertama kali aku memakan makanan di warung seperti ini, kalau dulu nenek selalu memasakkan makanan untukku kalau papa sibuk kerja di kantor, dan setelah papa nikah sama mama, mama yang selalu memasak, kalaupun mama lagi sakit, papa pasti pesen makanan di café. Jadi ini adalah pengalaman pertamaku makan di warung seperti ini.
Mataku melirik Rudolf yang asik dengan hp-nya. Kuhela nafas kesal, aku lupa membawa handphone, handphoneku tertinggal di rumah waktu menonton TV tadi, dan sekarang aku seperti orang asing yang terdampar di planet lain. Semuanya terasa asing dan aneh.
Mataku memindai ke samping kanan, di tempat mas-mas sedang membakar, entah ayam entah bebek entah burung, aku tidak punya bakat untuk bisa mengenali mereka saat sudah di potong seperti itu.
Pikiranku melayang ke beberapa tahun lalu, tepatnya saat untuk pertama kali papa mengajakku pindah ke rumah setelah bosan bertapa di apartement.
Saat itu juga pertama kalinya aku melihat Rudolf yang sedang mengintip di balik pagar rumahnya, menatap kami dengan wajah penasaran sebelum akhirnya memberanikan diri untuk berkenalan denganku .
Dulu Rudolf sangat menggemaskan, dia teman pertamaku saat baru pindah rumah, dia yang mengenalkanku dengan lingkungan sekitar kompleks, dengan anak-anak sebaya kami. Rudolf dulu sangat baik dan menyenangkan ketika di ajak bermain, namun entah kerasukan jin mana yang membuat Rudolf menjadi playboy seperti sekarang ini.
Aku ingat waktu itu, waktu kami duduk di bangku kelas 2 SMP, aku sibuk dengan bimbel dan Rudolf entah sibuk apa, tepat malam minggu, waktu aku berniat bolos bimbel dan ingin mengajak Rudolf bermain dia mengadu sama mama kalau aku bolos bimbel, dan sukses aku kena marah, uang jajanku di potong setengah selama 3 bulan. Sejak saat itu aku menjauh darinya, biar dia tau aku marah.
Tapi sejak saat itu juga Rudolf tingkahnya makin menyebalkan mengerjaiku tanpa pandang bulu. Membuang baju olahragaku di kolam renang, menaruh tasku di pohon, merusak buku PR yang akan di kumpulkan. Dan masih terlalu banyak kelakuan Rudolf yang semakin membuatku muak setengah hidup.
Mengingat masalalu membuatku ingin membunuhnya detik ini juga. Kalau saja membunuh itu legal sudah ku potong-potong tubuhnya dan di kirim ke rumah sumanto.
"Mukanya gak usah nyeremin juga kali, It. Kayak psikopat habis kabur dari rumah sakit jiwa aja."
Aku mendengus jengkel, kalau saja dia tau apa yang sedang kupikir saat ini aku yakin kalau dia akan memilih kabur kerumah dan insaf.
"Suka-suka gua." Jawabku ketus.
Dia tersenyum kecil dan mencubit pipiku.
Kugeplak tangannya yang main nyubit seenaknya.
"Jangan galak-galak nanti cepet tua," dia berbicara sambil terkekeh geli.
Aku mencebik kesal, mengabaikan guyonan garingnya.
"Ayam bakar?" Tanya mas-mas yang tadi menanyai kami bukan, Rudolf maksudnya.
Rudolf mengangguk semangat. Perutku tiba-tiba keroncongan mencium bau harum ayam bakar di hadapanku. Baunya membuatku ingin langsung memakanya. Pikiran tentang ke higinis-an beberapa saat lalu tiba-tiba menguap di telan bau harum ayam bakar di hadapanku.
Tanpa menunggu lama, ku cuci tanganku di wadah yang sudah di siapkan dan mulai memakan.
Rasa yang tertanam di lidah tidak bisa untuk di jelaskan. Ini rasanya luar biasa enak, ada manis dan pedes, dua-duanya tidak ada yang mendominasi, rasanya pas dan memanjakan indra prasaku.
Aku pernah kok memakan ayam bakar sebelumnya, tapi tidak senikmat ini, rasanya jadi berkali-kali lipat enaknya di banding ayam bakar bawaan ayah beberapa minggu kemaren. Aku sudah tidak perduli tentang makanan ini higienis atau tidak, tentang nanti aku sakit perut atau tidak, tentang apapun. Yang ada sekarang hanya ingin memakan ayam bakar super nikmat ini. Aku bahkan rela membeli satu warung sekarang juga. Terdengar hiperbolis memang, tapi itu yang kurasakan saat ini.
.
Perutku kenyang, senyumku merekah sempurna, tempat makan ini akan menjadi warung makan favorite-ku sekarang.
Mataku melirik seseorang yang sejak tadi menatapku dengan geli. Aku mencebik dan membiarkannya semakin melebarkan tawanya. Dia memang menyebalkan.
"Siapa ya tadi orang yang mandang jijik tempat ini?"
Aku cemberut mendengarnya. Tapi ogah untuk mengakui, rasa egoku terlalu besar untuk mengakui hal itu.
"Prasaan tadi ada deh cewek yang masih kesal di ajak ke sini, katanya takut sakit perut. Sekarang dia kemana? Kok gak ada?!"
Aku jengkel setengah hidup. Kubalikkan tubuhku dan menatapnya keki. Rudolf semakin terbahak, seolah aku ini badut yang sedang bereaksi.
"Okay, fine. Gua ngaku. Terus mau loe apa?"
Dan Rudolf semakin tertawa kencang, tawa membahana yang membuatku ingin mengulitinya saat ini juga.
Rudolf berjalan di depanku, mengambil helm-nya dan memakaikannya untukku. Mataku melirik beberapa orang yang sedang memperhatikan kita dengan pandangan berbeda. Aku mendengus. Rudolf selalu saja menyita perhatian!.
"Ada saatnya loe harus berjalan keluar dari zona nyaman loe, It."
Keningku berkerut gagal paham. Rudolf menjitak kepalaku yang sudah memakai helm. Mataku mendelik kesal.
"Gak selamanya kan loe bergantung sama kekayaan bokap loe, ada masanya loe berada di bawah."
Aku semakin kurang paham dengan apa yang dia ucapkan.
Rudolf menghela nafas, mencoba bersabar. "Om Bagas gak selamanya hidup, dan loe juga gak selamanya Kaya, jadi jangan terlalu terlena sama harta bokap loe."
Aku merengut keki. "Loe nyumpahin bokap gua mati dan gua jadi miskin gitu?"
"Astaga, Ita. Otak loe jongkok ya? Masak omongan gua yang kayak gini aja gak loe pahami?" dia teriak kesal.
Aku mencebik kesal.
"Terserah loe lah, It, gua pasrah sama jalan otak loe yang udah loncat."
Kutendang kaki keringnya kesal. Dia menjerit kesakitan, matanya melotot tidak terima, aku juga melotot tidak terima, enak saja bilang otakku loncat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top