AAM 03 || Rudolf Si Plyboy Katak.
Pagi ini suasana di kampus terasa berbeda. Aku bukan orang yang mudah membaca suasana, tapi hari ini memang terasa berbeda. Aku merasa di telanjangi bulat-bulat oleh semua anak di fakultasku. Mereka melakukannya secara terang-terangan. Berbisik sambil menunjukku, itu yang membuatku yakin kalau mereka memang sedang membicarakanku.
Sebetulnya aku tidak perduli dengan tingkah anak di kampus, toh selama ini juga aku tidak terlalu peduli dengan mereka, dan entah kenapa hari ini aku benar-benar terusik, mereka bukan menelanjangiku secara harfiah, tapi juga ingin membunuhku. Dimanapun aku melangkah, selalu ada mahluk yang ingin memakanku mentah-mentah.
Ku gelengkan kepala, mencoba berpikir logis, mereka tidak mungkin seperti itu, itu hanya prasaanku saja. Aku bukan cewek popular di kampus, aku juga bukan cewek cerdas yang mendapat beasiswa. Wajahku biasa saja, kata orang manis, tapi aku bukan gula! Jadi aku tidak manis. Hidungku pas-pasan, sama seperti mataku. Bingung? Aku juga bingung. Tinggi badanku cukup lumayan, 170 cm, lumayan tinggi untuk orang indo. Dan kulitku kuning langsat khas orang jawa. Nothink special about me. Semuanya standart.
Selama dua tahun aku kuliah, tidak pernah ada yang memandangku, mereka mengenalku saja mungkin tidak. Why? Karena aku kurang pandai bergaul, sahabatku bisa di hitung pakai jari. Mereka masih betah di dekatku saja itu hal yang cukup mengagetkan.
Kata orang, omonganku sarkas, suka bertindak semaunya, ceroboh. Dan yang paling menonjol, moody-anku yang tidak bisa terkontrol. Aneh kan? Ya, aku memang aneh. Mama saja selalu marah-marah kalau aku di rumah, katanya aku selalu ngancurin apapun yang ada di dekatku. Sedikit lebay memang. Tapi yah, itulah mamaku.
"Ita!!" panggil suara yang kuhapal dengan cempreng. Dua orang yang mempunyai suara cempreng di sekitarku, kalau bukan Joana ya Jeana. Mereka kembar, tapi wajah mereka tidak ada kembar-nya sama sekali. Kata mereka itu Fraternal. Jika aku menjelaskan apa itu Fraternal bisa satu buku hanya untuk membahas hal ini.
Aku menoleh kesamping, melihat siapa yang memanggilku, Jeje, atau Jeana si biang rusuh yang entah kenapa kita bisa bersahabat, padahal sifat kita bertolak belakang. Jauh di belakang. Kalau di ibaratkan transportasi, Jeje itu kereta brisik, dan aku speda ontel. Perumpamaan yang menyebalkan.
"Hm," sahutku acuh dan kembali berjalan.
"Loe beneran pacaran sama Rudolf?"
Kakiku sontak berhenti, kepalaku menoleh kearah Jeje bingung, prasaan aku belum memberitahu dia tentang ini. Apa Sinta? Tapi Sinta mulutnya tidak pernah bocor kok selama ini, dia amanah orangnya. Tapi kalau bukan Sinta, siapa? Gak mungkin Rudolf-kan yang ngasih tau?.
Jeje masih menatapku penasaran, keningnya berkerutan seolah tidak mengerti, tatapan matanya menandakan hal yang aneh, hal yang tidak aku mengerti apa itu.
"Loe tau darimana?" sadar kalau Jeje itu bukan Sinta yang mudah menebak jalan pikiran orang, aku memilih menyuarakan apa yang ada di otak.
"Anak-anak pada gossip." Jawabnya acuh sambil menjuding kebelakang, "Jadi itu bener, Ta? Kok bisa? Bukannya loe gak suka sama Rudolf? Loe bilang loe sebel sama dia, terus kenapa loe jadian sama dia?" runtutan pertanyaan Jeje membuatku menghela nafas.
"Satu-satu, Je." Kataku acuh dan kembali berjalan.
Jeana menggelengkan kepala, raut wajahnya menunjukan ketidak puasan. "Jawab yang mana aja dulu, yang penting JAWAB!" katanya memaksa dan menekan di akhir kalimat.
Aku menghela nafas. Terserahlah. "Iya."
Mataku melirik kearah Jeje yang sedang mengerutkan kening, matanya menatapku menuntut.
"Kok bisa?"
"Kenapa gak bisa?"
"Bukannya loe bilang benci sama Rudolf?"
"Bukannya loe sendiri yang bilang, kalau benci bisa jadi Cinta?"
Jeje menggeram. "Jawab yang bener, kek! Daritadi bolak-balikkin omongan gua aja!" katanya sewot.
"Ini udah bener, elah." Sahutku malas.
"Seriusan?" tanyanya masih tidak percaya.
Kuhela nafas, mencoba untuk lebih sabar. "Hm,"
"Gak boong?"
"Heem,"
"Berani mandul?"
Mataku melirik ganas. "Iya, Je. Iya. Gua pacaran sama Rudolf." Sahutku jengkel, mataku melotot kesal.
Jeje meringis, kedua tangannya terangkat membentuk huruf V.
Dan aku kembali berjalan, Jeje masih mengikutiku di samping. Selama beberapa detik entah menit hening. Jeje masih berpikir dengan pola pikirnya yang ruwet dan ajaib bin amaizing.
Beberapa kali bibirnya komat-kamit entah apa, sesekali kepalanya menggeleng dan setelah itu menghela nafas kesal, dan begitu terus. Aku sampe jengah.
"Hay, Ta, Je." Jojo menyapa di samping pintu kelas B. Ing, kembaran Jeje yang tidak identic. Keningnya mengkerut melihat kelakuan abnormal saudaranya.
Matanya melirik kearahku, seolah memberi kode, Jeje kenapa? Yang kubalas angkatan bahu malas. Jojo kembali melihat adik kembarnya dan ikut mengangkat bahu tidak perduli.
Sekarang aku di apit dua saudara cerewet. Kita berjalan menuju satu kesatuan, yaitu Kantin, dimana kita bisa memanjakan para cacing yang sudah demo untuk menurunkan makanan dari tenggorokan.
Selama dalam perjalanan, banyak anak yang menatapku tidak suka, aura permusuhan sangat terasa di tubuh mereka. Tidak tahan lagi dengan tingkah mereka, aku lebih memilih bertanya sama Jojo, karena dia ratu gossip di kampus, gossip apapun selalu dia tau.
"Loe tau tentang gue, Jo?"
Jojo menatapku dengan alis naik terangkat satu, dengan senyum yang menyebalkan. Seolah dia sudah menebak kalau aku akan bertanya tentang hal ini.
"Tau."
"Apa?"
"Loe pacaran sama Rudolf."
Gotcha. Dia benar ratu gossip yang menyebalkan.
"Terus?"
Alisnya menyatu. "Maksudnya terus?"
"Loe tau siapa yang yebarin?"
"Tau dong."
"SIAPA?!" itu bukan aku yang nanya, si bakpia Jeje yang main seenaknya berteriak tepat di depan mukaku.
Ku kipaskan tanganku di depan hidung. Bau pete langsung membuat ku tidak bernapsu untuk makan. Mataku mendelik kearah Jeje, orang yang di pandang sama sekali tidak perduli. Gila!.
Jojo terkekeh, "Si Ambar," keningku mengkerut mendengar nama salah satu mantan Rudolf di sebut. "katanya sih, dia ngeliat loe sama Rudolf mesra-mesraan di Café." Jojo menatapku geli.
Mesra gundulmu*1. Ingin aku berkata seperti itu, namun percuma, toh orangnya tidak di depanku.
"Kayaknya dia masih cinta deh sama Rudolf. Tadi waktu dia cerita gitu, sambil ngejelek-jelekin loe gitu."
"Biarin lah. Emang apa peduliku." Sahutku cuek.
Jeje dan Jojo menatapku sanksi. Seolah protes tanpa kata, aku hanya tersenyum tipis. Lagi malas untuk bicara, masih ingatkan patah hatiku kemaren? Dan aku masih malas untuk melakukan apapun.
.
Lagu penyanyi kondang yang sudah go internasional berkumandang di headphone yang sedang ku pakai. Ada beberapa bait kata yang aku suka.
Karena 'ku sanggup,
walau 'ku tak mau,
berdiri sendiri tanpamu.
Aku mau kau tak usah ragu,
Tinggalkan aku,
Ohh kalau memang harus begitu.
Liriknya langsung ngena di hati.
Aku tersenyum pedih. Itu memang kenyataanya. Aku sanggup kok berdiri tanpa dia, tapi sulit untuk melupakan dia begitu saja. Dia di hidupku bertahun-tahun, prasaan ini tumbuh bertahun-tahun pula, dan akan sangat susah untuk melapasnya. Mungkin ini yang di namakan, sakit tapi tidak berdarah.
Mau menangis juga percuma, mau teriak juga tidak penting. Entah aku harus bagaimana? Rudolf orang yang aku inginkan untuk menghilangkan prasaan menjijikan ini malah sedang asyik bermesraan dengan cewek lain. Laura –salah satu mantan dia-.
Kepalaku berdenyut sakit. Rudolf kampret. Playboy Katak, aku memang salah milih orang.
Angin meniup rambutku yang terurai, membuatnya berkibaran seperti bendera di hari senin. Mataku memandang lurus ke bawah, menatap Playboy katak yang sedang asyik cekikikan di bawah sana, beberapa mantannya ada sana.
Maunya manusia kampret itu apa? Nembak aku terus mesraan sama cewek lain? Jangan berpikir aku cemburu! No, aku tidak cemburu sama sekali, aku hanya kesal dengan tingkah laku dia yang sok tampan dan rupawan. Wajah mirip katak kok bangga!.
Tiba-tiba kepalanya menengadah kearah ku, tangannya melambai dengan riang, senyumnya masih terukir manis di sana. Aku mendengus dan mencebik, membalikkan tubuh, menyenderkan punggung di pembatas rooftop, memainkan gadget di tangan, menggonta-ganti lagu, mencari lagu yang pas, lagu yang ingin ku dengar.
Jemariku berhenti bergerak, dan mengklik lagu dari band ke sukaan. Lagu yang sangat pas untuk menggambarkan hati ku sekarang. Berhenti berharap. Dan yah, aku berhenti berahap sekarang. Benar-benar berhenti.
Aku tak percaya lagi
Dengan apa yang kau beri
Aku terdampar di sini
Tersudut menunggu mati
Aku tak percaya lagi
Akan guna matahari
Yang dulu mampu terangi
Sudut gelap hati ini
Aku berhenti berharap
Dan menunggu datang gelap
Sampai nanti suatu saat
Tak ada cinta kudapat
Kenapa ada derita
Bila bahagia tercipta
Kenapa ada sang hitam
Bila putih menyenangkan...
Aku pulang...
Tanpa dendam
Kuterima... kekalahanku
Aku pulang...
Tanpa dendam
Kusalutkan... kemenanganmu
Kau ajarkan aku bahagia
Kau ajarkan aku derita
Kau tunjukkan aku bahagia
Kau tunjukkan aku derita
Kau berikan aku bahagia
Kau berikan aku derita
Rebahkan kalbumu...
Lepaskan perlahan...
Kau akan mengerti...
Semua...
Aku berhenti berharap
Dan menunggu datang gelap
Sampai nanti suatu saat
Tak ada cinta kudapat
Dan mungkin itu memang benar, sampai kapanpun aku tidak akan pernah mendapatkan yang namanya cinta. Ini terasa sulit, sangat sulit. Kenapa aku harus mencintai om-ku sendiri? Orang yang usianya berbeda jauh dengan ku. Tuhan. Kata mereka cinta tidak pernah salah, tapi kenapa sekarang aku merasa, kalau cintaku salah? Kalau cintaku ini hanya membawa derita.
Aku lelah, aku lelah untuk menangisi hal menye seperti ini. Dulu aku terus-terusan menangis saat om Andre menikah, dan aku juga menangis saat istri om Andre hamil, dan aku terus menerus menangis, menangis sendirian, tanpa ada orang yang tau. Ini menyakitkan, sangat menyakitkan. Selama ini aku bertahan sendiri, menangis sendiri, dan kalah sendiri.
Kuhela nafas berat. Kepalaku menunduk, kedua tanganku menangkup wajah. Aku harus bagaimana? Pacaran dengan Rudolf juga percuma. Manusia katak bercula lima belas itu asyik sendiri di sana. Asyik gombal dan cekikikan. Aku sendirian di sini, tanpa ada yang tau apapun.
Kuangkat kepalaku, inginnya menatap awan di atas sana yang sedang mendung, namun terhenti saat kulihat Rudolf sedang menatapku dengan aneh.
Alisku terangkat, ada apa dengannya? Dan sejak kapan dia di sini? Bukannya dia tadi di bawah?. Kepalaku menoleh kebawah, tepatnya lapangan yang tadi di buat main basket sama Rudolf dan temannya.
Aku semakin tidak mengerti, Erwin dan yang lainnya masih di sana, mantan-mantannya juga masih di sana, kenapa dia ada di sini?.
"Ngapain loe di sini?" tanyaku menurunkan headphone ke leher, membuatnya menggantung indah di sana.
"Salah kalau gua nyamperin cewek gua sendiri?" tanyanya melangkah mendekat.
Aku mencebik. Cewek katanya?.
"Bukannya loe tadi mesra-mesraan sama para mantan di bawah?"
Rudolf mendengus meremehkan. "Loe emang cewek paling gak peka."
Kuputar kedua bola mataku malas. "Terimakasih pujiaanya." Sahutku cuek. Apa sambungnya sama dia ke sini dan peka?. Entahlah.
Tangannya mencubit pipiku kencang yang membuatku mengaduh secara spontan. Mataku mendelik jengkel dan menggeplak tangannya kencang. Dia pikir tidak sakit apa? Seenaknya aja main nyubit.
Rudolf terkekeh dan berdiri di sampingku, punggungnya menempel pembatas rooftop dengan mata yang masih menatapku geli.
"Kenapa loe tiba-tiba nembak gua kemaren?"
Keningku mengkerut. "Nembak? Gua nerima loe bukan nembak." Koreksiku dongkol.
Rudolf menggelengkan kepalanya geli. "Bagi gua nembak."
Aku mendengus jengkel. Percuma bicara sama manusia katak bercula lima belas kayak dia.
"Seharusnya loe beruntung gua mau sama loe."
Mulutku menganga dengan tidak elit. Apa katanya? Beruntung? Beruntung pantatku?.
"Loe yang beruntung dapetin gua, kalo gua buntung dapetin loe. Dasar playboy katak!" makiku jengkel.
Rudolf terkekeh. Bagian mananya yang lucu? Apa kata-kataku barusan itu seperti lawakan? Dia memang sudah gila. Kalau orang lain akan sebal tapi dia? Halah! Dia memang sudah gila!.
"Kenapa playboy katak? Gak ada reptile lain yang lebih keren apa? Buaya, harimau, singa, elang. Atau apapun itu, kenapa katak?"
"Seluruh orang di muka bumi ini juga tau, kalo loe itu kayak katak!" makiku makin sinis.
Rudolf kembali terkekeh. Dia positive gila. Lama-lama ngeri juga deketan sama manusia seperti ini.
"Apanya yang mirip sih? Gantengan juga gua."
"Narsis!" makiku makin jadi. Dan dia kembali terkekeh. "Loe itu kayak katak, sukanya loncat-loncat. Kalo katak loncat di daratan, kalo loe loncat di hati orang."
Dan dia tertawa. Tertawa saudara-saudara. Bagian mana yang lucu dari perkataanku? Woi! Anda waras?.
"Kalo gitu kenapa gak kelinci aja?"
"Kelinci terlalu bagus."
"Kanguru?"
"Emangnya loe punya kantong buat bawa anak loe nanti?"
Dan dia tertawa lagi. Okay, aku berasa jadi badut sekarang. Sesarkas apapun aku bicara, dia akan tetap menertawakannya. Dia punya selera humor yang horror.
"Aku emang gak punya kantong itu, tapi nanti aku bisa pinjem di mama."
"Hah?!"
"Selendang*2 yang dulu buat gendong Fahmi waktu masih kecil."
"Sakarepmu*3."
Percuma debat sama dia, tidak ada untungnya, yang ada makin jengkel.
Ku tolehkan kepala ke samping, melihat Rudolf yang sedang menengadah –menatap langit. Biarkan dia dengan dunianya sendiri.
Kembali ku pasang headphone di telinga dan mulai memilih lagu.
"Loe gak pernah penasaran sama sekitar loe, Ta?"
Jariku yang ingin meng klik salah satu lagi di playlist terhenti. Entah kenapa niat ingin memutar lagu sirna seketika.
Membiarkan headphone masih menempel. "Apa yang mau di penasarin?" ku lirik dia yang masih menatap gumpalan putih di atas.
"Apapun."
Aku ikut menatap langit di atas sana, memikirkan apa yang dikatakan Rudolf.
"Itu gak penting kan?"
Dia tersenyum pongah. Matanya melirik kearahku. "Itu penting."
Alisku terangkat mendengarnya. "Pentingnya?'
"Kamu bisa tau ada dunia lain selain dunia kamu sendiri."
Ku hela nafas berat. Dia tidak sedang berbicara ghoib kok, tenang.
"Dunia mereka ya mereka. Dunia gua ya gua."
Rudolf mengangguk seolah mengiyakan, tapi aku tau, dia sedang mengejek.
"Itu emang bener. Tapi gak salahkan kalau kamu ikut meneliti sekitar? Kamu gak akan tau seberapa indahnya dunia ini kalau gak di nikmarin."
"Kayak rokok?" tanyaku ngawur*4.
"Emangnya kamu pernah ngerokok?"
"Enggak."
"Terus, kenapa bisa ngomong gitu?"
"Banyak Orang di sosmed ngomong gitu."
Kepalanya menggeleng dengan senyuman geli. "Hidup itu jangan di somed. Di dunia nyata, Ta."
"Gua hidup di dua dunia."
Dia tertawa mendengarnya, tangannya mengacak rambutku yang berantakan. "Kenapa loe gemesin banget sih, Ta?"
Aku merasa aneh sekarang. Sejak kapan dia suka muji aku? Dan sejak kapan dia pakai bahasa aku - kamu? Sejak kapan juga dia main lembut? Biasanya juga suka noyor dan geplak*4 kepalaku sesukanya.
"Loe kerasukan jin, ya?" tanyaku dan menggeplak tangannya yang masih mengacak rambutku. Aku merasa asing sekarang, Rudolf seperti bukan Rudolf yang ku kenal, dia seperti orang lain.
"Aku kerasukan cinta kamu, Ta."
"Jijik." Seruku heboh, sedikit menjauh dari Rudolf yang semakin gila.
"Kok jijik, sih? So sweet dong."
Tubuhku bergidig ngeri mendengarnya. "Sosweet dari hongkong."
"Bukan dari hongkong, tapi dari hati ku yang hanya untuk mu."
"Iyyuh..." seruku semakin jijik. "Gak usah gombal deh loe, gak mempan sama gua."
Rudolf tertawa kencang. Dia memang sarap.
*1. Bisa di artikan kepala. Gundul itu kepala yang botak. Kata-kata makian.
*2. Selendang, kain yang di pakai untuk menggendong anak kecil. Di sini kain yang di maksud, selendang depan, yang biasa di pakai ibu-ibu saat naik motor bawa anak.
*3. Terserah kamu.
*4. Sembarangan atau asal-asalan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top