AAM 02 | Sifat Nyebelinnya

"Ta, gua gak salah dengerkan tadi? Loe bilang, loe jadian sama Rudolf? Orang yang sering jailin loe? Orang yang selalu bikin loe naik darah? Orang yang selalu loe mak---"

"Iya," potongku cepat, tidak ingin mendengar apapun lagi.

Sinta –sahabat sejak kecil, yang setia dengan poni dora, rambut dark brown sepunggung lebih yang selalu di curly, dengan mata sedikit lebar, hidung mungil, kulit kuning langsat- menghela nafas lelah, matanya menatapku tajam yang kuhindari. Aku tau arti tatapan itu, aku tau dia ingin tau lebih banyak kenapa aku bisa menerima cinta Rudolf, padahal kemaren aku menolak pemuda itu mentah-mentah, dan sekarang aku bercerita kalau aku sudah jadian sama Rudolf, orang yang selalu menjailiku, mengusiliku sampai aku menangis, orang yang selalu memperlakukanku semena-mena, orang yang kubenci sepenuh hati, kini aku berpacaran dengannnya. Wow, betapa indahnya dunia.

Kuhempaskan tubuhku di ranjang Sinta, menatap langit-langit kamar Sinta hampa. Aku hanya bisa berharap, semoga keputusanku kemaren benar.

"Gua tau ada yang loe sembunyiin dari gua, Ta. Loe gak mungkin nerima Rudolf gitu aja, secara ini Rudolf loeh, Rudolf! Orang yang selalu jailin loe. Kalo loe nerima cinta kak Fauzan, mungkin gua bakal percaya gitu aja, tapi ini permasalahannya Rudolf! Cowok sarap yang selalu jailin loe, dari SD sampe kuliah. Apa loe ke sambet setannya Suzana?!"

Aku terkekeh mendengar perkataan Sinta, memiringkan tubuh, menatap Sinta yang masih menatapku dengan heran.

"Gua gak lagi ke sambet sentannya Suzana atau si manis jembatan ancol. Gua sadar se sadarnya waktu nerima cinta Rudolf." Kataku geli. Kembali menelentangkan tubuh.

"Rudolf kan Playboy, loe paling anti sama cowok Playboy bukan? Trus kenapa loe malah nerima dia?" tanya Sinta yang masih terlihat tidak rela aku jadian sama manusia bercula lima belas itu.

Getaran di ponselku mengintrupsi jawaban yang ingin kuberi sama Sinta, meraih handpohone yang tergeletak begitu saja di nakas Sinta, membuka pesan yang ternyata dari Rudolf.

'Gua jemput sekarang, gua udah pulang dari rumah Ranti.'

Kepalaku menoleh dan tersenyum manis, duduk di ranjang king sizenya yang ber seprai hello kitty.

"Sori ya, gua harus balik sekarang, Rudolf udah pulang dari rumah Ranti." Kataku berdiri, berjalan menghampiri rancel yang tergantung di kamar Sinta.

"TUHKAANN!!" teriaknya heboh.

Aku terkekeh, mencangklongkan rancel di kedua pundakku.

"Dia udah pacaran sama loe aja masih deket-deket sama tuh nenek sihir satu yang notabandnya mantan tersayang dia. Loe yakin mampu ngejalanin hubungan yang absurd kayak gini? Please deh Ta, loe itu satu-satunya sahabat yang gua punya, gua gak mau lihat loe nangis bombay karena cowok sarap satu itu." Kata Sinta berjalan ke arahku, mengguncang tubuhku, se olah ingin menyadarkanku yang lagi kerasukan setan.

"Gak usah lebay juga kali Sin, se jahat-jahatnya Rudolf, dia gak mampu liat gua nangis. Loe inget? Dulu dia sering jailin gua sampe gua nangis, tapi dia juga yang nenangin gua kan? Loe tenang aja deh, ini jalan yang terbaik dari jalan terbaik lainnya." Kataku menyakinkan, menepuk kedua pundaknya beberapa kali dan melenggang pergi dengan senyuman manis.

Sinta tidak perlu tau ke napa aku menerima Rudolf, dia tidak perlu tau cinta terlarang ku yang menjijikan. cukup aku, tuhan dan om Andre yang tau. jangan sampe ada orang tau lagi. kalau itu sampai terjadi, aku tidak tau mau taruh mana mukaku ini.

"Siang Nte, aku pulang dulu ya Nte," pamitku pada perempuan paruh baya yang sedang berkecimpung di dapur. Rambut hitam bergelombangnya di ikat tinggi-tinggi, wajah bulat dan mata sedikit besar mirip Sinta tersenyum tipis.

"Kamu gak makan siang di sini aja Ta? Biasanya juga makan di sini kan?" tanya tante Nadia lembut.

"Dia udah di jemput sama sang pacar tersayang," kata Sinta mengintrupsi bibirku yang ingin menjawab perkataan tante Nadia. Aku hanya tersenyum tipis mendengar nada sebal keluar dari bibir Sinta.

"Loh? Kamu udah punya pacar?" tanya tante Nadia terlihat shock mendengar perkataan Sinta. Maklum sih, aku kan dulu selalu bilang tidak mau pacaran sebelum lulus kuliah, saat di tanya kenapa tidak punya pacar. Padahal alasanku dulu tidak mau pacaran karena aku mencintai omku. Mengenaskan.

"Emh, Iya tan. aku permisi bentar ya, kayaknya dia udah nyampe," kataku sopan, menundukan kepala, tersenyum manis dan melenggang pergi.

Sinta berdecak jengkel. langkah kakinya terdengar mengikutiku. Aku tau dia khawatir, aku tau dia cemas akan pilihanku, apalagi aku tidak mengatakan apapun selain berucap 'aku pacaran sama Rudolf' saat dia kebingungan melihatku turun dari boncengan motor Rudolf tadi pagi di pelataran rumahnya.

"Kapanpun loe ingin cerita tentang ini, gua siap dengerin kok Ta. gua tau loe nerima Rudolf pasti ada hal yang mengharuskan loe pacaran sama dia kan?" kata Sinta merangkul pundakku, menatapku dengan pandangan yang entah apa.

Aku tersenyum manis, merangkul pundaknya. "Iya, gua tau kok kemana gua harus berkeluh kesah," kataku lengkap dengan senyuman manis.

Sinta membalas senyumanku tak kalah manis. "Yup, gua selalu sedia jadi tong sampah buat loe." Ucapnya. Aku terkekeh mendengar perkataanya, menoyor kepalanya yang membuatnya ikut terkekeh, terus berjalan keluar rumah.

Dan benar saja Rudolf sudah nangkring di atas motornya, helm yang sudah kuhapal masih terpakai di kepalanya.

"Gua balik ya, Sin. Salam buat kak Juna dan Om, bye." Pamitku berlari kecil ke arah Rudolf, mengambil helm yang di sodorkan Rudolf, memakainya dan duduk manis di jok belakang. Melambai sebelum motor Rudolf berlalu dari pelataran rumah Sinta.

"Gua laper, kita mampir ke kafe biasa aja dulu ya?" sayup-sayup aku mendengar perkataan Rudolf di antara suara debum dari motornya.

"Gua ngikut aja," jawabku berteriak, tanganku yang tadi memegangi kedua sisi jaket Rudolf kini berganti memeluknya erat. Pemuda di depanku melajukan motornya dengan kecepatan penuh, hatiku berdentum takut. takut kalau remnya tiba-tiba blong.

"Loe pengen mati yah?! Ati-ati dong bawa motornya! Rudolf sarap, pelanin motornya!" teriakku sebal, semakin mengeratkan pelukanku. Sungguh aku sangat takut, kalau jatuh gimana? Kalau nabrak gimana? Kalau di tangkap polisi gimana? Ini kan jalan raya, bukan sirkuit balap!.

Ciiittt

Tubuhku terdorong kedepan. Rudolf, cowok sarap itu tiba-tiba mengerem motornya begitu saja tanpa mengurangi kecepatan. Dasar sarap, sekali sarap pasti sarap.

Dengan cepat aku turun dari motornya, melepas helm yang kupakai dan memukulinya di tubuh Rudolf yang berteriak minta ampun.

"Lain kali kalo mau mati, mati aja sendiri! jangan ngajak-ngajak gua! Gua masih ingin hidup, ngejar cita-cita." Semburku ketus, menoyor kepalanya yang masih memakai helm.

"Sakit begok. Jadi cewek itu yang anggun dikit napa? Kayak Ranti tuh, kalem anggun, gak kayak loe yang bar-bar. Mana ada cowok yang mau sama loe." Katanya sebal, melepas helm yang di kenakan.

Kembali kulayangkan helm yang masih kupegang di tubuhnya, dia mengaduh, menggapai helm yang masih melayang di tubuhnya, menariknya paksa dan mengamankannya dariku.

Aku mendengus. "Gak ada yang mau juga gak papa. Lagian kalo masih cinta sama Ranti, ya balikan sana, bukan malah nembak gua. Dasar begok!" kataku sengit, menonyor kepalanya geram dan berlalu dari hadapannya, masuk kedalam kafe yang sering ku kunjungi.

"Mungkin kemaren gua lagi kerasukan jin Iprit, makanya nembak loe, bukan malah nembak Ranti, padahal rencana gua ingin nembak Ranti." Katanya begitu saja saat aku sedang berdiri, mengantri.

Kugeplak kepalanya sebal. "Yaudah, kita putus aja kalu gitu. Gampangkan?!" kataku sengit, bersidakap di depan dada, acuh.

Dia mendengus sebal, merangkul pundakku yang langsung ku geplak.

"Gak usah deket-deket, anggap aja gak kenal." Seruku sebal, menjauhinya.

Dia mendengus geli. Mendekapku erat, aku berteriak sebal, tidak perduli semua orang yang kini menatap kami dengan pandangan aneh.

"Gua bencanda kali, Ay. Gak usah sensi dong, kayak cewek aja."

"Gua emang cewek bodoh!" makiku sebal, kembali menggeplak kepalanya. Bukannya mengaduh dia malah terkekeh, dan kembali mendekapku erat.

Aku menghela nafas jengkel, membiarkannya melakukan sesuka hatinya, aku lagi malas berdebat, sejak kemaren moodku selalu buruk.

"Kita gak akan putus kalo bukan gua yang bilang putus. Dan itu artinya gak akan pernah terjadi." Katanya lembut, semakin memelukku erat.

Kuputar kedua bola mataku malas. Terserahlah. Sedangkan orang yang mendengar perkataanya tersenyum manis, ada yang menatapku iri –dan ini tentu saja dari para kaum hawa-.

Aku yang mendengarnya saja biasa saja, gak ada rasa senang sama sekali, benar-benar biasa saja.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top