5
Terkadang, apa yang kita harapkan tak seperti apa yang terjadi. Ketika seseorang serius mengajaknya menikah, Aisyah ragu hingga menolaknya. Ketika ia melabuhkan hati pada seseorang yang hatinya pilih, seseorang itu tak menganggapnya demikian.
Setelah cukup lama saling menyimpan nomor ponsel, tak ada tanda-tanda Hairil serius terhadap Aisyah. Gadis pemalu itu terlanjur melabuh harap pada Hairil. Bahkan ketika Iyan tak pernah lelah mengiriminya pesan setiap hari, tak ada satupun yang Aisyah buka.
Apakah ini sebuah karma bagi diri Aisyah? Benarkan ia terlalu pemilih, dan terlalu sombong dengan mencari pasangan yang lebih sempurna? Lalu, apakah dirinya telah benar-benar sempurna untuk mendampingi pria sesempurna Hairil?
Aisyah beristighfar di dalam hati. Ponsel yang sedari tadi dipegang, dilempar ke meja belajarnya begitu saja. Puluhan chat yang masuk, tak ada satupun yang gadis itu tanggapi. Pesan dari seseorang yang ia harapkan tak pernah lagi menyapanya sejak status memancing dua bulan lalu. Pria itu selalu aktif menyebar dakwah singkat di status WhatsApp, tapi tak pernah sekalipun menyapa gadis yang telah diberinya harapan.
Tak tetangga, tak Ibu, tak saudara, tak juga para guru di sekolah, mereka terus menerus mendesak Aisyah dengan pertanyaan, 'kapan nikah?'. Tentu saja pertanyaan yang semakin kerap terlontar di usianya yang akan beranjak ke angka 28 itu membuat Aisyah kian frustrasi.
Keesokan harinya, motor tua Aisyah bergerak pelan ketika memasuki area sekolah yang dipenuhi anak-anak didiknya. Ia cukup terlambat tiba di sekolah. Semalam ia tak dapat tidur karena terlalu bersedih. Motornya diparkirkan di parkiran sekolah. Beberapa siswa yang lewat, dengan sopan menyapa.
"Selamat pagi, Bu."
"Assalamu'alaikum, Bu."
Aisyah menanggapi dengan senyuman, lalu menjawab sapaan dan juga salam mereka dengan ramah. Tak heran jika para siswa itu begitu menyukai Aisyah, karena Aisyah adalah salah satu guru paling ramah di sekolah mereka.
Langkah kaki Aisyah seperti tengah diseret paksa. Tatapannya tampak kosong. Ia masuk ke ruang guru dengan kepala tertunduk dan mengucap salam begitu pelan. Beberapa guru yang menyadari perubahan wajah Aisyah, saling mengerutkan dahi. Bahkan Pak Azmi tak berani menggodanya seperti biasa.
"Bu Aisyah, hari ini jam masuknya cuman dua jam terakhir nanti, 'kan?" Begitu melihat Aisyah datang, Bu Emma bergegas mendatanginya. Tampak jelas terlihat jika Bu Emma sangat membutuhkan bantuannya sekarang.
"Iya, Bu. Nanti 2 jam terakhir saya baru masuk. Ada apa, Bu?"
"Nah, kebetulan. Kamu bantu saya bikin laporan, ya? Besok saya disuruh ke dinas, tapi saya masih belum handal mengoperasikan laptop. Mau nyuruh Irman, dia ke kabupaten hari ini."
Irman adalah operator sekolah mereka, tapi dikarenakan pria itu juga cukup sibuk dengan data sekolah, dirinya sering keteteran mengerjakan tugas lainnya. Kadang Bu Emma lebih sering menyuruh Aisyah dan diberi upah untuk jasanya.
"Oh, begitu. Nggak masalah, Bu. In Syaa Allah saya bisa bantu."
"Kalau begitu, ayo ke ruangan saya sekarang."
Bu Emma berbalik hendak ke ruangannya. Namun, beliau lupa akan satu hal. Beliau lantas berdiri di hadapan para guru, lantas berkata, "Bapak dan Ibu guru nggak lupa 'kan kalo hari ini kita kedatangan satu guru baru?"
"Oh, enggak doong." Pak Azmi menjawab lantang. Matanya melirik Aisyah yang tampak kebingungan. "Nggak usah bingung gitu, Aisyah. Hari ini kita kedatangan guru baru, kemarin kami rapat. Karena kamu kemarin izin, jadi kami rapat tanpa kamu."
"Iya, Bu Aisyah. Kami rapat dadakan juga. Soalnya kamu tau 'kan kalo udah seminggu ini guru olahraga kita kosong, karena Pak Bahtiar udah pensiun. Jadi, kami memutuskan untuk menerima seseorang yang pernah masukin lamaran ke sini dan menjadi guru olahraga menggantikan Pak Bahtiar." Bu Emma membantu menjelaskan. Oleh karena rapat dadakan mereka kemarin, beliau tak ingin Aisyah salah paham karena rapat tanpa dirinya.
"Ooh, begitu? Jadi, siapa yang akan menggantikan Pak Bahtiar? Dia belum datang?"
Pak Azmi dan guru lain hanya mengulum senyum, tak berniat memberitahunya.
"Nanti kamu akan tau siapa dia. Sekalian kenalan, ya?" Bu Emma menepuk pundaknya, lantas bergegas menyuruhnya masuk ke dalam ruangan beliau.
Terlalu fokus pada pekerjaan yang Bu Emma bebankan terhadapnya, Aisyah bahkan tak mendengar suara motor besar memasuki area sekolah. Seseorang yang menunggangi motor besar itu turun dari sana, lantas melangkah gagah menuju ruang guru. Beberapa siswa saling berbisik, "Dia guru olahraga kita yang baru, ya?"
"Assalamu'alaikum."
Para guru menoleh.
"Eh? Wa'alaikumsalaam. Guru baru, silakan masuuk." Pak Azmi mempersilakan dengan sangat ramah. Beliau tak dapat menyembunyikan cengirannya sembari melirik Aisyah di ruangan Bu Emma. "Saya yakin kalian emang berjodoh," bisik beliau pelan pada guru baru tersebut.
"Bu Emma, guru baru udah datang, nih." Pak Azmi memanggil Bu Emma di ruangannya.
Bu Emma menghentikan pekerjaannya sejenak. "Ayo, Bu Aisyah. Kita ke sana dulu."
"Iya, Bu. Nanti saya nyusul. Mau kelarin bagian ini dikit lagi."
Bu Emma mengangguk. Beliau kemudian keluar, membiarkan Aisyah menyusul nanti. Begitu tugas Aisyah selesai pada bagian yang dimaksud, gadis itu keluar untuk ikut bergabung menyambut kedatangan guru baru tersebut. Ketika mereka bertatapan, Aisyah mematung di tempat. Matanya melotot, tak percaya dengan apa yang ia lihat.
***
"Saya juga nggak ngerti kenapa dia masukin lamarannya ke sekolah ini kemarin. Padahal kalo diliat-liat, Hairil itu nggak butuh gaji honor buat menghidupi keluarganya. Dia itu termasuk pemuda sukses di usianya yang ke 33 tahun ini." Bu Emma bercerita pada Aisyah di ruangan beliau sembari mengerjakan laporan.
Satu hal yang Aisyah ketahui, bahwa ketika Hairil menemui Bu Emma 2 bulan lalu, ternyata dia mengajukan lamaran untuk mengajar pelajaran olahraga di sekolah mereka. Namun, karena ketika itu masa pensiun Pak Bahtiar belum habis, Bu Emma menyuruh Hairil menunggu. Dan hari ini dirinya benar-benar diterima sebagai guru honor bersyarat.
"Yang mendirikan minimarket di pasar itu dia sendiri loh, Syah. Keluarganya nggak bantu apa-apa. Awalnya ya cuma toko biasa, tapi makin lama usahanya itu semakin sukses. Jadi, dia mutusin buat membangun minimarket. Saya yakin minimarketnya itu akan berubah jadi supermarket. Udah gitu, dia juga loh yang megang operator sekolah Pak Wahsyi sama sekolahnya Pak Harun. Herannya saya, udah segitu sibuknya dia, dia masih mau masukin lamaran ke sini buat ngajar olahraga."
"Dia itu dulu kuliah di fakultas olahraga ya, Bu?" Aisyah tak dapat menyembunyikan ketertarikannya pada cerita Bu Emma tentang seorang Hairil.
Bu Emma mengangguk. "Saya liat ijazahnya dia, dia sarjana pendidikan penjaskes. Saya juga baru tau dia lulusan itu saat dia ngajuin lamaran. Selama kenal dia sebagai operator, saya pikir dia lulusan Politeknik yang menguasai IT gitu. Soalnya, kata sekolahnya dia, Hairil itu cakap dalam bidang IT. Nggak tau kalo ternyata dia cakap dalam bidang apapun." Bu Emma tak dapat menyembunyikan ketakjubannya terhadap pemuda 33 tahun tersebut.
"Pak Azmi kembali mencalonkan orang hebat buat guru muda jomblo di sekolah ini." Bu Emma melirik Aisyah sembari menahan senyum. "Beri kesempatan buat Hairil mendekati kamu, Syah. Sayang banget pemuda cakap kayak dia kamu sia-siakan. Pak Azmi itu nggak bohong soal akhlaknya. Tiap kali ada pertemuan yang memakan waktu seharian, dia orang pertama masuk ke musholla dan mengumandangkan adzan saat masuk waktu sholat. Kurang apa lagi coba? Kalo kamu masih nggak yakin, kamu bisa cari tau dari keluarganya di sebelah rumahmu. Masih nggak yakin? Minta petunjuk dari Allah. Saya yakin 100% kalo Hairil serius sama kamu, Syah."
Aisyah mendadak pusing. Saat ia diberi tugas untuk mengerjakan laporan kepala sekolah yang memusingkan itu, Bu Emma malah menambah rasa pusingnya untuk mempertimbangkan Hairil sebagai calonnya. Bu Emma tak tahu saja jika sedari awal Aisyah telah memiliki perasaan untuk pemuda itu. Ia bahkan bersedih semalaman dan tak dapat tidur nyenyak memikirkan Hairil yang tak juga menunjukkan keseriusannya terhadap hubungan mereka. Ia sempat meragukan Pak Azmi yang mengatakan bahwa Hairil memantapkan pilihannya untuk mendekati Aisyah. Hingga dua bulan lebih berlangsung, pria itu bahkan tak menunjukkan kemajuan apa pun.
Mendengar cerita dari Bu Emma, Aisyah kembali dibuat bimbang. Ia terus memikirkan perkataan beliau, hingga beberapa laporan yang tengah diketik terus saja keliru, dan Bu Emma hanya geleng-geleng kepala.
***
Kegiatan wajib seorang Hairil usai melaksanakan sholat subuh adalah olahraga. Di usianya yang ke 33 tahun ini dirinya tetap mempertahankan gaya hidup sehat. Di balik kaos olahraga yang dikenakan saat mengajar, tersimpan dada bidang enam kotak. Hairil tidak pernah menunjukkannya kepada siapa pun, selain istrinya kelak. Maka pagi itu, sekembalinya dari jogging di sekitar rumahnya, ia mendapati sang ibu tengah berdiri di depan pintu.
"Ibu?" handuk kecil yang Hairil gunakan untuk mengelap keringat, disangkutkan ke leher. Punggung tangan wanita baya itu dicium. "Ibu udah lama nunggu Hairil di sini?" Pintu utama rumahnya dibuka, lalu mempersilakan sang ibu masuk. Rantang yang beliau bawa, diambil Hairil guna meringankan beban bawaan beliau.
"Ibu baru aja datang. Tadi, kebetulan Bapak mau mancing ke sungai di ujung sana, jadi sekalian Ibu ikut buat mampir ke rumahmu." Wanita baya itu duduk di kursi ruang makan Hairil.
Mengamati seisi rumah sederhana terkesan modern hasil kerja keras sang putra membuat beliau sebagai ibu Hairil bangga. Hairil adalah satu-satunya putra di antara tiga putri yang beliau miliki. Semua putri beliau telah menikah. Hanya Hairil seorang yang masih betah melajang.
Beliau tak pernah mengungkit perihal calon istri pada Hairil karena beliau tahu bahwa putranya itu masih tak dapat mengobati lukanya setelah ditinggal menikah oleh sang tunangan. Pernikahan yang sudah terencana tahun depan, nyatanya gagal terlaksana. Para tetangga mulai bergunjing, ibu Hairil dan keluarga tak ingin ambil pusing. Beliau tahu, bahwa di balik kegagalan pernikahan Hairil, putranya itu akan mendapatkan calon istri yang lebih baik dari mantan tunangannya tersebut.
"Kamu nggak kesepian tinggal di rumah ini sendirian?"
Menanggapi pertanyaan sang ibu, Hairil tersenyum sembari mengaduk teh untuk tamu istimewanya tersebut. Teh yang selesai diseduh, diberikan pada beliau. "In Syaa Allah nggak lama lagi Hairil nggak akan kesepian, Bu."
Dahi wanita baya itu berkerut. Teh yang hendak diseruput, diletakkan kembali ke meja. "Nggak lama lagi? Kamu ... mau ngelamar seseorang?"
Hairil terkekeh. "Do'akan ya, Bu?" telapak tangan sang ibu digenggam. "Sebenarnya, nanti malam Hairil mau ke rumah Bapak sama Ibu. Hairil ingin membahas sesuatu yang penting."
"Apa itu?"
***
"Selamat ulang tahun, Bu Aisyaaaah ...."
Terkejut, sungguh.
Aisyah tak pernah menduga jika para siswa kelas enam itu memberinya sebuah kejutan luar biasa untuk dirinya. Pintu kelas yang awalnya tertutup rapat tak seperti biasanya itu, sempat membuat Aisyah mengerutkan dahi. Ia punya jadwal mengajar Pendidikan Agama Islam kelas 6 pada jam ke 4.
Begitu masuk, ia disambut dengan ucapan selamat dan juga sebuah kue ulang tahun. Ada sebuah lilin yang tertancap di tengah kue tersebut. Tak ada angka yang menyatakan berapa usia Aisyah di kue tersebut karena memang para siswa tak pernah tahu berapa usia Aisyah. Mereka hanya tahu bahwa guru Agama Islam tersayang mereka itu ulang tahun pada tanggal 21 november.
Siswa kelas 6A dengan kompak menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Mata Aisyah tampak berkaca-kaca. Bukan terharu karena kejutan ulang tahun tersebut, tapi tangis seperti tak rela usianya yang semakin bertambah. Semakin bertambahnya usia, semakin desakan untuk menikah membuatnya kian frustrasi. Kini, tepat tanggal 21 november usianya genap 28 tahun. Jika demikian, sudah dipastikan ibunya lebih cemas dibanding dirinya.
***
"Syah. Ganti pakaian tidurmu itu dengan pakaian yang lebih sopan."
Malam itu, Aisyah dibuat tak mengerti oleh sang ayah. Ayah yang ia kenal sebagai sosok tegas dan jarang bersuara itu kini tiba-tiba menyuruhnya mengganti pakaian. Tentunya, Aisyah merasa ada yang tengah ayahnya itu sembunyikan. Ketika Aisyah bertanya alasannya, pria baya itu hanya diam sembari membaca buku kultum.
Tak ingin membantah, Aisyah menuruti perintah sang ayah. Pakaian tidurnya diganti dengan gamis dan juga hijab sederhana. Ketika ia memasuki dapur, ia semakin dibuat bingung. Ibu dan Kak Airin tampak sibuk dengan kudapan dan juga minuman. Mereka seperti akan menyambut tamu penting.
"Ada yang mau datang ya, Bu?"
"Syah, kamu bantu ambil pesanan kue Ibu di rumah Bu Maya, ya? Tadi Ibu pesan buat diantar, tapi nggak diantar juga sekarang." Tak menghiraukan pertanyaan Aisyah, Bu Imah menyuruhnya melakukan suatu pekerjaan lain. Beliau seperti sengaja mengabaikan Aisyah malam ini.
Menggaruk kepala berlapis hijabnya, Aisyah melangkah dalam kebingungan. Ia mengambil sepeda, dan dikayuh menuju rumah Bu Maya di RT sebelah. Tepat di persimpangan jalan, ia berpapasan dengan sebuah mobil hitam. Jalanan yang sempit membuat Aisyah hampir terjebur ke sungai pinggir jalan.
Seorang pria dengan pakaian rapi turun. Tampaknya pria itu yang mengemudikan mobil tersebut. Pria itu tampak cemas, lantas membantu Aisyah mendirikan sepedanya. Gamis yang Aisyah kenakan telah tercemar noda tanah. Ia bersungut-sungut dalam hati. Ia terpaksa mengganti pakaiannya setiba di rumah nanti.
"Kamu nggak apa-apa, 'kan? Apa ada yang luka?"
"Nggak apa-apa, kok." Aisyah menjawab sembari mengibas gamisnya yang terkena noda tanah.
"Maaf, ya. Karena saya nyetir mobil nggak bener, kamu hampir kecebur sungai gitu." Pria tak Aisyah kenal tersebut tampak sangat merasa bersalah.
Ingin mengomel, Aisyah tak tega. Sebenarnya, pergelangan tangan Aisyah sedikit ngilu. Ia menahan bobot tubuhnya menggunakan lengannya agar tak terguling ke sungai.
Seseorang berdehem dari dalam mobil berkaca gelap itu dan membuat pria tak Aisyah kenal tersebut bergegas pergi. Aisyah mengangguk ketika pria itu meminta izin untuk pamit. Setidaknya, dia telah meminta maaf terhadap apa yang menimpa Aisyah.
Sekitar 15 menit pergi mengambil kue pesanan sang ibu di rumah Bu Maya, Aisyah tiba di rumah. Dahinya kembali berkerut ketika melihat sebuah mobil terparkir di halaman rumahnya. Gadis itu berusaha mengingat. "Itu 'kan mobil yang tadi?"
Meletakkan sepedanya di samping rumah, Aisyah bergegas masuk melalui pintu samping. Melihat kakaknya di dapur, Aisyah langsung memberondonginya dengan pertanyaan, "Mereka siapa, Kak? Kok kayak rame banget? Ada urusan apa?"
Dahi sang adik dipukul menggunakan sendok yang Airin pegang. "Keluarin kuenya, tata ke atas piring, lalu hidangkan ke tamu. Jangan banyak tanya, langsung aja denger sendiri di depan sana nanti. Kamu juga bakal tau ntar."
Aisyah berdecak. Dahi yang kakaknya pukul pelan tadi, diusap. Sesuai titah sang kakak, kue itu Aisyah susun ke piring. Usai memastikan noda di gamisnya tak terlalu mencolok, Aisyah membawa kue itu ke depan. Ada beberapa tamu yang datang. Sepasang suami istri tua, seorang perempuan seusia kakaknya, seorang pria seusia kakak iparnya, dan juga ... pria tadi?
Mata Aisyah spontan melotot, dan pria yang menyadari keterkejutan Aisyah menampilkan cengiran polos.
"Jadi, gimana dengan lamaran putra kami, Pak? Apa akan diterima?"
"Ha? Lamaran? Siapa yang mau dilamar, Pak?"
Bu Imah spontan memukul lengan putrinya yang berdiri di sebelah beliau tersebut. Beliau meminta maaf pada sang tamu atas ketidaksopanan putri mereka.
"Ini dia yang namanya Aisyah, ya? Wah, putra kami milih calon yang tepat, nih."
Aisyah semakin tak mengerti, sungguh. Lamaran katanya? Aisyah itu calon yang tepat untuk putra mereka? Siapa?
Dia?
Aisyah spontan menatap pria si pengemudi mobil itu. Apakah benar dia yang akan dicalonkan dengannya? Bocah ingusan itu? Meski tak mengetahui berapa usianya, Aisyah bisa memastikan bahwa dia jauh lebih muda dari dirinya.
"Duduk dulu, Syah," titah sang ayah. "Maaf, Bapak nggak ngasih tau kamu soal lamaran ini. Jadi, mereka berdua itu adalah Pak Muzanni dan Bu Asmah. Beliau datang mewakili putra mereka untuk melamar kamu, Syah."
"Pak ...." Aisyah mendekatkan wajahnya ke telinga Pak Yusuf. "Anaknya yang mau melamar Aisyah bukan dia, 'kan?" Aisyah melirik pria si pengemudi mobil.
Pak Yusuf terkekeh. "Bukan, Syah. Anak mereka yang mau ngelamar kamu nggak bisa datang. Jadi, Pak Muzanni sama Bu Asmah yang datang mewakili. Ini baru lamaran biasa, nanti kalo kamu udah nerima, baru akan diadakan lamaran resmi."
Oh, Aisyah mengerti sekarang. Lantas, jika bukan pria pengemudi itu yang akan melamarnya, siapa pria yang hendak melamarnya tersebut? Apakah Aisyah mengenalnya? Jangan bilang, pria itu Iyan.
"Pak. Dia ... bukan Iyan, 'kan?" bisiknya pelan.
Pak Yusuf hanya tersenyum. Pertanyaan Aisyah sengaja diabaikan. Lalu, ketika sang ibu terus mencubit pinggangnya untuk menerima lamaran itu, Aisyah terpaksa patuh. Lamaran itu diterima. Sesuai kesepakatan, keluarga calon suaminya akan datang kembali membawa lamaran resmi pada minggu depan, sekaligus merundingkan perihal tanggal pernikahan.
***
***
Ini Hairil. Laki-laki yang Aisyah harapkan jadi calon suami.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top