4


Bosan melanda Aisyah. Jika saja ibunya itu adalah adiknya, mungkin Aisyah akan mengomeli sang ibu karena telah menyuruhnya meladeni Iyan yang datang bertandang sore itu.

Benar, tamu harus kita muliakan. Tapi, jika berduaan di rumah? Apakah Aisyah harus tetap berpura-pura tak gelisah?

Iyan bercerita padanya bahwa dia kebetulan lewat di rumah Aisyah. Ia baru saja dari pasar menjual jeruk hasil panen kebun yang melimpah, lalu iseng mampir ke rumah Aisyah.

Tak ada siapapun orang di rumah Aisyah saat ini. Dua keponakannya yang awalnya tengah bermain di ruang tv, turut dibawa sang ibu main ke rumah tetangga demi membiarkan Aisyah leluasa mengobrol berdua bersama Iyan. Sementara ayahnya di sawah.

Aisyah bergerak gusar. Ia tak terbiasa meladeni tamu pria sendirian. Selama ini ketika ada tamu di rumahnya, Aisyah menyapa sebentar, menyiapkan minuman dan cemilan, setelah itu ia masuk ke kamar.

"Kak Airin kemarin kukasih jeruk pas dia di sawahnya. Kebetulan aku lagi panen. Dia sih mau beli, tapi kukasih aja. Jeruk sebanyak itu sih, ngasih orang sedikit nggak akan bikin kita rugi. Ya, nggak?" Iyan terus bercerita panjang. Sesekali Aisyah menanggapi, selebihnya ia hanya mengangguk ataupun menggeleng. Tetap saja meski demikian, Iyan akan terus mengajak Aisyah bicara. Iyan seolah tak peduli walau tak ada respons antusias dari gadis di hadapannya tersebut.

"Kamu sekarang ngajar di mana, Syah? Kudengar di SD, ya?"

"Iya. Tau dari siapa?"

"Aku sama Kak Airin itu sering ketemu di kebun, jadi dia kadang suka cerita tentang kamu. Sedikitnya aku tau mengenai kamu. Apa dia juga ngasih tau kamu nggak kalo aku mau dicariin cewek?" Iyan masih tak kehabisan ide untuk mengajak Aisyah bicara. Padahal sejak satu jam lalu, obrolan mereka terus mutar di tempat.

"Iya, ada."

"Menurutmu aku gimana?" Iyan membenarkan kerah kaosnya.

Dahi Aisyah berkerut. "Apanya?"

"Aku bosan sendiri, jadi mau nyari cewek. Kira-kira, kamu mau nggak sama aku? Aku punya kebun yang banyak, pekerja keras, punya mobil, motor di rumah ada tiga, dan sekarang aku lagi renovasi rumah. Masalah simpanan, kalo aja aku mau, uang simpananku sekarang bisa buat beli avanza."

Sudah cukup. Pemuda itu sukses Aiyah blacklist. Pamer, sombong, sok kaya, dan terlalu percaya diri. Pemuda itu pikir mungkin Aisyah akan menerimanya jika ia mengatakan berapa banyak kekayaan yang saat ini ia punya. Nyatanya, Aisyah mendadak ilfeel. Awalnya Aisyah masih berusaha menghibur hatinya untuk mempertimbangkan Iyan sebagai pasangan. Tapi, semakin lama ia meladeni Iyan, pemuda itu tanpa sadar telah membuat Aisyah muak. Apalagi ketika adzan asar berkumadang, tak ada ciri-ciri Iyan akan pergi.

"Maaf ya Iyan. Kita temenan aja dulu, ya? Nanti kalo berjodoh, kita pasti akan dipertemukan kembali, kok. Kamu percaya sama takdir Allah, 'kan? Kalo kamu ngajak aku kenalan buat jadi pacar, aku nggak bisa, Yan. Maaf, ya?" tolak Aisyah. Ia berusaha untuk menolak dengan sopan, dan Aisyah berharap Iyan tak akan tersinggung.

"Gitu, ya? Nggak apa-apa. Diajak temenan aja udah lebih dari cukup, kok. Oh ya, Syah ...."

Aisyah memijat pangkal hidungnya yang berdenyut. Basa-basi Iyan yang sangat basi itu berlangsung hingga dua jam kemudian. Pukul 5 sore pria itu baru memutuskan untuk pamit pulang. Saat akan masuk ke mobil, kelibat ibunya dengan senyum lima jari itu baru terlihat.

"Udah mau pulang, ya? Kenapa buru-buru? Nggak sekalian makan malam di sini?"

Aisyah melotot. Ibunya memang menyebalkan.

"Nggak usah, Bu. Masih ada kerjaan habis ini. Maklumlah, ibuku mau minta renovasiin rumah dengan dua lantai. Kalo nggak kerja keras, bisa habis simpanan," jawab pria itu dengan angkuhnya.

"Wah. Bener-bener pekerja keras kamu. Salut Ibu sama kamu. Kapan-kapan jangan sungkan mampir ke sini, ya? Kalo nggak ada Ibu, Aisyah 'kan ada."

Iyan terkekeh. "Iya, Bu. Nggak bakalan sungkan. Ya udah, kalau begitu aku pamit, Bu."

"Iya. Hati-hati, ya?"

Sementara sang ibu asyik melambai hingga mobil yang dikendarai Iyan hilang di persimpangan jalan, Aisyah telah bergegas masuk dan melaksanakan sholat asar yang tertinggal dua jam. Apakah pria seperti itu yang ibunya harapkan sebagai menantu? Tak kenal waktu. Saat Allah telah menyeru hamba-Nya untuk sholat, Iyan pura-pura tak mendengar.

"Tolong berikan hidayah untuk mereka yang melupakan-Mu, ya Allah." Doa yang tak pernah putus Aisyah lantunkan setiap usai sholatnya. Aisyah berharap Allah mengabulkan doanya yang satu itu, dan ia berharap semoga Iyan termasuk orang-orang yang Allah berikan hidayah.

***

"Bu Aisyah udah nikah, ya?" Pertanyaan yang selalu siswa Aisyah lontarkan setiap ada kesempatan.

Tidak. Siswanya yang masih berusia anak-anak itu tak punya maksud lain dari pertanyaannya, tidak seperti yang biasa ibu-ibu tetangga lontarkan terhadap dirinya.

Setelah kemarin saat ia masih menjadi guru baru di sekolah itu, pertanyaan yang sama juga kerap siswanya berikan. Setelah dua tahun, akhirnya mereka kembali bertanya. Mungkin mereka lupa atau mungkin mereka berpikir telah tertinggal informasi terbaru seputar pernikahan sang guru.

Menanggapi pertanyaan siswi kelas 6 itu Aisyah tersenyum, lalu menjawab, "Ibu masih belum ketemu sama jodohnya. Jadi, masih belum nikah."

"Emang umur Ibu berapa? Saya punya Om, mungkin umurnya sama kayak umur Bu Aisyah. Nanti saya kenalin sama Om saya, Ibu mau?"

Fatiya, siswi cerdas di kelas 6A itu cukup lucu. Aisyah heran, kenapa anak sekecil Fatiya sudah pintar menjodohkan orang? Bahkan yang dijodohkan adalah gurunya sendiri. Rasanya, zaman Aisyah sekolah dulu, tak ada siswa yang berani mengajak gurunya mengobrol. Berpapasan di jalan saja mereka tak berani menoleh. Takut, malu.

Zaman telah berubah. Setiap orang sering mengatakan hal itu.

"Makasih, Fatiya. Tapi nggak usah aja, ya? Mending kamu belajar yang giat aja dulu. Sebentar lagi kalian itu akan ujian, 'kan?"

"Oh, iya, Bu." Fatiya menepuk dahinya. Ia lupa akan tujuannya mendatangi Aisyah. "Saya tadi ke sini mau ketemu Ibu soal pelajaran, tapi lupa. Hehee ...." Anak itu menyengir. "Saya mau nanya soal materi ini, nih. Gimana ini, Bu?"

Terlarut dalam pelajaran, Aisyah dan beberapa siswa kelas 6 lainnya seperti tengah belajar kelompok. Memanfaatkan teras perpustakaan yang luas, mereka duduk membentuk lingkaran di sana. 15 menit waktu istirahat itu cukup panjang jika sekedar dimanfaatkan untuk jajan di kantin. Aisyah patut memberi Fatiya dan beberapa temannya itu acungan jempol karena lebih senang memanfaatkan waktu istirahat dengan belajar di perpustakaan.

Sepulang dari perpustakaan, Aisyah berjalan menuju ruang guru. Suasana di dalam ruangan itu tampak lebih heboh dari biasanya. Entah apa yang tengah para guru itu bahas di sana. Begitu Aisyah masuk, Aisyah dibuat terperangah di depan pintu. Otaknya berusaha menyimpulkan apa yang terjadi.

"Cieee ... Sang calon mempelai akhirnya tibaa. Mempelai pria masih di interogasi Bu Kepala. Sabar ya, Syah. Sebentar lagi dia akan datang padamu." Pak Azmi adalah guru paling heboh menyoraki dirinya. Pak Azmi kadang suka berlebihan dan memalukan.

Sembari menggaruk dahinya yang tak gatal, Aisyah melanjutkan langkah menuju mejanya. Gadis itu tak sadar bahwa sedari tadi seseorang yang Pak Azmi calonkan padanya tengah duduk di hadapan meja Bu Emma, sang kepala sekolah.

"Syah. Udah siap ketemuan, nggak?" Pak Azmi tak berhenti untuk menggoda Aisyah.

"Maksud Bapak apa, ya?" tanya Aisyah masih dengan kebingungan.

"Hairil ke sini, Syah." Bu Mella yang tak tega melihat Aisyah kebingungan dalam godaan Pak Azmi, gemas lalu memberitahunya.

"Hairil?" Mata Aisyah mencoba mencari. Begitu menyadari seorang pria duduk menghadap Bu Emma di ruangan berpintu kaca itu, matanya membulat.

"Ciee ... yang nyariin. Hahahaha..."

Tawa Pak Azmi sontak semakin terdengar heboh ketika guru lainnya juga tergelitik mendengar tawa Pak Azmi. Mereka juga ikut-ikutan menggoda membuat kedua pipi Aisyah kembali memanas, lalu mengeluarkan semburat merah muda.

Aisyah malu, ya Allah.

Gadis itu berharap bell istirahat segera dibunyikan. Namun, ketika Bu Emma tiba-tiba keluar dari ruangannya dan berkata, "Kita adakan rapat satu jam lagi, ya? Siswa dipulangkan saja," Aisyah merasa satu jam nanti akan menjadi hari yang sangat panjang untuk dilalui jika Pak Azmi dan guru yang lain masih betah menggodanya.

Beberapa menit kemudian, Hairil tampak menyalami Bu Emma. Mungkin urusan mereka telah selesai, dan jantung Aisyah tak perlu berdegup lebih kencang dalam waktu yang lama. Ia tak siap Hairil menyadari bahwa pemilik nomor yang Pak Azmi berikan pada Hairil ternyata adalah dirinya. Tetangga sepupunya. Mereka yang dipertemukan dua kali secara tak sengaja.

Pintu kaca itu terbuka. Aisyah mencoba menghitung sampai tiga. Namun, saat hitungan pertama baru dimulai, suara Pak Azmi memekik menyeru Hairil untuk menoleh. "Ril, noleh sini!"

Aisyah meringis sembari memejamkan mata. Ia menunduk dalam, tak berani menatap Hairil yang masih betah berdiri di sana.

"Selama ini kalian mungkin belum saling mengenali wajahnya, 'kan? Nah, sekarang ini kesempatan kalian. Aisyah. Jangan nunduk aja, dong. Liat, Hairil udah nungguin, tuh."

Sementara Hairil yang tak tahu maksud perkataan Pak Azmi, hanya memasang wajah santai namun terlihat begitu manis untuk dipandang. Dalam diam, sedari tiba di sekolah Bu Emma, pemuda itu diam-diam ingin bertemu langsung dengan gadis yang Pak Azmi kenalkan padanya. Namun, Hairil mencoba tetap tenang.

Tak tahan dipaksa Pak Azmi untuk mengangkat padangan, Aisyah akhirnya memberanikan diri menatap Hairil. Begitu mata mereka saling bertubrukan, seisi ruang guru kembali heboh. Hairil membulatkan mata. Tampak jelas keterkejutan dirasakan pria itu saat menyadari bahwa, selama ini Pak Azmi coba mengenalkannya pada gadis aroma bawang di pernikahan sepupunya kala itu. Gadis yang diam-diam telah membuat perasaannya bergejolak aneh selama pertemuan tak disengaja mereka berlangsung.

Meski Hairil terkejut mengetahui siapa gadis yang coba dijodohkan dengannya, Hairil memilih diam. Dia berusaha mengendalikan perasaannya sendiri. Pemuda itu hanya tersenyum, lalu memilih pamit undur diri. Ia tak ingin keberadaannya di sana semakin membuat Aisyah tak nyaman. "Saya harus pamit, Pak, Bu. Masih banyak yang harus saya selesaikan."

"Loooh. Nggak mau lama-lama dulu, ya? Sapa dulu calonnya, atau ngobrol dulu. Kalo malu atau kira-kira kami di sini ganggu, kami ke ruang rapat aja sekarang, ya? Kalian ngobrol aja di sini." Pak Azmi tak serius dengan ucapannya. Beliau hanya iseng menggoda Aisyah yang terus merona.

Hairil terkekeh. Ia tahu bahwa seharusnya ia tak perlu meladeni godaan Pak Azmi. "Kalau gitu, saya pamit, ya? Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalaaaam," sahut para guru. Hanya Aisyah yang menyahut di dalam hati. Seperti dugaannya, ia menjalani hari di sekolah seolah begitu panjang. Mereka hanya serius saat rapat, namun setelah rapat usai, Aisyah kembali menjadi bahan bullian para guru di sana.

***

Layar laptop terus menyala sejak satu jam yang lalu. Awalnya gadis itu hendak mengerjakan perangkat pembelajarannya yang belum terselesaikan. Bu Emma telah menagihnya kemarin untuk beliau tanda tangani.

Meski baik, namun Bu Emma adalah kepala sekolah yang cukup tegas. Kadang, saat beliau tak sibuk, beliau akan melakukan supervisi dadakan terhadap guru-guru. Guru yang tak siap akan menerima siraman kalbu di ruang sidang alias ruang pribadi kepala sekolah. Seperti Aisyah, terlalu sibuk dengan perangkat pembelajaran guru senior, perangkat pembelajarannya sendiri keteteran.

Tanda spasi yang terus kedap-kedip itu seolah menunjukkan bahwa jantungnya juga berdetak mengikuti kedipan tanda spasi di layar laptop tersebut. Usai pertemuan mereka di sekolah tadi pagi, Aisyah tak berhenti memikirkan Hairil. Dalam rasa malunya, ia sangat mengharapkan Hairil adalah jodoh yang Allah tetapkan untuknya. Namun, setelah sapaan salam pada chat pertama beberapa minggu lalu itu, Hairil tak pernah lagi mengiriminya pesan.

Apakah Hairil kecewa karena Aisyah tak membalas pesannya? Ah, apakah Aisyah harus mengiriminya pesan sekarang, sebagai kode bahwa Aisyah merespons perkenalan mereka?

Tapi ...

Astaghfirullah, Aisyah. Sadar.

Bosan, Aisyah mengutak-atik aplikasi WhatsApp-nya. Ia memperbaharui sebuah status di sana. Kemarin, ia sempat memotret sebuah pancing ketika ia memancing di sungai depan rumahnya. Ia mengunggah foto tersebut di status WhatsApp dengan caption, "Mending mancing ikan. Daripada mancing kamu yang nggak peka."

Dalam sekejap, beberapa balasan dari temannya masuk. Aisyah terkekeh menanggapi komentar para temannya. Ketika satu chat baru masuk, Aisyah membulatkan mata. Hairil, ikut mengomentari postingannya dengan kalimat, "kata-katanya begitu jleb, ya?" lalu emoticon tertawa.

Ingin rasanya Aisyah melompat kegirangan di atas kasur. Namun, ia akhirnya berusaha mengendalikan dirinya sendiri. Dengan cepat jari-jari Aisyah mengetik balasan. "Jangan ketawa," dan memberinya emoticon senyum malu-malu.

"Itu kata-kata buat siapa? Kayaknya bukan hanya sekedar status, ya?" ternyata Hairil masih melanjutkan percakapan mereka melalui pesan chat tersebut.

"Nggak buat siapa-siapa, kok. Iseng aja bikin status gitu."

Tanpa Aisyah duga, di seberang sana Hairil juga merasakan hal yang sama. Hanya saja, Hairil bisa mengendalikan perasaannya sendiri agar tak terlalu kentara betapa ia menyukai Aisyah sejak pandangan pertama.

Percakapan mereka melalui pesan terus berlanjut. Aisyah seolah melupakan tugasnya yang terbengkalai, dan Hairil melupakan data yang harus ia perbaharui. Sadar bahwa mereka tak bisa terus melanjutkan percakapan, Hairil memutuskan berhenti membalas pesan dari Aisyah. Dirinya harus fokus pada pekerjaan, jika ingin segera melamar Aisyah bulan ini. Eh?

***

*** 

Ini Iyan. Pilihan Ibu dan Kak Airin. Intinya, jodoh Aisyah masih abu-abu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top