3. Janji
"Arvyno Raka Setiawan, apa Anda siap?” Penghulu di depanku membuat Arvyn menghentikan tatapannya yang sejak tadi menyorot penuh ke arahku.
"Ya saya siap,” Jawab Arvyn dengan nada tegas.
"Jabat tangan Ayah mertua Anda.”
Arvyn mengangguk dan menjabat tangan ayahku sesuai instruksi penghulu. Aku sama sekali tak melihat, jika Arvyn gugup. Arvyn masih terlihat santai seperti biasa.
"Saudara Arvyno Raka Setiawan. Saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan putriku yang bernama Airyna Kayla Mahez binti Sagara Mahez, dengan seperangkat alat Shalat, sebuah rumah, mobil, uang 100 juta rupiah dan emas seberat 100 gram dibayar tunai.”
"Saya terima nikah dan kawinnya Airyna Kayla Mahez binti segara Mahez dengan maskawin tersebut di bayar tunai!” jawab Arvyn dengan mantap meskipun aku melihat setitik keringat dingin terlihat mengalir di pelipisnya.
"Bagaimana saksi? Sah?”
"Saaaaaaaahhhhhhhhhhhhh..."
"Alhamdulillah ... “
Tak terasa air mataku jatuh. Aku sangat bahagia. Kini ku telah sah menjadi istrinya. Aku berdoa semoga aku akan selalu menjadi istri pujaan hatinya, pendamping hidup laki-laki yang aku ini cintai ini selamanya.
Aku berjanji, tidak akan pernah melepasmu, walau apa pun yang terjadi dalam biduk rumah tangga kita nanti. Terkecuali, jika kamu sudah tidak menganggap keberadaanku lagi di hidupmu suatu hari nanti...”
Tapi, aku akan selalu berdoa. Semoga kebahagiaan akan selalu menjadi milik kita. Selamanya, hanya akan ada kamu, pria satu-satunya dalam hidupku. Aku sangat mencintaimu. Dan kaulah yang akan menjadi Cinta Sejatiku, Ayah dari anak-anakku dan sahabatku yang akan terus menemaniku sampai tua kelak dan maut menjemputku. Batinku sambil menghapus bulir air mata yang tak terasa jatuh di sudut mataku.
***
Pagi telah menjemput. Hari ini, mungkin akan menjadi hari terberat untukku. Aku harus meninggalkan orang tua yang paling aku cintai dan kampung halaman, yang sudah menjadi duniaku sejak kecil.
"Jaga dirimu baik-baik ya Sayang. Sering-seringlah telepon ke rumah,” ucap Ibu dengan mata yang berkaca-kaca.
“Arvyn, tolong jaga putri ibu ya Nak,” lanjutnya membuat hatiku meringis. Ibu. Wanita paling aku cintai dalam hidupku. Tak menyangka, aku akan meninggalkan wanita kuat dan lemah lembut yang sudah melahirkanku dan merawatku sejak kecil.
"Tentu ibu. Saya akan dengan sangat baik menjaganya bahkan dengan taruhan nyawa. Jangan menangis, Bu. Putrimu akan baik-baik saja. Saya janji.”
"Ibu, kami pamit ya. Jika ada waktu senggang, aku dan Arvyn pasti akan ke Surabaya.”
Aku tak betah berlama-lama di sini. Apalagi, melihat raut wajah ibu yang dan ayah yang menyiratkan kesedihan.
Arvyn mengerti perasaanku. Dia pun membawaku menuju mobil mewahnya yang sudah terparkir menunggu kami.
"Tolong, Jaga kesehatan kalian," ucapku menahan isakan yang membuat dadaku sesak. Ini ‘kan hanya perpisahan singkat. Aku bisa bertemu dengan mereka kapan saja. Tapi kenapa, rasanya perpisahan ini, akan membuatku kehilangan mereka? Ya Tuhan, tolong jaga selalu orang tuaku.
"Sayang, udah dong nangisnya. Nanti jika aku punya waktu, kita akan sering-sering mengunjungi mereka, aku janji,” Kata Arvyn meyakinkanku.
Kita memang harus tinggal di Jakarta karena Arvyn tidak mungkin lepas tanggung jawab begitu saja pada perusahaannya. Untuk tinggal di Surabaya pun, rasanya tidak mungkin. Kasihan juga, jika Arvyn harus bolak-balik dari Surabaya ke Jakarta. Bagaimana kesehatannya nanti?
"Ma-af,” hanya kata itu yang bisa aku lontarkan. Bisa dikatakan, saat ini aku sudah menangis sesenggukan.
Arvyn membawaku dalam pelukan besarnya. Terasa nyaman. Namun belum bisa mengurangi sesak yang saat ini masih menggerogoti rongga dada. Berpisah dari orang tua yang kalian cinta, adalah hal yang paling menyesakkan.
Airyn kau sudah menjadi milikku. Gadis 7 tahun lalu yang diam-diam kucintai, kini berada di pelukanku. Seakan mendapat bintang jatuh, aku yakin dia adalah cinta sejatiku dan aku berdoa untuk itu.
Well, aku jadi tidak sabar untuk segera sampai...
****
Jakarta...
Aku mengerjapkan mataku yang terasa berat. Terlalu lama menangis, juga membuat kepalaku sedikit pusing. Kami sudah sampai di Jakarta. Tepatnya, di rumah yang akan aku tinggali bersama suamiku.
"Sayang, ayo masuk. "
Arvyn mengalihkan perhatianku. Memang sejak tadi, aku terpaku dengan bangunan besar di depanku. Tidak terlalu besar seperti rumah para konglomerat kebanyakan. Tapi, kelihatannya damai. Semoga saja, aku akan betah tinggal di rumah yang ukurannya dua kali lebih besar dari rumahku di Surabaya.
Aku tersenyum manis walaupun akan terlihat lemah. "Ma-af, aku terlalu terpesona dengan taman bunga itu,” jawabku sambil menunjuk taman indah itu. Satu hal yang membuatku langsung menyukai rumah baruku. Taman bunga itu. Aku selalu menyukai tanaman yang membuatku merasa cantik sebagai perempuan.
"Dulu kakek yang membuatnya untuk nenek. Dan karena mansion ini turun temurun, jadi mama lah yang merawatnya. Dan karena sekarang kamu adalah istriku. Jadi, semua ini adalah milikmu sayang, kamu yang harus merawatnya,” kata Arvyn menjelaskan.
Aku mengangguk. Dengan langkah pelan, Arvyn membawaku masuk ke dalam rumah besarnya. Tapi, begitu masuk ke dalam. Aku mencurigai sesuatu.
"Arvyn, apa kita hanya tinggal berdua?” tanyaku, karena rumah besar ini benar-benar sepi.
Dengan senyuman tipisnya yang memukau, Arvyn mengangguk tanpa dosa.
"Tentu Airyn. Aku tidak ingin membagimu dengan siapa pun,” lirihnya tegas penuh ke posesifan sambil membawaku dalam pelukan besarnya. “kau hanya milikku. Jadi, hanya aku yang boleh melihatmu, memelukmu, dan mencintaimu.”
“Arvyn ... “
“Hem?”
“Jangan di sini,” lirihku pelan, mencoba menghindar saat Arvyn mengecup sudut lehernya yang terbuka. Meskipun hanya ada aku dan Arvyn di rumah ini, malu juga jika melihat Arvyn se nakal ini di tempat terbuka.
“Kenapa? Lagi pula hanya ada kita berdua, Airyna. Kita bebas melakukan apa pun. Misalnya sesuatu yang berpahala seperti bercinta dengan panas di sofa itu.”
“Ish, Arvyn!” seruku keras sambil melepaskan diri dari pelukan Arvyn. Ya Tuhan, aku belum siap. Perkataan Arvyn, membuatku panas dingin saja.
Aku memilih meninggalkan Arvyn dan menuju lantai atas. Bisa-bisa, Arvyn membuatku kebakaran. Demi apa coba, dia membahas hal pribadi itu di ruang terbuka? Astaga, aku perlu melakukan perbaikan dengan kosa katanya.
Aku membuka pintu ber cat putih di depanku. Pandanganku mendadak terpaku pada satu objek di sana. Lantas, aku menutup mulutku tak percaya. Bagaimana bisa kenangan masa lalu itu berada di sana?
“Arvyn ...! Apa maksudnya ini?” teriakku keras. Sungguh, mendapati masa lalu yang sudah coba kau lupakan, mendadak datang kembali ke hadapanmu adalah hal yang sulit untuk kita cerna.
***
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top