9. °Lebih Baik Mati°
*بـــــــسم اللّـــــــه الرّحمن الرّحيـــــــم*
⚠Ambil baiknya, buang buruknya⚠
⚠Jangan ngejudge suatu cerita sebelum kamu mebacanya sampai tamat⚠
📖Selamat Membaca📖
🍁🍁🍁
Nabi dan Rasul saja diuji. Lalu, mengapa kita mengeluh dan marah saat Allah menguji kita? Memangnya siapa kita?
🍁🍁🍁
Terlihat Radit sedang duduk santai di taman. Di belakang, Senna menutup kedua matanya. Tahu bahwa Radit akan langsung bisa menebak, Senna melepaskan tangannya, dan mengitari kursi, berdiri di depan Radit dengan tampang sumringah.
"Aaaa, aku seneng banget hari ini, Dit."
"Kenapa?" tanya Radit seraya berdiri. "Apa yang bikin kamu seneng?"
"Kamu tau? Setelah aku ngikutin saran dari kamu untuk jangan makan makanan yang ada di rumah, Tante aku jadi kehilangan alasan untuk caci maki aku."
"Oh, ya?" Radit menatap Senna dengan pesonanya.
Tadi pagi Senna sarapan seperti biasa di meja makan. Begitu tantenya muncul, wanita itu terdiam, seperti orang kebingungan.
"Kenapa, Tan? Tenang aja, aku nggak makan masakan rumah ini. Aku beli makanan di luar, order lewat online. Jadi kayaknya, hari ini kita nggak berantem dulu."
Tantenya hanya mendelik dan ikut makan di hadapan Senna.
"Tenang, air juga aku beli." Senna memamerkan sebotol minuman bermerk. "Jadi ... Stop panggil aku parasit. Aku tinggal di sini atas kemauan suami Tante. Aku makan pun pakek uang sendiri. Soo??"
Senna tertawa di hadapan Radit saat bagaimana senangnya dia melihat ekspresi sang tante yang skakmat. Saking tergelitiknya tertawa, ia tidak sadar bahwa Radit sedang menatapnya dalam-dalam.
Namun pada akhirnya, Senna sadar, bahwa dia sedang diperhatikan sedemikian dalam oleh Radit. Jantungnya berdegup abnormal. Mungkin dia sudah benar-benar mencintai Radit. Senna bisa merasakan, bahwa tatapan yang Radit berikan adalah tatapan cinta dan sayangnya. Senna merasa spesial karena dicintai lelaki seperti Radit.
"Gadis yang pintar," puji Radit pada akhirnya.
"Kan ini ide dari kamu juga."
Radit mengangguk untuk membenarkan.
Tiba-tiba, ponsel Senna berdering. Dia mendapatkan telepon dari temannya. Begitu selesai, dia memasang raut malas.
"Ada apa?" tanya Radit.
"Aku pulang dulu, ya? Ada urusan, aku ada janji sama temen."
Radit mengangguk lagi. "Hati-hati."
"Kamu nggak papa aku tinggal?"
"Nggak papa. Kita masih bisa ketemu lagi."
"Ya udah, bye." Dengan terpaksa dan hati berat, Senna melambaikan tangannya, kemudian berbalik. Entah mengapa, akhir-akhir ini sikap Radit berubah. Dia jadi lebih manis dan lembut. Senna merasa dispesialkan dan diistimewakan.
Saat Senna akan benar-benar pergi, Radit menahan tangannya, otomatis Senna berbalik lagi.
Radit melangkah, dan tiba-tiba saja ia mendaratkan kecupan manis di kening Senna. Sontak Senna tertegun. Di taman ini, di bawah cerahnya matahari, di antara hijaunya tanaman dan pohon, untuk pertama kalinya Senna mendapatkan ciuman indah dari seorang lelaki tulus. Surprise! Ia mengedip-ngedipkan mata. Benarkah?
"Semangat. Kamu pasti bisa ngalahin tante kamu itu. Jangan lupa minum susu, sebab untuk ngalahin tante kamu, bukan pakai fisik, tapi pakak otak." Radit melepas kecupannya. Senna jadi salah tingkah. Bibirnya menahan senyum. Bahkan, Senna lebih merasakan efek ciuman itu, ketimbang mendengarkan ucapan Radit.
Susu. Ya, susu. Radit selalu menyuruhnya minum susu. Saat meminum susu, maka Senna akan teringat Radit. Senna jadi suka susu.
Senna mengangguk, dan berlalu dari hadapan Radit dengan jantung berdebar. Sungguh, Senna tak menyangka bahwa Radit akan seromantis ini padanya. Apakah Radit benar-benar sudah menjadikannya pelabuhan terakhir? Jika memang benar, Senna ingin menjalin hubungan seperti pasangan lain. Bukan karena finansial, ketampanan, atau hal lainnya, tapi hubungan yang murni didasari atas nama cinta. Dia seorang wanita, yang ingin dicintai dan mencintai dengan sempurna.
Radit menjangkau kepergian Senna dengan sorot mata tak terbaca. Namun bibirnya sedikit menyungging senyum. Entah apa makna senyum itu.
Setelah Senna benar-benar hilang dari pandangan, ekspresi Radit berubah.
🍁🍁🍁
Rania rasa, ibunya harus tahu tentang Radit. Terlihat dia sedang mondar-mandir di depan pintu, menunggu kedatangan ibunya yang entah akan pulang jam berapa. Sesekali Rania melirik jam dinding yang berdetik di keheningan. Jam menunjukkan pukul sebelas malam.
Kakaknya juga belum pulang. Rania memijit keningnya. Semesta seolah sedang berkonspirasi membuatnya susah.
Tak lama kemudian, terdengar suara mobil yang memasuki halaman. Rasa kantuk Rania menguap. Cepat-cepat dia membuka kunci pintu.
Ketika pintu sudah terbuka, Asri mengernyit saat melihat eksistensi Rania. Dia tahu sekarang sudah malam, tapi mengapa putrinya belum tidur? Rania juga bisa melihat wajah lelah sang ibu.
"Kamu belum tidur?" tanya Asri seraya menutup pintu.
"Belum, aku nungguin Ibu."
"Nungguin? Ada apa?"
"Ibu mau minum? Biar aku ambilin."
"Nggak usah. Ibu ngantuk, mau langsung tidur." Asri menguap, dan melanjutkan langkahnya ke kamar. Rania mengikutinya.
"Ada hal penting yang harus aku omongin, Bu," kata Rania yang terus mengikuti ke mana ibunya melangkah. Tepat di depan pintu kamar, sang ibu berbalik.
"Tentang apa?"
"Kak Radit...."
Asri hanya tersenyum kecut. "Anak itu lagi." Dia geleng-geleng kepala.
"Ini gawat, Bu. Ibu harus tau. Dan Ibu harus kasih tau kak Radit kalau apa yang dia lakuin itu salah."
"Apa? Dia mabuk? Atau apa? Udah biarin aja! Terserah dia mau hidup kayak apa! Orang anaknya susah diatur." Asri membuka pintu kamar dan masuk ke dalam. Rania masih mengikutinya. Bagaimanapun dia harus menghentikan kebiasaan buruk Radit. Rania sangat menyayangi Radit, ia ingin kakaknya kembali pada jalan yang benar.
"Aku nggak sanggup ngomongnya."
"Ibu capek. Mau istirahat." Asri melepas segala atribut kerjanya.
"Kak Radit...."
"Rania!"
"Kak Radit suka nidurin perempuan, Bu. Kak Radit zina."
Gerakan Asri terhenti.
"Ibu tau? Beberapa hari yang lalu ada perempuan yang dateng ke sini dan bilang kalau ... kalau ... kalau...."
Ya Tuhan, mengapa sulit sekali untuk mengatakan itu?
Asri masih diam.
"Kalau dia lagi hamil anak kak Radit."
Rania memandang eskpresi ibunya. Berharap dia marah setelah mendengar ucapannya. Tapi?
"Udah?"
Di luar ekspektasi, ternyata ibunya hanya merespons demikian. Bibir Rania gelagapan. "Ma ... maksud ... Maksud...."
"Udah ceritanya?"
"Loh? Ibu nggak kaget gitu? Kelakuan kak Radit, Bu! Kak Radit anak Ibu. Ibu nyadar nggak sih, Bu?!"
"Terus kenapa? Orang kerjaaannya emang begitu, kan? Ibu nggak peduli dia mau ngapain juga. Terserah dia! Mau hidup, mau mati, terserah dia!"
"Ibu...."
"Udah, sekarang kamu keluar dan tidur," titahnya tegas.
"Ibu!"
"Rania!"
Rania mengepalkan tangannya. Ia pikir, ibunya akan membantunya untuk mengatasi masalah ini. Tapi nyatanya? Harapan itu membunuhnya lagi. Ya, untuk kesekian kali. Hanya bentakanlah yang ia dapatkan.
Kecewa, Rania langsung keluar dari kamar ibunya. Dia menutup pintu dengan bantigan kasar. Namun tak lama kemudian, Rania merasakan tengannya digenggam keras oleh seseorang, lalu ia ditarik untuk menjauhi kamar Asri.
"Lepasin, Kak! Sakit!"
Ternyata dia Radit.
Radit melepaskan genggamannya.
"Lo ngapain sih ngaduin masalah itu ke nyokap? Dasar tukang ngadu lo!" maki Radit geram.
"Salah aku ngaduin masalah ini? Menurut Kakak ini masalah sepele, tapi menurut aku ini masalah besar. Aku nggak mau Kakak terjerumus lebih dalam lagi. Kakak ngertiin perasaan aku, dong! Aku ini peduli sama Kakak. Tolong hargain kepedulian aku."
"Tapi apa yang lo denger tadi? Apa dia peduli? Apa nyokap gue peduli kalau gue udah ngelakuin itu?! Apa dia protes?! Hah?!"
Rania terdiam. Memang, pada kenyataannya sang ibu tidak peduli. Rania hanya mampu menggigit bibir bagian dalam. Dia gagal mendapatkan dukungan. Dia gagal mendapatkan perhatian ibunya.
"Ayo jawab gue! Ayo!" desak Radit.
Rania masih diam.
"Lo itu terlalu polos atau bego, sih? Itu tandanya apa aja yang gue lakuin nggak akan ngaruh buat dia! Buat apa lo ngomong?! Buang-buang waktu dan harga diri!"
"Tapi aku mohon sama Kakak. Kakak berhenti mainin cewek. Inget, Kakak itu lahir dari rahim seorang perempuan. Aku pengin Kakak berubah. Itu doang. Ayolah, Kak. Kali-kali dengerin omongan aku."
"Dan gue benci sama perempuan yang udah ngelahirin gue. Wajar gue mainin mereka. Karena bagi gue, perempuan itu lemah. Gue pengin kayak bokap gue yang nggak tanggung jawab itu. Gue kayak gini karena diajarin sama dia." Radit malah tertawa sarkasme.
"Ooh, jadi Kakak benci perempuan?"
Radit hanya berdecak.
"Ayo ikut aku." Rania menarik tangan Radit. "Ikut aku, Kak! Buktiin kalau ucapan Kakak itu bener!"
Radit kebingungan saat Rania membawanya ke dapur secara paksa.
Rania mengambil pisau tajam, dia acungkan pisau itu di hadapan Radit.
"Bunuh aku, Kak! Bunuh aku kalau Kakak emang benci sama perempuan! Bunuh aku!"
"Heh, lo apa-apaan, sih?!"
Rania membawa tangan Radit, memaksanya untuk menggenggam pisau itu. "Bunuh aku, Kak! Bunuh aku! Asal setelah Kakak bunuh aku, Kakak berhenti mainin cewek. Kasian, Kak!"
"Heh! Itu bukan salah gue. Yang salah ceweknya, mau aja digampangin."
"Oke. Kalau Kakak emang benci sama semua perempuan, bunuh aku, karena aku juga termasuk perempuan."
Radit melepaskan tangan Rania dengan kencang, pisau pun terpelanting ke lantai. Rania tersentak, lalu melihat wajah sang kakak yang sudah merah padam.
"Lo ini apa-apaan, sih?! Lo gila, ya?! Lo gila?! Hah?!" bentak Radit menimbulkan gema.
"Kakak nggak berani bunuh aku, Kan? Itu artinya Kakak sayang sama aku." Rania tersenyum getir. Dia suka melihat kakaknya marah. "Itu artinya Kakak sayang sama aku. Aku yakin itu. Aku pasti perempuan satu-satunya yang Kakak sayang. Iya, kan?"
Radit mendengus. "Apa? Sayang? Sayang sama adik pembawa sial kayak lo?"
Ekspresi Rania berubah dalam sekelebat.
Radit tertawa terkikik-kikik. Rania memandangnya heran dan waswas.
"Ya kali gue bunuh lo. Masa iya tangan gue ini dipakai buat ngebunuh orang. Gue nggak mau masuk penjara, lah. Lagian lo kegeeran banget, sih. Ngarep banget kasih sayang dari gue."
"Terus apa maksudnya waktu kakak larang aku ada di pub itu?!"
"Jangan kebanyakan nonton drama, deh. Lo berharap ya, punya Kakak yang diem-diem sayang sama lo padahal dia nggak pernah ngucapin kata sayangnya?"
Rania meneguk saliva.
"Udah, mending urus aja hidup lo! Nggak usah so soan peduliin gue! Nggak usah banyak berharap! Nggak usah banyak drama!"
Sebulir air mata mendarat di pipi Rania. Dia melihat kakaknya pergi. Lututnya lemas.
Rania menangis sesenggukkan. Ucapan sang kakak sungguh menohok dada yang sudah lebih dulu perih. Bayangkan, bagaimana keadaan hatinya sekarang? Rapuh. Remuk redam.
Rania menyingkirkan semua barang yang ada di meja makan hingga semua benda jatuh berserakan, menimbulkan suara yang cukup memekakkan telinga.
Rania berteriak sambil menangis. Dia mengacak rambutnya.
Bi Nani berlari tergopoh-gopoh menghampiri Rania. Dia sudah mendengar keributan yang terjadi antara Rania dan Radit sejak tadi.
"Non, kenapa non Rania kayak gini? Istigfar, Non." Bi Nani menghampiri Rania yang kalap.
"Enggak, Bi. Aku benci! Aku benci kehidupan aku! Aku benci! Aku benci!! Nggak ada yang sayang sama aku, Bi. Nggak adaaaaaa.... Nggak ada yang peduli sama aku. Nggak ada...." Rania terus menjambak rambutnya. Tangisnya kian menyesakkan dada pertanda lelah. Air mata yang ditahan tumpah tak terkira. "Buat apa aku hidup kalau begini, Bi? Buat apaa??"
Tanpa Rania tahu, air mata lain ikut jatuh.
Air mata sang ibu yang ternyata belum tidur di kamarnya. Bukannya tidak peduli, namun ia sudah lelah dengan semuanya. Tangan Asri mengepal, semua penderitaan ini berawal dari mantan suami yang tidak bertanggungjawab itu. Andai waktu bisa diputar, ia tidak akan pernah sudi menikah dengannya. Menikah dengannya hanya berakhir dalam jurang nestapa. Namun sialnya, nasi sudah menjadi bubur. Kaca sudah retak.
Anak-anaknya tidak pernah tahu, bahwa setiap malam ia menjatuhka air mata kesakitan seorang ibu yang merasa gagal mendidik anaknya. Mendengar Radit yang sudah teganya menodai wanita, menjadi cambukan terperih kalbu.
"Ada Bibi, Non. Ada Bibi. Bibi sayang sama non Rani."
"Aku punya salah apa sama mereka. Apa aku salah?! Apa aku salah berusaha untuk bikin keluarga ini sama kayak yang lain? Aku cuma pengin kita hidup akur dan harmonis. Apa aku salah? Mereka pikir aku nggak tertekan?! Lebih baik aku mati aja. Aku pengin mati aja. Aku pengin liat reaksi mereka, kalau aku mati apa mereka bakalan peduli? Apa aku harus mati dulu?! Apa aku harus mati dulu?!"
"Istigfar, Non. Jangan ngomong begitu. Jelek, nggak baik. Bibi sayang sama non Rani. Begitu pun sama den Radit dan nyonya Asri."
"Enggak, Bi. Jangan anggap aku anak kecil. Jangan bohongin aku...."
"Bibi sayang sama non Rani. Udah, ya. Ada Bibi."
"Tapi Bibi bukan keluarga aku. Bibi cuma orang lain."
"Walaupun Bibi bukan keluarga non Rania, tapi Bibi sudah anggap non Rania seperti anak Bibi sendiri."
Rania malah terus terisak. Ia tidak tahu harus berbuat apa selain menangis. Sebab hanya dengan menangislah semua beban bisa terangkat.
"Non mau denger cerita Bibi nggak? In syaa Allah setelah denger ini, hati non Rani bisa tenang."
Rania tidak menanggapi, sibuk dengan tangisannya. Tapi bi Nani berusaha untuk tetap bercerita.
"Ada seorang anak yatim piatu. Saat masih ada dalam kandungan, dia ditinggal pergi oleh ayahnya. Dia pun hidup bersama ibunya. Namun, saat menginjak usia enam tahun, ibunya juga ikut meninggal dunia...."
Tangis Rania mulai mereda. Suasana malah berubah hening. Tidak ada suara lain selain suara bi Nani. Rania melamun. Dalam ruangan temaram dan berantakan.
"... Dan pada saat itu pun dia resmi menjadi seorang anak yatim-piatu dan hidup sebatang kara. Anak sekecil itu harus memikul beban hidup yang berat dan memilukan. Hatinya hancur dan perih. Padahal dia baru aja liat makam almarhum ayahnya. Tapi saat perjalanan pulang, dia harus melihat kematian ibunya. Apa yang lebih menyakitkan daripada itu? Lalu setelah itu, dia diurus oleh kakeknya, kakeknya ini sangat menyayangi anak lelaki ini. Begitupun dengan anak lelaki yatim-piatu ini yang sangat menyayangi kakeknya. Dua tahun berlalu, lagi-lagi dia harus kehilangan orang yang disayanginya itu. Kesedihan kembali menyapanya. Kakeknya ikut wafat, meninggalkan dia pergi...."
"Itu kisah Nabi Muhammad?" potong Rania, tanpa melirik orang yang ditanyanya.
"Non Rani tahu?"
Rania mengangguk. Ia hanya tahu cerita itu saat sekolah SD. Hanya sepenggal cerita yang ia tahu tentangnya.
"Syukurlah. Bibi harap, non Rani paham apa yang Bibi maksud."
"Selalu ada orang yang lebih menderita dari kita ya kan, Bi?" Suara Rania terdengar laun. Entahlah, dia sulit sekali untuk bersyukur. Dia selalu merasa dialah yang paling susah dan menderita. Apa karena dia selalu melihat ke atas?
Bi Nani menganggukkan kepala.
"Non cukup perlu bersabar. Akan ada masanya, semua masalah ini berakhir. Non harus kuat. Akan selalu ada kejutan untuk orang-orang yang selalu bersabar."
Rania menangkup wajahnya. Air mata masih setia merembes turun. Ia kesulitan bersabar dan bersyukur. Ia tidak bisa.
"Non udah shalat Isya?"
Rania menggeleng.
"Shalat gih, Non. Supaya hatinya tenang."
Rania membuka wajahnya. "Buat apa, Bi? Dia jahat, Bi. Buat apa aku shalat?"
"Cobain dulu aja. Allah nggak jahat, kok. Justru Dia baik. Dia selalu ngerangkul hamba-hamba yang datang pada-Nya."
"Enggak, menurut aku Dia jahat. Dia udah rampas semua kebahagiaan aku. Bahkan sedikit aja, Dia nggak pernah kasih aku kebahagiaan. Semuanya dirampas semenjak aku lahir."
"Bukannya semasa kecilnya Nabi Muhammad juga menderita? Apa itu karena Allah benci sama beliau? Bukan. Bukan karena itu. Justru Allah sayang sama beliau. Allah lagi mengangkat derajatnya. Begitu pun dengan non Rani. Mungkin Allah mau non Rani ngaduin semua masalah non Rani sama Allah. Allah rindu non Rani. Sebab nggak ada hamba yang nggak diuji semasa hidupnya, Non. Nabi juga diuji. Lalu, kenapa kita enggak?"
Rania hanya diam tanpa menanggapi nasihat pembantunya.
Tak lama kemudian, Rania bangkit dari duduknya, dan pergi meninggalkan bi Nani sendirian. Bi Nani selalu berdoa, agar suatu saat nanti Rania bisa menjemput hidayahnya. Dia anak yang baik, hatinya tak akan sekeras itu.
Suatu saat nanti, hanya Allah-lah tempat terakhirnya untuk mengadu. Hanya sajadahlah tempatnya berkeluh kesah dan merintihkan semua kesakitan. Hanya sajadahlah, tempatnya menampung air mata.
🍁🍁🍁
Bersambung
Peluk jauh, Ayatulhusna_ 🤗
Jazakillahu khairan khatsiiran ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top