7. °Balas Budi°


*بـــــــسم اللّـــــــه الرّحمن الرّحيـــــــم*

⚠Ambil baiknya, buang buruknya⚠

⚠Jangan ngejudge suatu cerita sebelum kamu mebacanya sampai tamat⚠

📖Selamat Membaca📖

Harap baca bab 6 kembali, karena bab itu sudah direvisi total.

🍁🍁🍁

Sesungguhnya Allah pasti akan mengampuni setiap hambanya yang berdosa, sebelum ruh sampai ditenggorokan. Maka, gunakanlah waktu selagi Allah masih memberimu kesempatan

🍁🍁🍁

"Enak ya makan tinggal makan. Pulang makan tidur. Enak banget hidup kamu."

Senna yang sedang menikmati sarapannya terhenti. Diputarnya bola mata dengan malas. Ucapan tantenya itu berhasil membuat selera makannya hilang. Jangan lupakan juga wajah Senna yang kini sudah berubah murka.

Senna berdiri, tak sudi duduk berhadapan dengan Sarah. "Dasar Tante yang nggak tahu balas budi. Dulu waktu Tante susah siapa yang bantu, hm? Siapa?" Gadis itu tersenyum kecut.

"Oh sekarang udah main ngungkit kebaikan, ya. Dulu Tante nyusahin keluarga kalian itu cuma sementara. Sekarang? Kamu mau selama-lamanya tinggal di sini?"

"Siapa yang nyuruh aku untuk tinggal di sini? Bukannya suami Tante, ya? Makannya, punya anak, dong," sindir gadis itu seraya melipatkan tangan di bawah dada.

Ucapan Senna berhasil membuat amarah Sarah tersulut. Dia pun langsung berdiri. Senna mengangkat kedua alisnya.

"Coba bilang sekali lagi. Tadi kamu ngomong apa?!" bentak Sarah dengan oktaf tinggi.

"Makannya Tante punya anak. Kasian ya om Ilyas, punya istri yang nggak sempurna. Cepat atau lambat dia bakal kembali sama keluarga pertamanya. Dan Tante harus siap-siap menderita. Tante bakal ngerasain apa yang aku rasain. Ditinggalkan oleh orang yang paling disayang. Terus apa tadi, kalau nggak denger tadi Tante bilang aku ngungkit kebaikan?" Senna menyipitkan mata.

Sarah diam, berusaha meredam amarah.

"Okey. Aku bisa aja pergi dari sini. Tapi Tante harus siap-siap kehilangan suami tercinta Tante itu. Keadaan yang mengharuskan aku untuk tinggal di sini, jadi jangan salahin aku, Tan. Ini salah Tante, suruh siapa nggak bisa ngasih anak. Kasian."

Tak tahan dengan semua kebenaran yang diluncurkan sang keponakan, Sarah mengambil segelas air yang ada di meja dan dilemparkanya isi gelas itu ke wajah Senna. Langsung saja Senna terbelalak dengan sempurna. Wajahnya sudah basah kuyup. Sarah masih menatapnya dengan kilat tajam.

"Dasar anak nggak tau diuntung! Jaga mulut kamu!"

"Aku berhak tinggal di sini! Ini amanah dari Mama yang harus aku turutin. Aku harus tinggal sama Tante. Kalau bukan karena Mama dan om Ilyas yang punya mimpi untuk dapet keturunan, aku nggak sudi tinggal di sini!"

"Terserah kamu!" Sarah berlalu meninggalkan Senna. Senna masih berdiri di tempat dengan tangan mengepal. Ia tidak mengerti mengapa tantenya selalu menyudutkan dirinya seperti itu.

"Non, ada tamu," suara pembantu membuyarkan lamunan Senna.

Tak lama kemudian, dia melihat Radit di belakang pembantunya.

Karena mood-nya sedang hancur berantakan, Senna hanya duduk tanpa menyambut kedatangan Radit. Sampai pada akhirnya, Radit-lah yang datang menghampiri. Dia duduk di sebelahnya.

"Kamu kenapa? Kok basah kuyup gini?"

"Biasa, tante," jawab Senna tanpa melirik Radit.

"Kenapa sama tante kamu?"

"Dia selalu mojokin aku tanpa sebab."

Radit tersenyum miring.

"Apa dia nyimpen dendam sama aku?"

"Udah aku bilang, kamu bunuh aja dia. Dengan begitu, kamu bakalan bebas. Jadi orang baik itu kadang rugi. Kalau mau jadi orang jahat, jangan tanggung-tanggung. Kalau udah berani minum alkohol, kenapa untuk ngabisin nyawa orang aja nggak bisa? Takut di penjara? Kamu punya otak, kan?"

"Aku emang punya otak. Tapi untuk ngabisin nyawa orang, aku nggak bisa. Otak aku bukan dipakai untuk ngelakuin hal nista itu. Please, Radit."

"Ya ya oke. Aku minta maaf." Radit mengangkat tangannya. Sepertinya Radit akan kesulitan untuk membuat Senna benar-benar membenci tantenya.

Radit pun mengambil tisu yang kebetulan ada di atas meja makan, dia  mengelap wajah Senna dengan tisu tersebut pelan-pelan, mengeringkan bulir air yang ada di pipinya. "Aku bakalan selalu ada buat kamu. Bahkan, aku bisa bantu kamu untuk ngelampiasin amarah kamu ke tante kamu yang jahat itu."

Cara Radit memperlakukannya membuat Senna luluh. Bibirnya kembali melelukkan senyum, meski mata itu masih menyiratkan kemarahan.

🍁🍁🍁

"Sumpah ya, Ran. Kakak lo galak banget, sih! Ngeri gue. Aduuh, gue udah nggak tertarik lagi sama dia. Percuma kalau ganteng-ganteng tapi galak." Di perjalanan menuju kantin, Bianca terus saja mengomel tentang Radit. Dia tidak jadi lagi mengidolakan kakak Rania itu.

"Kamu ketemu kak Radit di mana? Dia galakin kamu kayak gimana?"

"Di ...."

"Oh, pasti di pub, ya. Nggak salah lagi," potong Rania. Ke mana lagi kakaknya pergi selain ke tempat nista itu? Rania bingung cara menghentikan kebiasaan Radit yang mungkin sudah mendarah daging dalam dirinya.

Mereka sudah sampai di tempat langganan---warung bakso yang tak pernah sepi pembeli---dan mereka pun duduk berhadapan di sana. Tak lupa, Bianca memesan dua mangkuk bakso kepada mang Atun---nama pedagang bakso tersebut. Hingar-bingar di kantin membuat acara ngobrol Bianca dan Rania harus naik dua oktaf.

"Kamu abis dimarahin sama kak Radit emangnya, sampai kamu ngomong dia galak? Dia nggak bakal galak kalau tanpa sebab."

Mengingat ancaman Radit malam itu di pub, Bianca mengurungkan niat untuk berbicara yang sebenarnya. Ya, Radit memarahinya karena ada sebab. Dan sebab itu berkaitan dengan Rania, adik Radit sendiri.

Bianca sendiri heran, mengapa Radit menyembunyikan rasa pedulinya kepada Rania?

Apa karena Radit memiliki alasan tertentu, atau memang dia gengsi?

"Hello, Bi." Rania melambaikan tangan di depan wajah Bianca yang tengah melamun. Tak lama kemudian, Bianca pun tersadar, bibirnya gelagapan. "Kamu ada masalah sama kak Radit?" tanya Rania diplomatis. "Cerita, dong!"

"Ehm, enggak, kok. Kemarin di bar aku nggak sengaja numpahin minuman ke bajunya. Eh dia ngamuk dan maki-maki gue," dustanya.

"Maafin dia ya. Dia emang gitu."

"Iya, Ran, santai aja kali. Kayak ke siapa aja."

Rania tersenyum.

"Gue mau nanya sesuatu nih."

"Apa?"

"Apa kak Radit sayang sama lo? Apa di rumah dia suka ngasih bentuk kepeduliannya sama lo?"

Rania malah mengedikkan bahu tak acuh. "Nggak tau. Mungkin malah sebaliknya. Dia malahan benci sama aku."

Tak berangsur lama, pesanan mereka sudah tiba, begitu pun dengan es tehnya.

"Makasih, Mang," ucap Bianca ramah.

"Sama-sama, Neng."

"Kenapa lo mikir gitu?" tanya Bianca kemudian kepada Rania seraya mengaduk baksonya yang menimbulkan aroma gurih. Tak lupa dia menambahkan saos dan kecap.

"Entahlah. Aku ngerasa aja. Walaupun aku punya keyakinan lebih kalau kak Radit itu sayang sama aku, keyakinan aku selalu luntur saat aku liat matanya. Cara dia perlakuin aku itu nunjukin kalau dia nggak punya sedikit pun rasa sayangnya."

"Mungkin cara dia nyayangin adiknya itu beda dari yang lain. Entah itu karena gengsi, atau emang kemauannya begitu."

Rania teringat masa kecilnya.

Ketika usianya tujuh tahun, dia pernah jatuh dari sepeda, dan Radit memarahinya. Tapi pada akhirnya, dialah yang menggendong Rania sampai ke rumah.

Rania ingin kembali menjadi anak kecil. Agar dia bisa merasakan kasih sayang Radit walaupun itu hanya sedikit. Karena sewaktu masih kecil, Radit masih memiliki sisi baiknya. Rania bisa merasa bahwa dia memiliki kakak yang selalu sigap melindungi adiknya yang dalam keadaan apa pun.

"Makannya kalau naik sepedah itu pelan-pelan! Udah dibilangin kamu itu anak kecil, belum bisa naik sepeda roda dua!" Nada suara Radit ketika mengatakan itu begitu tinggi. Seperti bukan nasihat tapi membentak. Rania menangis merasakan nyeri di kaki dan sikunya.

Tak hanya itu, Radit juga memarahi teman-teman Rania yang barusan sempat menertawai sang adik sampai mereka semua kabur karena takut.

Tiba-tiba juga Radit yang berusia sepuluh tuhun berjongkok, dan memberikan punggungnya kepada Rania.

"Ayo naik!"

"Tapi sepedanya gimana, Kak?"

"Nanti kakak balik lagi dan bawa sepeda kamu."

Rania pun naik ke punggung Radit.

"Makasih, Kak."

Radit tidak menjawab, Rania mengeratkan pelukannya. Rania tidak mengerti mengapa kakaknya bisa ada di tempat dia bermain. Tapi Rania senang, sang kakak datang tepat waktu dan memberikan pertolongan.

Apa mungkin sang kakak mengikutinya dan diam-diam memperhatikan?

Sore itu, angin berembus begitu sejuk. Menerbangkan beberapa helai rambut Rania. Menggoyangkan para ilalang yang tumbuh di pinggir-pinggir jalan. Rania bahagia bisa digendong kakaknya yang paling tampan dan galak. Itu tandanya, sang kakak menyayanginya.

Air mata Rania jatuh.

"Eh kok malah nangis?" tanya Bianca cemas.

"Nggak tau. Kalau udah ngomongin kak Radit, aku suka sedih. Aku kangen kak Radit. Aku kangen kakak aku. Sekarang dia berubah. Aku ngeliat dia kayak monster yang nyeremin."

Ingatan Rania terlempar pada kejadian kemarin sore. Seorang perempuan datang ke rumahnya. Dia marah-marah tidak jelas dan mencari keberadaan Radit.

"Mana Radit?! Dia harus tanggung jawab."

"Apa yang udah Kakak saya lakuin? Tanggung jawab apa maksudnya?" tanya Rania bingung dan khawatir. Ia ikut kalang kabut.

Sebuah mobil masuk ke pelataran rumah, dua perempuan itu otomatis mengalihkan pandangan ke sana. Ternyata dia Radit. Selepas turun dari mobil, dia berjalan mendekat.

Rania bernapas lega, akhirnya kakaknya itu pulang.

"Radit!"

"Ngapain lo ke sini, hm?" tanya Radit dengan santai.

"Gue mau minta tanggung jawab lo. Sekarang di perut gue ini ada anak lo."

Rania terperanjat. Tunggu-tunggu, anak? Maksudnya?

Perempuan itu memegang tangan Radit. "Gue mau lo tanggung jawab. Nikahin gue sekarang juga."

Radit hanya tersenyum kisut, dengan kasar ia melepas tangan perempuan itu tanpa perasaan.

"Nggak usah sentuh-sentuh gue. Apa? Nikah? Seumur hidup gue nggak bakalan nikah."

Wanita itu meneguk ludah dengan susah payah, menatap Radit tak menyangka. Sungguh ini benar-benar penghinaan telak untuknya.

Radit memberikan segepok uang kepada gadis yang sudah ia ambil keperawanannya itu. Otomatis, dia bukan gadis lagi. "Lo sendiri yang ngasih kehormatan lo itu ke gue. Jadi ini bukan sepenuhnya salah gue. Lo nggak bisa nuntut gue semau lo. Lagian, lo jadi cewek murahan banget. Cinta? Oh iya ya, dulu gue pernah bilang cinta ke lo. Dan lo langsung percaya dan serta merta ngasih hal yang paling berharga dalam diri lo? Lo doang yang salah, bukan gue."

Tatapan wanita itu sama sekali tak berpindah dari wajah angkuh Radit.

"Sekarang lo pergi, gue tanggung jawab pakek duit ini. Udah selesai! Terserah lo mau apain tu anak! Yang jelas gue udah nggak ada urusan lagi."

Rania mundur beberapa langkah, kepalanya menggeleng. Astaga. Jadi kakaknya sudah berani melakukan hal bejat itu? Meniduri wanita hanya demi memuaskan hasrat? Tolong katakan bahwa semua itu hanya bohong. Tolong katakan ini hanya mimpi.

Setelah menerima uang dari Radit, dia memutuskan pergi dengan menahan amarah di dada. "Lo bakalan nyesel udah ngelakuin ini sama gue!" Itulah kata-kata yang sempat dia lontarkan. Radit hanya tertawa remeh. Ya, semua wanita memang bodoh.

Pandangan Radit beralih pada Rania yang sedang memegang dadanya. Bahkan mata Rania sudah berkaca-kaca. Radit menatap mata itu dalam-dalam. Ada sorot penyesalan dari dalam mata Radit sendiri.

"Kenapa? Nggak suka? Mau lapor ke nyokap? Silakaan!" Ucapan yang Radit lontarkan seakan kontradiktif dengan hatinya yang mungkin sekarang patah. Rania sudah mengetahui kejahatan paling bejatnya. Pasti Rania akan semakin membenci kakak paling berengeseknya itu.

"Istigfar, Kak. Apa yang Kakak lakuin itu salah! Bilang sama aku tadi cuma salah paham, kan? Cewek itu salah orang, kan?" desak Rania frustrasi.

"Dia mantan gue. Gue emang udah ngelakuin itu."

Dada Rania semakin sesak. Untuk bernapas saja rasanya sulit. Ia membutuhkan udara lebih banyak lagi. Ya Tuhan.

"Udah, biasa aja kali." Radit melangkah meninggalkan Rania. "Gue cowok. Nggak bakal rugi."

Lutut Rania lemas. Tubuhnya ambruk ke bawah. Pandangannya kosong. Apa itu benar? Apa kakaknya sudah melakukan itu semua? Apakah dia jujur? Apakah dia sudah gila?

Setelah puas meminum alkohol, dia juga berani melakukan zina. Lalu apa lagi?

"Kakak ...." Tangan Rania yang tersimpan di atas lantai mengepal dan gemetar.

"Sabar, ya, Ran. Gue yakin abang lo sayang kok sama lo." Seakan mengerti dengan air mata yang turun di pipi Rania, Bianca berujar simpatik.

"Aku nggak tau harus gimana." Rania menghapus air matanya. Sungguh, kejadian kemarin membuatnya terpukul. Rania tidak tahu harus bercerita pada siapa. Kebenaran ini hanya dia yang mengetahui. Merahasiakan kesakitan itu tidak gampang.

Rania sendiri tidak berani mengatakan itu kepada ibunya. Bagaimana reaksinya jika ia tahu?

Karena tak selera, Rania sama sekali tak menyentuh makanannya. Ditangkupnya wajah dengan kedua tangan.

Masalah ini benar-benar menjadi beban paling berat untuk ditanggung sendirian.

🍁🍁🍁

Bersambung

Jazakillahu khairan khatsiiran ...

Peluk jauh, Ayatulhusna_ 🤗

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top