5. °Ayah°
*بـــــــسم اللّـــــــه الرّحمن الرّحيـــــــم*
⚠Ambil baiknya, buang buruknya⚠
⚠Jangan ngejudge suatu cerita sebelum kamu mebacanya sampai tamat⚠
📖Selamat Membaca📖
🍁🍁🍁
Cinta pertama seorang anak perempuan adalah ayahnya, dan patah hati terbesar seorang anak perempuan ketika ditinggalkan ayahnya.
🍁🍁🍁
Rania memutuskan untuk kembali masuk sekolah setelah tiga hari meminta izin. Sekarang, Rania benar-benar sudah yakin, akan melupakan semua kenangannya bersama Raka, tidak akan pernah menunggu laki-laki itu datang untuk mengajaknya makan di kantin. Kandasnya hubungan mereka benar-benar membuat Rania sadar, jika dia tetap bersama Raka, kelak laki-laki itu pasti akan mengulangi hal yang sama. Saat ia sudah tidak cantik lagi, saat ia sudah memilik beberapa orang anak, saat dia sudah tidak bisa mengurus diri, maka di situlah sejarah akan terulang kembali, mengulang status janda ibunya. Karena di saat seperti itu, Raka akan berpeluang besar untuk meninggalkannya demi wanita lain.
Rania tidak tahu, apakah dia akan sanggup menahan diri saat bertemu Raka, karena sejatinya laki-laki itu amat pandai menggoda. Rayuan laki-laki itu sering melunturkan emosinya. Tapi, sekuat tenaga yang ada, Rania akan berusaha menjauh dan tidak menerima Raka kembali.
"Nggak usah pikirin Raka lagi, gue yakin banyak cowok yang ngantri mau jadi pacar lo."
Rania hanya mendesis, pacar katanya?
"Aku nggak mau pacaran lagi, semua laki-laki itu sama aja."
"Ih pasti ada yang baik Rania, ganteng, penyayang dan setia, makanya gue itu pengen bangen punya cowok kayak gitu."
"Itu cuma ada dalam hayalan kamu aja."
"Gitu banget lo, Ran. Nggak bisa liat sahabatnya itu seneng dikit aja."
"Alia kemana? Kenapa dia nggak masuk?" tanya Rania mengalihkan pembicaraan. Ia malas mengikuti pikiran Bianca yang terlalu penuh dengan drama, ujung-ujungnya akan membahas hal-hal kotar yang bisa merusak pikiran. Ya, Bianca memang begitu, perempuan yang suka ceplas-ceplos, perempuan yang suka menyatakan perasaan lebih dulu pada laki-laki dan teman Rania yang paling banyak punya mantan. Bianca itu, perempuan yang cepat move on, putus dengan pacar satu hari, pasti dapat gantinya lagi. Ya begitulah kira-kira. Kadang Rania ngeri sendiri.
"Mana gue tau, Ran. Itu anak nggak nongol-nongol dari kemarin."
"Kamu udah datang ke rumahnya?"
"Belum."
"Nanti kita kesana."
"Oke."
🍁🍁🍁
Rania dan juga Bianca memutuskan untuk jalan kaki ke rumah Alia, karena jarak sekolah dan rumah Alia juga tidak terlalu jauh. Sepanjang perjalanan, Bianca hanya bisa memprotes, takut cahaya matahari bisa merusak kulit putihnya. Sesekali Rania hanya tertawa menyikapi sikap Bianca yang seperti itu.
"Bi, kamu nggak kangen ayah kamu?"
"Dih ngapain kangenin orang itu, jijik gue."
"Sedikitpun?"
"Ya gimana ya, Ran. Pokoknya gue benci sama dia, dulu sih gue emang sedih aja, suka kagen sama dia, liat orang lain yang bisa deket sama ayahnya gue suka iri, tapi itu dulu. Sekarang gue mikir, ngapain gue pikirin orang yang jelas-jelas nggak pernah sayang sama gue, kalau dia sayang nggak bakal dia bikin gue sebenci ini sama dia."
"Aku takut nikah, Bi."
"Kenapa takut? Lo takut ngalamin hal yang sama? Ya gampang, ngga usah cintai laki-laki terlalu dalam, sewajarnya aja, nanti kalau kita ditinggalin kita cari aja yang baru."
"Nggak mungkin bakal semudah itu, Bi. Kalau kita cuma bisanya nikah cerai nikah cerai, gimana masa depan anak kita? Kalau misalnya kita nikah lima kali terus punya anak juga lima, ayahnya beda-beda, aku nggak bisa bayangin." Rania bergedik ngeri, membayangkannya saja sudah membuat Rania semakin takut untuk menikah. Karena semakin lama, perceraian semakin sering terjadi, menganggap pernikahan bukan lagi ikatan yang sakral, mereka bisa berganti pasangan semau mereka, menukar istri atau suami di saat sudah merasa bosan.
Mungkin ini dampak negatif dari perkembangan jaman, atau karena minimnya ilmu pengetahuan agama. Menganggap hal itu tidak akan ada kaitannya dengan agama, bagi mereka jika sudah tidak ada kecocokan lagi, berpisah adalah hal yang paling benar untuk dipilih.
"Ya pake KB lah, nggak bakal punya anak."
"Ngerti banget kamu, Bi."
"Ya tau lah, kan diajarin Alia. Kata dia kalau kita peke KB pas kita ehem-ehem nggak bakal hamil."
"Ehem-ehem apa?"
"Masa lo nggak tau, Ra. Yang di atas kas..."
"Hust! Jangan sembarangan ngomong kamu, kalau ada yang dengar nggak baik!" potong Rania cepat, tidak mau kalau Bianca melanjutkan ucapan yang melenceng.
"Hehe, habis lo sih, belaga polos."
"Loh, emang aku nggak tau, Bi."
"Ah terserah lo deh."
🍁🍁🍁
"Radit, sampai kapan kamu terus-terusan kayak gini, Ibu udah capek nasehatin kamu, tapi kenapa kamu nggak pernah mau berubah, Radit. Kamu marah saat Rania ikut-ikutan seperti kamu, tapi kenapa kamu nggak mau ngerubah diri kamu sendiri."
Asri berteriak di depan wajah Radit, anak laki-laki itu semakin menjadi-jadi, di dalam kamarnya penuh dengan botol-botol berisikan minuman Alkohol, bau kamarnya ikut menjadi busuk.
"Aku kayak gini juga karena ibu, aku yakin kalau ayah ninggalin ibu karena ibu punya salah, kalau ibu nggak lakuin kesalahan apapun pasti ayah nggak bakal ceraiin ibu, pasti aku nggak akan kayak gini. Apa ibu pernah mikir dampak dari perceraian kalian? Aku sering di hina!" Radit mengepalkan kedua tangannya, wajahnya memerah menahan amarah.
"Jangan menuduh ibu seperti itu!"
"Oh ya? Kenapa? Karena aku benar?"
Pertengkaran sengit antara ibu dan anak itu semakin menjadi, Asri sudah habis kesabaran, Radit harus disadarkan agar tidak mengambil kesimpulan yang salah.
Radit duduk di atas ranjang, air mukanya berubah menjadi tenang, kemudian matanya mengeluarkan cairan bening. Sejak kecil, dia sudah terlalu sering dihina, dikucilkan. Radit tidak pernah tahu, dari mana kabar perceraian kedua orang tuanya bisa menyebar di sekolah, entah karena mulut yang hanya bisa menyebarkan gosip ke sana kemari, hingga semuanya menjadi seperti ini.
"Tio, Tio, jangan mau main sama si Radit. Dia itu nggak punya papa, papanya itu cerai sama mamanya, dia pasti anak nakal, nanti kita dijahatin."
Anak laki-laki berusia enam tahun itu menatap Radit bingung.
"Radit, kamu bohong, kamu bilang papa kamu baik, sama kayak papa aku, ternyata kamu nggak punya papa."
"Aku punya ayah kok, Tio." Radit berusaha meyakinkan temannya kala itu, bagi anak seusia Radit, tentu memiliki banyak teman adalah impian yang sederhana, tanpa dikucilkan dan dituduh yang tidak-tidak
"Bohong, kenapa aku nggak pernah liat papa kamu nganterin kamu sekolah?"
"Ayah aku lagi kerja Tio, makanya nggak pernah nganter aku."
"Jangan percaya Tio, mama aku yang bilang kalau mama sama papa Radit itu cerai."
Radit tidak terima, akhirnya dia mengambil batu yang ada di atas tanah, lalu melayangkan benda itu ke arah kepala anak laki-laki yang membuatnya kesal. Karena kejadian itu Radit selalu dikucilkan membuat dia tumbuh menjadi anak yang benar-benar nakal, sering berpindah-pindah SD dan kejadian sama terulang, Radit selalu melukai teman-temannya yang dirasa mengganggu.
"Sejak dulu, di mata ibu aku cuma anak yang nakal, nggak pernah bisa diatur, apa ibu pernah tanya diri ibu sendiri? Kesalahan apa yang ibu lakuin sampai ayah tega ninggalin ibu, padahal saat itu Rania baru lahir. Atau, jangan-jangan Rania bukan anak ayah? Makanya ayah marah dan ninggalin ibu?"
"Jaga ucapanmu Radit!" Asri menampar pipi Radit kuat, tuduhan Radit sangat menjatuhkan, itu artinya secara tidak langsung anaknya sudah menganggapnya bukan wanita baik-baik. Sungguh demi apapun Radit dan Rania benar-benar anak Ilyas, laki-laki itu
Selama ini Asri merasa dirinya selalu tidak pernah salah, apa yang dia lakukan selalu mengutamakan keluarga, permintaan Ilyas selalu dia penuhi, lalu dimana kesalahannya? Asri sudah pernah mengingat-ngingat, memikirkan kesalahan apa yang pernah dia laukan sampai Ilya tega meninggalkannya. Tapi jawabannya tetap sama, ia merasa tidak pernah melakukan ke salahan apa-apa.
"Kalau Ibu cuma bisa anggap aku anak yang nggak berguna, lebih baik ibu pergi! Keluar dari dalam kamar aku."
"Suatu saat kamu akan menikah, Radit. Kamu akan tau bagaimana sulitnya untuk berumah tangga itu."
"Ibu nggak perlu ajarin aku, aku bukan anak kecil lagi."
"Ibu begini karena kamu anak ibu, Radit."
"Aku nggak pernah minta ibu kayak gini."
Asri memijit kepalanya yang terasa pening, kepalanya semakin terasa berat. Ternyata menjadi seorang ibu dan ayah bukanlah yang gampang. Asri tidak bisa melakoni dua figur itu sekaligus. Meski sudah berusaha sebaik mungkin tapi tetap saja tidak bisa menggantikan sosok seorang ayah di hati kedua anaknya.
🍁🍁🍁
Tiga puluh menit yang lalu Rania dan Bianca sudah berada di rumah Alia. Mereka berdua sama-sama terkejut dengan berita yang Alia berikan. Rania tidak menyangka kalau Alia akan hamil di luar nikah, ternyata Alia sudah berjalan sejauh ini.
Tapi, Alia terlihat biasa saja, baginya saat kekasihnya mau bertanggung jawab itu sudah jauh lebih baik, tidak peduli meski harus putus sekolah, bagi Alia bisa bersatu dengan laki-laki yang dicintai akan jauh lebih membahagiakan.
"Kamu yakin, Al?"
"Kenapa enggak? Dia mau tanggung jawab dan mau nikahin aku, mamanya udah ke sini, ya meski mamanya kayak nggak suka sama aku mau gimana lagi, aku kan lagi ngandung cucu dia."
"Ya Allah, Alia. Nikah muda itu berisiko, kamu yakin tetap mau sama laki-laki yang udah rusak hidup kamu?"
"Terus menurut lo siapa lagi yang mau tanggung jawab dan nikahin gue? Nggak ada. Dari pada nggak ada suami lebih baik nikah sama dia kan?"
"Aku cuma bisa berharap semoga pernikahan kamu sama dia itu lancar. Aku pasti bakal kangen banget sama kamu."
"Tenang, masih ada Bianca gesrek, nanti kalau kalian kangen gue, kalian dateng aja ke rumah gue."
Rania hanya bisa menganggukan kepalanya, meski hatinya tidak tenang, takut terjadi hal yang tidak-tidak dengan Alia. Tapi, Rania tidak bisa berbuat banyak hal, yang bisa dia lakukan sekarang hanya berdoa. Berharap kalau rumah tangga Alia akan baik-baik saja.
"Gue jadi pengen nikah juga, Al." Bianca baper sendiri. Menurutnya beduaan dengan pasti amat membahagiakan.
"Emang udah punya calon kamu?" tanya Rania penasaran, sesekali Rania dibuat tertawa geli.
"Nggak ada sih, gue emang jomblo, belum nemu yang ganteng, abang lo sih ganteng, gue maunya sama abang lo, jodohin gue sama bang Radit." Bianca menggebu-gebu sendiri. Ketampanan Radit benar-benar sudah membuat dia tergila-gila.
"Nggak bakal aku restuin kamu sama dia, Bi."
"Loh kenapa?"
"Kakak aku kan tampan, kamu emangnya cantik?" tanya Rania setengah bercanda. Bianca memorotkan bibirnya kedepan, memandang Rania kesal.
"Gue itu cantik, buktinya gue banyak mantan."
Rania menggelengkan kepalanya, sahabatnya itu terlalu berbangga diri memiliki mantan pacar yang banyak, padahal itu semua tidak ada artinya di mata Allah, tidak akan dapat peringkat menjadi wanita paling laku di mata laki-laki.
🍁🍁🍁
Bersambung
Jazakillahu khairan khatsiiran ...
Peluk jauh,Ayatulhusna_ 🤗
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top