25. °Lembaran Baru°
*بـــــــسم اللّـــــــه الرّحمن الرّحيـــــــم*
⚠Ambil baiknya, buang buruknya⚠
⚠Jangan ngejudge suatu cerita sebelum kamu mebacanya sampai tamat⚠
📖Selamat Membaca📖
🍁🍁🍁
Bebera bulan kemudian.
Ini hari pertama Rania masuk kelas baru sebagai mahasiswa. Kehilangan Radit masih kentara terasa. Sampai kapan pun Rania tidak akan mungkin bisa melupakan laki-laki yang paling dia cintai itu. Tapi sekarang bukan saatnya lagi Rania bersedih, dia harus bangkit dan kembali menata hidupnya. Jika ia merindukan Radit, ia akan mengirimka doa untuk sang kakak, karena hanya dengan cara itu Rania bisa memeluk Radit dari jauh.
"Selamat pagi, semua. Saya rasa, saya tidak perlu banyak basa-basi. Sudah tahu siapa nama saya? Sudah tahu setiap sudut kampus ini? Kalau belum saya bisa memaklumi hak itu. Karena kalian masih baru ditempat ini."
Laki-laki yang disebut dosen itu duduk di atas kursi, kedua tangannya di simpan di atas meja.
"Tapi kalau tidak ada yang tahu siapa nama saya, itu keterlaluan."
Rania bungkam seribu bahasa. Mendadak ingatannya kembali dalam kejadian Beberapa bulan lalu. Saat dia mencoba menghabisi nyawanya dengan cuma-cuma.
Rania berdiri di sisi jembatan, memandang air yang mengalir sangat derasnya. Untuk apa ia hidup di dunia? Untuk apa ia terus bertahan dalam kesakitan? Toh, tidak akan ada yang peduli jika dia mati atau tidak. Baik kakak, atau ibunya, mereka tidak akan sedih, kan? Jangankan mencari jasadnya, bertanya ke mana pergi anaknya saja tidak sudi.
Sekuat-kuatnya seseorang, akan ada tahap di mana dia merasa lemah dan memilih menyerah.
Jujur Rania sudah lelah menghadapi semuanya. Sepertinya ia tidak akan pernah bisa membuat keluarganya harmonis.
Mungkin dengan mati, semua masalah dan kesedihan bisa hilang. Ia tidak perlu repot-repot lagi memperbaiki atau bahkan mengeluarkan air mata akibat kepedihan yang mendera hati.
Hatinya tak sekuat baja yang tahan ketika dipukul berkali-kali.
Untuk kesekian kali ia dikecewakan oleh ibu dan kakaknya sendiri.
Seseorang menggapai tangan Rania dan menariknya menjauh dari jembatan. Bahkan mereka nyaris terjatuh tapi keduanya berhasil menyeimbangi.
"Mbak ngapain di sana? Nanti kalau jatuh gimana?"
"Aku emang mau bunuh diri. Aku mau bunuh diri." Rania kembali mendekati jembatan itu, tapi dengan cepat pria tadi menariknya kembali secara paksa. Rania berontak. Ia berusaha melepaskan genggaman tangan pria asing yang sudah mengacaukan rencananya itu tapi sia-sia.
"Mbak ngapain bunuh diri? Nggak baik bunuh diri."
"Aku udah nggak ada gunanya lagi buat hidup! Dunia ini tuh jahat. Aku mau ninggalin semuanya. Termasuk semua kesakitan ini. Lepasin, jangan halangi aku. Lepas!"
Pria itu masih saja menggenggam tangan Rania dengan erat. Ia tahu ini salah, tapi demi menyelamatkan nyawa seseorang, ia yakin Allah pasti mengerti.
"Apa dengan bunuh diri semua masalah yang Mbak hadapin bisa hilang? Enggak. Allah melarang keras kita untuk membunuh diri kita sendiri. Kalau Mbak punya masalah besar, Mbak harus percaya kalau Mbak punya Allah yang Mahabesar. Nyelesain masalah itu bukan dengan bunuh diri. Itu jelas salah besar. Mbak akan berdosa."
"Tau apa kamu tentang masalah aku?! Tau apa?! Kamu itu nggak tahu apa-apa. Jadi nggak usah ikut campur!"
"Setiap orang pasti punya masalah, setiap orang pasti diuji. Dalam bentuk yang berbeda-beda. Tugas kita hanya menyikapi dan menjalaninya dengan ikhlas dan sabar. Setiap masalah pasti ada jalan keluar. Allah nggak akan membebankan hamba-Nya di luar kesanggupannya."
Rania hanya bisa terisak.
"Lebih baik Mbak shalat. Adukan semuanya sama Allah. Bunuh diri itu perbuatan keji. Surga aja haram untuk ia injak. Jangan pernah mengharapkan ketenangan setelah mati karena bunuh diri. Karena siksa Allah itu jauh lebih pedih, Mbak. Dunia diciptakan untuk menguji, setinggi apakah iman yang kita punya. Istighfar, Mbak. Allah itu Mahabaik. Dia nggak akan membiarkan hamba-Nya kesusahan. Sebaliknya, Allah akan murka, kalau liat hamba-Nya malah membunuh dirinya sendiri hanya karena ujian yang Dia kasih."
Rania melepaskan genggaman pria itu, ia berjongkok seraya menangkup wajahnya dengan kedua tangan. Bahunya berjengit, ia terisak. Entah apa yang ia rasakan saat itu. Entah kecewa, sedih, atau menyesal karena perbuatan nekatnya tadi.
"Banyak orang yang sudah mati tapi mereka ingin sekali kembali ke dunia untuk mengamalkan kebaikan. Jangan sia-siakan hidup, Mbak. Bunuh diri bukan jalan keluar yang baik. Justru itu perbuatan tercela. Dalam Alquran pun Allah melarang hamba-Nya untuk membunuh dirinya sendiri."
Rania tidak menggubris, ia masih menangis.
"Saya emang nggak kenal sama Mbak. Tapi saya tau, Mbak pasti masih muda. Perjalanan Mbak masih panjang. Jangan biarkan Mbak mati sia-sia. Jalani saja semua yang ada. Anggap itu sebagai ujian yang Allah kasih."
Rania masih dengan isakannya . Sudah dua orang yang mengatakan apa yang ia alama adalah ujian. Ujian itu apa? Apa makna ujian? Rania sungguh tidak mengerti. Mengapa disebut ujian? Bukankah ini adalah penyiksaan batin?
"Semoga Mbak mau mendengarkan saya. Yang penting saya sudah memperingati. Tapi sekarang terserah Mbak. Mbak mau meneruskan aksi bunuh diri tadi dengan resiko besar----menyangkut keselamatan di akhirat, atau membatalkannya, dan siap menghadapi masalah di dunia ini yang sementara." Dia mengembuskan napas pelan, kemudian, "Assalamualaikum...."
Pria itu berjalan meninggalkan Rania, dia kembali masuk ke dalam mobilnya, meninggalkan area jembatan itu. Tak lama kemudian, barulah Rania membuka telapak tangan yang menutupi wajahnya, dan melihat kepergian pria tadi bersama mobilnya. Air matanya berhenti mengalir.
Rania mendesis pelan. Bagaimana kalau laki-laki itu masih mengenalinya? Laki-laki yang ternyata sekarang menjadi dosennya sendiri. Yusuf! Akhirnya Rania tahu nama laki-laki.
"Ran, kamu kenapa?" tanya Raka setengah berbisik. Raka dan Rania berada dalam satu kelas yang sama. Raka anggap Raniabmemang jodohnya.
Rania hanya menggeleng. Jujur, Rania begitu malu dengan aksi bodoh yang pernah ia lakukan.
🍁🍁🍁
Hari ini Senna baru saja pulang dari dokter kandungan. Sesuai permintaan Rania, Senna aka menjaga anak yang ada di dalam perutnya. Senna tahu ini berat, mengandung anak tanpa sosok suami pasti akan dipandang miring oleh masyarakat. Senna tidak peduli, karena bagaimanapun anak yang ia kandung tetap hasil cintanya dengan Radit. Meski awalnya bukan kemauan Senna, hanya bayi Senna satu-satunya yang sempat Radit inginkan.
Senna menyentuh perutnya dengan lembut.
"Mama janji, Mama akan jaga kamu. Meski tanpa Papa kamu, Mama yakin kalau kita tetap bisa bahagia." Senna tersenyum. Namun memaknakan kesedihan yang mendalam.
"Coba ada kamu, Dit. Pasti aku seneng. Aku nyesel karena udah dendam sama kamu, seandainya kamu mau jujur waktu itu, pasti nggak akan ada kejadian kayak gini."
Mungkin tidak akan ada yang bisa mengerti bagaimana perasaan Senna yang paling dalam. Bahkan sekadar bahasa 'penyesalan' serasa tidak cukup untuk dibandingkan dengan perasaan hatinya.
Seandainya waktu itu dia mampu mengontrol diri, semua pikiran busuk itu tidak akan mungkin singgah di benaknya.
Senna tidak mengerti bagaimana ia harus menjelaskan kepada anaknya kelak tentang ayahnya. Bagaimana jika dia mempertanyakan kematian ayahnya?
Karena terlalu jauh berjalan Senna merasa nyeri dibagiab kakinya. Di tepi jalan yang sepi, Senna duduk di pinggir jalan.
Sekelebat bayangan manis bersama Radit lagi-lagi muncul di benaknya.
"Radit, aku bahagia banget bisa jadi bagian terpenting dalam hidup kamu. Nggak ada orang lain yang bisa lakuin hal paling spesial ke aku selain kamu."
"Oh ya?" tanya Radit seolah tak percaya. Tapi tidak menghilangkan senyum dibibirnya.
"Iya. Aku pikir setelah aku kehilangan orang tua aku dan diperlakuin nggak adil sama tante aku, aku nggak bakal nemuin kebahagiaan seperti ini. Tapi nyatanya Tuhan malah kasih aku cowok baik kayak kamu."
"Aku nggak sebaik yang kamu kira, Sen. Kamu pasti tau aku laki-laki seperti apa."
"Setiap manusia berhak berubah, kok. Aku yakin kamu pasti nggak mau selamanya jalani hidup kayak gini, kan?"
Radit menganggukkan kepalanya.
"Kamu berhasil bikin aku berpikir seperti itu. Kamu adalah satu-satunya perempuan yang paling aku cintai. Aku tau, ini terdengar lucu. Tapi laki-laki seperti aku juga bisa membuat keputusan kemana dia harus ngasih semua cintanya."
Senna tersenyum penuh makna. Meski Radit sempat mengatakan hanya mempermainkan perasannya saat itu, Senna tetap yakin. Karena pernyataan cinta waktu itu terdengar sangat tulus. Terbukti saat Radit mengembuskan nafas terakhirnya, ada kejujuran yang ia sampaikan. Senna menyesal karena tidak mengikuti kata hatinya. Bahwa Radit benar-benar mencintainya.
Karena terlalu lelah, akhirnya Senna menumpahkan air matanya. Menangisbpilu sendirian. Sekarang hanya tinggal bayi itu kenangan nyatanya bersama Radit. Untung saja waktu itu rencananya untuk melenyapkan kandungan-nya gagal. Jika berhasil, mungkin Senna tidak akan memaafkan dirinya sendiri.
"Kak Senna."
Senna mendogakkan kepalanya.
"Rania?"
"Kakak ngapain di sini?" tanya Rania, kemudia duduk di samping Senna.
"Nggak. Kamu sendiri kenapa bisa ada di sini?"
"Tadi aku mau pulang, tapi nggak sengaja liat Kakak. Ini kan jalan ke rumah aku."
Senna sampai tidak mengerti kenapa ia bisa ada di sini. Ya, Senna baru sadar. Ini memang jalan menuju rumah Radit.
"Kamu sendiri?"
"Tadi aku sama, Raka. Tapi dia udahbaku suruh pulang."
Senna hanya tersenyum.
"Gimana kandungan Kakak? Bayinya sehat?"
"Dia sehat kok, Ran."
"Kenapa Kakak pernah dateng ke rumah? Ibu juga selalu nanyain Kakak. Gimana pun Kakak kan lagi ngandung anaknya Kak Radit, cucu Ibu."
"Aku malu, Ran."
"Malu kenapa? Malu itu kalau Kakak nggak mau pertahanin anak Kakak. Sekarang Kakak mau ya ikut sama aku. Kita ketemu sama Ibu."
"Tapi, Rani..."
"Mau, ya, Kak ... Kasian Ibu. Cuma anak Kakak satu-satunya keturunan Kak Radit."
"Yaudah, aku mau," kata Senna pada akhirnya.
🍁🍁🍁
"Kamu mau makan apa, Sen? Biar Ibu masakin. Atau kamu lagi ngidam? Sebutin aja, Ibu pasti penuhi apa pun permintaan kamu."
Senna masih diam dalam keterkejutannya. Ini kali pertamanya Senna bertemu dengan Asri; ibu Radit. Ternyata perempuan ini amat baik, begitu perhatian dan memberikan kasih sayang luar biasa. Berkat perhatiannya ini, Senna merasa kembali memiliki Ibu. Belasan tahun kehilangan perhatian seperti ini. Salah kah Senna menganggap Asri ibunya?
Radit salah besar jika menganggap ibunya tidak perhatian. Buktinya dengan orang lain saja ia bisa seperti ini, apalagi dengan anaknya?
"Nggak usah, Bu. Aku lagi nggak pengen apa-apa."
"Yasudah. Tidak masalah. Bagaimana kondisi kandungan kamu?"
"Kandungan aku baik-baik aja kok, Bu. Justru dia sehat."
Asri berucap syukur.
"Sekali lagi maafin Radit ya, Sen. Ini bukan sepenuhnya salah Radit. Ibu yang salah karena Ibu tidak becus mendidik Radit. Hingga akhirnya dia tumbuh menjadi laki-laki seperti ini, merusak kehidupan banyak wanita dengan cara menghamilinya. Sudah ada tiga wanita yang datang meminta pertanggungjawaban Radit. Tapi Radit tidak pernah mau dan pada akhirnya mereka terpaksa harus mengugurkan bayinya. Cuma kamu satu-satunya perempuan yang mau mempertahankan anak ini." Asri mendunduk. Malu sekali rasanya.
"Nggak masalah, Bu. Awalnya aku juga sempat gugurin bayi ini. Kalau bukan Radit yang minta, mungkin sekarang bayi ini udah nggak ada."
"Itu semua terjadi karena Kak Senna sama Kak Radit saling cinta."
"Ini juga berkat kamu, Ran. Kalau kamu nggak sampaiin pesan Radit, aku nggak tau apa yang terjadi."
"Itu semua aku lakuin karena aku juga nggak mau kehilangan calon keponakan aku."
"Kamu mau ya, tinggal di sini? Anggap aja ini salah satu tanggungjawab dari Radit, dengan begitu ibu juga bisa menjaga kamu dan calon bayi kamu."
"Makasih banyak buat rawaran yang udah Ibu kasih. Tapi aku rasa nggak usah, Bu. Aku tetap tinggal di rumah aku aja."
"Jadi, kamu menolak."
"Bukan kayak gitu, Bu. Tapi aku nggak bisa. Aku janji bakak sering-sering datang ke sini."
Asri masih diam, jujur dia kecewa. Tadinya ia sangat berharap bahwa Senna tidak akan menolak permintaannya.
"Maafin aku, Bu."
🍁🍁🍁
Bersambung.
Peluk jauh, Ayatulhusna_
Jazakillahu khairan khatsiiran ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top