24. °Kebeneran Yang Terkuak°

*بـــــــسم اللّـــــــه الرّحمن الرّحيـــــــم*

⚠Ambil baiknya, buang buruknya⚠

⚠Jangan ngejudge suatu cerita sebelum kamu mebacanya sampai tamat⚠

📖Selamat Membaca📖

🍁🍁🍁

Kadang Allah mengirim kesedihan untuk menegur kita.
Agar kita sadar, bahwa apa yang kita lakukan selama ini salah. Dia ingin kita kembali ke jalan yang benar.
Itu pun kalau kita peka.

🍁🍁🍁

Bi Nani mendekati Asri yang terisak di kasur almarhum Radit. Ia tidak tega melihat majikannya yang terus terhanyut dalam rasa penyesalan. Bagaimana pun ia harus bangkit dan berusaha memperbaiki kesalahannya.

Rasa sesal tidak akan bisa mengubah ketetapan-Nya. Sedangkan cara ampuh untuk bisa melepas adalah dengan kata ikhlas.

Ikhlas. Satu kata singkat namun bermakna berat.

"Bu, sudah, ya. Jangan sedih lagi. Ikhlasin. Lebih baik kita berdoa aja, semoga Radit tenang di alam sana, Bu. Saya yakin den Radit sedang membutuhkan doa-doa dari orang-orang yang dia sayang."

"Gimana saya nggak sedih, Bi. Saya belum menebus kesalahan-kesalahan saya selama ini sama Radit. Saya terlambat. Saya nyesel udah nelantarin anak itu. Saya nyesel, Bi. Kalau saya tau dia bakalan meninggal, saya lebih baik dipecat dari kerjaan saya, Bi! Dan saya bakal fokus urus mereka dan sayangi mereka, Bi. Saya ingat betapa besarnya perjuangan saya demi ngelahirin mereka. Gimana saya nggak sedih...."

Bi Nani terdiam, sedangkan Asri terus saja meracau dengan derai air mata.

"Saya muak! Saya muak sama diri saya sendiri. Saya gagal menjadi seorang ibu! Saya gagal!" Asri menepuk-nepuk dadanya.

"Semuanya sudah terjadi, Bu."

"Saya gagal mendidik Radit. Saya malah membuat hidupnya hancur. Andai waktu bisa diulang, Bi. Andai waktu bisa diulang...."

"Akhirnya Ibu nyadar juga," lirih suara perempuan yang kini sudah berdiri di ambang pintu.

Asri dan bi Nani mengalihkan arah pandang mereka pada asal suara. "Rania?"

Hening. Diselimuti duka. Kehilangan salah satu anggota keluarga adalah hal menyakitkan bagi suatu keluarga. Rumah seperti lebih sepi dari biasanya.

"Akhirnya Ibu nyadar juga kalau semua yang Ibu lakuin selama ini tuh salah. Akhirnya ibu sadar kan, kalau anak itu lebih berharga daripada harta. Aku rela tinggal di rumah kecil, asal kasih sayang yang ibu kasih ke aku dan kak Radit bisa tercukupi. Boleh kan sekarang Rania benci sama Ibu?"

Asri tidak mampu membalas semua ucapan Rania yang memang hampir benar.

"Jangan seperti itu non Rani. Jangan membenci ibu Non sendiri...."

"Enggak, Bi. Ini semua gara-gara orang tua kami. Ini semua gara-gara keegoisan orang tua kami," ucap Rania. "Apa aku salah nyalahin mereka? Apa aku salah? Bilang sama aku, apa aku salah?!"

"Ibu juga nggak nyangka kejadiannya akan jadi seperti ini, Rani. Tolong maafin Ibu dan ngertiin posisi Ibu...."

"Di mana Ayah, Bu? Aku harus ketemu sama dia. Gara-gara dia semuanya hancur kayak gini. Aku pengin ketemu ayah, Bu. Aku pengin marahin dia! Aku nggak terima. Aku nggak terima. Aku masih butuh kak Radit..."

Bi Nani bangkit dan berusaha menyadarkan Rania.

"Sabar, Non. Jangan emosi seperti ini." Bi Nani mengelus pundak Rania.

"Enggak, Bi. Kali ini aku nggak bisa sabar. Gara-gara orang tua aku sendiri hidup aku dan kakak aku menderita. Akibat dosa mereka kami kena imbasnya. Aku harus cari ayah aku. Dia harus mau menebus semua kesalahannya. Kalau aja dia nggak ninggalin kita, kita nggak akan kayak gini, Bi. Ibu aku nggak akan sibuk kerja, kak Radit nggak akan jadi manusia jahat yang pada akhirnya punya banyak musuh dan ngerenggut nyawa dia...."

Asri berdiri, mendekati Rania. Bi Nani mundur, memberi ruang pada Asri.

"Iya, ayah kamu dan Ibu yang salah. Tapi Ibu mohon, tolong kamu maafin semua keegoisan Ibu. Ibu khilaf. Ibu takut kebutuhan kalian nggak terpenuhi. Tapi sekarang ibu sadar. Anak-anak Ibu masih bisa jadi anak yang baik kalau dia kekurangan harta. Tapi mereka bisa hancur karena kurang kasih sayang. Ibu sadar, harta bukan segalanya, Rani...."

"Kenapa baru sekarang, Bu? Kenapa baru sekarang Ibu sadar? Kenapa?"

Asri membawa Rania ke dalam pelukan.

Rania terisak parah dalam dekapan sang ibu yang selama ini ia rindukan.

"Mungkin Allah mau negur Ibu dulu supaya Ibu sadar, Rani," ujar Asri. "Sekarang cuma kamu satu-satunya harta yang Ibu punya. Jangan benci Ibu. Ibu butuh kamu. Tolong ajari Ibu untuk menjadi orang tua yang lebih baik lagi...." Asri menciumi rambut Rania.

Suara azan Zuhur berkumandang syahdu.

"Bagaimana kalau sekarang kita shalat berjama'ah?" ajak bi Nani diplomatis kepada Asri dan Rania.

Mereka melepas pelukan, dan menatap bi Nani.

Ya, salat. Mereka belum pernah salat berjama'ah.

"Ayo, Bi," ucap Rania terharu. Dengan salat ia bisa lebih dekat dengan Sang pengabul doa. Ia akan bersemangat untuk mendoakan Radit.

🍁🍁🍁

Seharian penuh Senna tidak keluar dari kamarnya. Kesendiriannya itu hanya ditemani air mata yang terus meleleh.

Cepat atau lambat, ia harus bisa menguggugurkan kandungannya. Senna tidak mau anaknya lahir tanpa seorang ayah.

Dan Senna sendiri tak akan mampu menanggung malu.

Apa kata orang kalau nanti ia melahirkan tanpa suami?

Demi Tuhan, Senna tidak akan pernah percaya lagi dengan yang namanya lelaki. Semua lelaki itu brengsek. Semua lelaki itu sama. Semua lelaki itu bejat.

Lagi-lagi Senna menangis keras seorang diri di kamar.

Untuk apa dia hidup? Untuk apa lagi ia bertahan?

Kasus kematian Radit diusut tuntas oleh pihak kepolisian. Rania harus mencari keberadaan Senna. Sebab dia adalah dalang dari semua ini.

Dua orang polisi dan Rania mendatangi kediaman Senna sesuai alamat yang telah dilacak.

Diketuknya pintu. Tak lama kemudian, seorang perempuan membukanya.

"Selamat siang, Bu," ucap polisi itu.

"Siang...."

Tentu saja kedatangan mereka membuat benak Sarah bertanya-tanya. "Ada keperluan apa ya, Pak?" tanya Sarah.

"Tante, apa ini rumah kak Senna?" tanya Rania to the point.

Sarah mengangguk, meski masih bingung tentang dasar kedatangan mereka ke sini.

"Kami datang ke sini untuk menangkap saudari Senna atas kasus pembunuhan berencana...."

Kontan saja kening Sarah mengernyit. Pembunuhan berencana?

"Apa kak Senna-nya ada, Tante?" tanya Rania.

"Ooh, ada." Sarah mengangguk. "Silakan masuk, biar saya panggil Senna terlebih dahulu."

Mereka pun melangkah masuk.
Jika memang benar Senna terlibat kasus ini, maka itu hal yang akan membuat Sarah senang. Itu artinya, anak itu akan keluar dari rumah ini. Jadi ia tak perlu repot-repot mengusir atau adu mulut lagi dengan dia. Biarkan saja anak itu mendekam di penjara sampai mampus.

Sarah membuka pintu kamar Senna.

"Senna! Keluar kamu. Di luar ada polisi yang cari kami. Dasar! Bikin malu keluarga aja!"

Senna yang masih bergelunh di tempat tidur mendadak tertegun.

"Ayo cepet keluar!"

Sudah Senna duga, hal ini pasti terjadi.

"Dasar bikin malu!"

Begitu Senna keluar, ia melihat dua orang polisi bersama dengan perempuan yang membuatnya tiba-tiba naik pitam.

"Kak Senna...." Rania berjalan mendekati Senna.

"Mau ngapain lo ke sini? Pakek bawa polisi segala?! Apa kakak lo belum puas ngehancurin hidup gue?!"

Rania gelagapan.

"Apa lagi yang mau dia ambil dari gue?! Nyawa gue? Nih, ambil! Udah nggak ada gunanya juga gue hidup!"

"Kak Radit udah meninggal. Dan itu semua terjadi gara-gara Kakak!"

"Gue nggak peduli mau dia meninggal atau apa, kek! Gue nggak peduli! Yang penting gue udah puas bales rasa sakit hati gue. Sekarang lo keluar dari rumah gue! Gue nggak sudi liat apa pun yang berhubungan sama cowok berengsek itu!" Senna berusaha mendorong Rania agar Rania pergi dari hadapannya. "Pergi... Gue nggak sudi...."

Polisi yang datang bersama Rania berupaya menjauhkan Senna dari Rania. Tapi Rania menginstruksikan mereka agar membiarkan Senna seperti itu.

"Anda akan kami tangkap atas kasus penculikan dan pembunuhan...."

"Enggak, bukan gue! Bukan gue yang salah! Kakak lo yang salah! Lelaki berengsek itu yang salah!"

Rania menatap nanar Senna. Ia merasa bersalah karena dulu tak mampu meyakinkannya bahwa Radit hanya main-main. Andai saja dulu Senna mau percaya, pasti semua ini tidak akan terjadi.

Tidak ada yang pantas disalahkan secara keseluruhan. Sebab semuanya salah. Baik Radit, Senna, Rania, dan orang tua mereka.

Senna menunjuk wajah Rania. "Kakak lo yang udah bikin gue kayak gini! Harusnya kakak lo yang dipenjara! Bukan gue. Kakak lo enak banget, ya?! Dia pergi gitu aja sementara gue di sini nanggung beban berat. Mental gue nyaris ilang. Sebentar lagi kayaknya gue bakalan gila." Senna mengacak rambutnya.

Rania kembali mendekati Senna yang terguncang hebat.

"Maafin kak Radit. Kak Radit butuh maaf dari kak Senna.... Aku mohon."

"Maaf? Nggak segampang itu. Balikin lagi gue ke yang dulu, baru gue maafin!"

Rania mulai menangis. Ia kasihan melihat Senna. Ia juga kasihan pada kakaknya yang telah meninggal.

"Maafin kakak saya, Kak." Rania memegang tangan Senna yang mulai mematung di tempat, isakannya mulai mereda, tapi air mata tak kunjung berhenti. "Maafin Kakak saya. Saya tau, kak Radit udah banyak nyakitin Kakak. Tapi saya mohon, maafin semua kesalahannya...."  Rania bertekuk lutut sambil terus memegang tangan Senna, berharap wanita di hadapannya itu bisa meringankan beban Radit di alam sana. "Maafin kakak saya...."

Air mata Senna menganak sungai. Radit sudah membuat hidupnya menderita. Tak semudah itu dia memaafkan. Dia sudah banyak melukai hatinya. Tak semudah itu Senna mengobati. Luka yang ia rasakan sudah terlalu dalam.

Memaafkan?

"Bayangin kalau lo ada posisi gue? Bayangin kalau Radit ngelakuin semuanya itu ke lo? Bayangin semua penderitaan gue karena dia. Rasanya sakit. Sakit banget. Itu semua belum seberapa saat Radit juga nginjek-nginjek harga diri gue. Semua ucapan Radit nyakitin gue. Hati gue hati manusia, bukan baja...." lirih Senna seraya membayangkan kembali cara Radit memperlakukannya saat di depan rumah.

"Saya mohon, Kak. Maafin kak Radit. Di detik-detik terakhirnya dia bilang kalau dia cinta sama Kakak."

Deg! Senna terkejut dalam diamnya. Suasana hening untuk beberapa saat.

"Dia pengin Kakak pertahanin kandungan Kakak. Saya bakal cabut tuntutan polisi ke Kakak. Saya bakal biarin Kakak bebas. Tapi saya mohon, Kak. Jangan pernah gugurin kandungan itu. Kak Radit berpesan sama saya kalau kak Senna harus bisa kembali hidup normal. Kak Radit nitipin kak Senna sama saya."

"Bohong...."

"Sumpah demi Allah, Kak. Andai waktu itu saya bawa hape, mungkin semua kata-kata kak Radit bakal saya rekam. Karena saya tau, semua ucapan yang dia keluarin adalah kejujuran dan ketulusan."

"Gue nggak percaya!"

"Demi Allah, Kak. Kakak harus percaya sama saya. Kakak harus percaya kalau kak Radit cinta sama kak Senna. Cuma dia nggak mau mengakui itu."

Rania kembali teringat tragedi beberapa hari yang lalu. Di mana Radit meninggal setelah mengungkapkan segala isi hatinya.

Radit sempat membicarakan Senna. Dia yang berkata bahwa Senna yang melakukan penculikan Rania. Radit juga berkata bahwa Rania harus bisa mencegah Senna untuk menggugurkan kandungannya. Rania harus bisa meyakinkan Senna bahwa Radit memang mencintainya. Senna harus mau mendengar apa kata hatinya. Sebab pengakuannya waktu itu hanya kebohongan, tentang dia yang hanya mempermainkan Senna. Radit ingin melepas Senna dari lelaki berengsek seperti dirinya. Agar ia bisa mendapatkan laki-laki yang lebih baik.

"Gimana mungkin gue bisa percaya sedangkan dia udah nipu gue berkali-kali?" lirih Senna di antara kesenyapan.

Kalimat itu mampu membuat Rania mati kutu.

"Gimana mungkin gue percaya?"

Rania kembali berdiri. "Kakak harus percaya..." Ia meletakan telapak tangan di dada Senna. "Kakak cukup dengerin apa kata hati Kakak."

Senna menangis kembali.

Rania langsung memeluk Senna. "Kakak percaya, ya?"

Senna tergugu hebat dalam pelukan Rania. Andai Radit ada di sini, ia akan memakinya karena telah mempermainkan dia sampai sejauh ini.

Dasar lelaki bajingan dan pengecut, racau Senna dalam hati.

🍁🍁🍁

Bersambung.

Peluk jauh, Ayatulhusna_

Jazakillahu khairan khatsiiran ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top