22. °Kehilangan Adalah Ujian°

*بـــــــسم اللّـــــــه الرّحمن الرّحيـــــــم*

⚠Ambil baiknya, buang buruknya⚠

⚠Jangan ngejudge suatu cerita sebelum kamu mebacanya sampai tamat⚠

📖Selamat Membaca📖

🍁🍁🍁

Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati (QS. Al-Imran: 185)

🍁🍁🍁

Senna yang marah karena perlakuan Radit mulai menyusun rencana agar balik menyerang lelaki berengsek itu. Dia sedang menelepon seseorang guna melaksanakan dendam kesumatnya.

Jika Radit bisa menghancurkan hidupnya, maka ia juga berhak menghancurkan dia. Agar adiknya bisa merasakan apa yang ia rasa. Dicampakkan, dibuang, dan dianggap sampah.

🍁🍁🍁

Hari ini Rania sudah diperbolehkan pulang. Ia senang, sekarang ibunya sudah mau memperhatikannya. Seperti sekarang ini, Asri sudah mau mengantar pulang. Dia juga membantunya berjalan dengan hati-hati.

Setelah sampai di luar, Asri menghentikan langkah.

"Sebentar, Ran. Ibu mau ke toilet dulu. Duh, kebelet, nih. Kamu duduk aja di sana." Asri menunjuk salah satu kursi yang tersedia.

"Iya, Bu." Rania tersenyum.

Ia pun duduk.

Pandangan Rania beralih pada langit cerah. Dia bangkit dari duduknya, dan memandang langit luas itu dengan wajah penuh syukur.

Kecelakaan kemarin mengajarkannya sesuatu. Bahwa musibah bisa datang kapan saja. Tidak ada yang bisa menduga atau mengelak.

Rania bersyukur Tuhan mau memberinya kesempatan untuk tetap hidup. Ia pikir saat insiden tabrakan itu terjadi, ia akan meninggal. Sebab rasanya benar-benar sakit.

Tapi ternyata, Allah masih memberi kesempatan agar dia bisa lebih mensyukuri nikmat yang telah Dia berikan.

Rania juga bisa mengambil anugerah dalam kecelakaan yang dialaminya. Berkat kecelakaan itu ibunya berubah.
Jika dengan hal itu membawakan kabar gembira, Rania ikhlas.

Senyum Rania melekuk di bibir cantiknya.

Namun semua itu sirna, ketika sesuatu membekap mulutnya hingga ia kesulitan bernapas. Dia ditarik paksa masuk ke dalam mobil.

Saat itu pula Asri tiba, dan dia melihat Rania yang diseret masuk ke sebuah mobil.

"Rania!!! Rania!!!"

Semua orang baru menyadari mulai mengalihkan pandangan ketika mobil yang membawa Rania melesat pergi. Mereka ingin mengejar tapi sayang, mobil sudah sangat jauh pergi.

Radit yang baru datang dan melihat itu kembali melajukan mobil, menyusul mobil tadi dengan sorot mata tajam.

Asri merasakan kakinya lemas.

Apa lagi ini ya Allah?

Mengapa masalah terus datang bertubi-tubi menimpa Rania?

Radit melajukan mobil dengan kecepatan kencang. Kedua mobil itu saling kejar mengejar dengan kecepatan di luar batas normal.

Setelah berlama-lama saling membuntuti, akhirnya Radit bisa menyusul dan menyalip. Kebetulan mobil masuk ke jalan sepi. Dia segera memutar stir ke samping dan menghentikan mobil hingga ban mobil mengeluarkan decitan. Alhasil, mobil yang ia kejar mengerem secara mendadak tepat di pinggir mobilnya.

Seseorang keluar, begitu pun dengan Radit dengan amarah membuncah. Radit langsung menghampiri dia dan melayangkan tinjuan memukau. "Turunin adik gue!"

"Jangan coba-coba ganggu lo!"

"Cewek yang lo bawa adek gue!"

Di dalam, Rania terus meneriaki nama Radit. Betapa senangnya ia ketika melihat Radit ada di sini dan membantunya. Ia ingin menangis, tapi ia sadar, bukan waktunya untuk menangis.

Dia menggigit tangan lelaki bertubuh kekar yang tadi menghalanginya untuk kabur. Lelaki itu mengerang dan Rania langsung turun.

"Kak Radit!"

"Lo pergi dari sini. Cepetan!" titah Radit yang sibuk adu gulat.

Pergulatan satu lawan dua orang pun tak bisa dihindari. Rania bisa melihat pertarungan sengit antara kakaknya dan dua lelaki yang tadi berusaha menyakitinya. Suara derakan tulang dan pukulan terus bersahutan.

"Tolong!!! Tolong!!!" Rania berusaha mencari bantuan.

Radit berhasil menghabisi satu preman hingga tergeletak di atas aspal dengan luka-luka memar. Kali ini dia sedang menghajar satunya lagi. Dia sedang berada di atas tubuh lawannya.

"Siapa yang nyuruh lo?! Siapa?!" tanya Radit penuh penekanan sambil menarik kerah baju pria berkepala botak itu.

"Siapa?!"

"Namanya ... Namanya Senna...."

Radit terdiam. Senna? Cengkeraman tangannya pada kerah baju itu mengendur. Pandangannya berubah datar.

Rania membelalakan mata begitu melihat preman itu mengeluarkan pisau. Belum sempat Raina memberi tahu Radit, dia sudah menusukkan pisau tajam itu ke perut Radit hingga kakaknya terpaku. Darah segar mulai mengucur. Ternyata penjahat itu memanfaatkan diamnya Radit. Setelah melakukan aksi biadabnya, dia pergi hingga tubuh Radit terguling ke samping. Rania langsung berlari mendekati Radit yang sudah tergeletak dengan pisau yang masih menancap di perutnya.

Rania mengangkat kepala Radit dan menyimpannya dalam pangkuan. Dia mencoba mencabut tusukan pisau yang ada di perut sang kakak dengan perasaan takut luar biasa. Darah merah sudah bersimbah di sana. "Bertahan, Kak." Air mata Rania berjatuhan. Walaupun ngilu, Rania harus bisa mencabut pisau itu. "Bertahan...." Ia menangis. Ia tak mampu melihat kakaknya kesakitan. "Kuat, Kak, kuat."

"Bismillah...." Tak lama kemudian, dia berhasil melepas pisau itu dan melihat reaksi Radit yang kesakitan. Mulutnya mengeluarkan darah. Rania semakin histeris. Ia tak sanggup melihat kondisi kakaknya yang memilukan dan tragis.

"Ma... Maafin gue, Ran. Selama ini gue nggak becus jadi kakak. Selama ini gue cuma bisa nyakitin perasaan lo. Gue nggak pantes jadi seorang kakak. Gue ... gue cuma sampah yang nggak guna."

"Aku udah maafin Kakak. Kakak bertahan, ya. Aku mau manggil ambulan. Jangan bicara dulu." Rania mencoba menutupi luka Radit, tapi nihil, darahnya terus keluar dan mengalir dengan derasnya. Tangan Rania sudah berlumuran darah. Dan ia tidak tahu cara memanggil ambulan sebab ini tempat sepi dan ia tidak membawa ponsel. Tangis Rania pecah tak terbendung.

"Gue tau lo sayang sama gue. Gue percaya, kok, Ran. Makasih udah mau peduli sama kakak yang berengsek kayak gue. Padahal gue nggak berhak disayangi."

Rania terus menggeleng. Semua ucapan yang Radit lontarkan seakan mengartikan bahwa dia akan pergi untuk selama-lamanya. "Enggak, Kak. Kakak berhak disayangi. Karena kakak itu kakak kandung aku. Mau sebengal ataupun sejahat apa, Kakak tetep kakak aku."

"Tolong jagain nyokap lo. Jangan jadi perempuan yang lemah...."

"Enggak...." Rania menangis sejadi-jadinya.

"Dan satu hal yang harus lo tau. Gu ... gue sayang sama lo. Lebih dari apa pun...."

Rania terisak pilu. Pengakuan Radit membuatnya bahagia. Akhirnya dia mengatakan hal yang selama ini dinanti-nantikan.

"Maaf karena gue nggak pernah nunjukin itu."

Ucapan Radit semakin membuat Rania terluka. Entah harus bahagia atau bagaimana, ia tidak tahu. Ia hanya mempu menangis. Semakin keras isakannya, semakin ia tidak mau kehilangan Radit.

Perlahan, mata Radit terkatup.

"Kak Radit, bangun, Kak! Kak Radit bangun! Kak!!! Kak Radit...!" teriak Rania keras.

Sampai akhirnya, mata Radit tertutup dengan sempurna. Dunia Rania runtuh.

"Kak, jangan pergi. Jangan pergi...."

"Ayo naik!"

"Tapi sepedanya gimana, Kak?"

"Nanti kakak balik lagi dan bawa sepeda kamu."

Rania pun naik ke punggung Radit.

"Makasih, Kak."

Radit tidak menjawab, Rania mengeratkan pelukannya. Rania tidak mengerti mengapa kakaknya bisa ada di tempat dia bermain. Tapi Rania senang, sang kakak datang tepat waktu dan memberikan pertolongan.

Sore itu, angin berembus begitu sejuk. Menerbangkan beberapa helai rambut Rania. Menggoyangkan para ilalang yang tumbuh di pinggir-pinggir jalan. Rania bahagia bisa digendong kakaknya yang paling tampan dan galak. Itu tandanya, sang kakak menyayanginya.

"Kakak sayang sama aku?"

Radit tidak menjawab.

"Kakak sayang sama aku nggak?"

Tetap sama. Radit tidak menjawab.

"Iiih kak Radit," rengek Rania.

Kenangan masa kecil bersama Radit terus berkelebat di kepala. Hati Rania kembali teriris.

Sekarang Rania baru sadar. Tidak semua kata sayang harus terucap dari bibir. Kadang dia menyembunyikan dan membuktikan rasa sayangnya secara diam-diam.

Rania tahu, siapa yang sudah mendonorkan darahnya.

Radit.

Betapa terkejutnya Rania ketika tahu bahwa yang mendonorkan darahnya adalah Radit. Hal itu ia ketahui ketika Raka tak sengaja memberi tahu lewat bibirnya yang tak bisa dijaga dengan baik itu.

Itulah hal yang membuat Rania ingin cepat-cepat pulang dan mengatakan terima kasih pada kakaknya.

Tadinya ia ingin merayakan kebahagiaannya bersama Radit. Ia ingin memaksa Radit supaya ia mengaku bahwa dirinya menyahangi Rania.

Tapi sekarang apa? Rania harus melihat kakaknya mati di depan mata kepalanya sendiri.

Sekejam itu takdir buruk memihaknya?

Rania memeluk Radit yang sudah tak bernyawa, dan menciumi keningnya.

Suara ambulan mulai terdengar. Orang yang tadi sempat melihat tragedi mengerikan itu sengaja memanggil ambulan.

Rasa sayang Rania terhadap Radit tak terhingga. Walaupun dia galak dan sering berbuat kasar, Rania tidak peduli. Yang jelas Radit sudah menjalankan kewajibannya sebagai seorang kakak dengan baik dan sempurna.

Bahkan di detik-detik kematiannya, Radit bertarung nyawa demi menyelamatkan sang adik yang selalu ia maki dan disakiti lewat mulutnya.

Maksud makiannya bukan berarti benci. Tapi itulah cara dia mencintai.

Rania hanya berharap, Allah mau mengampunkan semua dosa-dosa kakaknya.

🍁🍁🍁

Kehancuran terbesar seorang ibu adalah kehilangan anak yang telah ia lahirkan dengan penuh perjuangan dan cucuran keringat.

Seakan sebagian dalam dirinya direnggut secara paksa. Menimbulkan sakit luar biasa.

Asri memasuki ruang mayat yang bersuasana dingin dan mengerikan. Sunyi dan penuh kesesakan. Dia melihat jenazah Radit di atas salah satu bangkar. Tubuhnya melemas. Ternyata begini rasanya melihat anaknya menutup mata dengan tenang dan tak akan pernah membukanya lagi. Tubuhnya kaku dan pucat. Rasanya sakit.

Asri terduduk lemah di lantai. Ia tidak pernah menyangka bahwa ia akan kehilangan anak pertamanya secepat ini. Ia belum sempat membahagiakan Radit. Selama ini dia hanya melentarkan anaknya itu seakan dia akan hidup selama-lamanya.

Petir seolah menyambarnya saat melihat korban tusuk yang keluar dari ambulan. Dan ternyata korban itu adalah Radit---anaknya. Di sana dia menangis histeris bersama Rania.

"Maafin Ibu, Radit. Maafin Ibu... Ibu gagal mendidik kamu. Maafin Ibu..." Asri menjambak rambut. Ia teringat dengan kata-kata yang pernah dilontarkan pada Ilyas bahwa anak mereka sudah tidak ada alias mati.

Ternyata Tuhan dengan cepatnya membenarkan perkataan itu. Dengan teganya Tuhan mengabulkan ucapan bohong itu. Apakah ini kesalahannya?

"Maafin Ibu...."

Bukan maksud Asri menjadikan Radit anak broken home.

Dia hanya ingin kebutuhan anaknya tercukupi. Tapi ternyata hal itu justru memicu bomerang.

Dia gagal mendidik anak. Gagal menciptakan kebahagiaan. Sebaliknya, yang ada hanya kesedihan tak berujung.

🍁🍁🍁

Terdengar suara pintu terbuka di antara keheningan.

"Assalamualaikum...."

Bi Nani tergopoh-gopoh menghampiri Rania yang baru datang. "Eh non Rania udah pulang. Non, bibi punya kabar gembira buat non Rani. Tadi Bibi denger den Radit mau jemput non ke rumah sakit. Itu pertama kalinya, lho. Bibi seneng dengernya. Bibi jamin non juga bakalan seneng, kan? Pasti sekarang Non pulang bareng den Radit, ya?"

Melihat mata sembap Rania dan pandangan kosongnya, bi Nani keherananan.

"Non Rani nggak kenapa-kenapa, kan? Harusnya non seneng, den Radit ngejemput Non. Sekarang mana den Radit-nya?" tanya bi Nani bersemangat.

"Kak Radit udah nggak ada. Dia udah ninggalin aku, Bi." Kembali air matanya luruh.

"Lho? Maksudnya gimana? Meninggal...?"

"Kak Radit meninggal...." Rania tak mampu menopang tubuhnya lagi. Lututnya sudah mencium lantai dingin.

"A ... apa? Non jangan bercanda. Orang ... orang tadi den Radit baik-baik aja."

"Kak Radit meninggal, Bi. Maafin semua kesalahannya, Bi. Maafin semua kata-kata yang pernah dia keluarin. Maafin kak Radit kalau dia punya banyak salah. Maafin dia.... Kasian kak Radit. Kasian kak Radit...."

"Innalillahi.... Ini serius, Non?" tanya bi Nani masih belum percaya. Ia pun menurunkan badannya, menatap Rania yang bercucuran air mata. Rania hanya bisa terisak.

"Innaillahi wa inna ilaihi raajiun," lirih bi Nani shock.

Secepat itu Radit pergi? Padahal tadi ia baik-baik saja. Secepat itu maut menjemput manusia? Padahal tadi dia masih bisa bicara.

Memang, maut tidak akan pernah bisa ditebak kedatangannya. Yang terlihat baik-baik saja belum tentu berumur panjang. Yang terlihat sehat belum tentu memiliki waktu hidup lebih lama.

"Bibi tau apa yang dia ucapin saat di napas terakhirnya? Dia bilang kalau dia sayang sama aku, Bi. Dia sayang sama aku. Tapi kenapa itu terjadi tepat saat aku kehilangan dia? Kenapa, Bi? Kenapa waktu meninggalnya aja kak Radit masih nyebelin?"

Ni Nani yang masih terkejut hanya diam seribu bahasa.

"Gimana ini, Bi? Kak Radit suka mabuk dan ...." Rania sudah tidak mampu mengucapkan semua kejelekan Radit. "Gimana?" Ia kelihatan frustrasi. "Kak Radit kayak gitu karena salah orang tuanya. Aku nggak ridho kak Radit meninggal sekarang. Aku nggak ridho, Bi."

"Tenang, Non. Tenang, istigfar dulu."

"Enggak bisa tenang, Bi. Aku harus bisa bikin kak Radit berubah dulu. Kak Radit jangan meninggal sekarang. Aku takut kak Radit nggak tenang di sana. Aku takut, Bi.... Kak Radit jangan meninggal sekarang.... Terus meninggalnya kak Radit itu gara-gara aku...."

"Istigfar, Non. Kematian seseorang itu udah ditentuin sama Allah. Kita nggak berhak mengatur dan bilang nggak mau. Inilah hidup, Non. Nggak ada yang abadi," kata bi Nani ikut menangis.

Rania terus menangis menumpahkan air mata kesakitan.

Selalu saja air mata yang tercipta

Selalu saja air mata yang keluar.

Selalu saja air mata.

Kapan air mata itu akan berhenti turun?

🍁🍁🍁

Bersambung

Pelukk jauh, Ayatulhusna_

Yaaahhhh, Radit-nya meninggal 😫
Adakah yang sedih? Atau malah senang? 😫😫😫😫
Kalau Author sih sedih 😫😫

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top