2. °Pilihan Terbaik.°
*بـــــــسم اللّـــــــه الرّحمن الرّحيـــــــم*
⚠Ambil baiknya, buang buruknya⚠
⚠Jangan ngejudge suatu cerita sebelum kamu mebacanya sampai tamat⚠
📖Selamat Membaca📖
🍁🍁🍁
Kebanyakan manusia sering kali keliru, datang kepada Allah hanya disaat dia merasa sedih dan ditimpa musibah, lantas kemanakah dia saat merasa bahagia? Melupakan-Nya dan sibuk dengam dunia yang fana? Lalu, demikian masih mau mempertanyakan kenapa Allah memberimu cobaan?
🍁🍁🍁
Pagi-pagi sekali Rania sudah membantu Bi Nani memasak di dapur, berharap pagi ini ibunya mau makan bersama, mencicipi masakan yang sudah dibuat dengan susah payah. Hati Rania sudah berkoar-koar, sangat percaya kalau ibunya sudah pasti mau memenuhi permintaannya untuk makan bersama, ini juga kesempatan baik baginya, mempertemukan Radit dan Ibunya. Memulai percakapan kecil yang bisa menimbulkan suasana bahagia saat berada di meja makan.
Harapan Rania terlalu tinggi, hatinya sudah terlampau senang jika itu memang benar-benar terjadi. Sejak Dulu, Rania sangat jarang bisa berkumpul dengan Ibu dan kakaknya, bahkan sepanjang ini, Rania bisa menghitung kebersamaan mereka dengan jari.
"Bibik yakin, nanti ibu akan makan dengan sangat lahap, karna ini masakan putrinya sendiri, wanginya aja udah bikin bibik ngiler," puji Bi Nani bangga.
"Ah bibik bisa aja mujinya, masakan bibik itu lebih enak tau." Rania tertawa pelan, rasanya Bi Nani terlalu berlebihan.
"Nanti juga masakan non pasti lebih enak dari pada masakan bibik."
Rania hanya tersenyum tipis.
"Bik, lanjutin sebentar ya, aku mau temuin ibu dulu dan minta ibu supaya mau sarapan di rumah."
Bi Nani memgangguk, lalu memberikan dua jempolnya. Perempuan itu selalu mendukung apa pun yang dilakukan nona mudanya dalam hal kebaikan, Rania tersenyum lalu melangkah meninggalkan Bi Nani di dapur. Rania harap, semoga kakaknya senang dengan usaha yang dia lakukan, meski sampai kapanpun Radit tidak akan pernah mau peduli padanya.
Saat Rania sampai di depan pintu kamar ibunya, Rania bisa melihat Asri yang keluar dengan pakaian rapi, seketika senyum di wajahnya langsung memudar, berganti dengan wajah kecewa.
"Ibu mau kerja? Bukannya hari ini hari minggu, terus ini apa?"
Rania mandang koper besar yang dibawa sang ibu, menatap benda itu penuh selidik.
"Rania sayang, ibu harus ke Surabaya pagi ini, mungkin ibu akan kembali minggu depan."
"Apa?"
Rania menggelengkan kepala tak habis pikir, padahal kemarin ia sudah berusaha meminta waktu ibunya untuk di rumah, memperhatikan kakaknya yang sekarang begitu menghawatirkan.
"Rania, tolong mengerti ibu, ibu bekerja seperti ini juga untuk memenuhi kebutuhan kalian."
"Terus ibu kapan ngertiin aku? Untuk kali ini aja, aku cuma mau ibu di rumah."
Asri memijit kepalanya pelan, sudah tidak tahu lagi harus memberikan penjelasan seperti apa agar anaknya mau mengerti. Asri hanya membutuhkan dukunga dari Rania.
"Rania, ibu nggak bisa tinggalin pekerjaan ini. Ibu nggak mau kalau ibu sampai dipecat. Ibu nggak mau masa depan kamu terancam, Rania. Kamu harus sekolah yang tinggi biar jadi orang yang sukses, kerja yang layak supaya kamu itu dapetin laki-laki yg baik, yang nggak pernah mau ninggalin kamu."
"Kesuksesan nggak ngejamin kebahagiaan suami istri, Bu. Pokoknya aku cuma mau ibu di rumah."
Asri menggelengkan kepalanya, "ibu benar-benar tidak bisa, Rania."
Asri tetap pada keputusannya, menolak permintaan Rania yang menurutnya tidak terlalu penting.
"Terserah ibu."
Rania berlalu begitu saja, meninggalkan Asri dan membawa kekecewaan luar biasa. Asri mendesah, sebenarnya dia juga tidak tega meninggalkan anak-anaknya dengan waktu yang cukup lama itu, tapi Asri tidak bisa berbuat apa-apa. Semalam, dia sudah berusaha menolak permintaan atasannya, menyuruh agar karyawan lain yang menggantikannya untuk berangkat ke Surabaya. Namun, kemapuan yang dimilikinya membuat atasan tidak mengizinkan siapa pun untuk menggantikan keberanglatannya menuju Surabaya.
"Maafkan ibu, sayang. Ibu harap kamu mengerti."
Asri menghela nafas, ia sangat yakin semuanya akan baik-baik saja.
Di dalam kamar Rania hanya bisa menangis, lagi-lagi karena pekerjaan itu membuat ibunya selalu menomor duakannya.
"Aku benci, aku benci sama Tuhan, kenapa, kenapa harus aku?"
Tanpa Rania sadari, Asri mengintip diam-diam. Ikut menagis saat melihat Rania seperti itu. Gara-gara Ilyas; mantan suaminya dulu, membuat kedua anak-anaknya harus menderita. Ya, Ilyas yang patut disalahkan, karena semuanya bermula dari laki-laki brengsek itu.
Sampai kapanpun Asri tidak akn pernah merelakan mereka hidup bahagia, sumpah serapah akan selalu dia ucapkan, meminta setiap hari kehidupan mereka tidak akan pernah tentram.
Asri menghapus air matanya, membuang jauh-jauh nama laki-laki itu dari dalam otaknya, seseorang yang hanya bisa membuat semua pertahanannya runtuh dalam satu detik.
"Bik, tolong temani Rania, saya harus pergi."
"Iya, nyoya."
"Soal Radit, bibik tidak usah khawatir, biarkan saja anak itu."
Bi Nani yang tidak tahu harus bagaimana, hanya bisa menganggukan kepala sebagai jawaban untuk memenuhi semua peraturan majikanya.
🍁🍁🍁
Setengah jam yang lalu, Rania baru saja mengirim pesan kepada kedua sahabatnya untuk segera datang ke rumahnya, hanya dengan kehadiran orang itu Rania bisa terhibur, kedua orang yang sejak dulu memberi perhatian lebih, yang mau mengerti karena terlahir dalam keadaan yang sama. Tidak bisa dipungkiri, sejujurnya Rania sangat ingin seperti kedua teman-temannya. Merasa hidup bebas tanpa beban yang terus menikam. Tapi sekali lagi, Rania tidak punya keberania seperti mereka.
Pelan-pelan tangisan yang tadi kencang ini mulai berubah menjadi isakan kecil, meninggalkan sesak yang masih kentara dirasakan.
Tidak lama setelah itu, Rania mendengar pintu kamarnya dibuka, menampilkan kedua gadis yang masuk ke dalam kamarnya. Rania menghela napas pendek, lagi-lagi penampilan kedua orang itu berubah.
Kedua orang yang rela menghabiskan uang demi kesenangan.
"Ya ampun, Al ... Kamu kesambar petir di mana, baju jadi bolong-bolong gitu, nggak sekalian rambut yang berantakan gini dibikin berdiri semua?"
Rania menghapus pipinya yang tadi sempat basah, mimik wajahnya berubah bingung mendapati berubahan kedua orang itu.
"Astaga, mata lo bengkak banget Ran. Abis nangis ya?" bukannya menjawab, Alia malah balik bertanya. Menghiraukan kalimat yang sebelumnya Rania katakan.
"Aduh, nggak bosen apa nangis mulu, gue yang pegel liat lo nangis, Ran."
Rania masih belum bergeming, terlalu terkejut dengan penambilan aneh Alia dan juga Bianca.
"Bibir kamu item dikasih arang?"
"Iya, gue dapet arang di kaki gunung marapi, gue lakuin ini biar bibir gue makin merah dan seksi. Menurut pendapat gue, ini ritual terbaru." Bianca menjawab santai, tapi berhasil membuat Alia kesal setengah mati. Dasar sinting!
"Apaan sih." Rania bergedik ngeri, lagi-lagi kedua temannya begini. Mendadak Rania ingin sekali meruqyah kedua manusia itu, agar semua setan-setan keparat yang ada di tubuhnya hilang sirna.
Tapi tidak bisa dipungkiri, berkat kehadiran Alia dan Bianca, membuat kesedihan Rania berkurang, bergantikan dengan omelan yang bisa memprotes Alia dan Bianca secara terang-terangan.
"Ran, nih ya gue kasih tau sama lo, percuma lo ngeratapin nasib yang nggak jelas, curhat yang nggak ada ujungnya. Kita itu sama, lo masih mending nyokap lo nggak nikah lagi. Sementara nyokap-bokap gue sama-sama nikah dan punya anak lagi, tapi gue biasa aja. Percuma Rania, apalagi cuma pasrah gitu sama takdir yang tuhan kasih? Jangan mau lah dipermainin sama takdir,"
Rania hanya diam, terlalu ambigu untuk membenarkan perkataan Alia. Jika saja dia bisa seperti Alia, hidup biasa-biasa saja, mungkin hatinya tidak akan perih sepahit ini. Jauh di dalam lubuk hatinya sudah terlalu lelah tertekan seperti ini, setiap masalah tidak pernah terselelaikan, hanya berputar seperti jarum jam yang akan kembali ke tempat semula.
Jujur, Rania bosan, lelah dan tidak tahu harus melampisakan kemarahan seperti apa. Selama ini, kesabaran masih cukup dinomor satukan.
"Lo dengerin tuh kata si Alia, dia aja bisa kenapa lo enggak? Masalah lo nggak berat-berat amat kok. Masih banyak malah yang lebih parah dari pada lo, jadi anak broken home itu udah pasaran. Di kelas kita aja belasan, apalagi di luar sana."
"Tapi bagi aku ini tetap masalah yang berat. Kalian masih beruntung sempat liat orang tua kalian sama-sama. Sementara aku? Jangankan liat mereka sama-sama, ketemu ayah aku aja aku nggak pernah."
"Terus hanya karena itu lo nangis, sedih? Berapa kali sih gue harus bilang sama lo, percuma dan percuma, emang lo pikir bokap lo mikirin lo? Nyokap lo mikirin lo? Enggak!"
"Lalu apa karena masalah ini aku harus ngelakuin hal-hal yang ngerugiin diri aku sendiri? Jangan cuma karena kita jadi korban, kita ngerusak hidup kita sendiri, aku tau kalian lampiasin semuanya dengan cara begini dan aku tau kalian senang, tapi itu hanya bertahan sesaat. Keluarga emang boleh hancur, tapi jangan bikin juga hidup kita hancur."
Rania berbicara demikian, karena dia tahu, bahwa melalukan tindakan seperti Alia dan juga Bianca hanya akan membuat Allah marah, menyentuh barang-barang ya Allah haramkan yang bisa melayangkan nyawanya kapan saja.
'Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah maha penyanyang kepadamu' (QS. An Nisaa: 29)
"Nah ini yang bikin lo gak maju-maju dan jalan ditempat sama kesedihan lo. Coba sekali aja lo ikut sama kita, gue jamin lo pasti bakal betah dan nggak bakal peduli lagi, kalaupun cuma bertahan sesaat, seenggaknya udah tenang kan?" tanya Bianca lagi, berusaha meyakinkan Rania kalau apa yang dia lakukan sama sekali tidak salah dan tidak akan pernah menghancurkan hidup sendiri. Bagi Bianca selama masih memiliki kesadaran penuh dan bisa menjaga diri, kelab malam juga tidak akan membawa pengaruh buruk. Ya, begitulah pikirannya.
"Gue punya ide, gue tau dimana tempat yang bisa bikin lo lupa sama semua masalah lo."
"Di mana?" tanya Rania penuh selidik.
Alia memandang Bianca sejenak, perempuan itu juga sudah mengerti kemana dia harus membawa Rania.
🍁🍁🍁
Bersambung
Jazakillahu khairan khatsiiran ...
Maaf pendek, sebenarnya ingin panjang, tapi Author hanya mampu segini 🙏🙏
Peluk jauh, Ayatulhusna_ 🤗
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top