17. °Kesalahan Masa Lalu°


*بـــــــسم اللّـــــــه الرّحمن الرّحيـــــــم*

⚠Ambil baiknya, buang buruknya⚠

⚠Jangan ngejudge suatu cerita sebelum kamu mebacanya sampai tamat⚠

📖Selamat Membaca📖

🍁🍁🍁

Ilyas tidak menyangka bahwa Sarah akan tega mengusir Senna. Padahal, gadis itu adalah keponakannya sendiri. Karena kejadian itu menyebabkan Ilyas san Sarah berada dalam pertengkaran luar biasa. Hingga pada akhirnya Ilyas tahu, alasan Sarah begitu membenci Senna selama ini.

"Kamu kenapa marah sama aku cuma karena anak itu, dia bukan siapa-siapa kamu, Ilyas!"

"Aku tahu dia bukan siapa-siapaku. Tapi aku sudah menganggapnya sebagai anakku sendiri. Seharusnya kamu bisa menyayangi Senna, karena dia itu anak kakak kamu sendiri."

Mendengar itu, Sarah malah tertawa geli. Jangankan Senna, ibu anak itu saja sangat Sarah benci. Tidak peduli bahwa wanita itu kakaknya sendiri.

"Tapi tetap aja dia bukan anak aku, Ilyas!"

"Justru karena kamu tidak bisa memiliki seorang anak. Seharusnya kamu bisa menjadikan Senna itu sebagai anak kamu, kamu didik dia dan berikan dia kasih sayang, pasti dia akan menghormati kamu sebagai tantenya, bahkan ibunya sendiri!"

"Apa? Kamu meminta aku untuk menyayangi anak itu? Tidak akan pernah. Ibunya sudah membuat hidupku menderita. Jadi, apa aku pantas menyayanginya? Aku nggak akan pernah sudi."

Kedua alis Ilyas menyatu. Bingung.

"Maksud kamu?"

"Sejak kecil, kedua orang tuaku lebih menyayangi Kak Riana, mereka selalu banggain kak Rania di depan teman-teman mereka. Pamer kalau kak Riana selalu juara kelas dan mendapatkan nilai paling bagus, kuliah dan bisa jadi sarjana lulusan terbaik diluar negri. Semetara aku? Mereka sekalipun nggak pernah memuji aku, kak Riana selalu jadi nomor satu!"

Kedua tangan Sarah tekepal. Mengingat masa lalu yang ia anggap tidak adil.

"Lalu aku jatuh cinta sama seorang laki-laki, anak dari teman kedua orang tuaku. Awalnya mereka setuju untuk menjodohkan aku dengan laki-laki itu. Tapi nyatanya Kak Riana sengaja muncul, dengan penampilannya yang munafik itu. Hingga pada akhirnya Kak Riana yang harus menikah dengan laki-laki yang aku cintai itu. Aku semakin benci sama dia, apalagi saat Senna lahir. Aku benci mereka yang tertawa bahagia di atas penderitaanku. Sekarang bagaimana mungkin aku bisa menyayangi anak dari perempuan yang sudah merebut laki-laki yang paling aku cintai? Sekarang anak itu malah merenggut perhatian kamu, kamu lebih menyayangi dia dibandingkan aku, kan?!"

"Astagfirullah, Sarah...." Ilyas mendesah. Kebencian dengan asalan tidak masuk akal. Ilyas rasa Sarah sudah berlebihan dalam menilai keluarganya sendiri.

"Tapi pada akhirnya kamu bisa menikah denganku bukan? Aku bisa mencintai kamu, aku menyayangi Senna karena aku sudah menganggap Senna seperti anakku sendiri, anak yang tidak pernah bisa aku dapatkan darimu, Sarah!"

"Oh, sekarang kamu mau membahas anak? Bukannya kamu udah terima kalau aku nggak akan bisa kasih kamu anak?"

"Iya aku tahu, Sarah. Tapi tolong berubahlah jadi perempuan baik!"

Sarah menganggukkan kepala sambil tertawa.

"Apa kamu tau, Ilyas?" tanya Sarah dengan tatapan tak terbaca. Ilyas hanya diam.

"Aku tidak akan pernah memehuni permintaan kamu untuk menyayangi anak itu. Kalau kamu ingin pergi, silakan! Aku nggak peduli!"

Ilyas mengusap wajahnya frustrasi. Ilyas mengatur napasnya. Sekarang, ia harus mencari keberadaan Senna. Tapi, saat Ilyas ingin menyalakan mesin mobilnya, tanpa sengaja Ilyas melihat perempuan yang tidak asing dimatanya.

"Asri."

Ilyas meneguk salivanya. Jantungnya berdetak tidak karuan. Rasanya sudah sangat lama tidak melihat mantan istrinya itu. Mendadak Ilyas mengingat anaknya, mereka pasti sudah besar. Ilyas tidak punya pilihan lain, ia terpaksa harus mengikuti perempuan yang baru saja naik ke dalam mobil berwarna hitam itu.

Mungkin ini sebuah takdir. Ilyas yang entah kebetulan meminggirkan mobil di bahu jalan itu mendadak dipertemukan dengan Asri secara tidak langsung.

"Aku baru sadar, ternyata Asri tetap baik-baik saja setelah aku meninggalkannya." Ilyas bergumam pelan. Tujuh belas tahun sudah ia tidak pernah bertatap muka dengan Asri. Sebenarnya Ilyas merasa bersalah karena sudah meninggalkan Asri begitu saja. Perempuan yang sudah rela bertaruh nyawa untuk melahirkan anaknya sendiri.

Tiba-tiba saja hati Ilyas terasa nyeri. Bayi yang waktu itu Asri lahirkan sudah pasti tumbuh menjadi seorang anak gadis yang cantik. Mungkin karena kesalahannya di masa lalu, Allah enggan memberinya seorang anak dari istri kedua. Ia tidak mampu menjaga titipan yang sudah Allah berikan padanya.

Tidak lama setelah itu Ilyas melihat mobil Asri berhenti di sebuah Mall. Ilyas tidak butuh waktu lama lagi, dia harus segera meminta maaf pada Asri, setelah itu ia akan berjanji menemui kedua anak-anaknya. Meminta maaf atas semua kesalahannya.

Saat Asri turun dari mobil, Ilyas langsung berlari mendekati Asri, ia tidak ingin kehilangan jejak.

"Asri!"

Asri memutar tubuhnya, sontak kedua bola mata perempuan itu membulat. Terkejut dengan sosok yang tiba-tiba muncul di hadapannya.

"Ilyas?"

Ilyas hanya tersenyum, tiba-tiba saja tubuhnya berubah kaku. Merasa enggan untuk sekedar bertegur sapa.

"Boleh aku bicara sebentar?"

"Aku tidak punya waktu, aku sibuk!"

Asri memilih pergi. Tapi, saat melangkah tiba-tiba saja tangannya ditarik Ilyas.

"Tolong, sebentar saja."

"Ada apa lagi, Ilyas?!"

"Aku tahu, kamu masih menyimpan kemarahan padaku."

Asri diam. Tapi hatinya begitu sakit saat melihat wajah laki-laki itu. Seseorang yang sudah membuat hidupnya menderita.

"Aku kira kamu lupa." Asri tertawa sarkastis.

"Aku tidak tahu harus memulai bicara. Bisakah kita mencari tempat lain?"

"Sudah aku bilang, aku tidak punya waktu!"

Asri menarik tangannya dari genggaman Ilyas.
Ilyas terpaksa melepaskannya.

"Aku tahu, hubungan kita memang tidak akan bisa seperti dulu. Tapi, bolehkah aku bertanya satu hal?"

Asri hanya melirik Ilyas sejenak.

"Bagaimana kondisi anak-anak kita?"

Kali ini, Asri rasanya ingin menangis. Ia datang hanya untuk mempertanyakan anak-anaknya. Segampang itukah? Padahal selama ini oa pergi begitu saja, melepaskan tanggung jawabnya.

"Kamu masih mengingat mereka?"

Ilyas hanya menganggukkan kepala.

"Mereka sudah tidak ada!"

Kening Ilyas berkerut bingung.

"Apa maksudmu, Asri."

"Mereka sudah mati. Puas kamu?!"

Ilyas menggelengkan kepalanya tidak percaya.

"Tidak mungkin."

"Kenapa? Ini salahmu. Karena kamu pergi, kamu jadi tidak tahu apa-apa. Anak itu mati ketika dia masih bayi, begitupun Radit!"

"Tidak! Aku tidak percaya Asri. Kamu pasti berbohong!"

Ilyas mundur beberapa langkah. Apakah ini kutukan?

Ilyas bahkan belum pernah menyentuh bayi itu.

Asri yang sudah menangis memilih masuk ke dalam mobil, kemudian pergi meninggalkan Ilyas begitu saja, mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi dan membawa luka lama yang kembali koyak.

Sementara itu Ilyas hanya bisa memandang kepergian Asri. Tubuhnya sudah tidak kuat untuk ditegakkan lagi. Pernyataan Asri tentang anak-anaknya sangat membuatnya terpukul.

🍁🍁🍁

"Kak Radit, ini kenapa wajahnya memar-memar gini?" tanya Rania khawatir. Tiba-tiba saja kakaknya itu pulang dalam keadaan kacau. Radit hanya diam, mendorong tubuh Rania dari hadapannya ke samping.

"Kak, kakak berantem? Kak kenapa sih kakak itu lakuin hal-hal yang nggak bener."

"Nggak usah sok peduli."

"Kak, aku bukannya sok peduli, tapi aku itu benar-benar peduli sama kakak, aku khawatir sama kakak aku nggak mau terjadi apa-apa sama kakak."

"Lo sama ibu lo itu sama-sama cerewet. Kalau lo emang peduli sama gue, lo nggak bakal banyak tanya, lo obatin kek luka diwajah gue."

Radit melangkah kemudian duduk di atas kursi.

"Sebentar."

Rania berjalan ke dapur, mengambil handuk dan es batu untuk mengobati luka Radit.

"Non Rani kenapa? Kok buru-buru gitu?"

"Aku mau obatin luka kak Radit."

"Den Radit kenapa?" Bi Nani yang sedang memasak sayur langsung mematikan kompor, kemudian berjalan mendekati Rania yang sedang membuka lemari es.

"Nggak tau, Bik. Kayaknya dia habis berantem."

"Astagfirullah..."

"Aku ke depan dulu, Bik."

Bi Nani menganggukkan kepala sebagai respons.

Tidak lama setelah itu Rania sudah duduk di samping Radit. Sejenak ia menatap kakak laki-lakinya itu.

"Nggak usah pikirin gue, kalau orang laki-laki pasti bakal ngalamin ini."

"Tapi tetap aja ini bahaya, Kak."

"Nggak usah lebay lo!" Radit mengis saat Rania mulai menekan luka dibagian ujung bibirnya.

"Aku bukannya lebay. Tapi aku peduli, Kak."

"Yang penting gue nggak mati, kan?"

Rania diam.

"Nggak usah obatin lagi, gue mau istirahat."

"Tapi belum selesai Kak."

Radit pergi begitu. Rania mendesah. Padahal ini baru sedetik lebih dekat.

Detik selanjutnya Rania Asri pulang dalam keadaan menangis. Matanya sembab.

"Ibu?"

"Ibu capek Rani, jangan tanya-tanya ibu!" potong Asri cepat. Rania tergemap, Asri berkata dengan oktaf tinggi.

Rania merasa bahwa ia benar-benar tidak dianggap oleh keluarganya sendiri. Setiap masalah ia tidak pernah dilibatkan. Baik Radit maupun ibunya sendiri. Keduanya sama, menyimpan segalanya tanpa melibatkan Rania.

"Padahal aku cuma pengen tau masalah apa yang lagi ibu hadapin. Gimana aku bisa bantu kalau Ibu atau pun Kak Radit sama-sama diam."

🍁🍁🍁

Bersambung

Peluk jauh, Ayatulhusna_

Jazakillahu khairan khatsiiran ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top