16. °Salah Memilih°

🍁🍁🍁

*بـــــــسم اللّـــــــه الرّحمن الرّحيـــــــم*

⚠Ambil baiknya, buang buruknya⚠

⚠Jangan ngejudge suatu cerita sebelum kamu mebacanya sampai tamat⚠

📖Selamat Membaca📖

🍁🍁🍁

Ada perjuangan untuk kebahagiaan. Ilmu agama itu menjamin segala kelezatan, kebahagiaan, dan kesenangan, akan tetapi ilmu tidak bisa diperoleh kecuali melalui jembatan lelah, kesabaran dan kesulitan.

(Miftah Daris Sa'adah 1/374)

🍁🍁🍁

Memasuki gedung rumah sakit, Rania melangkajkan kakinya dengan cepat. Tadi, ia baru saja mendapat kabar buruk tentang Alia. Rania berharap apa yang ia dengan dari Bianca hanyalah bentuk kesalah pahaman. Alia tidak mungkin mendapatkan penyiksaan batin dari suaminya, sampai ia nekat untuk menghabisi nyawanya sendiri.

Jika memang itu terjadi, Rania semakin miris. Menikah terburu-buru dan mendapatkan padamping yang tidak bertanggung jawab bagaikan kiamat bagi Rania. Bagaimana tidak, seorang istri pasti sangat membutuhkan suami yang sangat menyayanginya, menjaganya sepenuh hati dan menjadi imam yang baik.

Rania berhenti di depan pintu, memandang angka yang menempel di pintu. Cepat-cepat Rania masuk ke dalam ruangan Alia.

"Astaghfirullah, Alia."

Rania membuka mulutnya, melihat tubuh Alia penuh dengan luka lebam. Terlebih bagian wajahnya.

"Alia, apa yang terjadi?" tanya Rania panik. Matanya terus tertuju menatap wajah Alia.

Alia hanya menangis, kemudian memeluk Rania yang sudah berdiri di sampingnya.

"Gue malu, Ran. Gue malu, gue nyesel."

Rania hanya bisa menyentuh punggung Alia, meski belum mendapatkan jawaban apa-apa, Rania sangat yakin bahwa Alia sudah mengalami suatu hal yang buruk.

"Ternyata nikah muda itu nggak enak, Ran. Gue nyesel udah ngorbanin masa depan gue, seharusnya sekarang gue masih bisa seneng-seneng bareng kalian, kerawa-ketiwi dan nikmatin masa-masa libur sebelum jadi mahasiswi." Alia terisak, suaranya lirih menandakan hidupnya penuh penyesalan. Melangkah jauh dan sudah terlanjur salah memilih jalan hidup.

Alia sadar, kebahagiaan palsu itu hanya bisa bertahan dalam hitungan hari. Selebihnya Alia hanya bisa menanggung sakit hati akibat laki-laki pilihannya. Laki-laki yang menjanjikan kebahagiaan untuknya ternyata hanya bersadiriwara. Dia meninggalkan Alia begitu saja, bahkan tak jarang tangan kekarnya menyakiti Alia.

"Sekarang anak gue udah nggak ada, dia ngerasa bebas dan bisa ceraiin gue, apalagi orang tuanya. Mereka seolah mendukung perceraian gue sama anaknya."

Rania masih belum mersepons apa-apa. Ia sendiri tidak mengerti bagaimana menanggapi masalah yang Alia alami. Ternyata bisa separah ini.

"Gue pengen kuliah bareng kalian...," pinta Alia penuh harap, kedua matanya semakin mengeluarkan cairan bening.

Hati Rania tersa nyeri, rasanya permintaan Alia begitu menyedihkan. Rania mengerti bagaimana keinginan sahabatnya itu.

"Janji kalau gue dikasih kesempatan buat kuliah, gue bakal berubah jadi orang yang bener, gue nggak bakal rusak hidup gue lagi, gue bakal bersungguh-sungguh jadi orang yang berguna. Bantu gue, Ran. Bantu gue..."

"In syaa Allah, Al. Kalau kamu emang bersungguh-sungguh, aku yakin kamu bakal nemuin cara apa pun buat wujutin impian kamu. Allah pasti dengar niat baik kamu, dia pasti bakal kabulin permintaan kamu."

Alia hanya mengangguk.

"Kamu nggak usah sedih dengan apa yang udah terjadi, Al. Mungkin ini salah satu bentuk kasih sayang Allah sama kamu. Mungkin Allah kangen sama kamu, Allah pengen kamu nemuin Dia lagi, curhat sama Dia dan tumpahin semuanya sama Dia."

"Iya, Rania. Kamu benar. Ternyata selama ini hidup aku nggak berguna. Aku selalu lakuin hal-hal yang nggak benar. Jangankan lakuin perintah dia, percaya kalau dia ada aja aku nggak pernah."

"Dulu aku juga sempat berpikir hal yang sama. Tapi aku tau, itu salah. Karena sebenarnya orang yang sibuk tidak menuntut ilmu agama itu bukannya tidak punya waktu, akan tetapi mereka tidak memprioritaskan Allah di dalam hidupnya."

Alia mengangguk, mulai sekarang dia akan berubah. Menjadikan Allah sebagai prioritas utama dalam hidupnya.

"Makasih ya, Ran, Bi. Kalian berdua selalu ada buat gue. Kalian emang sahabat gue yang paling baik."

Rania dan Bianca saling beradu senyum. Mereka berdua juga sangat menyayangi Alia.

🍁🍁🍁

"Emang si Alia masih bisa kuliah, Ran? Caranya gimana? Dia nggak ikut ujian sekolah, dia juga nggak ikut tes SNMPTN. Apalagi nilai semester lima aja dia nggak ada."

"Jangan negatif dulu, Bianca. Pasti bisa kok."

"Caranya gimana?"

"Pasti ada cara. Nggak ada yang membuat seseorang kehilangan kesempatannya untuk menuntut ilmu selagi dia masih mau berusaha, tahun depan dia masih bisa ngulang di kelas dua belas lagi, kok."

"Segitu yakinnya lo, Ran."

"Hmm, emang apa yang harus bikin aku nggak yakin sama takdir Allah?"

"Takdir ya. Jadi lo percaya kalau nyokap sama bokap lo bisa nikah lagi dong? Secara takdir bisa aja kan nyatuin mereka?"

Langkah Rania terhenti, kemudian memandang Bianca yang berdiri di sampingnya.

"Itu adalah satu hal yang nggak mungkin, Bi. Kamu nggak bisa sangkut pautin itu sama takdir. Mereka berpisah boleh karena takdir, tapi jangan sebut kalau mereka bisa bersatu lagi. Ini pilihan bukan takdir."

"Lho? Apa bedanya? Bisa aja 'kan kenyataannya kayak gitu? Lo nggak bisa hindari kemungkinan itu."

"Kenapa enggak? Di dunia ini kita berhak memilih. Aku punya pilihan sendiri."

"Oh, gitu?" Bianca menganggukkan kepala mengerti.

"Kamu pikir aku bisa segampang itu buat nerima kehadiran Ayah aku? Selama tujuh belas tahun aku nggak pernah ketemu dia, jangankan ketemu dia, lihat wajah dia aja aku nggak pernah sekalipun. Banyak masalah yang terus terjadi karena dia memilih pergi. Karena dia, Ibu aku harus kerja keras sampai rela untuk ninggalin anak-anaknya demi uang, kak Radit jadi salah bergaul karena nggak ada sosok seorang pemimpin di rumah kami, dia jadi laki-laki yang nggak baik, selalu ngelawan, gimana rumah bisa berdiri kalau tiangnya aja nggak ada. Apa kamu pikir aku semudah itu bisa nerima dia? Enggak, Bi. Aku bukan orang sebaik itu."

Kedua mata Rania berair. Tidak akan ada yang mengerti bagaimana perasaannya. Sejak lahir ia tidak pernah merasakan kehangatan tangan ayahnya sendiri. Rania selalu sering melihat postingan-poastinga di Instagram tentang sosok ayah yang begitu menggetarkan hati. Laki-laki yang rela terluka demi keluarganya, foto-foto laki-laki yang tubuhnya penuh akan keringat perjuangan membuat hati Rania selalu bergetar. Seandainya ayahnya bisa seperti itu, pasti hidupnya akan bahagia.

Di hati paling dalam, tentu Rania sangat menginginkan ayahnya. Tapi di sisi lain, kebencian itu terus tumbuh hingga membesar seiring berjalannya waktu.

Bianca hanya diam.

"Kalau pun aku dikasih kesempatan buat ketemu sama dia, mungkin aku bakal milih buat ngusir dia jauh-jauh dari hidup aku."

"Gue rasa bokap lo sama galaknya kayak abang lo."

"Kenapa kamu bisa mikir gitu?"

"Ya kebanyakan sifat anak laki-laki pasti turunan dari ayahnya."

"Maksud kamu? Kak Radit nggak sejahat yang kamu pikir, Bi. Kamu nggak tau, sebenarnya dia baik kok."

"Iya, gue tau kok. Dia kan sayang sama lo."

"Sayang? Tau dari mana kamu?"

Bianca membuka mulutnya. Sadar akan satu hal. Dia sudah keceplosan.

"Bi?!"

"Ih, apaa?"

"Kamu tau dari mana kalau kak Radit sayang sama aku?"

"Apa gue bilang aja ya kalau kak Radit pernah ngancem gue."

"Bi kamu kenapa diam aja?!"

"Ya secara logikanya aja, lo itu kan adiknya. Pasti lah dia sayang sama lo."

Rania hanya menganggukkan kepalanya, kemudian kembali melangkah. Tapi, saat menatap kedepan, jantung Rania nyaris berhenti saat melihat sosok laki-laki itu. Dia, ya Rania ingat laki-laki itu. Seseorang yang telah menyadarkannya akan satu hal.

Tiba-tiba saja, Rania merasa ditarik ke belakang. Merasa malu jika sampai laki-laki itu berbalik menatapnya.

🍁🍁🍁

"Ini kontrakan aku? Nggak jauh dari rumah kamu dong?"

Senna dan Radit baru saja masuk ke dalam kontrakan baru Senna.

"Iya bagus dong. Kalau aku kangen sama kamu, nyamperinnya deket."

"Hmm, kamu bisa aja."

Radit hanya tersenyum. Tanpa Senna sadari, senyuman manis itu menyimpan sesuatu yang akan menghancurkannya sendiri.

"Sekarang aku udah anterin kamu dengan selamat. Jadi, aku mau pulang dulu."

"Tunggu,"

"Kenapa?"

"Aku mau kamu di sini nemenin aku."

"Nggak bisa lah, Sen. Nanti kalau ada yang liat mereka bakal nuduh yang macem-macem. Besok aku bakal balik ke sini."

"Benar cuma karena itu?"

"Terus?"

"Kamu bisa aja kan pergi ke pub dan nemuin cewek-cewek itu."

Radit mendesah, jika saja bukan karena ingij membalaskan dendamnya, mungkin Radit tidak perlu berpura-pura sabar seperti ini. Radit muak.

"Aku mau pulang, ke rumah aku. Bukan balik lagi ke sana. Aku mau istirahat, capek."

"Hmm, yaudah. Nggak apa-apa. Kamu pulang aja." kata Senna pada akhirnya. Senna semakin merasakan perubahan Radit beberapa waktu ini. Ia bukan seperti Radit yang Senna kenal. Sementara itu, Radit pergi begitu saja. Tanpa mengecup mesra kening Senna seperti biasanya.

"Ada apa sebenarnya sama kamu, Radit. Sikap kamu semakin berubah sama aku. Apa aku punya salah sama kamu?"

Senna memandang kepergian Radit dengan hati yang tidak bisa dijelaskan.

🍁🍁🍁

Bersambung.

Peluk jauh Ayatulhusna_

Jazakillahu khairan khatsiiran ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top