12. °Tersadar dari Kesalahan°
*بـــــــسم اللّـــــــه الرّحمن الرّحيـــــــم*
⚠Ambil baiknya, buang buruknya⚠
⚠Jangan ngejudge suatu cerita sebelum kamu mebacanya sampai tamat⚠
📖Selamat Membaca📖
Ketika masalah besar melanda, katakan padanya: wahai masalah, aku memiliki Allah yang Mahabesar.
🍁🍁🍁
"Kenapa kamu nggak keluar dari rumah tante kamu aja? Kan kamu bisa tuh nyewa kontrakan," ucap Radit memberi masukan. Sekarang ini dia dan Senna sedang berada di salah satu kafe langganan.
"Nggak bisa, Dit. Om aku itu sayang banget sama aku. Dia baik sama aku dan udah anggap aku kayak anak gadisnya sendiri. Kan tante aku nggak bisa kasih dia keturunan, ya udah om aku lampiasin kasih sayangnya ke aku. Kalau aku nggak tinggal di sana, ada kemungkinan om aku bakalan ninggalin tante aku."
"Bukannya kamu benci sama tante kamu? Kenapa kamu nggak keluar aja? Terus kan setelah itu tante kamu bakal menderita gara-gara ditinggal pergi suaminya." Radit tersenyum kecut.
"Aku nggak bisa, aku udah terlanjur sayang sama om Ilyas. Bukan karena tante, aku bertahan, tapi karena om. Aku sayang om aku. Dia yang udah sayangin aku lebih dari apa pun. Aku ngerasa seolah om yang jadi sodara aku, bukan tante. Hmm, kadang orang lain lebih baik ya daripada sodara sendiri."
"Kamu sayang juga sama om kamu itu?"
"Iyalah, dia baik, dia pengganti sosok almarhum ayah aku," jawab Senna sambil menyeruput minuman cappucino-nya.
Radit mengangguk-anggukkan kepala.
"Kamu kenapa sih tanya-tanya soal itu?"
"Wajarlah, wujud perhatian seorang lelaki ke pacarnya. Apa itu salah?"
Lagi-lagi Radit berhasil membuat Senna tersipu.
"Hai, aku nanya-nanya gitu tandanya aku peduli. Aku harus tau segalanya tentang kamu," tambah Radit lagi.
"Iyaa. Makasih ya kamu udah mau peduli sama aku."
"Sama-sama."
Senna tersenyum.
Radit bersandar di kursi. Ini berita baik.
Sedangkan Senna, dia semakin yakin, bahwa Radit benar-benar mencintainya. Setiap perhatian kecil yang lelaki itu berikan adalah wujud dari rasa sayangnya.
🍁🍁🍁
Rania berdiri di sisi jembatan, memandang air yang mengalir sangat derasnya. Untuk apa ia hidup di dunia? Untuk apa ia terus bertahan dalam kesakitan? Toh, tidak akan ada yang peduli jika dia mati atau tidak. Baik kakak, atau ibunya, mereka tidak akan sedih, kan? Jangankan mencari jasadnya, bertanya ke mana pergi anaknya saja tidak sudi.
Sekuat-kuatnya seseorang, akan ada tahap di mana dia merasa lemah dan memilih menyerah.
Jujur Rania sudah lelah menghadapi semuanya. Sepertinya ia tidak akan pernah bisa membuat keluarganya harmonis.
Mungkin dengan mati, semua masalah dan kesedihan bisa hilang. Ia tidak perlu repot-repot lagi memperbaiki atau bahkan mengeluarkan air mata akibat kepedihan yang mendera hati.
Hatinya tak sekuat baja yang tahan ketika dipukul berkali-kali.
Untuk kesekian kali ia dikecewakan oleh ibu dan kakaknya sendiri.
Kemarin kakaknya pulang dalam keadaan bau alkohol, tentu saja dia mabuk berat. Rania yang berusaha membantu disingkirkan begitu saja hingga ia terjatuh.
Rania paling benci melihat kakaknya mabuk-mabukan. Ia benci melihat itu semua. Dia jijik. Kakaknya terlalu keras kepala hingga menyulitkan Rania untuk menghentikan segala tindakan jeleknya.
"Nggak usah lo peduliin gue! Jangan pernah lagi lo coba buat ngehancurin rencana gue!"
"Sadar, Kak! Sadar!"
Radit berlalu ke kamarnya sambil membanting pintu hingga menimbulkan gema.
Rania merasakan sikunya nyeri gara-gara terbentur lantai akibat dorongan Radit yang cukup keras.
Baiklah, sakit di sikunya tak sebanding dengan sakit di hati ketika melihat kehidupan sang kakak hancur.
Seseorang menggapai tangan Rania dan menariknya menjauh dari jembatan. Bahkan mereka nyaris terjatuh tapi keduanya berhasil menyeimbangi.
"Mbak ngapain di sana? Nanti kalau jatuh gimana?"
"Aku emang mau bunuh diri. Aku mau bunuh diri." Rania kembali mendekati jembatan itu, tapi dengan cepat pria tadi menariknya kembali secara paksa. Rania berontak. Ia berusaha melepaskan genggaman tangan pria asing yang sudah mengacaukan rencananya itu tapi sia-sia.
"Mbak ngapain bunuh diri? Nggak baik bunuh diri."
"Aku udah nggak ada gunanya lagi buat hidup! Dunia ini tuh jahat. Aku mau ninggalin semuanya. Termasuk semua kesakitan ini. Lepasin, jangan halangi aku. Lepas!"
Pria itu masih saja menggenggam tangan Rania dengan erat. Ia tahu ini salah, tapi demi menyelamatkan nyawa seseorang, ia yakin Allah pasti mengerti.
"Apa dengan bunuh diri semua masalah yang Mbak hadapin bisa hilang? Enggak. Allah melarang keras kita untuk membunuh diri kita sendiri. Kalau Mbak punya masalah besar, Mbak harus percaya kalau Mbak punya Allah yang Mahabesar. Nyelesain masalah itu bukan dengan bunuh diri. Itu jelas salah besar. Mbak akan berdosa."
"Tau apa kamu tentang masalah aku?! Tau apa?! Kamu itu nggak tahu apa-apa. Jadi nggak usah ikut campur!"
"Setiap orang pasti punya masalah, setiap orang pasti diuji. Dalam bentuk yang berbeda-beda. Tugas kita hanya menyikapi dan menjalaninya dengan ikhlas dan sabar. Setiap masalah pasti ada jalan keluar. Allah nggak akan membebankan hamba-Nya di luar kesanggupannya."
Rania hanya bisa terisak.
"Lebih baik Mbak shalat. Adukan semuanya sama Allah. Bunuh diri itu perbuatan keji. Surga aja haram untuk ia injak. Jangan pernah mengharapkan ketenangan setelah mati karena bunuh diri. Karena siksa Allah itu jauh lebih pedih, Mbak. Dunia diciptakan untuk menguji, setinggi apakah iman yang kita punya. Istighfar, Mbak. Allah itu Mahabaik. Dia nggak akan membiarkan hamba-Nya kesusahan. Sebaliknya, Allah akan murka, kalau liat hamba-Nya malah membunuh dirinya sendiri hanya karena ujian yang Dia kasih."
Rania melepaskan genggaman pria itu, ia berjongkok seraya menangkup wajahnya dengan kedua tangan. Bahunya berjengit, ia terisak. Entah apa yang ia rasakan saat itu. Entah kecewa, sedih, atau menyesal karena perbuatan nekatnya tadi.
"Banyak orang yang sudah mati tapi mereka ingin sekali kembali ke dunia untuk mengamalkan kebaikan. Jangan sia-siakan hidup, Mbak. Bunuh diri bukan jalan keluar yang baik. Justru itu perbuatan tercela. Dalam Alquran pun Allah melarang hamba-Nya untuk membunuh dirinya sendiri."
Rania tidak menggubris, ia masih menangis.
"Saya emang nggak kenal sama Mbak. Tapi saya tau, Mbak pasti masih muda. Perjalanan Mbak masih panjang. Jangan biarkan Mbak mati sia-sia. Jalani saja semua yang ada. Anggap itu sebagai ujian yang Allah kasih."
Rania masih dengan isakannya . Sudah dua orang yang mengatakan apa yang ia alama adalah ujian. Ujian itu apa? Apa makna ujian? Rania sungguh tidak mengerti. Mengapa disebut ujian? Bukankah ini adalah penyiksaan batin?
"Semoga Mbak mau mendengarkan saya. Yang penting saya sudah memperingati. Tapi sekarang terserah Mbak. Mbak mau meneruskan aksi bunuh diri tadi dengan resiko besar----menyangkut keselamatan di akhirat, atau membatalkannya, dan siap menghadapi masalah di dunia ini yang sementara." Dia mengembuskan napas pelan, kemudian, "Assalamualaikum...."
Pria itu berjalan meninggalkan Rania, dia kembali masuk ke dalam mobilnya, meninggalkan area jembatan itu. Tak lama kemudian, barulah Rania membuka telapak tangan yang menutupi wajahnya, dan melihat kepergian pria tadi bersama mobilnya. Air matanya berhenti mengalir.
Entah mengapa Rania jadi takut mendengar cerita yang disampaikan lelaki itu. Rania jadi sadar bahwa tadi ia hampir menyiksa dirinya sendiri. Apa bunuh diri akan menyelesaikan semuanya?
Masih dengan posisi jongkok, Rania alihkan pandangan pada jembatan tadi. Air sungai masih mengalir dengan deras. Suara alirannya bahkan terdengar di telinga. Setan apa yang tadi merasuki jiwanya hingga berani berbuat hal yang akan merugikannya di kemudian hari?
Astaga, hampir saja ia melakukan kebodohan besar.
Ia akan mati sia-sia. Semua perjuangan yang ia lakukan akan sia-sia juga.
Dan benarkah, akan ada kehidupan selanjutnya setelah meninggal dunia? Ya, Rania paham. Ada surga dan neraka. Tapi entah mengapa, keyakinannya akan akhirat tidak sebesar itu. Masalah akhirat belum pernah Rania pikirkan. Karena saat ini dia sedang ada di dunia. Baginya masalah akhirat itu belakangan.
🍁🍁🍁
Rania berjalan tak tentu arah, dia juga bingung entah akan bermuara ke mana. Sedang kakinya terus melangkah.
Sesekali ia melihat berbagai macam orang yang berseliweran.
Ada satu pemandangan yang membuatnya iri. Yaitu ketika melihat sebuah keluarga yang turun dari mobil, mereka bergegas memasuki restoran dengan canda tawa. Rania tersenyum miris.
Kapan dia bisa seperti mereka? Kapan keluarganya bisa seakur dan seharmonis itu?
Jika boleh meminta, Rania ingin merasakan kebahagiaan itu walau hanya satu hari.
Satu hari saja.
Tapi, ketika ia melihat gelandangan di pinggir jalan, batinnya nyeri. Ternyata masih banyak di luar sana orang yang susah. Masih banyak orang yang tidak memiliki tempat tinggal, untuk sekadar makan pun harus berjuang mati-matian.
Sedangkan dirinya? Rumah ada. Makan tinggal makan. Tidur tinggal tidur. Kalau hujan dan panas ada tempat peneduh.
Rania meneguk ludah. Entah perasaan apa yang mampir di hatinya kali ini. Dia merasa bersalah. Para gelandangan itu pasti akan terluka, jika tahu di sini ada orang yang hidup enak tapi masih saja mengeluh.
Perlahan Rania sadar, bahwa selama ini dia selalu melihat ke atas, tanpa pernah melihat ke bawah. Ia hanya melihat satu sisi, tanpa melihat sisi yang lain.
Kaki Rania terhenti di depan Masjid yang sepertinya tengah mengadakan kajian. Kebetulan kakinya sedang pegal, Rania memutuskan untuk istirahat di sana.
"Jangan sampai kita kufur nikmat. Jangan sampai kita tidak mensyukuri apa yang kita punya. Hidup itu singkat. Jangan dipakai untuk mengeluh, mengeluh, dan mengeluh. Lebih baik kita belajar untuk melapangkan hati dan bersabar. In syaa Allah, buah dari kesabaran itu ada pahala berlimpah yang sedang Allah siapkan. Mengeluh hanya akan membuat kita menderita. Sedangkan dengan bersyukur akan membuat hati kita menjadi tenang dan damai."
Rania yang duduk di teras Masjid mendengar saksama ceramah dari seorang ustaz yang ternyata berhasil menyentil batinnya. Perempuan itu merasa tersindir. Rania sadar, selama ini dia banyak mengeluh. Ia kurang mensyukuri apa yang ada. Awalnya Rania hanya ingin beristirahat, tapi entah mengapa dia jadi tertarik untuk ikut mendengarkan.
"Nabi diuji, Rasul diuji, masa kita yang manusia nggak mau diuji?"
Lagi-lagi Rania mendengar kelimat itu. Sebelumnya ia pernah mendengarnya dari mulut bi Nani. Benarkah begitu? Apa yang dia alami adalah ujian?
"Apa kita nggak malu? Diuji dikit aja langsung mengeluh ini-itu. Padahal itu nggak sebanding dengan ujian para Nabi. Belajarlah dari kisah para Nabi dan Rasul. Kali-kali tengok ke bawah, ingat, akan selalu ada orang yang lebih susah dari kita."
Rania termenung. Ia bingung. Ia tidak sanggup menjalani ujian ini sendirian. Ia harus meminta bantuan pada siapa?
Tak lama kemudian, acara kajian pun selesai lantaran jam sudah menunjukkan waktu Asar.
Suara azan berkumandang syahdu.
Baru kali ini Rania mendengarkan azan dengan nikmat.
Baiklah, sekarang Rania akan mencoba untuk salat. Tadi juga ia mendengar, bahwa Allah akan membantu setiap hamba-Nya yang sedang memiliki masalah besar. Sebab Dia-lah sebaik-baiknya penolong. Hanya kepada-Nya manusia bergantung.
Rania masuk ke tempat wudu. Ia melihat semua perempuan memakai hijab. Hanya dirinyalah yang tidak.
Ya, Rania malu. Tapi mau bagaimana lagi? Rania memang belum siap berhijab.
Rania mulai wudu. Rasanya kaku, sebab sudah lama sekali ia tidak melakukan kewajiban ini. Kewajiban? Rania heran pada dirinya sendiri. Sudah tahu salat itu kewajiban umat muslim, tapi ia tidak pernah mengerjakannya lagi setelah menginjak remaja---lebih tepatnya saat dia sudah berhenti ikut pengajian di komplek rumah karena sibuk sekolah.
Selesai wudu, dia memasuki masjid dan mengambil mukena.
Rania ikut salat bersama yang lain---salat berjama'ah. Suasana Masjid begitu khidmat. Rania pun ikut tenang dalam setiap gerakan salatnya.
Tanpa ia ketahui, lelaki yang tadi menolongnya juga salat di Masjid yang sama.
Benar saja, Rania merasakan ketenangan saat ia salat. Di sujud-sujudnya ia menumpahkan segala kesedihan yang selama ini menggerogoti hati.
Bebannya sedikit terangkat.
Memang benar, efek salat bisa sedahsyat ini.
Rania bertanya pada diri sendiri, mengapa tidak dari dulu?
🍁🍁🍁
Bersambung
Jazakillahu khairan khatsiiran ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top