11. °Kenyataan Pahit°


*بـــــــسم اللّـــــــه الرّحمن الرّحيـــــــم*

⚠Ambil baiknya, buang buruknya⚠

⚠Jangan ngejudge suatu cerita sebelum kamu mebacanya sampai tamat⚠

📖Selamat Membaca📖

🍁🍁🍁

Hal paling menyakitkan adalah berharap pada manusia.

🍁🍁🍁

"Rania!"

Rania mengalihkan pandangan saat seseorang memanggil namanya. Ternyata itu suara Radit. Lelaki itu melangkah mendekati Rania dengan tatapan menusuk.

"Lo ngapain di sini?"

"Aku mau ngasih tau pacar Kakak ini. Dia harus tau, kalau dia nggak pantes ngasih cinta tulusnya ke kak Radit. Ayolah, Kak. Berhenti mainin perempuan."

"Keluar lo dari sini. Pulang!"

"Enggak, Kak. Aku nggak bakal pulang sebelum kakak janji kalau Kakak bakalan berhenti jadi playboy dan ngerusak masa depan perempuan cuma buat puasin nafsu.

"Bukan urusan lo. Sekarang lo pulang, urus diri lo sendiri. Ini dunia gue, lo nggak usah ikut campur."

"Aku berhak ikut campur. Karena kak Radit itu Kakak aku. Ibu boleh nggak peduli sama kak Radit. Tapi satu hal yang harus Kakak tahu, aku peduli sama kak Radit."

"Dan gue nggak butuh rasa peduli lo itu"

Senna memandang adik-kakak itu dengan raut bingung. Perasaannya menjadi bimbang. Keyakinan pada Radit sedikit luntur. Dia takut, apa yang dikatakan adik Radit itu benar.

Pandangan Rania beralih pada Senna. "Kak, aku mohon, jangan percaya sama kak Radit. Dia cuma bohong! Cinta dia palsu! Aku nggak mau kakak jadi korban selanjutnya."

Senna terkelu. Bibirnya gelagapan. Dia sendiri bingung harus menjawab apa. Ia tidak melihat kebohongan di mata Rania.

"Bukannya aku mau ngerusak hubungan kalian, tapi aku takut Kakak sakit hati, sama kayak mantan-mantan pacar kak Radit yang dulu. Bukannya aku bermaksud buat ngejelek-jelekin kak Radit, tapi emang begitu kenyataannya."

"Rania stop!" perintah Radit.

"Buka mata Kakak! Kakak berhak dicintai sama lelaki yang lebih baik. Aku tau, cinta Kakak tulus, tapi kak Radit belum tentu...."

PLAK!

Rania tertegun, dia baru saja mendapat tamparan mematikan dari Radit. Rasa panas menjalari pipi, hatinya nyeri. Perlahan Rania memandang Radit dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Bahkan Radit sama sekali tidak menampakkan raut menyesalnya. Perlahan Rania memegang permukaan pipinya yang pasti sudah memerah. Saking kerasnya, rasa sakit itu sampai ke ulu hati. Mata Rania terus saja menatap Radit tak habis pikir.

Detik berikutnya, Rania pun pergi dari hadapan Radit dengan membawa luka.

Bianca yang melihat adegan itu tentu saja langsung mengambil tindakan. Dia lantas mengejar Rania yang pastinya sudah menangis. Selain ditampar, Radit juga sudah membuatnya malu di depan orang-orang. Sungguh sakitnya berkali-kali lipat.

Sampai di luar, Rania menolak ditemani Bianca.

"Ran, lo nggak pa-pa, kan? Tuh kan gue bilang apa, lo nggak perlu lagi dateng ke sana. Kakak lo itu emang nyebelin banget."

Rania tidak menanggapi ucapan Bianca, dia terus saja berjalan cepat.

"Rania...."

"Jangan ikutin aku, aku mau sendiri."

Bianca tutup mulut, dia pun mengangguk-anggukkan kepalanya, membiarkan Rania pergi bersama air matanya.

Berharap Radit akan mengejarnya hanya akan semakin menyakiti perasaan. Rania tidak mau. Berharap pada manusia memang menyakitkan. Selama ini dia sudah dibunuh berkali-kali oleh angannya sendiri.

🍁🍁🍁

"Kok kamu tega banget sih nampar dia?"

"Biar dia nyadar."

"Apa bener yang diucapain adek kamu itu? Kamu mau main-mainin aku? Sama kayak cewek-cewek lainnya?"

"Kamu percaya sama dia?"

"Aku bisa liat kejujuran di matanya. Apalagi waktu liat kamu nampar dia, seolah kamu pengin dia berhenti ngeluarin semua kedok kamu. Aku takut, Dit. Aku takut." Senna mengambil tas yang tergeletak di atas sofa, kemudian pergi meninggalkan Radit yang mulai frustrasi. Rania benar-benar sudah menghancurkan semuanya.

Saat sudah berada di luar area pub, Radit terus melangkah mengikuti Senna.

"Tunggu dulu, Sen. Kenapa kamu jadi gampang percaya sama dia? Bukannya kita udah sepakat?"

"Aku cuma takut. Aku takut kamu emang kayak gitu. Aku takut kamu nggak bisa nahan nafsu kamu untuk nggak cinta sama perempuan lain. Aku takut kehilangan kamu." Senna terus melangkah. Pasalnya dia belum seratus persen percaya pada Radit.

Radit meraih pergelengan tangan Senna, "Tunggu. Berdiri di sana."

Senna pun berhenti, namun dia masih membelakangi Radit.

"Kamu dengerin aku, ya? Rania cuma salah paham. Makannya tadi aku marahin dia. Dia nggak percaya kalau aku udah mau berubah."

"Oh, ya?"

"Iya. Adik aku emang sulit percaya sama aku. Aku nggak peduli sama Rania. Yang penting itu kepercayaan kamu. Aku butuh rasa percaya kamu, Sayang."

Radit memang paling bisa membuat kekesalan Senna pudar.

"Jangan dengerin dia. Kan kamu tau sendiri, aku emang playboy. Tapi kan kita udah sepakat, kalau kita bakalan sama-sama berubah. Aku cinta kamu, Senna. Aku nggak mungkin ngelakuin hal bejat itu sama kamu. Aku pastiin kamu bukan korban berikutnya. Kamu itu yang pertama sekaligus yang terakhir...." Radit memeluk Senna dari belakang, mengendus leher Senna yang wangi.

"Aku mau bukti."

"Apa?"

"Cium aku."

"Iya, nanti aku cium kamu."

"Sekarang."

"Maksudnya?"

"Sekarang, di sini."

Radit terdiam sejenak, suasana hening lantaran jalan itu lengang sekali, sampai akhirnya dia pindah posisi dan berdiri di depan Senna.

🍁🍁🍁

Rania baru menapaki kaki di teras rumah. Penampilannya berbeda dari biasanya, itu karena kemarin dia tidak pulang ke rumah. Tamparan Radit memiliki efek dahsyat bagi Rania. Tapi entah kenapa, meskipun sakit, Rania tidak bisa membenci kakaknya. Ia akan terus berjuang demi kakaknya.

Di lawang pintu, Rania melihat ibunya sedang berjalan tergesa-gesa. Tak dapat dihindara, pandangan ibu dan anak itu berserobok.

Tidak sesuai harapan, ibunya tidak bertanya apa-apa, dia malah terus melangkah.

"Tunggu, Bu."

Langkah Asri terhenti. Dia pun membalikan badan, begitu pula dengan Rania. "Ya, ada apa, Rania? Kalau kamu mau makan, itu bi Nani udah masak."

"Bukan itu. Apa Ibu nggak mau nanya aku dari mana?"

"Emangnya kamu dari mana, untuk apa Ibu nanya? Udah ya, Ibu buru-buru...."

"Kemarin malam aku nggak pulang, Bu. Apa Ibu nggak khawatir, anak gadisnya nggak pulang? Apa Ibu nggak mau nanya kenapa aku baru pulang pagi ini?"

"Aduh, Rania. Ini nggak penting," jawab ibunya tegas.

"Tapi menurut aku penting. Wajar, kalau ada seorang anak yang pengin ditanya begitu. Hal yang menurut orang tuanya nggak penting, tapi berarti bagi anaknya. Termasuk aku. Pertanyaan Ibu aku tungguin, marahnya Ibu aku tingguin."

"Kamu mau pulang kapan juga terserah. Lagian kamu itu nggak pernah bersyukur, Rania. Hidup kamu tuh enak, serba terjamin. Mau makan tinggal makan. Mau sekolah ada biayanya. Apa lagi?"

"Bersyukur maksudnya?"

"Kamu itu jangan jadi anak yang manja. Udah terima keadaan. Kita cuma bisa hidup kayak gini. Jangan minta yang aneh-aneh. Banyak anak di luar sana yang nggak punya tempat tinggal, nggak bisa makan, bahkan untuk tidur juga susah. Sementara kamu? Hidup kamu udah enak," jelas Asri panjang-lebar. Dia hanya ingin memenuhi semua kebutuhan anak-anaknya, agar mereka tidak kekurangan.

"Aku nggak minta yang aneh-aneh. Yang aku pinta cuma kasih sayang dan perhatian dari Ibu. Apa aku salah? Apa itu berlebihan? Sebagai anak yang lahir dari rahim ibunya, dia pasti pengin dapetin kasih sayang dari ibunya. Apa itu berlebihan? Apa aku minta Ibu untuk ajak aku ke luar negeri? Enggak, kan? Aku cuma mau Ibu ada untuk aku, Ibu mau ngeluangin waktunya untuk anak-anak ibu. Aku rela nggak punya rumah, asal Ibu ada buat aku. Aku rela nggak punya barang berharga asal Ibu ada."

"Ck! Omong kosong! Uang itu paling utama, Rania. Maaf Ibu nggak bisa! Ibu kerja juga buat memenuhi kebutuhan kalian. Coba aja ayah kamu ada, Ibu nggak mungkin kerja banting tulang kayak gini."

"Apa sebentar aja nggak ada...."

"Udah, Ibu harus berangkat." Asri pergi begitu saja meninggalkan Rania yang perasaannya sudah kacau.

"Non Rani dari mana aja? Kenapa kemarin nggak pulang? Bibi khawatir tau."

"Bi, kenapa bukan Ibu yang nanya kayak gitu? Kenapa bukan Ibu?"

"Ibu kamu lagi buru-buru, dia banyak kerjaan. Makannya begitu. Tapi non Rani harus percaya sama Bibi, dalam hatinya dia pasti khawatir. Udah yuk, masuk. Non Rani pasti lapar."

Rania mengangguk, bi Nani menuntunnya masuk ke dalam.

"Kak Radit nggak pulang, Bi?"

"Seperti biasa, Non."

Rania mengembuskan napas.

🍁🍁🍁

Bersambung

Peluk jauh, Ayatulhusna_

Jazakillahu khairan khatsiiran ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top