AIR*9
Cinta itu tidak butuh banyak kata, tetapi cinta butuh tidakan. Tak perlu umbar janji, tetapi selalu menepati. Cinta butuh kepastian, bukan dari ungkapan, melainkan dari perlakuan.
Itu semua yang dilakukan Ali kepada Prilly selama ini. Ali tidak pernah mengatakan cinta, tapi dari tindakan dan apa yang dia lakukan semua untuk kebaikan Prilly. Cinta tidak banyak tuntutan, karena cinta itu sendiri yang akan menuntun.
"Kamu mau ikut masuk?" tanya Prilly setelah dia turun dari motor Ali.
Seperti yang sudah Ali dan Prilly rencanakan sebelumnya, kini mereka berada di depan kantor syahbandar Semarang. Seaman book atau buku pelaut berperan penting bagi seorang pelaut, karena di dalamnya terdapat record kerja seorang pelaut, yaitu tercatat secara jelas tanggal pelabuhan sijil sign on maupun sign off seorang pelaut.
"Harus ikutlah!" Ali melepas jaket kulitnya dan mencabut kunci motor.
Ali menggandeng tangan Prilly untuk masuk ke gedung syahbandar. Entah mengapa Ali selalu melakukan itu di tempat umum. Awalnya Prilly sebal dan tak nyaman saat Ali selalu menggandengnya di tempat umum, tapi lama-kelamaan Prilly dapat menerima dengan alasan sederhana Ali.
'Biar kamu tidak digoda orang.' Itulah alasan yang selalu Ali berikan jika Prilly protes.
"Maaf, Mbak, mau tanya, apa Pak Kuncoro ada?" tanya Prilly kepada resepsionis, wanita cantik yang berdiri di balik meja tinggi sebatas dada Prilly.
"Maaf, Mbak, Pak Kuncoro sedang sibuk. Beliau tidak dapat diganggu."
"Tapi, saya sudah punya janji sama beliau." Prilly masih saja mendesak karena memang dia sudah memiliki janji sejak dua hari yang lalu.
"Tapi Pak Kuncoro masih sibuk, Mbak." Resepsionis itu masih saja kukuh.
"Mbak coba hubungi dulu Pak Kuncoro. Bilang ada tamu untuk dia, namanya Prilly," sahut Ali membela Prilly.
"Masnya sama mbaknya ngeyel ya dibilangin. Udah dibilang Pak Kuncoro sibuk masih aja ngotot mau ketemu."
"Eh, Mbak, kalau tidak penting nggak mungkin saya sengeyel gini. Saya itu juga sudah punya janji." Prilly yang dasarnya wanita pemberani membalas pelototan mata dari wanita yang sedang dihadapinya itu.
"Prilly!" Panggilan dari arah tangga membuat Prilly menoleh.
Resepsionis itu lalu menunduk hormat saat seseorang mendekati Prilly dan Ali yang berdiri di depan meja resepsionis.
"Mau ambil seaman book, ya?" tanya Pak Kuncoro sambil menyalami Ali dan Prilly.
"Iya, Pak, tapi mbaknya ini bilang Bapak masih sibuk." Prilly mengadu sambil melirik resepsionis tadi yang sekarang menunduk, mungkin takut.
"Ana, ini namanya Prilly. Dia salah satu anak didik saya. Kalau dia ke sini biarkan langsung datang ke ruangan saya."
Prilly tersenyum penuh kemenangan kepada resepsionis yang bernama Ana itu.
"Iya, Pak, maafkan saya, Mbak." Ana membungkukkan tubuhnya tanda meminta maaf kepada Prilly.
"Sudah, sudah, kamu ke ruangan Bapak dulu, ajak teman kamu. Ada Bu Dhani, Bu Dian, dan Pak Djarot di ruangan Bapak," kata Pak Kuncoro sambil mengusap kepala Prilly.
"Bapak mau ke mana?" tanya Prilly sebelum menjalankan perintah Kuncoro.
"Mau ambil sesuatu di mobil. Sana naik!" Kuncoro menepuk bahu Ali pelan dan dia pun berlalu ke luar gedung.
Prilly tak mengacuhkan Ana, dia dan Ali langsung menaiki tangga untuk ke ruangan Pak Kuncoro.
"Del, kamu dekat banget sama Pak Kuncoro?" tanya Ali saat mereka menaiki tangga.
"Aku dekat dengan semua dosen pembimbingku. Mereka berpengaruh besar selama aku kuliah untuk mendapatkan sertifikat keahlian dan ijazah profesi ANT III, kepelautan."
Sesampainya di depan pintu ruangan yang sering Prilly kunjungi, dia segera mengetuknya. Tak butuh waktu lama pintu pun terbuka.
"Prilly, mau ambil buku pelaut, ya?" tanya Bu Dian, salah satu dosen pengajar di kampusnya, yang saat ini sedang membukakan pintu untuk Prilly dan Ali.
"Iya, Bu."
"Masuk, ada Bu Dhani dan Pak Djarot tuh di dalam." Dian membuka pintu lebar dan membiarkannya terbuka setelah Prilly dan Ali masuk.
Prilly melihat Dhani dan Djarot sedang duduk dengan banyak berkas di atas meja.
"Halo, Prilly," sapa Dhani saat Prilly berdiri di dekatnya.
"Hai, Bu. Sedang sibuk apa?" tanya Prilly melihat salah satu kertas tersebut dan membacanya.
"Ini ... lagi cari pekerjaan untuk teman-teman kamu yang lain. Kamu jadi berangkat ke Surabaya kapan?" tanya Dhani menoleh ke arah Prilly yang berdiri di sebelahnya sambil mengelus lengan Prilly lembut.
"Besok pagi harus sudah sampai di Pelabuhan Tanjung Perak sih, Bu."
Prilly melirik Ali yang duduk di sofa, ternyata Ali sedang menyimak obrolan Prilly dengan Dhani.
"Syukurlah, kamu hati-hati kalau layar. Rencana mau di tempatkan bagian apa?"
"Mualim satu, Bu."
"Wah, bagus itu Prilly. Setahun berlayar bisa ambil ijazah lagi, naik jadi nakhoda. Nah, begitu dong walau cewek jangan mau kalah sama pelaut yang cowok," sahut Dian cepat.
"Anak siapa dulu?" kata Dhani membanggakan dirinya sendiri.
"Iya percaya, seng gembleng wae direwangi tangisan," cerca Djarot yang duduk di sebelah Dhani.
"Memang harus begitu untuk membentuk mental. Pelaut kok mentalnya tempe!" sahut Dhani tak terima.
"Pril, selama digembleng Bu Dhani kamu mendem rasa dongkol ndak?" tanya Dian menggoda Prilly.
Karena selama ini banyak taruni yang Dhani didik dan ingin menjadikan mereka pelaut yang benar-benar sukses di lautan. Namun, dari sekian taruni yang berhasil dan dapat terbukti hasil didikannya, baru satu yaitu Puri.
"Awalnya sih iya, Bu, tapi lama-kelamaan setelah merasakan hasilnya malah tuman." Semua tertawa mendengar kejujuran hati Prilly.
"Itu siapa, Pril? Pacar kamu?" tanya Kuncoro yang baru saja datang.
Semua menoleh ke arah Ali yang duduk stay cool di sofa. Sedangkan Prilly gelagapan bingung harus menjawab apa. Karena sejauh ini Ali maupun dia tidak ada yang menegaskan status mereka.
"Siapa Mas namanya?" tanya Kuncoro mendekati Ali dan menyalaminya.
"Ali," jawab Ali singkat menyambut uluran tangan Kuncoro.
"Yang itu sudah putus, Pril?" tanya Dian, yang dimaksud adalah Dedy.
"Bu Dian, ketinggalan berita. Udah lama nggak sama yang itu," sahut Dhani cepat.
"Oh, terus Ali kuliahnya di mana?" tanya Dian.
"Penerbangan, Bu," jawab Ali ramah.
"Pelaut dan penerbang? Apa langgeng?" cibir Djarot cepat.
"Jodoh sudah ada yang ngatur, serahkan semua kepada-Nya. Yang penting saling percaya dan saling menjaga." Kuncoro menepuk pundak Prilly pelan memberi keyakinan. "Ini buku pelaut kamu, semoga sukses dan kalau butuh bantuan jangan sungkan hubungi Bapak." Kuncoro memberikan buku pelaut yang berisi identitas Prilly di dalamnya.
Buku Pelaut adalah dokumen resmi negara yang dikeluarkan oleh pemerintah, berisi identitas fisik pelaut, yang tidak berdasarkan standar biometrik sidik jari dan bukan sebagai dokumen perjalanan dan tidak dapat menggantikan paspor.
"Prilly, sertifikat apa aja yang sudah kamu pegang sekarang?" tanya Djarot.
"BST (Basic Safety Traning), SCRB (Survival Craft and Rescue Boat) sama AFF (Advanced Fire Fighting), Pak. Sama ini buku pelaut." Prilly menunjukan buku pelautnya kepada Djarot.
"Sudah dapat ijazah ANT tiga. Layar satu atau dua tahun, sekolah lagi naikin pangkat, dapatkan ijazah ANT dua," kata Dian menyahut.
Memang selama Prilly mengikuti pendidikan selama empat tahun, tiga tahun di kampus dan satu tahun penuh melakukan praktik atau Proyek Laut di kapal-kapal niaga pelayaran samudra, dia akan mendapat ijazah formal Diploma IV dengan gelar S.ST dan memiliki ijazah profesi ANT III karena dia mengambil jurusan nautik yang nantinya bekerja di bagian deck kapal. Berbeda dengan jurusan mesin yang akan memiliki ijazah profesi ATT III.
"Maunya begitu, Bu. Tapi jalani dulu yang ini. Soal itu nantilah sambil berjalan." Prilly menjawab sambil melirik Ali yang sibuk membaca buku.
"Kalau mau naik ke kapal tanker, tambah sertifikat kamu ya, Pril." Dhani mengingatkan Prilly jika suatu saat nanti Prilly ada niat untuk berpindah kapal.
"Iya, Bu. Mau mencoba di kontainer dulu. Kalau sudah di rasa bosan nanti mencoba kapal yang lain. Bisa saja aku cari kapal tanker."
Ali menatap Prilly dengan tatapan tidak setuju, membuat Prilly menunduk tak berani menoleh kepada Ali. Berbeda dengan kapal yang lain, jika ingin menjadi kru kapal tanker seorang pelaut memerlukan tambahan sertifikat yaitu TF (Tanker Familirization), OT (Oil Tanker training), CTTP (Chemical Tanker Training Programe) dan LGT (Liquefied Gas Tanker).
"Oh ya Bu, Pak, Prilly pulang dulu, ya? Mau siap-siap buat ke Surabaya nanti malam." Prilly hanya beralasan agar cepat keluar dari ruangan itu karena Ali akan mengikuti interview hari ini.
"Iya, kalian hati-hati. Ali jangan ngebut ya bawa motornya? Jalanan rame." Kuncoro berpesan sambil menepuk bahu Ali, karena Ali dan Prilly kini sudah di ambang pintu ruang kerja Kuncoro. Prilly dan Ali pun berpamitan lalu keluar dari gedung Syahbandar.
Sepanjang perjalanan mereka saling diam, Prilly tidak berani berbicara lebih dulu karena perubahan wajah Ali yang datar dan cuek. Jika sudah seperti itu Prilly lebih memilih diam, menunggu Ali lebih dulu mengajaknya bicara.
Sesampainya mereka di Bandara International Ahmad Yani kota Semarang, tepatnya di depan kantor cabang Lion Air, Ali memarkirkan motornya. Prilly turun dari motor dan tetap diam menunggu Ali. Setelah melepas jaket dan merapikan pakaiannya, Ali menggandeng tangan Prilly masuk ke dalam kantor.
"Kamu tunggu aku di sini." Ali menyuruh Prilly duduk di ruang tunggu.
Ali pergi meninggalkannya sendiri tak berapa lama, dia kembali membawakan sebotol jus instan rasa jeruk.
"Ini di minum. Aku tinggal masuk sebentar, doain ya semoga lancar." Ali mengusap rambut Prilly lembut.
"Sukses ya Li? Jangan grogi, tetap stay cool." Prilly memberi suntikan semangat untuk Ali.
Sebelum masuk ke sebuah ruang, Ali sempat menoleh ke arah Prilly dan melempar senyum padanya. Prilly mengacungkan ibu jari ke arah Ali berniat menyalurkan semangat untuknya.
Sudah 15 menit berlalu, Ali tak kunjung keluar. 30 menit belum juga keluar, namun Prilly masih setia menunggu dan rasa gelisah mulai menghinggapinya.
"Ya Allah, lama banget sih? Semoga lolos. Aamiin." Prilly berdoa dalam hati dan dia menyadari sesuatu. Hatinya tergerak ingin membukanya.
"Maaf ya Li, aku buka ini. Aku mau kenal kamu lebih jauh. Masa sih udah deket tapi aku belum tahu nama panjang kamu, dan identitas kamu lebih dalam." Prilly membuka map yang sempat Ali titipkan tadi.
Prilly membaca identitas Ali dan matanya terbelalak tak percaya. Nafasnya entah mengapa menjadi tersengal dan tenggorokannya terasa kering. Prilly meminum jus instan yang Ali belikan tadi.
"Ali Tius Sembiring," desis Prilly lirih.
Prilly melihat Ali keluar dari ruangan tadi, segera dia menutup map yang sedang dia buka.
"Maaf, nunggunya lama ya?" tanya Ali yang sudah berdiri di depan Prilly.
"Nggak kok, sudah? Bagaimana hasilnya?" tanya Prilly sedikit ada perasaan mengganjal di hatinya.
"Masih harus menunggu."
"Pasti diterima, apa lagi kamu kan kemarin praktek lapangannya di perusahaan ini juga. Sudah, pulang yuk?" Prilly meyakinkan hati Ali, agar dia tetap optimis dan segera mengajaknya pulang karena sudah hampir pukul 15.30 WIB.
"Kita makan dulu ya?" Ali berkata sembari mereka ke luar dari kantor itu.
"Mau makan di mana?"
"Terserah kamu."
"Nggak mau kalau terserah aku," jawab Prilly yang mulai berani manja kepada Ali.
"Mmmmm ... kita makan di kota lama." Ali memakai jaket kulitnya dan membantu Prilly mengancingkan helmnya.
Mereka pun menyusuri jalanan kota Semarang sore itu. Meninggalkan kenangan di sepanjang jalan, dengan cerita penuh keceriaan. Hingga tak terasa Ali menghentikan motornya di depan rumah makan sederhana, namun suasananya asri dan tenang. Banyak pepohonan rindang yang menjadikan tempat itu terasa sejuk.
"Aku baru tahu ada rumah makan di sini." Prilly melihat-lihat tempat itu takjub.
"Tempat ini sudah lama, ayuk!" Ali menggandeng tangan Prilly masuk ke dalam rumah makan itu.
Konsep interior di dalam tempat itu seperti jaman Belanda. Tenang dan lagu yang di putar pun, lagu Jawa. Kali ini yang sedang di putar lagunya artis lokal yang sudah sangat terkenal. Didi Kempot. Ali mengajak Prilly duduk di pojok ruangan tersebut, kursinya pun masih terbuat dari rotan.
"Kamu mau makan apa?" Ali memberikan daftar menu untuk Prilly.
"Aku mau lumpia basah," jawab Prilly manja membuat Ali tersenyum manis ke arahnya.
"Iya nanti setelah kita makan," kata Ali lembut menghangatkan perasaan Prilly.
"Keburu kenyang kalau makan dulu."
"Kalau gitu nggak boleh makan lumpia. Makan nasi dulu, karena dari tadi pagi kita belum makan. Makan siang juga sudah lewat."
Kali ini Prilly mengalah."Iya udah."
Ali pun segera memesankan ayam geprek andalan tempat itu dan es lemon tea sebagai penghilang dahaganya.
"Habis ini kita cari tiket," kata Ali saat mereka sedang menunggu pesanan datang.
"Tiket buat apa?" tanya Prilly tak mengerti.
"Buat kita ke Surabaya."
"Tapi itu urusan aku, Li."
"Urusanmu juga urusanku. Karena masa depanku adalah kamu."
Prilly semakin tak mengerti dengan jalan pikiran Ali. Pacar bukan, tapi selalu ikut campur urusannya. Ingin marah, tapi hati tak kuasa. Sebenarnya hubungan apa yang sedang mereka jalin? Prilly ingin meminta kejelasan, tapi Prilly sendiri belum siap karena di dalam hati kecilnya dia masih selalu teringat Dedy, hingga detik ini Dedy belum terhapuskan dari dalam hati dan ingatannya.
"Ali, aku boleh tanya sesuatu?" Prilly berkata pelan dan sangat hati-hati.
"Iya, mau tanya apa?" Ali menegakan duduknya siap mendengarkan pertanyaan Prilly.
Sebelum berbicara Prilly menarik napasnya dalam.
"Apa benar keyakinanmu kristen?" Inilah yang sedari tadi Prilly tahan setelah membaca identitas Ali di kantor Lion Air.
Ali diam menatap lembut kedua manik mata Prilly. Dengan perasaan tak tenang Prilly menunggu jawaban Ali. Tangan Prilly meremas ujung bajunya.
#############
Iman kita yang tak sama ... Tuhan memang satu, kita yang berbeda, haruskah kita lantas pisah, karena iman kita yang berbeda.
Asyeeeeekkkkkk ....
Nyanyi dulu ah ....
Siap-siap ya? Apa kah ini awal dari konflik? Hahahahahahaha
Tunggulah dan bersabarlah. Terimakasih untuk vote dan komennya. Muuuuaaaahhhh
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top