AIR*6
"Pak, habis berapa semuanya?"
Suara itu membuat tubuh Prilly diam tak berkutik.
"Pak, biar aku yang bayar punya Mas ini," sahut Prilly cepat walau sebenarnya bibirnya kelu untuk berbicara.
"Kamu jajannya apa aja, Nduk?" tanya Pak Jono penjual di angkringan itu.
"Cuma nasi bungkus dua, tahu bacem dua, es teh bungkus dua," jawab Prilly memperlihatkan barang yang sudah dia beli.
"Jadi total semuanya 35 ribu sekalian punya Mas Ali dan teman-temannya."
Susah payah Prilly menelan ludah dan terlihat kaget dengan total yang disebutkan Pak Jono tadi.
"Mampus aku! Aku kan cuma bawa uang 30 ribu, itu saja sisa untuk aku bertahan hidup dua hari ke depan, sebelum Papi jemput aku besok sabtu," batin Prilly tetap diam tak menjawab dan tak berbuat apa-apa.
"Ini Pak." Ali yang berada di sebelah Prilly mengulurkan uang 50 ribuan kepada Pak Jono.
"Eh, nggak usah," cegah Prilly menoleh kepada Ali.
"Sudah, sekalian itu aja." Ali berkata sambil memasukan dompet ke saku belakang celananya.
"Oncom, Firman nambah es teh satu tadi, dan aku nambah gorengan bakarnya dua," teriak Adi pacar Cindai.
"Siapa lagi yang nambah, sekalian biar dihitung," balas Ali sedikit berteriak karena jarak mereka tadi duduk dan warung tenda tersebut sekitar 2 meteran.
"Udah itu aja." Adi kembali berteriak.
"Pak, tadi temenku nambah es teh satu sama gorengan bakarnya dua," kata Ali kepada Pak Jono, sebelum uang kembaliannya di berikan.
"Kamu nggak mau nambah?" tanya Ali kepada Prilly.
Prilly yang merasa kaget karena baru kali ini Ali mengajaknya berbicara terlebih dulu hanya diam dengan wajah heran.
"Ini nanti kamu makan sama Cindai. Nasinya sedikit jadi nggak kenyang, kalau cuma makan satu bungkus." Prilly memperhatikan Ali yang mengambilkannya beberapa gorengan dan dua bungkus nasi.
"Pak, nambah ini ya?" seru Ali menunjukan yang dia ambil tadi.
"Okey Mas Ali," sahut pedagang itu mengacungkan jempol ke arah Ali.
Ali memasukan jajanan Prilly ke dalam plastik, Prilly masih saja terpaku memperhatikan Ali yang tak biasa itu.
"Ini bawa pulang ke kos, ajak Cindai balik. Nggak baik cewek jalan berdua malam-malam begini." Ali menyodorkan dua plastik kepada Prilly.
"Terimakasih." Hanya itu yang dapat Prilly katakan dan menerima kantong plastik tadi.
Walau Ali tanpa senyuman dan hanya memperlihatkan wajah datarnya, entah mengapa itu justru membuat hati Prilly bergetar.
"Eh, nama kamu siapa?" tanya Ali saat Prilly ingin membalikan badan.
"Oh iya, kita belum pernah resmi kenalan ya?" Prilly sedikit berbasa-basi untuk menghancurkan rasa canggungnya.
"Aku Ali, tapi teman-teman sering panggil aku Oncom." Ali mengulurkan tangannya di depan Prilly.
"Aku Prilly," jawab Prilly menerima uluran tangan Ali.
"Aku panggil kamu Delmora aja ya?"
"Loh, kenapa?"
"Rex Delmora. Itu lebih cocok buat kamu."
"Kenapa begitu? Emang nama panggilanku kurang bagus ya? Aku suka namaku, karena ini pemberian orangtuaku."
"Bukan begitu, Rex Delmora itu artinya Ratu lautan. Aku denger banyak cerita tentang kamu. Kata temen-temen, kamu salah satu taruni terbaik di kampusmu."
"Halah! Itu cuma anggapan mereka aja, aku merasa belum puas dengan hasilku. Dan aku juga dengar, katanya kamu lulusan penerbangan dengan nilai terbaik dan tertinggi di kampusmu."
"Dengar dari siapa?"
"Banyak yang cerita."
"Mungkin."
"Mungkin apa?"
"Bisa dikatakan seperti itu, tapi aku juga merasa belum puas dengan hasil yang aku peroleh."
"Kenapa begitu?"
"Karena aku masih ingin mewujudkan satu impianku."
"Menjadi pilot?"
"Iya."
"Pasti jadi."
"Iya, dan kamu juga harus semangat. Aku yakin pasti suatu hari nanti kamu akan jadi nahkoda."
"Aamiin."
Obrolan mereka pun semakin panjang hingga kedekatan tak terasa mengalir begitu saja. Ali yang terkenal dingin dan tak ramah, saat mengenalnya lebih dalam ternyata orangnya asyik juga. Mungkin dia membatasi pergaulannya dan mungkin orang-orang tertentu saja yang diijinkannya masuk ke dunianya.
"Sudah, kamu pulang nanti kemaleman. Aku save nomer kamu. Nanti kita bisa saling bantu cari informasi tentang pekerjaan," kata Ali yang memang tadi sempat meminta nomer Prilly saat mereka mengobrol.
"Iya, makasih ya, Li. Kamu sudah traktir aku dua kali," ucap Prilly beranjak dari duduknya dan menjinjing kantong plastik tadi.
"Sudah, jangan dihitung. Nanti kamu harus bayar, traktir aku kalau sudah jadi nahkoda dan bayaran kamu bisa lebih 5 juta," gurau Ali membuat Prilly tak percaya jika orang sedatar Ali bisa bercanda.
"Tenang aja, nanti kalau aku sudah jadi nahkoda dan kamu sudah jadi pilot, kalau kita kebetulan berkunjung di negara yang sama aku akan traktir kamu."
"Emang kamu mau traktir aku apa?" tanya Ali sembari mereka berjalan menghampiri teman-temannya.
"Es teh, cukupkan?" jawab Prilly polos membuat Ali tertawa lepas.
Prilly yang baru saja melihatnya merasa senang karena bisa melihat tawa Ali yang begitu lepas tanpa beban.
"Kamu ada-ada aja. Kamu pikir kalau cuma es teh, nggak bisa ya beli di sini aja sekarang?" Ali mengacak rambut Prilly kecil, itu semakin membuat debaran jantung Prilly kembali berjalan abnormal.
"Cindai, pulang gih! Kasihan dia nunggu kamu pacaran lama," titah Ali.
"Iya." Cindai menjawab sambil berdiri dari duduknya.
"Aku udah kamu beliin, Pril?" tanya Cindai sambil memakai alas kakinya.
"Udah, ini tadi yang traktir Oncom." Prilly mengankat kantong Plastik, memamerkan kepada Cindai.
"Makasih ya, Oncom," ucap Cindai menepuk bahu Ali.
"Iya, sudah sana kalian pulang. Nggak baik cewek malam-malam keluyuran."
"Daaaaa ... duluan ya?" pamit Cindai melambaikan tangannya.
Sepanjang perjalanan Prilly tak henti-hentinya tersenyum.
"Pril," panggil Cindai.
"Hmmm, apa?" Prilly menoleh ke sebelahnya.
"Setahu aku keluarga Ali itu kebanyakan dari pelayaran. Kenapa dia ambil penerbang sendiri ya?"
Saat Cindai berkata seperti itu, Prilly seketika berhenti berjalan lalu memutar tubuh Cindai untuk saling berhadapan dengannya.
"Serius kamu?" tanya Prilly tak percaya.
"Iya, aku serius. Kenapa sih kamu?"
"Soalnya tadi dia minta nomer HP aku. Katanya dia mau membantu aku cari pekerjaan." Prilly bercerita dengan mata berbinar, entah ada apa dengannya hingga seperti itu.
"Oh!" Hanya itu yang Cindai katakan, lalu dia berjalan mendahului Prilly.
"Cindai, gitu aja respon kamu?" rajuk Prilly mengejar dan menyamakan langkah kakinya bersama Cindai.
"Terus aku suruh bilang gimana Prilly-ku sayang. Wajarlah dia mau membantu kita, kan ada pamannya yang punya perusahaan kapal tugboat. Dan banyak keluarganya yang pelaut."
"Kenapa kamu nggak cerita dari dulu sih, Cin?" kata Prilly menutup pintu gerbang kosnya, karena kini mereka sudah sampai di dalam area kos.
"Perasaan aku selalu bercerita tentang Ali sama kamu deh, Pril. Cuma otak kamu aja yang nggak nangkap. Makanya buka mata, jangan cuma mikirin Mas Dedy-mu yang sudah ninggalin kamu itu," cerca Cindai sambil tangannya sibuk memasukan kunci untuk membuka pintu kamarnya.
"Bukan dia yang ninggalin aku, Cindai. Tapi, itu kesepakatan kita berdua. Sudah ah, jangan bahas Dedy. Mulai sekarang kita bahas Ali aja ya?"
"Hah?! Sejak kapan kamu mau mendengarkan tentang Ali, Pril?" tanya Cindai sedikit kaget dengan wajah tak percaya.
"Sejak hari ini, aku mau mendengar cerita tentang Ali," jawab Prilly malu-malu kucing, membuat Cindai tertawa renyah.
"Akhirnya sahabat aku bisa keluar dari penjara." Cindai masih saja tertawa lepas, hingga tak mereka sadari, ternyata dari seberang ada yang memperhatikan.
Prilly yang merasa malu, lalu membuang muka tak sengaja justru pandangannya bertabrakan dengan Ali yang entah sejak kapan memperhatikannya di depan pintu kamar. Jantung Prilly kembali berdetak kencang, seperti sebuah genderang yang di pukul-pukul. Dari seberang Ali mengisyaratkan tangannya akan menelepon Prilly, lalu Prilly pun mengangguk.
"Cin, ini nasi, gorengan, tahu bacem dan es teh kamu. Aku mau makan di kamarku sendiri aja." Prilly membagi makanan yang ada di dalam kantong plastik tadi.
"Yakin? Biasanya minta aku suapin, kamu?" gurau Cindai.
"Kebalik! Biasanya kamu yang aku suapin, dodol." Prilly memasukan kunci pintu kamarnya, sedangkan Cindai menyengir kuda, menunjukan barisan giginya yang rapi.
Memang beginilah kehidupan sebagai anak kos. Saling menjaga dan saling memberikan perhatian karena mereka sama-sama menyadari jauh dari orangtua. Cindai memiliki sifat manja, untung saja Prilly orangnya sabar dan memiliki pemikiran yang dewasa dan keibuan. Jadi Cindai merasa nyaman dan cocok berteman baik dengan Prilly.
Prilly masuk ke dalam kamarnya, menutup pintun lalu mengambil piring dan sendok milik pribadinya. Saat dia mengambil air minum, HP-nya yang diletakan di atas kasur busa berdering. Dia menggapai HP itu, tertera nomer baru di sana.
"Hallo," sapa Prilly ragu setelah memencet tombol hijau.
"Sudah jadi makan?"
Suara dari seberang membuat jantung Prilly kembali tak tenang. Senyum tak jelas tertarik dari kedua sudut bibirnya.
"Ini baru mau makan," jawab Prilly berusaha menetralkan suaranya.
"Jangan dimatikan, aku udah paket telepon malam, kamu makan aja sambil aku telepon."
Entah mengapa tiba-tiba pasokan oksigen di kamar Prilly berasa menipis dan dadanya sesak. Di dalam perutnya terasa seperti digelitiki ratusan kupu-kupu yang berterbangan. Darahnya berdesir hangat hingga ke jantung hatinya.
"Iya," jawab Prilly susah payah.
Prilly merasa tenggorokannya kering, lalu dia mengambil segelas air minum yang sempat dia tuang di dalam gelas tadi. Sekali tarikan nafas air dalam gelas ludes tak tersisa.
"Sambalnya jangan di makan. Pedas itu." Peringatan Ali membuat perasaan Prilly menghangat.
"Tenang saja, aku suka pedas dan sudah biasa makan pedas."
"Boleh makan pedas, tapi jangan keseringan dan berlebihan. Kasihan lambung kamu jika sampai radang."
Prilly tersenyum saat mendengar kebawelan Ali yang menunjukan perhatiannya.
"Iya, aku juga tahu itu. Aku juga membatasi mengkonsumsi pedas kok, Li."
"Ya sudah kamu sambil makan."
"Kamu sedang ngapain?" tanya Prilly basa-basi agar tidak merasa kaku saat berbicara.
"Sedang mempersiapkan PDH dan atribut wisuda untuk Minggu depan. Kampus kamu juga samakan wisudanya dengan kampusku?"
"Kampus aku hari Sabtu," jelas Prilly sambil menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.
"Oh, tempatku hari Kamis. Kamu datang ya?"
Prilly seketika tersedak saat mendengar Ali memintanya seperti itu. Prilly batuk-batuk hingga ada nasi yang keluar dari hidungnya. Sakit dan panas di hidungnya membuat nafasnya sedikit kesulitan.
"Prilly ... hay, Pril!" Suara Ali dari seberang terdengar khawatir.
Prilly mengambil es teh yang tadi dia beli dan meminumnya. Setelah merasa lebih baik lalu dia kembali menempelkan HP-nya di telinga.
"Hallo ... Prilly, kamu kenapa?" Suara Ali masih saja terdengar khawatir.
"Maaf Li, tadi tersedak duri ikan bandeng," alasan Prilly. Maklum saja, jika Prilly jujur jika tersedak karena permintaan Ali tadi, pasti Ali menertawakannya.
"Oh, makanya hati-hati. Sudah jangan di makan lagi. Buang sekarang! Aku belikan yang lain. Tunggu lima menit lagi."
Tut ... tut ... tut ....
Prilly menatap HP-nya heran setelah panggilan terputus sepihak.
"Lah ... kok mati. Katanya tadi nggak boleh di matiin. Kenapa dia yang matiin? Aneh!" gerutu Prilly lalu menaruh HP-nya di atas kasur.
Saat Prilly ingin menyuapka nasi ke dalam mulutnya, dia teringat kejadian tersedak tadi.
"Dasar Prilly oon. Bisa-bisanya tersedak cuma gara-gara begitu," gerutu Prilly tersenyum tak jelas.
Belum juga Prilly sempat melanjutkan makannya, HP-nya kembali berdering. Prilly sudah tahu siapa pemilik nomer itu, walau dia belum menyimpan di dalam HP-nya.
"Hallo. Ada apa, Li?" tanya Prilly setelah menekan tombol hijau.
"Keluar kamar sekarang." Perintah Ali lalu mematikan panggilannya.
"Ih, dasar aneh! Emang siapa dia, nyuruh-nyuruh aku!" Prilly menggerutu namun tetap menuruti perintah Ali tadi.
Dia membuka pintu kamarnya, melihat Ali sudah berdiri di balik tembok pembatas yang memperlihatkan bagian dada ke atas. Prilly mendekati tembok pembatas itu.
"Sudah di buang nasi yang tadi?" tanya Ali datar. Prilly hanya menggeleng.
"Buang yang tadi dan makan saja yang ini." Ali memberikan kantong plastik hitam kepada Prilly.
Prilly menerimanya dan melihat kantong plastik itu.
"Kamu beliin aku nasi lagi? Terus, yang tadi aja baru aku buka satu dan baru makan dua sendok."
"Yang tadi di buang saja, dari pada kamu makan nasi kucing dan duri ikan bandengnya bikin kamu tersedak lagi, mending makan yang ini."
"Jadi aku udah hutang kamu berapa ini, Li?" tanya Prilly tak enak hati.
"Udah, kamu makan aja. Jangan pikirkan hutang. Kamu nggak punya hutang sama aku."
Tanpa menunggu Prilly menjawab Ali membalikan badan, berlalu begitu saja. Prilly yang tadinya siap untuk berbicara saat melihat Ali sudah berbalik badan lalu dia urungkan.
"Ngapain masih berdiri di situ? Masuk, buruan di makan!" perintah Ali saat dia sudah sampai di depan pintu kamarnya.
"Iya, makasih," ucap Prilly lalu masuk ke dalam kamar.
Prilly kembali menutup pintu sekaligus dia menguncinya. Dia duduk dan membuka nasi bungkus yang Ali belikan tadi.
"Ya Allah, mana bisa aku habiskan nasi segini banyaknya? Beginilah anak kos, jika sedang banyak makanan, tapi kalau sedang kekurangan makanan, alamat berpuasa." Prilly mengomel sendiri lalu mengirim sms kepada Cindai agar masuk ke dalam kamarnya dan ikut membantu menghabiskan nasi padang yang Ali belikan untuknya tadi.
Selamat datang malamku, selamat jalan rinduku, hanya itu yang selalu kuucap, saat senja berlalu dari langitku. Rindu menyeruak saat senja menanti malam. Geloranya tak padam, meski diam-diam kupendam.
Semestaku sekarat saat punggungmu menjauh sirna dan di ufuk barat, tak pernah kulihat senja lebih bermuram durja. Saat mata senja berlinang jingga, engkau hanya terlalu bahagia mengenang luka, seperti pergi yang lupa jalan pulangnya. Maka, suatu saat nanti. Jika cinta cukup waktu, ia akan pergi. Menemukan inangnya. Dan kita kekasih, hanya sepasang ranting senja.
Prilly menutup diary yang menyimpan banyak goresan tangannya sebagai ungkapan hatinya kala dia ingin.
###########
Hahahahaha
Sego kucing!
Makasih untuk vote dan komennya ya?
Masih sabar menunggukan kalian?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top