AIR*4

Prilly menatap berbagai barang pemberian Dedy di kamarnya. Salah satunya teddy bear yang memiliki ukuran lebih besar dari badannya. Jika melihat itu semua, kedua sudut bibirnya tertarik hingga membentuk seperti bulan sabit. Setiap akhir pekan Prilly selalu pulang ke rumah jika tidak ada tugas.

"Prilly?" Puspa masuk ke dalam kamar Prilly.

"Iya, Mi." Prilly menoleh ke arah pintu, di sana Puspa sudah tersenyum sangat manis mendamaikan hatinya yang saat ini sedang porak poranda.

"Mami dan Papi akan pergi ke Kudus. Mau mengembalikan barang-barang lamaran keluarga Om Bakri untuk kamu waktu itu. Apa kamu mau ikut?" Puspa duduk di tepi ranjang, menatap nanar ke arah Prilly.

Puspa tahu betul bagaimana jalinan kasih anak gadisnya itu bersama Dedy, pujaan hati Prilly yang sudah lama merajut kasih. Prilly dan Dedy sudah menjelaskan kondisi hubungan mereka kepada kedua belah pihak keluarga besar, sebelum Dedy berangkat ke Makasar. Waktu itu keluarga Dedy tetap mengharapkan jika Prilly yang akan menjadi menantunya. Namun karena Dedy tak ingin terlalu mengikat Prilly, maka dari itu lebih baik dia melepaskannya.

"Iya, Mi. Prilly ikut ke Kudus." Prilly duduk di samping Puspa menyandarkan kepalanya di bahu yang selalu siap menjadi sandarannya.

"Mami padahal sudah cocok dan suka sama Dedy. Tapi, jika memang ini keputusan kalian, Mami hanya bisa berdoa yang terbaik untuk kalian. Jika kalian berjodoh pasti Allah akan menunjukan jalannya."

"Mi, terkadang kita harus ikhlas melepaskan yang bukan hak kita. Walau sesungguhnya kita menginginkannya. Nggak selamanya apa yang kita mau harus tergenggam, ada kalanya kita melepaskan sesuatu yang baik dalam hidup kita, agar tidak menjadi beban dan langkah kita tidak tertatih menuju masa depan," kata Prilly bijak membuat Puspa bangga dengan ketegaran hatinya.

"Mami bangga punya anak gadis yang dapat menyikapi masalah dengan pikiran dewasa, sabar dan tenang. Semoga kamu dan dia mendapat yang lebih baik." Puspa mencium pucuk kepala Prilly lembut.

"Allah itu tidak akan memberikan apa yang kita minta, Mi. Tapi, Dia akan memberikan apa yang kita butuhkan."

Puspa menghela nafasnya dalam mengurangi rasa sesak di dadanya. Dia mengelus lembut rambut Prilly.

"Apa yang akan kamu lakukan sekarang?" tanya Puspa pelan.

"Prilly akan membuktikan janji yang sudah terucap untuk Dedy, Mi. Mungkin Allah mempertemukan Prilly sejauh dan sedalam ini sama Dedy, agar Prilly belajar arti keikhlasan dan kesabaran. Prilly sudah belajar banyak hal dari Dedy, Mi. Waktu lima tahun, bukanlah waktu yang singkat untuk sebuah hubungan apa lagi pacaran." Lagi-lagi setetes air mata Prilly lolos membasahi pipinya.

Prilly memang masih mencintai Dedy hingga detik ini, hatinya selalu berteriak menyebut nama Dedy.

"Bersiap-siaplah, habis itu kita berangkat ke Kudus. Tadi Papi sudah telepon Om Bakri. Keluarga mereka menunggu kedatangan kita," titah Puspa lalu Prilly menegakan kepalanya.

"Iya Mi," jawab Prilly lalu berdiri mengambil handuk.

Puspa berlalu meninggalkan kamar Prilly bersiap-siap seperti yang sudah dia katakan tadi.

***

Jantung Prilly berdebar kencang, perasaannya tak karuan saat kakinya menginjak pelataran rumah yang sudah biasa ia kunjungi. Rumah itu baginya sudah menjadi perlindungan kedua selain rumah orangtuanya.

"Hai, bagaimana kabar kamu Mbak Pus?" sambut Riana ramah sambil memeluk dan saling mencium pipi dengan Puspa.

"Alhamdulillah baik Mbak Ria."

Mata Riana berkaca-kaca saat melihat Prilly berdiri di belakang Puspa. Puspa yang menyadari hal itu lalu menggeser posisinya. Riana merentangkan tangannya menyambut Prilly. Segera Prilly berhamburan di pelukan wanita yang sudah dia anggap ibunya sendiri. Prilly sekuat tenaga menahan agar tidak menangis, namun sia-sia matanya menghianati dia. Air mata lolos tak tertahankan lagi, membuat Puspa yang melihat suasana itu ikut menitikan air mata.

"Tante rindu sama kamu sayang," ucap Riana bergetar karena menangis.

"Prilly juga rindu sama Tante," balas Prilly lalu merenggangkan pelukannya, menghapus air mata Riana dan air matanya sendiri.

"Mari kita masuk Pak Rendra. Kita ngobrolnya di dalam saja," ajak Bakri merangkul bahu Rendra.

Keakraban kedua keluarga sungguh disayangkan jika mengingat hal itu. Namun bagaimana lagi jika keputusan sudah diambil dan disepakati bersama. Hanya jalinan silahturahmi dengan baik dan berusaha tetap saling menjaga persaudaraan yang dapat mereka lakukan saat ini.

Rendra sudah mengutarakan niat dan maksud tujuannya datang ke rumah itu. Di dengar oleh keluarga besar Bakri dan di depan mata Prilly.

"Jika memang itu adalah keputusan anak-anak kita, biarlah. Kita saling mendoakan semoga Allah selalu memberikan jalan yang mudah untuk mereka mengejar cita-citanya," seru Bakri.

"Prilly, simpanlah cincin ini sebagai tanda, jika kamu adalah salah satu orang yang spesial untuk Dedy." Riana menyodorkan sebuah cincin pertunangan yang belum sempat Prilly pakai di jari manisnya.

"Maaf Tante, bukannya saya tidak mau menerima, cuma saya ...."

"Jika kamu keberatan anggaplah ini hadiah dari Tante buat kamu. Jangan menolak lagi. Tante tidak suka dengan penolakan," tegas Riana tak terbantahkan lagi.

Tanpa menunggu persetujuan Prilly, Riana mengangkat tangan Prilly dan memakaikan cincin itu di jari manisnya. Air mata Prilly jatuh menetesi punggung tangannya saat cincin itu masuk di jari manisnya. Ingatan tentang Dedy menari-nari di dalam pikirannya lagi. Harusnya saat itu Dedy yang memakaikan cincin itu. Namun dulu saat keluarga Bakri dan juga Dedy datang ke rumah Prilly, kebetulan Prilly sedang prala di Lombok.

"Simpan dan jangan pernah lepas. Anggap ini kenang-kenangan dari keluarga Bakri untuk kamu. Sampai kapan pun pintu rumah ini terbuka untuk kamu. Datanglah jika kamu ingin." Riana penangkup pipi Prilly yang sudah basah dengan air mata.

"Terimakasih Tante, selama ini sudah memperlakukan Prilly sangat baik. Tante sudah Prilly anggap ibu kedua dan Tante juga adalah orang yang tidak pernah lelah membaweli Prilly untuk terus tetap mengejar karir dan cinta-cita," ucap Prilly tulus, Riana menghapus air mata Prilly.

Saling peluk diantara mereka tak terhindarkan. Suasana haru menyelimuti ruang keluarga sore itu. Setelah semua obrolan selesai, mereka melakukan makan malam bersama sebagai tanda hubungan persaudaraan yang baik. Prilly saat itu merasakan kehangatan, dikelilingi orang-orang yang menyayanginya. Memang cinta sejati rela melepaskan untuk pergi. Rencana Tuhan itu lebih indah, walau kita harus tersakit.

***

Akhir tahun pendidikan menjadi kesibukan yang luar biasa. Penyusunan makalah dan berbagai ujian harus di lalui Prilly. Dia rela berangkat pagi ke kampus dan pulang sudah petang demi meraih kelulusan yang ia harapkan. Dan dia juga masih melanjutkan tugasnya di kos. Malam ini dia mengerjakan menjangka peta seperti yang sudah pernah dia praktekkan dulu saat prala.

"Pril, dulu bayangan aku itu menjangka peta, yang kita pelajari cuma soal menentukan jalur pelayaran. Eh ... nggak tahunya, ternyata banyak banget." Cindai berkata sambil menghitung jarak dan alur pada peta.

"Nggak semudah itu Cindai," balas Prilly masih fokus bergulat dengan berbagai macam penggaris khusus dan peta laut yang sangat lebar itu.

"Navigasi apa sih Pril?" tanya Cindai membuat Prilly menatapnya heran.

"Kamu nggak tahu Navigasi apa, Cin? Masya Allah Cindai, itu pengertian dasar, kamu nggak tahu?" Prilly menghela nafas dalam saat Cindai menggelengkan kepalanya.

"Aku tuh masih bingung kadang Pril. Saat dosen menjelaskan semua mata pelajaran nggak pernah mereka lupa menyinggung 'Navigasi'. Tapi aku nggak tahu apa itu. Kan aku jadi sulit mencerna pelajaran."

"Cindai sayang." Prilly mengambil duduk bersila setelah tadi dia tengkurap,"Dengarkan aku."

Cindai ikut duduk bersila memperhatikan Prilly serius.

"Navigasi itu seni membawa kapal dari suatu tempat ke tempat lain dengan aman dan selamat. Untuk mencapai tujuan itu pastinya dibutuhkan Navigator," jelas Prilly sabar agar Cindai dapat memahaminya.

"Oh, begitu ... terus apa tugasnya navigator?"

"Dalam hal itu navigator dituntut harus mengetahui banyak hal. Selain ilmu pelayaran sebagai dasar keahliannya, dia harus tahu tentang ilmu cuaca, oleh gerak, stabilitas, tahu peraturan internasional agar terhindar dari tubrukan ...."

"Jadi peraturan itu semua harus kita hafal dong Pril?" Cindai memotong penjelasan Prilly, mungkin Cindai mengingat betapa banyak aturan dan penjelasan hukum tentang lautan di dalam peraturan internasional itu.

"Nggak harus hafal semua, Cindai. Yang penting kita memahami dan tahu letak pasalnya." Prilly berdiri lalu berjalan ke arah lemari.

"Terus sarana-sarana atau alat yang sering digunakan untuk navigasi apa aja, Pril?" Cindai masih setia duduk di tempat sambil memperhatikan gerak gerik Prilly.

"Bui, lampu suar, peta laut, metode penentuan atau penggambaran posisi dan lain-lain. Nah ... ini semua termasuk dalam menjangka peta. Paham?"

"Iya aku sekarang lebih paham dan tahu."

"Aku laper Cin, mie dog dog kok belum lewat ya, Cin?" tanya Prilly membuka pintu kamar kos.

Saat dia membuka pintu kamarnya, dia melihat si Oncom sedang asyik memainkan gitar sendiri di depan kamarnya. Prilly tak menghiraukannya dan hanya memandang sekilas.

Sampai saat ini cinta dan hati Prilly masih penuh dengan nama Dedy. Entah sampai kapan luka itu akan mengering dan sembuh, namun yang pasti Prilly berusaha untuk menyembuhkan luka yang dalam di hatinya itu dengan hal positif untuknya sendiri.

"Kamu mau beli Pak No, Pril?" tanya Cindai kali ini dia ikut berdiri di ambang pintu.

"Nggak. Aku mau beli mi gorengnya Pak No. Bukan Pak No-nya, kalau Pak No aku beli, nanti bisa-bisa di gantung istrinya," jawab Prilly terkekeh, yang sebenarnya dia sudah memahami pertanyaan Cindai tadi.

"Iya, maksud aku juga begitu. Kamu mau beli mi-nya Pak No-kan? Aku nitip ya?"

Belum juga Prilly menjawab telinga mereka menangkap suara yang biasanya, menghasilkan bunyi menandakan tukang mi keliling melewati daerah tersebut.

Dog ... dog ... dog ....

"Nah itu Pak No," seru Prilly lalu dia memakai sendal jepitnya.

"Pril, aku mi rebus aja. Tapi, jangan pedes-pedes." Cindai berpesan saat Prilly sudah melangkah.

"Iya," jawab Prilly menoleh sebentar sambil tetap berjalan.

Sesampainya di depan gerbang kos, Prilly sebentar menunggu karena tukang mi kelilingnya masih mendorong gerobak mendekatinya.

"Mau mi apa, Nduk?" tanya Pak No setelah menghentikan gerobaknya di depan Prilly.

Prilly sudah menjadi pelanggan setia Pak No. Hampir setiap tengah malam saat Prilly merasa lapar, dia selalu menunggunya. Karena memang mi keliling itu sampai di daerah kos Prilly sekitar jam 11 ke atas.

"Biasa ya Pak No. Sama buatkan untuk Cindai."

"Kenapa nggak keluar sendiri Nduk Cindai-nya?" tanya Pak No mulai meracik bahannya dan mengipasi arang yang membara sebagai sumber pengapiannya nanti saat menggoreng.

"Biasa Pak No, dia-kan memang begitu. Males keluar tapi maunya makan," jawab Prilly memperhatikan tangan Pak No yang cekatan dan lincah memasukan berbagai bahan ke dalam wajan kecil sambil mengatur bara api.

"Pak, mi goreng satu pedes banget." Suara itu membuat perhatian Prilly yang tadinya fokus ke arah wajan kecil Pak No, menjadi menoleh ke arah sumber suara yang baru saja datang.

"Siap Mas Ali. Biasa ya?" sahut Pak No yang terlihat sudah akrab dengan orang tersebut.

Prilly hanya tak acuh dan tak menanggapi orang yang kini berdiri di sampingnya.

"Oncom, pesenin aku nasi goreng pedes satu dan Firman nasi goreng mawut nggak pedes," teriakan dari salah satu orang yang hanya nenyembulkan kepalanya di gerbang.

"Kamu ke sini sendiri." Orang yang di panggil Oncom oleh orang itu melambai.

"Aku cuma pakai boxer, malu ada cewek." Orang itu menunjuk Prilly yang memperhatikan mereka mengobrol dengan jarak kurang lebih satu meter.

Si Oncom itu melirik sebentar ke arah Prilly, lalu kembali melihat ke arah temannya tadi.

"Ya, nanti aku bawakan masuk."

"Ini punya Nduk Prilly sudah jadi." Pak No memberikan kantong plastik berisi pesanan Prilly dan Cindai.

"Ini Pak." Prilly menerima kantong itu sambil memberikan uang seratus ribuan kepada Pak No.

"Yang pas aja Nduk. Nggak ada kembaliannya. Ini lihat uangnya gede semua." Pak No membuka laci yang biasa dia menyimpan uang.

"Aku cuma punya itu Pak No. Nggak ada yang kecil."

"Wes bawaen sek. Besok aja kamu bayarnya." Pak No mengembalikan uang tadi kepada Prilly.

"Nggak mau. Aku nggak mau punya hutang. Nanti aku tidurnya nggak tenang, Pak No."

"Mana ada, hutang cuma 10 ribu bikin nggak bisa tidur. Kamu tu aneh to Nduk." Pak No terkekeh sambil meracik bahan untuk pesanan si Oncom.

"Ah, Pak No bawa aja nih uangnya. Tinggal satu lembar itu." Prilly berkata sambil mengerucutkan bibirnya dan memberikan uang tadi kepada Pak No.

"Nggak usah. Kamu bawa aja dulu. Buat kamu jajan besok di kampus."

"Ini pesanan Mas Ali dan temannya tadi. Jadi 15 ribu Mas." Pak No memberikan pesanan itu kepada lelaki yang sedari tadi mendengar perdebatan kecil Prilly dan Pak No.

"Ini Pak, sekalian punya Mbak-nya ini." Lelaki yang di panggil Pak No 'Mas Ali' itu memberikan uang 10 ribuan tiga lembar kepada Pak No.

"Ini bayar punya Nduk Prilly sekalian Mas Ali?" tanya Pak No memastikan.

"Iya Pak No."

Pak No mengembalikan uang 5 ribu ke pada Ali. Prilly hanya melihat transaksi itu.

"Wes nggak due utang sama aku yo Nduk kamu." Pak No berkata sambil bersiap mendorong gerobaknya.

"Iya, makasih."

Pak No berlalu melanjutkan langkahnya mencari rezeki untuk keluarganya. Sedangkan Prilly masih mematung tak enak hati kepada Ali yang siap melangkah masuk ke dalam gerbang.

"Hey Oncom," panggil Prilly untuk pertama kalinya kepada orang itu.

##########

Cieeeeee ... yang udah ketahuan si oncom is Ali. Hahahahaha

Terimakasih vote dan komennya.
Makasih untuk yang setia menunggu ya?
Muuuuaaaahhhhh

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top