AIR*3
Masa remaja adalah masa penjajakan segala hal. Banyak hal yang ingin di coba dan masa itu kesempatan kita mencari jati diri yang sesungguhnya.
"Prilly," panggil lirih Dedy yang duduk di sebelahnya.
"Iya," sahut Prilly lembut menutup matanya menyandarkan kepala di bahu Dedy.
Senja yang menampakan cahaya orange menyaksikan sejoli yang sedang memadu kasih di bibir pantai. Deru ombak yang saling mengejar untuk sampai di pantai menjadi pemandangan indah untuk mereka. Udara hangat menerpa tubuh mereka.
"Apa kamu yakin akan mengambil keputusan itu?" tanya Dedy lembut dan sangat hati-hati.
"Entahlah Ded, aku masih ragu. Kamu bagaimana? Apa akan tetap melangkah?" tanya balik Prilly yang sudah menyiapkan perasaannya untuk mendengarkan jawaban Dedy.
"Iya, aku akan tetap melangkah. Karena langkahku sudah di tengah jalan. Aku nggak akan mengikatmu, jika kamu nggak sanggup menungguku." Prilly menegakan duduknya menatap Dedy lekat.
"Dedy, kamu adalah lelaki satu-satunya yang mengerti dan memahamiku selain Papi. Apa kamu tahu selama ini aku selalu setia dan menunggumu?" Prilly berkata dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
"Bukan mauku untuk meninggalkanmu. Aku juga tersiksa dengan keadaan ini. Jika aku memintamu untuk berhenti, tak mengejar cita-citamu lagi, apa kamu mau mendengarkanku, Prilly?" Dedy berkata berat dengan air mata yang sudah tergenang di pelupuknya.
Mereka sama-sama sakit dan terluka dengan keadaan ini. Saling mencintai namun tak lagi satu jalan. Tersiksa dengan keadaan yang mereka ciptakan sendiri.
"Hingga detik ini aku masih mencintai kamu Prilly-ku. Cuma kamu wanita yang memenuhi isi otakku dan hatiku. Kita harus rela memilih antara cinta atau cita." Dedy menangkup pipi Prilly, mereka sama-sama meloloskan air mata yang sedari tadi tertahan.
"Maafkan aku Dedy. Aku bukannya nggak mau mendengarkanmu. Tapi aku ingin mewujudkan mimpiku selama ini, berdiri di atas baja yang mengapung di tengah samudra. Kamu tahu betul bagaimana aku sangat menginginkan hal itu." Suara Prilly bergetar dan parau.
Dedy menarik Prilly ke dalam pelukannya. Matahari yang terbenam kembali keperaduannya menjadi saksi dua hati yang terpaksa harus berpisah.
"Aku sangat mencintaimu Dedy. Hanya kamu yang selama ini memenuhi ruang di hatiku." Prilly mengeratkan pelukannya pada Dedy.
"Berjanjilah padaku. Wujudkan cita-citamu hingga kamu benar-benar menjadi apa yang selama ini kamu inginkan. Bila umurku panjang, kelak aku akan datang untuk membuktikan kepadamu. Aku akan berdiri di depanmu dengan seragam kebanggaanku." Dedy berkata sambil menahan luka di hatinya di tambah dengan tangisan yang tak bisa ia tahan lagi.
"Aku berjanji sama kamu, suatu saat nanti, aku akan berdiri di depanmu dengan sebutan Captain Malca Prilly Rissa." Prilly meloloskan tangisannya di dekapan Dedy.
"Lakukan itu untukku Sayang. Aku akan bangga jika itu terjadi. Jadilah wanita yang kuat dan tegar, jadilah seorang pemimpin yang arif dan adil."
Seberapa keras usaha mempertahankan, jika memang sudah tak sejalan, semua akan bertemu pada satu, kehilangan.
***
Prilly menatap pantulan dirinya di depan cermin. Luka di hatinya sejak dua minggu lalu saat dia harus melepaskan cintanya demi citanya, ia berusaha bangkit sendiri dari keterpurukan. Walau langkahnya tertatih saat merelakan kekasih yang selama 5 tahun sudah mendukung dan menemani setiap langkahnya, dia tetap berusaha bangkit sendiri.
"Dedy, aku akan buktikan sama kamu, kalau aku akan sukses dengan jalan yang sudah aku ambil." Keyakinan itu yang selalu tertanam di diri Prilly.
Sudah satu minggu Dedy tak ada kabar. Terakhir memberi kabar dia sudah berada di Maros dan mengikuti tes seleksi masuk kepolisian. Semenjak itu Dedy tak lagi ada kabar. Awalnya Prilly sangat keberatan dengan hal itu, namun ini sudah menjadi pilihan hidupnya.
"Pril, ayo. Kita hari ini ada ujian olah gerak kapal," seru Cindai mengetuk pintu kamar Prilly.
"Iya, Cindai sayang. Sabar." Prilly keluar kamar tetap dengan keceriaannya.
Inilah Prilly, tak ingin orang lain tahu jika hatinya sedang terluka. Yang ingin dia perlihatkan kepada dunia ini adalah senyumannya dan kebahagiaannya.
"Pril, aku tahu bagaimana keadaanmu dan perasaanmu," ujar Cindai setelah Prilly selesai mengunci pintu kamar kos.
"Kamu tidak akan pernah paham dan tahu dengan perasaanku Cindai. Hanya aku dan Allah yang mengetahuinya." Prilly berucap dengan senyum yang menutupi luka di hatinya.
"Okey, kita harus segera berangkat. 15 menit lagi apel staf." Cindai berusaha mengalihkan pembicaraan dan mengajak Prilly segera berangkat ke kampus.
Saat keduanya sedang ke luar dari pagar kos, tak sengaja mereka berpapasan dengan seseorang.
"Oncom!!!" seru Cindai memanggil.
Orang yang di panggil Oncom itu segera menghentikan motornya dan membuka kaca helm menoleh pada Cindai dan Prilly.
"Apa?" tanyanya dingin tanpa ekspresi.
"Mana buku meteorologiku yang kemarin kamu pinjam?" Cindai menodong lelaki itu sambil tangan mengatung.
Lelaki itu memutar tasnya, lalu mengeluarkan buku tebal dan diserahkan pada Cindai.
"Makasih. Lain kali aku pinjam lagi ya?"
"Iya." Setelah Cindai menjawab si Oncom itu berlalu menarik gasnya.
"Ayok Pril," ajak Cindai lalu mereka melanjutkan berjalannya.
***
"Poltir," panggil komandan batalyon.
"Siap Ndan!" sahut Prilly tegas sambil menoleh ke sumber suara.
"Ini ada titipan dari Bu Dani. Beliau hari ini tidak bisa mengajar. Dia meminta kamu mengajar di tingkat satu Nautik soal ilmu pelayaran." Komandan batalyon itu menyerahkan sebuah buku panduan ke pada Prilly.
"Baiklah Ndan." Prilly menerima buku itu.
Komandan batalyon berlalu dari hadapan Prilly. Buku tebal yang memuat materi pelayaran dipandang Prilly lekat. Semakin dia lama memandang, bayangan Dedy saat tersenyum justru muncul di buku itu.
"Aku nggak akan memaksakan diri untuk melupakanmu. Biarkan kamu selalu ada dalam ingatanku. Jika aku berusaha melupakanmu, justru itu akan semakin menyiksa batinku." Prilly membatin, menahan perih di hatinya.
Mencoba tuk melupakan seseorang yang sangat dicintai sama artinya dengan berusaha memilih seseorang yang tak pernah dikenal, semuanya akan sia-sia dan sangat melelahkan.
Prilly menghapus air matanya yang sempat menggantung di pelupuk matanya tadi. Dia menghela nafasnya dalam, lalu dia mengembalikan kepercayaan diri dan semangatnya lagi. Prilly melangkah masuk ke ruang kelas Nautik tingkat satu. Menjadi asisten dosen membuat Prilly, dituntut harus bisa memahami materi. Itu juga menguntungkan untuknya, karena apa yang dia pahami, suatu saat nanti ia dapat terapkan saat benar-benar terjun ke dunia pekerjaannya.
"Selamat pagi," sapa Prilly tegas dan berwibawa.
"Selamat pagi Poltir," jawab semua orang yang berada di ruang tersebut.
"Karena Bu Dani tidak dapat masuk kelas hari ini, jadi saya yang akan mengisi materinya." Prilly mulai membuka buku tebalnya.
"Baiklah apa kalian sudah pernah mempelajari tentang ilmu pelayaran datar?" tanya Prilly sebelum melanjutkan penjelasannya.
"Sudah Poltir," jawab komandan pleton tegas.
"Sampai di mana materi kalian?" Prilly menyapu pandangannya keseluruh wajah yang ada di dalam kelas itu.
Ruangan hening tak ada yang menjawab. Prilly menghela nafas dalam.
"Ilmu pelayaran datar dibagi empat sub. Ada bentuk bumi, definisi-definisi lingkaran di bumi, koordinat di bumi dan ukuran bumi. Kalian sampai yang mana?"
"Koordinat di bumi, Poltir." Ndanton menjawab tegas mewakili seluruh teman-temannya.
"Okey, kita awali dengan pengertian lintang dan bujur. Apa sih lintang dan bujur? Kebanyakan orang tahu jika lintang itu di bagi menjadi dua, yaitu lintang utara dan lintang selatan. Tapi, saya akan menanyakan. Apa sih itu lintang dan bujur?" Prilly menghentikan pada suatu pertanyaan dan menunggu jawaban dari orang di ruangan itu.
"Saya Poltir." Seorang taruna mengangkat tangannya.
"Baiklah, jelaskan apa itu lintang dan bujur."
"Lintang adalah busur derajat yang dihitung dari khatulistiwa sampai jajar yang melalui tempat itu. Dan bujur adalah busur kecil pada khatulistiwa yang dihitung dari derajah nol sampai derajah yang melalui tempat itu," jelasnya yakin.
"Sudah segitu saja yang kamu tahu?" tanya Prilly meyakinkan.
"Iya Poltir."
"Gambarkan penjelasanmu tadi di depan, agar teman-teman kamu mendapat bayangannya," titah Prilly menyodorkan spidol kepada seorang taruna tadi.
Taruna itu maju dan menggambarkan sebuah gambaran sekaligus penjelasannya yang dia ucapkan tadi.
"Benar itu adalah pengertiannya. Nah, jika kalian mempelajari ilmu pelayaran pasti tidak akan jauh dari hitung menghitung dan rumus. Apa ada yang tahu bagaimana cara menghitung lintang dan bujur?"
Seluruh orang hening tak ada yang menjawab. Bagi Prilly sudah biasa seperti itu.
"Perhitungan lintang diawali dari jarak antar tempat yang bersangkutan dengan khatulistiwa ke arah utara atau ke arah selatan, dari 0° sampai 90°. Biasanya dalam perhitungan di tandai dengan delta lintang." Prilly menggambar bentuk segitiga dengan tambahan tulisan lintang di belakangnya pada whiteboard (🔼lintang).
"Itu busur derajah antara jajar melalui dua tempat," jelas Prilly memberi pengertian.
"Jika bujur, dihitung mulai dari derajat nol ke timur atau ke barat dari 0° sampai 180°. Ditandai dengan delta bujur." Prilly sama menggambarkan segitiga di ikuti dengan tulisan bujur di belakangnya pada whiteboard.
"Itu busur pada khatulistiwa antara derajah-derajah melalui dua tempat. Sampai di sini ada pertanyaan?"
Seluruh orang diam dan di anggap Prilly paham. Prilly melanjutkan menjelaskan dengan lintang senama dan lintang tak senama, mengajari mereka rumus penghitungan dan mengujinya dengan soal-soal.
"Baiklah, semua perhitungan dasar ini nanti akan selalu di pakai dan saling berkaitan saat kita menjangka peta. Rumus pelayaran akan selalu sambung-menyambung. Ini baru awal dan masih banyak lagi."
"Jadi, ini nanti kelanjutannya masih ada rumus lagi, Poltir?" tanya salah satu taruni yang kelihatannya terkejut.
"Iya Indah, betul sekali. Jadi nanti pelajaran ini akan selalu menyambung hingga kalian dapat menerapkan dalam penghitungan jarak di peta perairan. Jadi saya berpesan, pahami setiap rumus, jika sampai kalian ada satu rumus yang tidak paham saya pastikan perhitungan selanjutnya akan salah."
"Yahhhh Poltir, baru awal penghitungan saja sudah pusing apa lagi nanti jika sambung menyambung jadi panjang dong rumusnya?" desah seorang taruna membuat Prilly tersenyum dan menggelengkan kepala.
"Semua akan mudah jika kalian memahami dan pelajari. Memang rumusnya nanti akan semakin berkembang. Tapi, jika kalian kreatif pasti bisa meringkas rumus itu agar mendapatkan hasil akhir yang sama dan yang pasti harus tepat." Prilly memberi semangat dan dorongan moral agar bayangan yang ada di benak adik tingkatnya itu tak menjalar sampai jauh.
"Siap Poltir," seru seluruh orang di dalam kelas itu.
"Baiklah kalau begitu kita akhiri pertemuan ini. Jika ada kesulitan saya siap membantu dan itu jika saya ada waktu senggang." Semua terkekeh termasuk Prilly.
Inilah salah satu yang disukai kebanyakan orang dari seorang Prilly. Mudah tersenyum dan dapat memecahkan situasi tegang dan membuat situasi menghangat.
Prilly berlalu keluar dari kelas itu, bayangannya kembali kepada Dedy. Saat dia sendiri seperti ini, pasti Dedy selalu hadir dalam pikirannya.
"Apa kamu baik-baik saja di sana?" lirih Prilly mengingat saat Dedy dulu mengajarinya cara menggunakan alat tembak dan mengajari hal ekstrim.
Dedy tak pernah membiarkannya menjadi wanita lemah, walau dia selalu memanjakan dan menuruti apa yang Prilly mau dan inginkan.
"Aku merindukanmu," imbuh Prilly memejamkan mata sesaat mengingat saat Dedy mengajarinya menaiki motor sport miliknya.
"Hayo!" Suara mengagetkan itu membuat Prilly segera tersadar dengan kenyataan pahit.
"Cindai, ngagetin!" Prilly memukul kecil lengan Cindai.
"Kamu ngapain merem begitu?" tanya Cindai mengajak Prilly melanjutkan langkahnya.
"Lagi keingat Dedy. Kangen naik motor bareng sama anaknya Pak Bakri. Gagal deh jadi menantu Kapolres Kudus," gurau Prilly membuat Cindai melepas tawanya.
"Buseeeettttt ... tenang saja Prilly. Kalau jodoh tak kemana. Walau sampai ujung dunia kita berlayar, jika kita jodohnya sama orang itu pasti Tuhan punya jalan sendiri untuk mempertemukan kalian lagi." Keyakinan Cindai agar sahabatnya itu tak pesimis.
"Iya kalau aku jodohnya dia, kalau nggak gimana?"
"Aku kasih aja Oncom! Mau nggak? Orangnya pendiam dan pinter. Selama aku kenal dia, nggak pernah aku denger dia punya pacar. Yang ada banyak cewek yang ngejar-ngejar dia."
"Ogah! Bisa-bisa aku lumutan karena selalu dicuekin dan diacuhin dia," elak Prilly yang menilai orang itu dari sudut pandangnya.
"Dia begitu karena menjaga diri dari cewek-cewek genit Prilly. Wajar dong dia begitu." Cindai masih gencar menginginkan Prilly mengenal lebih jauh si Oncom itu.
"Selama aku masih menyimpan rasa cintaku sama Dedy, aku nggak akan dekat dulu sama cowok lain. Aku takut dia hanya menjadi pelarianku, Cindai," jelas Prilly yang memang begitu adanya.
"Tapi, apa salahnya jika kamu mengenal cowok lain sih Pril? Kan Dedy juga tidak melarangmu."
"Iya, tapi kalau aku masih ada rasa cinta sama Dedy, apa aku adil jika orang lain nanti mencintaiku sepenuh hati sedangkan aku mencintainya setengah hati. Yang ada nanti aku nyanyi lagunya ada band yang setengah hati." Prilly dan Cindai tertawa sambil masuk ke dalam kelas mereka.
Setelah mereka duduk di tempatnya masing-masing, segera mereka mempersiapkan ujian olah gerak kapal.
Memang sulit melupakan cinta yang sudah lama mengisi hari-hari kita. Apa lagi dia cinta pertama yang dulu bermimpi akan menjadi cinta terakhir. Cinta yang tak pernah menyakiti justru cinta yang selalu memberikan kekuatan, namun harus rela melepaskan. Sangatlah sakit dan pedih memang, namun itulah kenyataan kehidupan.
#############
Cinta pertama memang sulit ya di lupakan, walau sudah tua kalau sesekali masih sering bertemu kadang masih ada getaran aneh di dalam hati. Hahahahaha
Oh ... oh ... oh ...!!!!
Terimakasih vote dan komennya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top