AIR*23 (ENDING)

Allah tidak akan menciptakan sesuatu dengan sia-sia. Dan Allah juga tidak akan mensyariatkan sesutu yang tidak ada kemaslahatan di dalamnya bagi hamba-hambaNya. Begitu pula Dia tak akan mempertemukan dua insan manusia tanpa alasan tertentu, entah untuk selamanya atau hanya sesaat. Namun yang pasti semua melalui proses yang panjang.

Ditinggalkan seseorang yang tercinta memang menyedihkan, namun tak selamanya orang akan hidup berlarut dalam kesedihan. Dua bulan setelah pernikahan Prilly dengan Ali, Rendra pun meninggal dunia. Jatuh bangun Ali membangun keluarga kecilnya bersama Prilly selama dua tahun ini. Setelah menikah, Ali tak melarang Prilly untuk berlayar karena percuma saja Prilly dilarang, dia tetap akan menerjang. Prilly kembali ke perusahaan penyeberangan, karena dulu saat Prilly meminta untuk cuti tanpa di sangka perusahaan mengizinkannya tanpa ada batas waktu tertentu. Kala itu Prilly merasa sangat bersyukur karena perusahaannya sudah sabar menunggunya dan mempercayainya.

"Dellll," panggil Ali lembut dari ruang makan, sudah menunggu istrinya.

"Iya, sebentar," sahut Prilly dari dapur.

Rumah sederhana yang mereka beli satu tahun yang lalu di Gilimanuk menjadi tempat mereka berteduh selama ini. Tak ada kehidupan yang mewah meski mereka bekerja sebagai Nahkoda dan Pilot. Rasa bahagia menyelimuti keluarga kecil mereka setelah Ali kembali menaikkan ijazah kejuruannya dan berpindah ke perusahaan maskapai domestik terkenal dan terbaik di negeri ini dengan seleksi yang sangat ketat.

"Taraaaaaa, udah nih." Prilly membawa dua piring nasi goreng ayam plus telor mata sapi yang dia buat di dapur sederhana rumah mereka.

"Hmmmmm, harum." Ali menghirup aroma sedap nasi goreng buatan istri tercintanya.

"Ayo, buruan di makan. 1 jam lagi kapal sandar," ujar Prilly mengambilkan sendok dan garpu untuk Ali.

"Kapan kamu mau ambil cuti?" tanya Ali melihat kondisi Prilly saat ini yang sedang hamil 6 bulan, namun tetap bersih keras ingin tetap menjalankan kapal.

"Rencana dua minggu lagi aku udah ambil cuti," jawab Prilly memasukkan nasi goreng ke dalam mulutnya.

"Jangan capek-capek ya? Aku nggak mau sampai kamu sakit," seru Ali penuh perhatian dan mengelus rambut Prilly lembut.

"Apanya yang capek sih, kan ada Captain pengganti. Jadi kalau aku lagi nggak bisa bertugas dia yang menggantikan aku. Apa lagi pelayarannya cuma sini situ, 45 menit sampai. Coba nggak antri 5 menit juga sampai," ujar Prilly selalu menjawab demikian jika Ali mengingatkannya.

"Iya deh, aku mungkin tiga sampai empat hari nggak pulang. Nggak papa kan?" tanya Ali memastikan.

"Iya, nggak papa. Udah biasa," sahut Prilly tersenyum manis kepada Ali.

Pekerjaan yang berlawanan membuat mereka harus menyadari peran dan tanggung jawab masing-masing sebagai pemimpin. Walau Ali sangat mencintai dan menyayangi Prilly, dia tak ingin terlalu memanjakan Prilly. Untung saja Prilly bukan tipe wanita yang ingin selalu di manjakan suaminya.  Apa yang dapat dia kerjakan sendiri, dia lakukan tanpa meminta bantuan orang lain.

"Kalau ada apa-apa langsung kirim sms ya?" ujar Ali setelah dia menghabiskan sarapannya.

"Iya, siap Capt!" Prilly menyahut patuh, walau mereka jarang beremu, Ali mau pun Prilly sangat menyadari bahwa komunikasi diantara mereka tak selancar pasangan yang lain, namun Ali dapat meyakinkan Prilly bahwa dirinya tak pernah macam-macam begitu pun sebaliknya.

"Udah selesai sarapannya?" tanya Ali setelah melihat piring Prilly baru saja bersih.

Prilly hanya mengangguk, karena dia masih mengunyah. Ali mengambil piring kotor dan mencucinya di dapur. Sarapan pagi, mereka manfaatkan untuk mengobrol dari hal kecil hingga sesuatu yang mengganggu pikiran kedua belah pihak. Karena seorang pilot yang bertugas tak akan diizinkan menerbangkan pesawat jika pikirannya terganggu atau sedang mengalami stres.

"Yang, aku ganti baju dulu sekalian ngambilin koper kamu ya?" seru Prilly bangkit dari duduknya meminum air putih lalu masuk ke dalam kamar.

Setelah semua selesai dan siap Prilly keluar sudah rapi dengan PDH putih beserta atribut melekat di bajunya. Ali sudah duduk di ruang tamu menunggunya sambil membaca koran.

"Ini, koper kamu." Prilly memberikan koper berukuran sedang pada Ali.

"Makasih ya sayangku, cintaku, kasihku," ucap Ali setengah gemas mencium pipi Prilly.

"Udah kamu panasi mesin mobilnya?" tanya Prilly merapikan dasi Ali.

"Udah tadi, ayo buruan, aku masih ngantar kamu ke pelabuhan," ajak Ali menggandeng tangan Prilly ke luar rumah.

"Eh, bentar di kunci dulu," seru Prilly yang hampir lupa mengunci pintu rumahnya.

Ali lebih dulu mengeluarkan mobilnya, sedangkan Prilly menutup gerbang dan menggemboknya. Walau di daerah ini hampir tak ada kejahatan pencurian karena selalu ada keamanan yang selalu berpatroli, namun untuk menghindari hal yang tak diinginkan Prilly dan Ali mengamankan sendiri aset berharganya.

"Ayo," seru Ali membukakan pintu mobil untuk Prilly dari dalam.

"Iya, sabar." Prilly segera masuk ke dalam mobil lalu Ali pun melajukan mobil dengan kecepatan sedang ke arah pelabuhan.

"Hati-hati saat bekerja ya? Jangan kecapekkan." Ali tak bosan-bosan selalu mewanti-wanti Prilly sebelum keluar dari mobil.

"Iya Oncomku sayang, kamu juga hati-hati ya bawa pesawatnya. Jangan lupa solat dan baca bismillah sebelum take off, baca alhamdulillah setelah landing," seru Prilly tak kalah bawelnya untuk selalu mengingatkan Ali.

Ali tertawa lepas mendengar pesan Prilly, lalu mencium seluruh permukaan wajah Prilly.

"Daaaaa." Prilly melambaikan tangan kepada Ali setelah turun dari mobil, Ali pun membalas melambaikan tangan.

Sungguh kebahagiaan yang tak dapat ditukar oleh apa pun, karena kebahagiaan mereka masih belum sempurna, kurang adanya restu dari Widya. Entah dengan cara apa lagi Ali dan Prilly harus meluluhkan hati Widya, mereka sudah melakukan segala hal, hingga memasukkan Prilly menjadi keluarga Ginting dengan cara Mama nguda mengangkatnya sebagai anak, masih saja Widya belum dibukakan mata hatinya.

***

Sudah dua minggu Prilly tak lagi bekerja, karena usia kandungannya sudah memasuki bulan ketujuh. Jika Ali sedang bekerja, Prilly menghabiskan waktu untuk melengkapi perabotan bayi dan semua hal yang dibutuhkannya. Semua Prilly lakukan sendiri tanpa bantuan siapa pun.

"Akhirnya selesai juga beres-beresnya," seru Prilly duduk meluruskan kakinya di sofa depan TV.

Saat Prilly ingin menyalakan televisi perutnya terasa mulas. Prilly segera ke kamar mandi namun dia tak buang air. Rasa mulas itu semakin sering terasa, hingga Prilly berinisiatif untuk ke rumah sakit tempat biasa dia memeriksakan kandungannya.

"Aduh, semoga nggak ada apa-apa deh. Adek jangan rewel ya? Papa belum pulang sayang. Mama sendiri di rumah." Prilly mencoba berkomunikasi dengan janin yang masih ada di dalam perutnya. Dia mengusap lembut perutnya, sambil berjalan ke kamar mengambil tas yang biasa dia bawa pergi.

"Okey, relaks, nggak ada apa-apa, semua baik-baik saja," ujar Prilly memberi sugesti pada dirinya sendiri.

Setelah keadaan perutnya terasa tenang, dia segera ke luar rumah. Untung saja mobil tidak di bawa Ali, karena semenjak Prilly tak bekerja Ali lebih memilih naik taksi untuk ke Bandara. Prilly masuk ke dalam mobil mengeluarkan mobil dan masih sempat menggembok gerbangnya. Dengan kecepatan rata-rata Prilly melajukan mobilnya ke rumah sakit. Keringat dingin keluar dari tubuh Prilly karena menahan sakit hingga dia berhenti di ruang dokter yang biasa dia memeriksakan kandungannya.

"Dokter Yola, apa Anda sibuk?" tanya Prilly setelah berhasil membuka pintu.

"Nona Prilly? Ada apa?" seru Yola sedikit terkejut dengan kehadiran Prilly yang tiba-tiba.

"Perut saya sakit, rasanya mau eek tapi nggak keluar," jelas Prilly berjalan tertatih mendekati brankar di ruang tersebut di bantu Yola.

Yola mengelap keringat yang membanjiri wajah Prilly, setelah itu Prilly di periksa.

"Sepertinya ini mau melahirkan," ujar Yola membuat Prilly terkejut.

"Apa Dok?! Sesuai perkiraan saya lahirannya dua bulan lagi," bantah Prilly mengingatkan Yola.

"Iya, sepertinya Nona Prilly akan melahirkan bayi prematur," jelas Yola membuat Prilly merasa takut.

Ini anak pertama baginya dan Prilly tak memiliki pengalaman tentang kelahiran prematur.

"Dok, apa ini akan baik-baik saja?" tanya Prilly ketakutan.

"Nona Prilly jangan khawatir, dari pemeriksaan dan data kandungan Anda semua sehat dan normal. Jadi bersiap-siaplah, karena Anda sudah pembukaan 7." Prilly menatap Yola shock.

Tanpa ada persiapan dan tak ada Ali di sampingnya, apakah dia akan melahirkan seorang diri? Prilly segera mengirim sms kepada Ali dan keluarganya di Salatiga.

Saat ini Prilly hanya dapat pasrah, ini semua di luar rencananya dan kekuasaannya, dia harus berani menghadapinya. Prilly harus memahami pekerjaan Ali yang tak langsung dapat sekejap hadir menemaninya.

"Nona, siap di pindahkan ke ruang bersalin?" tanya Yola datang bersama suster yang sudah siap mendorong kursi roda.

"Okey, Dok. Saya siap," ujar Prilly meyakinkan dirinya, mengusir jauh-jauh rasa takutnya.

"Ya Allah, hidup dan matiku ada di tangan-Mu. Jika boleh aku meminta kepada-Mu, izinkan aku agar masih dapat merawat dan menjaganya. Lindungi hamba, aku berpasrah dan berlindung kepada-Mu ya Allah." Prilly selalu memanjatkan doa-doa setelah dia di pindahkan ke ruang bersalin.

Dia tak berharap lebih agar Ali dapat mendampinginya, setidaknya dia ingin persalinannya berjalan lancar dan semua akan baik-baik saja. Berjuang sendiri sudah menjadi risikonya, mengingat Ali yang memang tak memungkinkan segera hadir mendampinginya. Tanpa diduga Prilly Ali tiba-tiba muncul dari balik pintu ruang persalinan.

"Aliiiii," seru Prilly lirih melihat Ali masuk ke dalam ruangan dengan wajah cemas dan keringat bercucuran.

"Kamu kok bisa cepet banget sih datangnya?" ujar Prilly heran menunjuk Ali.

"Kebetulan tadi aku perjalanan mau pulang. Jadwal aku kosong jadi rencananya mau pulang, untung udah deket," jelas Ali dengan napas tersengal.

"Ya udah, kamu ganti baju dulu, masa iya nemenin aku lahiran pakai seragam begitu, yang ada nanti anaknya lahir malah langsung ngajakin naik pesawat," ujar Prilly membuat Yola dan para Suster yang bersiap di ruangan itu terkekeh.

"Kamu nih, mau lahiran masih aja bisa bercanda." Ali menarik hidung Prilly pelan lalu ke luar ruangan.

Hati Prilly merasa lega karena, ternyata Tuhan masih memberikan waktu dia dan Ali untuk berjuang bersama.

"Ya Allah terima kasih Engkau hadirkan suami hamba di waktu yang tepat." Prilly berdoa dalam hati menikmati rasa sakit yang liar biasa namun dia tak ingin mengekspresikan hingga berlebihan.

Jika rasa sakit itu hadir, Prilly hanya membalikkan badannya, mengelus pinggulnya dan menggigit bibir bawahnya meredam rintihan.

"Nona Prilly, kalau sakit jangan di tahan, di losin aja, mau teriak atau nangis bebas. Saya nggak melarang, karena dulu saya juga pernah mengalami," ujar Yola mungkin dia merasa heran karena Prilly terlihat tenang dan hanya merintih sakit yang tertahan.

"Nggak ah Dok, malu." Prilly menolak karena memang di ruang tersebut tak hanya Prilly seorang yang ingin melahirkan, ada lagi seseorang yang teriak-teriak hingga menjerit di sebelahnya, mungkin sama dengan Prilly dia juga menunggu kelahiran.

"Pak Ali kok lama ya?" ujar Yola memeriksa bagian sensitif Prilly.

"Paling dia mandi dulu Dok, baru ganti baju. Nggak betah sama keringat dia," jelas Prilly.

"Sebentar lagi ini mau lahiran loh, pembukaannya cepet. Termasuk persalinan yang cepat ini nanti." Yola berucap sambil melepas sarung tangan elastisitas.

Tak berapa lama Ali pun masuk dengan wajah lebih fresh dan rambut sedikit basah. Baju yang dia kenakan pun juga sudah terlihat santai.

"Pak Ali, istrinya sudah mau lahiran kok baru datang," tegur Yola mempersiapkan semua alat yang akan dibutuhkannya.

"Iya Dok," jawab Ali singkat.

Prilly tersenyum disela meringis kesakitan. Beginilah suaminya, jika dengan orang lain irit bicara, kalau tidak penting jarang bicara. Apalagi dengan seorang wanita, Ali sangat menjaga jarak.

***

Tangisan bayi menguasai rumah sederhana ini. Kehadiran Aprillya Bellamy Sembiring membuat hati Ali dan Prilly merasakan kesempurnaan cinta di dalam keluarga kecil mereka. Kedatangan keluarga Ali dari Karo dan Keluarga Prilly dari Salatiga melengkapi rasa bahagia keluarga besar yang kini sedang berkumpul.

"Yang, aku bersyukur ternyata kehadiran Lia dapat mengumpulkan keluarga kita," seru Prilly memberikan Ali secangkir teh.

"Itulah buah dari kesabaran kalian selama ini," sahut Rio setelah menyeruput kopinya.

"Iya Del, lihat saja Mama. Dari dia datang nggak pernah jauh dari Lia. Malah sekarang mulai ngobrol sama Tante Puspa," seru Candra yang duduk bersama mereka di ruang tamu.

Sungguh pemandangan yang sangat bahagia, melihat Puspa dan Widya saling bahu membahu menjaga Lia. Sejak satu minggu kepulangan Prilly dari rumah sakit, dua keluarga ini tak ingin sedikit pun kehilangan momen kebersamaannya dengan bayi cantik buah hati dari seorang Nahkoda dan seorang Pilot.

"Mi, Ma, sepertinya Lia mau minum dulu. Dari tadi nangis," ujar Prilly lembut menghampiri Widya yang masih menimang-nimang Lia.

"Iya udah sini kamu kasih ASI, tapi jangan bawa masuk ke dalam kamar ya?" kata Widya yang masih terkesan kasar namun sudah cukup menghangatkan hati Prilly karena dia sudah bisa menerima kehadiran cucu dari darah dagingnya.

"Iya, Ma," jawab Prilly lembut menerima bayi cantik dari tangan Widya.

"Kalau mau ASI-nya banyak sering-sering masak daun katuk," kata Widya sedikit jutek namun memperlihatkan perhatiannya.

Puspa mengulum bibirnya setelah mendengar kebawelan besannya itu. Widya sebenarnya baik, hanya dia sangat menjunjung tinggi adat isti adat daerahnya. Maka dari itu dia masih belum bisa lapang dada menerima kehadiran Prilly. Bagi Prilly tak masalah, asal Widya masih menganggap bahwa Lia adalah darah dagingnya.

"Banyakin minum air putih ya, Pril," seru Puspa mengusap kepala Lia lembut.

"Iya Mi, makasih ya udah mau kasih pengalamannya sama Prilly Ma, Mi," ucap Prilly tersenyum manis pada Widya dan Puspa.

Sering diantara kita mendengar bahwa sesuatu yang berbeda itu sulit untuk disatukan, bahkan mungkin tidak akan pernah bisa disatuka. Tapi kita perlu sesuatu untuk menyatukan perbedaan itu, perasaan saling memahami dan bijaksanalah yang dapat menyatukan perbedaan-perbedaan yang ada. Perbedaan bisa menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan ini. Perbedaan itu menciptakan harmoni kehidupan yang indah. Seperti Allah SWT yang menciptakan alam semesta ini dengan berbagai keanekaragaman. Setiap orang memiliki seribu alasan untuk berbeda. Tapi setiap orang pun juga memiliki sejuta alasan untuk bisa saling memahami setiap perbedaan tersebut. Masalah yang timbul dalam menyikapi perbedaan antara lain karena kita kurang cerdas menggunakan perbedaan sebagai modal awal.

END

######

Final! Aku udah enggak punya utang lagi, ya? Hehehe.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top