AIR*22 (Musibah membawa berkah)
Setelah Ali menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya pada Rendra, Prilly tak henti-hentinya menangis hingga sesenggukan. Prilly tak tahu harus berbuat bagaimana lagi, apa lagi Ali mengatakan jika segala pengobatan sudah Rendra lakukan. Dari obat tradisional hingga obat Cina tak mampu membuat rasa sakit Rendra reda, justru semakin hari paru-parunya terlihat tak sehat dari hasil rontgen. Rontgen sendiri adalah alat potret yang menggunakan sinar X dapat menembus bagian-bagian dalam tubuh.
"Maafin aku yang nggak jujur sama kamu. Aku udah tahu lama, sejak aku sering datang ke Salatiga saat kamu layar di kapal container dulu. Om Rendra yang melarangku buat ngasih tahu kamu," jelas Ali menyesal membuat Prilly semakin terisak.
Prilly membenamkan wajahnya di dada bidang Ali. Dengan sabar dan penuh kasih sayang Ali mendekap meringankan beban di hati Prilly.
"Kenapa kalian nggak ngasih tahu aku? Kalau seperti ini, aku merasa menjadi anak durhaka," seru Prilly memukuli dirinya sendiri.
Ali menahan tangan Prilly agar dia tak menyakiti dirinya sendiri. Ali mengeratkan pelukannya, mendengar tangisan Prilly sungguh menyayat hatinya. Perasaan anak mana yang tak sakit, jika dia terlambat mengetahui apa yang dialami orangtuanya? Apa lagi ini sudah sangat fatal. Prilly tak henti-hentinya menyalahkan dirinya sendiri.
"Sudahlah, yang bisa kita lakuin hanya berdoa agar Om Rendra mendapat perawatan yang terbaik dan diberikan mukjizat dari Tuhan," seru Ali menenangkan hati Prilly.
"Aku mau ambil cuti panjang, kalau perusahaan nggak mengizinkan, aku mau mengundurkan diri," kata Prilly yang memang sudah dia pikirkan matang-matang keputusan itu, setelah mengetahui kebenaran kondisi kesehatan Rendra.
"Jangan gegabah mengambil keputusan, tapi kalau memang itu menurutmu baik, aku hanya bisa mendukungmu," ujar Ali mengelus rambut Prilly pelan.
"Aku sudah pikirkan itu, bersama Papi adalah pilihanku saat ini. Aku mau memenuhi permintaan Papi, mengingat selama ini Papi yang sudah selalu mengalah dan menuruti kemauanku" kata Prilly sudah mantap dengan keputusannya.
Prilly menumpahkan semua air matanya di dekapan Ali. Suasana taman rumah sakit yang sepi membuatnya leluasa untuk melepas sesak di dalam dadanya. Ali sangat sabar dan setia menemani Prilly. Dari siang tadi, saat mereka baru sampai di rumah sakit, hingga malam hari, Ali tak sedikit pun jauh apa lagi meninggalkan Prilly.
"Sudah, jangan menangis lagi. Kasihan Fia dan Tante Puspa. Kamu harus bisa menunjukan kalau kamu itu kuat dan tegar menghadapi ujian ini. Fia dan Tante Puspa sebenarnya juga sangat sedih seperti kamu. Tapi melihat semangat Om Rendra sekuat tenaga mereka menahan kesedihan dan air mata mereka." Ali menegakkan tubuh Prilly, menghapus air mata Prilly dengan kedua telapak tangannya.
Sesekali Prilly masih terdengar menarik napasnya, mengurangi rasa sesak. Wajah memerah karena menangis sangat terlihat jelas menghiasi wajah cantiknya.
"Udah yuk, kita masuk temenin Om Rendra. Tadi kan kita izinnya cuma mau cari makan. Kamu sih bukannya makan malah ngajak nangis di sini," tegur Ali menarik hidung Prilly pelan mencoba menghibur hatinya.
"Maaf," ucap Prilly membenarkan rambutnya yang berantakan dan menalinya dengan ikat rambut.
"Cuci muka kamu dulu biar nggak ketahuan habis nangis ya?" ujar Ali lembut sambil menggenggam tangan Prilly, mengajaknya masuk ke dalam bangsal tempat Rendra di rawat.
"Aku ke toilet dulu," pamit Prilly saat mereka melewati toilet umum yang tak jauh dari kamar rawat Rendra.
"Iya, aku tunggu kamu di sana ya?" jawab Ali menunjuk kursi putih depan kamar Rendra.
Prilly mengangguk lalu masuk ke dalam toilet. Selesai membasuh muka, Prilly pun menghampiri Ali.
"Sudah?" tanya Ali berdiri dari duduknya setelah Prilly berdiri di depannya.
"Iya, sudah." Prilly menggandeng tangan Ali.
Perlahan Ali menurunkan knop pintu, di dalam terlihat Fia sedang membaca buku sedangkan Puspa sedang mengobrol dengan Rendra. Selama ini ternyata Fia dan Puspa saling membantu menjaga Rendra saat di rumah maupun saat Rendra di rawat di rumah sakit.
"Sudah makannya?" tanya Rendra seolah-oleh dia biasa saja, tak merasakan sakit.
Prilly hanya tersenyum lalu menghampiri Rendra diikuti Ali di belakangnya. Puspa berpindah tempat duduk menemani Fia belajar.
"Papi mau makan apa?" tanya Prilly dibuat seceria mungkin agar Rendra tak melihat kesedihannya.
Rendra tersenyum sangat manis walau ada selang bening tertancap di hidungnya, karena Rendra tak dapat lagi bernapas secara alami. Dia harus berteman dengan tabung oksigen untuk membantunya bernapas.
"Papi nggak mau apa-apa. Semua udah pernah Papi makan," jawab Rendra masih saja dapat bergurau.
"Ih, bukan itu maksudnya. Malam ini Papi mau makan apa? Biar Prilly cariin," rajuk Prilly manja membuat Rendra terkekeh.
"Halah, bilang aja mau keluar pacaran. Gayanya, sok-sokan nawarin mau makan apa," cerca Rendra membuat Fia dan Puspa mengulum bibir menahan tawanya.
Ali hanya tersenyum mendengar godaan Rendra membuat hati Prilly merasa menghangat, di saat sakit seperti ini Rendra masih memperlihatkan ketegaran hatinya, bukannya mengeluh dan merintih kesakitan seperti orang-orang di luar sana.
"Ah, Papi. Kalau itu jangan di tanya. Udah sering dilakuin," sahut Prilly malu-malu lalu memeluk Rendra menenggelamkan wajahnya di samping kepala Rendra.
Di situ Prilly merasakan dekapan seorang ayah yang sangat dia rindukan, selama ini saat ia bekerja dan jauh darinya. Merasa bersalah tak ada gunanya lagi, saat ini Prilly hanya ingin menebus rasa penyesalannya dengan merawat Rendra entah sampai kapan, namun dia sudah memutuskan ingin menemani Rendra.
"Sudah jangan begini, nggak malu sama Ali. Udah dewasa masih aja manja," ujar Rendra berusaha meregangkan tubuh Prilly.
Prilly sekuat tenaga tak menitikan air matanya, walau dia sudah merasa jika matanya memanas dan napasnya tertahan di tenggorokan. Prilly langsung membalikkan badan memunggungi Rendra membiarkan air matanya menetes karena dia tak kuasa lagi menahanya. Ali hanya tersenyum melihat hal itu, mencoba memberi kekuatan untuk Prilly.
"Kak, sini aku kasih tahu kabar bahagia," sahut Fia yang memahami keadaan Prilly yang sedang meneteskan air mata namun tak ingin Rendra melihatnya.
Prilly berjalan ke arah sofa, sedangkan Ali duduk di kursi sebelah brankar tempat Rendra berbaring. Semua mata memperhatikan Fia yang mengambil sesuatu dari dalam tasnya.
"Apa ini?" tanya Prilly saat Fia memberikannya sebuah amplop berwarna putih.
"Tebak, aku diterima di kampus mana?" seru Fia yang ingin Prilly menerkanya sendiri.
Prilly tersenyum bangga saat melihat kop yang tertera pada amplop putih tadi. Nama kampus favorit dan impian Fia terpampang jelas di sana.
"Jadi ini apa maksudnya?" tanya Prilly menuntut penjelasan.
"Artinya aku diterima di UGM Jogja, Kak. Dan aku akan kuliah di sana," ujar Fia bahagia memeluk Prilly.
"Waw, hebat," pekik Prilly kagum membalas pelukan Fia.
"Ah, tak sia-sia aku belajar keras selama ini, Kakak," seru Fia melepas pelukannya dengan Prilly.
"Iya deh, Kakak tahu pasti kamu lolos seleksi. Secara otak kamu kan encer, nggak kayak punya Kakak, dangkal," ujar Prilly merendahkan dirinya sendiri.
"Kata siapa? Putri-putri Papi itu semuanya sama pintarnya, nggak ada bedanya. Cuma, mereka memiliki keahlian di bidang yang berbeda. Bagi Papi mau Fia dan Prilly sama pintar," ujar Rendra memuji sekaligus merasa bangga dengan apa yang sudah diraih putrinya sejauh ini.
"Aaaaa, Papiiiiiii," pekik Fia dan Prilly terharu lalu berhamburan ke pelukan Rendra.
Rendra tersenyum sangat manis mengusap kepala Fia dan Prilly bersamaan saat kepala mereka berada di samping kepala Rendra, karena mereka saat ini sedang memeluk papinya besama-sama.
"Okey, boleh Papi minta waktu buat ngobrol sama Ali?" seru Rendra melepas pelukan dua putrinya.
Fia dan Prilly saling berpandangan lalu menoleh kepada Puspa yang duduk di sofa, Puspa mengangguk bertanda mengiyakan ucapan Rendra.
"Okey deh Pa, kita main di taman dulu deh," seru Fia menarik tangan Prilly ke arah pintu.
Prilly menoleh ke belakang melihat Ali duduk santai menghadap Rendra, sedangkan Puspa tetap setia duduk di sofa. Fia mengajak Prilly duduk di bangku taman. Fia menatap indahnya langit malam ini yang berhiaskan ribuan bintang.
"Fia, apa yang mau Papi dan Mami bicarakan sama Ali?" tanya Prilly menatap Fia penuh selidik.
Fia tersenyum, menyandarkan kepalanya di bahu Prilly. Helaan napas dalam berhembus dari Fia. Prilly sudah siap mendengarkan penjelasan Fia.
"Kakak tahu, ternyata Papi udah menderita sakit ini cukup lama, tapi dia selalu menyembunyikannya pada kita. Dia nggak mau lihat kita sedih." Fia meneteskan air matanya membasahi bahu Prilly.
"Maaf, Kakak baru tahu," ucap Prilly dan juga meneteskan air matanya.
"Keinginan Papi saat ini cuma satu Kak," kata Fia membuat jantung Prilly berdebar tak karuan.
"Apa?" tanya Prilly bersiap diri mendengar jawaban Fia.
"Papi cuma mau, sebelum pergi, dia bisa menjadi wali nikah salah satu diantara kita Kak. Kakak tahu, itu nggak bisa Fia wujudin, Fia baru lulus kemarin dan belum pernah merasakan mengenyam pendidikan kuliah. Fia masih ingin sekolah Kak, biar Fia nggak di pandang sebelah mata sama orang-orang di luar sana," ujar Fia membuat perasaan Prilly berkecamuk.
Apa mungkin dia bisa melakukannya? Sedangkan pria yang saat ini dekat dengannya hanya Ali. Apa Ali bisa menjadi pilihan terakhirnya? Melihat kenyataan yang begitu sulit diantara mereka untuk bersatu, banyak hal yang berbeda. Prilly menghela napas dalam dan meraup wajahnya frustrasi.
"Ehem!" Suara deheman dari arah belakang membuat Fia dan Prilly menoleh.
Ali berdiri di belakang mereka, Fia dan Prilly segera menghapus air matanya.
"Fia, apa Abang boleh bicara sama Kak Prilly sebentar?" tanya Ali lembut meminta izin pada Fia.
"Boleh Bang, kalau gitu Fia masuk dulu aja ya." Fia berdiri lalu masuk ke dalam meninggalkan Prilly untuk mengobrol bersama Ali.
Ali duduk di sebelah Prilly, menghapus sisa air mata Prilly pelan dengan kedua telapak tangannya.
"Beri aku waktu paling lama satu bulan," kata Ali tiba-tiba membuat Prilly menatapnya bingung.
"Maksudnya?" tanya Prilly menautkan kedua alisnya menatap Ali.
"Tunggu aku, aku akan berusaha meyakinkan keluargaku," ujar Ali bersungguh-sungguh dan tulus.
Rasa takut, bahagia dan sedih bercampur menjadi satu di dalam hati Prilly. Prilly merasa takut jika Ali akan meninggalkannya tapi dia bahagia karena lelaki yang di cintanya akan membuktikan keseriusan hatinya. Sedih, mengapa di saat suasana seperti ini, kabar baik itu ia dapat. Perasaan berkecamuk di hati Prilly sangat menyiksa batinnya saat ini.
"Tapi, aku takut kalau keluarga kamu nggak akan ngizinin kamu buat menikah sama aku, Li," ujar Prilly sedih dengan air mata menggantung di pelupuknya.
"Rintangan apa pun itu, akan aku hadapi. Kamu tunggu aku, aku janji akan datang ke rumahmu bersama keluargaku." Ali menarik kepala Prilly untuk dia peluk.
"Janji?" kata Prilly lirih di sela tangisannya.
"Iya, aku berjanji demi kamu, demi Om Rendra dan untuk kebahagian kita. Aku akan berusaha sebaik mungkin dan akan berusaha meluluhkan kerasnya hati Mama," kata Ali meyakinkan Prilly.
***
Prilly berdiri di depan jendela kamarnya, melihat ikan yang ada di kolam saling bekerjaran, seakan hidup mereka tak ada beban walau di tempat yang terbatas. Sudah satu bulan Ali tak memberinya kabar, hal itu membuat hati Prilly gelisah, sedangkan kesehatan Rendra semakin menurun.
"Kak?" Fia memanggil pelan dari ambang pintu.
Prilly menoleh melihat Fia sudah menutup pintunya kembali. Prilly berjalan duduk di tepi ranjang, sedangkan Fia menarik kursi duduk di depan Prilly.
"Apa yang sedang Kakak pikirkan?" tanya Fia menggenggam tangan Prilly.
"Kakak cuma mikirin Bang Ali, ini udah satu bulan dia pergi dan dia nggak ada kabar, Fia. Kakak takut cuma dipermainkan sama dia, Kakak trauma dengan yang dulu," jawab Prilly menitikan air mata.
"Apa kata hati Kakak? Apa selama ini Bang Ali pernah bermain-main sama Kakak? Apa ada sih Kak, lelaki yang rela menunggu lama, sedangkan Kakak nggak pernah meninggalkan janji untuk dia?" ujar Fia berusaha mengembalikan rasa optimis Prilly.
Prilly berpikir kembali, memutar masa di mana kesabaran dan kesetiaan Ali menunggu dan keseriusan Ali hingga dia secara gentle memperkenalkan dirinya pada keluarga besar Ali.
"Iya sih Dek, Kakak juga mikir seperti itu," sahut Prilly membalas senyuman manis Fia.
"Prilly, Fia, kalian di sini?" tegur Puspa yang baru saja membuka pintu.
"Iya Mi, ada apa? Papi kenapa?" tanya Prilly khawatir begitu pun juga Fia yang langsung bersikap siaga.
"Alhamdulillah Papi nggak papa, cuma ada tamu di bawah. Tamu dadakan, kalian ganti baju yang sopan terus temani Mami dan Papi nemuin mereka ya?" ujar Puspa mengelus pipi Prilly dan Fia.
Prilly dan Fia lalu menghela napas lega, karena mereka selalu siaga dan menyiapkan diri jika sewaktu-waktu Rendra kolep dan harus di bawa ke rumah sakit.
"Mami keluar dulu ya? Cepetan, jangan buat tamu menunggu lama. Kasihan tamu dari jauh," jelas Puspa sambil berjalan ke luar kamar.
Prilly dan Fia saling memandang dengan penuh pertanyaan.
"Jangan tanya siapa, karena aku juga nggak tahu," tukas Prilly lalu mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi.
Fia mengedikkkan bahunya lalu keluar dari kamar Prilly. Selesai bersiap diri kini Fia dan Prilly siap menemui tamu yang Puspa maksud. Fia menggandeng lengan tangan Prilly, menuruni anak tangga. Suara perbincangan serius terdengar dari ruang tamu. Prilly dan Fia menghampiri ke ruang tamu, dan berapa terkejutnya Prilly saat melihat Ali duduk dihimpun Rio dan Candra.
"Nah, ini gadis yang mau kami lamar," seru Rio ramah berbeda jauh dengan sikap Widya.
Prilly mencari-cari seseorang yang yang takut untuk dia temui hingga dia memainkan ujung bajunya.
"Kamu cari siapa Prilly?" tanya Rendra melihat kebingungan wajah putrinya.
Ali tersenyum seolah dia sudah dapat membaca raut wajah dan kegelisahan hati Prilly.
"Mama nggak ikut, dia di Karo. Yang nemenin aku ke sini cuma Papa, Bang Candra dan Kak Wiwid," jelas Ali menjawab kebingungan Prilly.
Semua tersenyum mendengar penjelasan Ali tadi. Fia mengajak Prilly duduk di sebelah Puspa. Tepat di depan sofa yang di duduki Wiwid dan anak-anaknya.
"Maaf, walau pun kami datang hanya bertiga, tapi setidaknya niat kami tulus dan tujuan kami baik. Seperti yang sudah kita bicarakan tadi, kini tinggal menunggu jawab dari Delmora. Bagaimana Del, apa lamaran dari keluarga kami kamu terima?" tanya Rio serius menatap Prilly hingga tubuh Prilly seketika menegang dan menundukkan kepalanya.
"Papa ini mau nantangin orang berkelahi apa nawarin anak orang untuk dipersunting? Kasihan Delmora sampai tegang begitu," seru Candra membuat suasana kembali santai dan gelak tawa menguasai ruang tamu.
"Maaf, sudah kebiasaan di sana," ucap Rio melemaskan tubuhnya agar tak terlihat garang.
"Bagaimana Delmora? Mau kan menikah sama Ali? Jangan kecewain dia yang udah sampai nangis-nangis sampai sujud-sujud," tanya Wiwid melirik Ali setengah menggoda.
"Apa sih Kakak? Mau jatuhin harga diriku nih ceritanya?" tukas Ali mengelak.
Suasana mencair menjadi satu keluarga yang hangat. Tak terlihat ada perbedaan atas pertemuan antar dua keluarga itu.
"Bagaimana Delmora?" tanya Rio kali ini mempertegas pertanyaannya.
Prilly menatap wajah Ali lalu dia mengikuti dorongan kata hatinya yang sangat kuat. Prilly mengangguk, menerima pinangan dari pihak keluarga Ali.
***
Debaran jantung Prilly berjalan abnormal, rasa bahagia sekaligus rasa rahu tak dapat tertutupi lagi. Sedikit demi sedikit benteng yang menjadi penghalang cintanya dengan Ali mengikis. Satu perbedaan yang kini menjadi sama yaitu iman yang dulu penghambat cinta mereka, kini dapat disamakan dengan Ali memeluk agama Islam. Janji setia sehidup semati terucap lancar dari bibir Ali dengan sekali tarikan napas.
"Alhamdulillah," ucap syukur terlortar lega dari bibir semua orang yang menjadi saksi pernikahan Prilly dan Ali.
Terpancar rasa puas dan bahagia dari raut wajah Rendra yang menjadi wali pernikah mereka. Walau tanpa perayaan yang mewah, namun tak mengurangi rasa bahagia keluarga ini.
"Selamat ya, Li," ucap Candra kakak sulung sulung Ali yang menjadi saksi di pernikahannya.
"Makasih ya, Kak?" ucap Ali tulus lalu memeluk Candra.
"Maaf, cuma ini keluarga kami yang bisa datang. Karena yang lain masih sibuk dan acara ini juga tergolong cepat dan mendadak," kata Wiwid istri Candra mewakili keluarga Ali.
"Iya, tidak apa-apa. Mungkin nanti lain kesempatan kita bisa saling mengenal lebih jauh lagi antar keluarga," sahut Puspa menyadari latar belakang alasan keluarga Ali yang tak semua ikut menghadiri pernikahan ini.
Setelah acara lamaran, Rio tak dapat mendampingi hingga acara pernikahan Ali. Dia kembali ke Karo untuk mengawasi keadaan keluarga di sana. Meski tanpa kehadiran orangtuanya, Ali tetap bahagia berkat bantuan Bulang dan Nina ia dapat memeluk agama Islam yang mendapat persetujuan dari Rio.
"Ali, sekarang Prilly menjadi tanggung jawabmu. Papi harap kamu bisa membimbing dia dan menjadi imam yang baik untuknya ya?" ujar Rendra susah payah yang duduk di kursi roda berteman tabung oksigen portabel.
"Sudah Papi nggak usah mikirin hal itu, sekarang Prilly sudah jadi istri Ali. Jadi biar Ali yang menjaga dan melindunginya ya?" sahut Puspa berniat agar Rendra tak terlalu memikirkan hal yang berat.
Apa pun perbedaan jika Tuhan sudah menggariskan takdirnya untuk bersama, jalan terjal dan curam pun dapat dilalui.
###########
Semoga Enggak kecewa lagi, ya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top