AIR*21 (Pacarku Koplitot)
"Door closed, arm slide and crosscheck."
"Door closed, slide armed and crosscheck."
"Cabin Ready for take off."
Suara sahut-menyahut antara ruang kokpit dengan pramugari menggema di ruang cabin. Prilly duduk manis dengan safety belt mengunci tubuhnya pada kursi pesawat.
"Cabin crew, take off position please," seru suara orang yang sangat Prilly kenal menggema di dalam pesawat, menginterupsi kru kabin.
Perlahan Prilly merasakan tubuhnya seperti terangkat ke udara, bertanda jika pesawat mulai terbang. Setelah di rasa pesawat sudah terbang stabil para wanita cantik membantu beberapa penumpang melepas safety belt.
"Apa benar Anda Nona Delmora?" seru seorang pramugari mendekati Prilly.
"Iya, benar. Ada apa ya Mbak?" Prilly merasa bingung karena baru pertama kali melihat orang itu namun dia bisa mengenalinya.
"Nona diizinkan masuk ke kokpit," ujar pramugari cantik tadi.
Prilly dapat mengerti apa maksud pramugari itu, karena ini bukan kejadian yang pertama baginya. Setiap menemani Ali terbang, Prilly selalu diminta Ali masuk ke ruang kokpit walau hanya sekedar melihat-lihat dan mengobrol ringan dengan Captain yang sedang Ali dampingi. Maka dari itu, sebagian Captain perusahaan tempat Ali bekerja sudah mengenal Prilly.
"Baik, Mbak." Prilly mengikuti pramugari tadi berjalan ke arah kokpit.
"Silakan masuk Nona," ujar pramugari mengantar Prilly hanya sampai di depan pintu kokpit.
"Makasih ya Mbak?" ucap Prilly sopan.
Pramugari tadi membalas dengan senyuman ramah, lalu meninggalkan Prilly.
"Ali ...." Prilly memanggil Ali lirih setelah dia masuk ke dalam kokpit.
Prilly berdiri di belakang Ali, tersenyum sangat manis melihat Ali bekerja dengan cekatan saat mengoperasikan berbagai panel-panel yang ada di ruang kokpit. Kali ini tugas pilot yang mengendalikan pesawat, sedangkan Ali membantunya berkomunikasi dengan pihak darat melalui radio.
"Kamu cakep banget sih Li, kalau lagi tugas begini? Jadi minder sama cewek-cewek cantik di luar sana," batin Prilly yang memperhatikan Ali, terlihat tampan memakai seragam putih beserta atributnya dan juga handset sebagai alat berkomunikasi.
"Aliiiii," panggil Prilly pelan sambil menyentuh bahu Ali.
"Eh, sudah datang." Ali menoleh sedikit kaget karena sentuhan lembut tangan Prilly.
"Maaf, ngagetin," ucap Prilly menyesal.
"Nggak kok, tadi lagi ngecek radar," kata Ali mengelus lengan Prilly lembut.
"Capt, ini kenalin calon bini aku," ujar Ali mengenalkan Prilly pada pilot yang bertugas dengannya kali ini.
"Oh, ini yang namanya Delmora? Manis nggak bosenin dipandang," gurau Captain lalu tertawa renyah.
Prilly terkejut saat Captain itu mengenali namanya dan rata-rata teman-teman Ali mengenal namanya Delmora.
"Ah, Captain bisa aja," sahut Ali malu-malu kucing sambil menggigit bibir bawahnya.
"Li, kamu harus sekolah lagi dong. Masa sih ceweknya udah jadi Nahkoda tapi kamu masih kopilot," ujar Pilot yang Ali dampingi saat ini.
"Iya Capt, sabar dulu. Nanti kalau sudah waktunya juga jadi," sahut Ali melirik Prilly yang berdiri tepat di depan pintu kokpit.
"Del, ini Captain Wisnu. Dulu senior aku, tapi Captain Wisnu ini lulusannya angkatan jauh di atas aku," ujar Ali membuat Wisnu terkekeh mendengar cara Ali mengenalkannya pada Prilly.
"Delmora udah berapa tahun jadi Nahkoda di kapal ferry?" tanya Wisnu setelah menghentikan tawanya.
"Baru sekitar 8 bulan Capt," jawab Prilly membuat Wisnu terkagum-kagum.
"Waw, hebat sekali kamu Del? Jarang loh Nahkoda cewek. Iya kan?" seru Wisnu menoleh pada Ali sekilas.
"Ya, begitulah Capt. Tapi, sekarang banyak juga cewek yang jadi pilot," tukas Prilly sambil mengamati alat yang sedang Ali dan Wisnu jalankan.
"Ya, jaman sekarang cewek dan cowok itu sama aja. Malah sekarang cewek bisa lebih unggul dari cowok," jawab Wisnu sambil menjalankan yoke, alat seperti setir mobil yang digunakan untuk mengemudi saat pesawat mengudara.
"Iya, Capt," jawab Prilly memperhatikan Ali sedang berkomunikasi dengan orang darat.
"Li, itu apa?" Prilly menunjuk alat yang sedari tadi menarik perhatiannya setelah Ali selesai berbicara.
"Ini tuas throttle, yang ini tuas flap, itu primary flight display dan yang itu overhead panel." Ali menunjuk alat-alat yang ada di hadapannya.
"Kalau yang itu apa?" Prilly menunjuk pada sebuah alat seperti tongkat panjang yang terlihat seperti setengah setir yang berada di depan Ali.
"Oh, yang ini namanya control column." Ali memegang alat tersebut.
"Kalau yoke gunanya apa sih Capt?" tanya Prilly penasaran.
"Yoke itu alat untuk mengendalikan ketinggian atau naik dan turun pada hidung pesawat dan sayap pesawat," jelas Wisnu tersenyum ramah.
"Gunanya apa Capt?" tanya Prilly yang masih ingin tahu lebih jauh kegunaan yoke.
"Delmora sayang, kok bawel sih?" tegur Ali menyahut membuat Prilly menutup mulutnya dengan tangan.
"Ali, wajar dong kalau dia ingin tahu. Berarti dia type orang yang ingin berkembang dan belajar banyak hal. Kamu jangan begitu, kalau bisa jelasin biar Delmora juga memahami cara bekerjamu," tegur Wisnu membela Prilly, Ali hanya diam dan fokus menatap ke depan.
"Del, kegunaan yoke ini, dorong untuk turun, tarik untuk naik, kiri untuk belok ke kiri dan kanan untuk belok ke kanan. Jangan gunakan terlalu kuat ketika terbang, nggak perlu menggunakan kekuatan penuh untuk mengendalikannya," jelas Wisnu sangat sabar membuat Prilly paham dengan kerja alat tersebut.
Prilly melirik Ali yang diam fokus menatap panel-panel di depannya. Semua sistem dan tombol yang ada di kokpit akan terlihat rumit. Namun, hal-hal itu akan terlihat gampang ketika mengerti kegunaan dari masing-masing tombol.
"Aliiii," panggil Prilly lirih takut jika Ali akan marah padanya.
"Mau tanya apa lagi?" tanya Ali terdengar lembut tak seperti tadi membuat Prilly tersenyum lega karena ternyata Ali tak marah padanya.
"Boleh?" tanya Prilly memastikan.
"Iya, boleh," sahut Ali menoleh ke belakang melihat Prilly menyengir kuda, memamerkan barisan giginya yang rapi.
"Ini apa?" tanya Prilly menunjuk alat yang terletak di antara dua kursi Pilot dan Kopilot, berbentuk seperti tuas berwarna hitam.
"Oh, ini yang namanya tuas throttle," jawab Ali menyentuh alat yang ada di sampingnya.
"Cara pakainya gimana itu?" tanya Prilly ingin banyak tahu tentang penel-panel yang ada di depannya.
"Biasanya cuma di tarik atau di dorong. Untuk mengendalikan baling-baling yang digunakan mendarat dan lepas landas," jelas Ali sabar.
"Nah, begitu kan enak. Aku lihatnya jadi ikut seneng," sahut Wisnu melihat Ali dan Prilly dengan senyuman yang tulus.
Prilly tersenyum malu ditegur Wisnu seperti itu berbeda dengan Ali ia justru tersenyum bangga.
"Alat-alatnya hampir sama kayak di kapal Capt, nggak jauh beda alat san kegunaannya, mungkin nama dan bentuknya yang berbeda," ujar Prilly mencairkan rasa canggung setelah Wisnu tadi menegurnya.
"Rata-rata semua alat yang di gunakan di pesawat, kereta api dan kapal laut hampir sama, Del," seru Wisnu menoleh Prilly sekilas lalu kembali menatap ke luar kaca jendela.
"Kalau di pesawat alat yang menunjukkan ketinggian, arah, dan kecepatan apa namanya Capt?" tanya Prilly kepada Wisnu.
"Artificial horizon, alat ini menyerupai pesawat miniatur yang menunjukkan gerakan dan sudut pesawat," jelas Wisnu sambil menunjukan alat yang dimaksud Prilly tadi.
Meski Prilly baru mengenal alat-alat tersebut, namun dia sedikit tahu tentang kegunaan alat yang Ali dan Wisnu sebutkan tadi. Karena Prilly dulu pernah sedikit membaca buku pelajaran Ali.
"Delmora sayang, kamu tunggu di luar ya? Balik ke tempat duduk kamu. Bentar lagi pesawat mendarat," ujar Ali sangat lembut dan Prilly dapat memahaminya.
"Iya deh, Captain saya keluar dulu ya?" Prilly berpamitan ramah kepada Wisnu.
"Okey Nona cantik. Nanti kita ketemu di bawah ya?" seru Wisnu pria paruh baya dengan kumis tebal namun masih terlihat gagah dan tampan di usianya yang tak lagi muda.
Prilly keluar dari ruang kokpit dan kembali duduk di kursinya. Selang beberapa menit suara yang sangat dia hafal berkumandang melalui pengeras suara.
"Flight attendant, 10 minutes to land."
"Cabin ready for landing."
"Flight attendant, on station secured for landing."
Sahut-menyahut kembali terjadi saat pesawat akan melakukan landing. Prilly duduk santai mengenakan safety belt sampai dia merasa pesawat berjalan di darat. Senyum tersungging di bibirnya saat melihat bandara yang dia rindukan terpampang jelas di matanya.
"Mi, Pi, Fia, aku pulang," pekik Prilly bahagia dalam hati.
Bayangan keluarganya terbayang di benak Prilly. Rasa rindu yang sudah menumpuk segunung akan menjadi buah tangan darinya. Mesin pesawat sudah mati total di parking gate.
"Flight attendant, disarm slide and crosscheck."
Suara Ali lagi-lagi nyaring menguasai cabin. Prilly melepas safety belt namun ia tak lansung turun dari pesawat. Hingga di dalam pesawat Prilly tetap saja duduk.
"Maaf Nona, pesawat sudah berhenti di bandara terakhir. Anda bisa turun sekarang," tegur seorang Pramugari.
"Wina, Nona ini calon istri Captain Ali," ujar pramugari tadi yang mengantar Prilly ke kokpit.
Pramugari yang disebut namanya Wina, langsung memperlihatkan wajah tak ramah dan ketidak kesukaannya pada Prilly.
"Prilly menundukkan kepalanya berniat menyapa ramah kedua pramugari yang berdiri di sebelah tempat duduknya.
Bukannya menyambut ramah, namun Wina membuang muka ke arah lain dan pura-pura tak melihat Prilly. Namun berbeda dengan Wina, seorang pramugari yang satunya justru membalas ramah dengan senyum simetrisnya.
"Del, turun yuk?" ajak Ali lembut yang baru saja menghampiri Prilly.
Prilly memakai kacamata hitamnya menerima uluran tangan Ali, melewati dua pramugari cantik yang masih setia berderi di sebelah kursinya.
"Kami duluan ya?" pamit Ali kepada dua pramugari tadi.
"Iya Capt, hati-hati," jawab mereka ramah.
Ali menggenggam tangan Prilly erat hingga mereka sampai di dalam gedung bandara.
"Kamu tunggu di cafe situ ya? Aku ambil surat cuti dulu," ujar Ali menunjuk cafe di dalam bandara.
"Iya deh." Prilly berjalan masuk ke dalam cafe menunggu Ali selesai briefing dan mengambil surat cutinya.
Hati Prilly merasa tak sabar ingin sekali segera bertemu dengan keluarganya. Prilly mengambil cuti dua minggu, selama dia cuti ada Nahkoda pengganti dari kapal lain yang menggantikannya. Selama kurang lebih 30 menit Prilly menunggu, akhirnya Ali pun menghampirinya.
"Maaf, nunggu lama ya?" ucap Ali menarik kursi di depan Prilly.
"Iya, nggak papa. Udah dapat surat cutinya?" tanya Prilly menyedot jus jeruknya.
"Udah, mampir ke kos aku dulu ya? Ganti baju sekalian ambil motor," ujar Ali lalu memesan minum.
"Iya," jawab Prilly sambil mengirim sms pada Fia.
***
Hal yang di tunggu Prilly pun tiba, melepas rindu dengan keluarganya. Setelah menempuh perjalanan sekitar dua jam dari kota Semarang, kini Ali dan Prilly sudah berdiri di depan rumah yang sangat Prilly rindukan.
"Li, kok pintunya tutupan sih? Sepi," seru Prilly melihat-lihat rumahnya dari pelataran. Ali terdiam tak menjawab, seperti sedang berfikir sesuatu.
"Ikut aku yuk?" ajak Ali menarik tangan Prilly agar naik pada boncengannya lagi.
"Tapi tadi Fia sms katanya pada ngumpul di rumah," ujar Prilly memakai helmnya kembali.
"Udah, ikut aja." Ali segera menarik gasnya menuju ke suatu tempat.
Perasaan Prilly menjadi tak tenang karena Ali melewati jalan yang Prilly kenal menuju ke rumah sakit.
"Liiii, kenapa kita ke sini?" ujar Prilly setelah Ali memarkirkan motornya di area rumah sakit.
"Udah ya, kamu jangan banyak tanya. Ikut aja." Ali menggenggam tangan Prilly erat masuk ke rumah sakit.
Prilly memegangi dadanya, perasaannya tak tenang kala kakinya menyusuri koridor rumah sakit. Ali mengeratkan genggaman tangannya saat berhenti di depan pintu ruang inap VIP.
"Liiiii," lirih Prilly menggandeng lengan Ali kuat.
"Nggak papa," ujar Ali lembut mengelus tangan Prilly bermaksud memberikan kekuatan padanya.
Sekali tarikan napas dalam, Ali menurunkan knop pintu. Terlihat Puspa duduk di sebelah brankar ditemani Fia di sebelahnya. Sedangkan Rendra berbaring di atas brankar dengan bantuan selang oksigen untuk membantunya bernafas. Mata Prilly memanas saat melihat kondisi papinya yang terkulai lemas tak berdaya.
"Papi," seru Prilly sangat pelan hanya Ali yang mendengarnya.
Ali membawa Prilly ke dalam pelukannya, Prilly memecahkan isakan tangisnya di depan dada Ali. Puspa dan Fia menoleh ke arah pintu, melihat Ali sudah memeluk Prilly yang sedang menangis.
"Fia, ambil tas Kak Prilly," titah Puspa lembut sambil mengelus lengannya.
Ali membantu Fia melepas tas Prilly agar tak menambah beban tubuhnya. Ali menggiring Prilly masuk ke dalam ruangan.
"Ssssttttt, jangan nangis, Om Rendra baru istirahat," ujar Ali menenangkan hati Prilly sambil mengusap punggung Prilly lembut.
Prilly tak memperdulikan ucapan Ali, dia tetap menangis namun suara tetap ia tahan. Rasa bersalah menyeruak dalam hatinya, karena dia merasa keterlaluan kepada papinya. Hingga Rendra terbaring di rumah sakit saja, Prilly baru tahu saat dia pulang. Kemana saja dia selama ini?
"Sudah, jangan nangis lagi. Papi nggak papa." Puspa menarik Prilly pelan untuk dia peluk.
Sekuat tenaga Prilly menghentikan tangisannya, namun tetap saja tak bisa. Air matanya tetap saja jatuh sampai membuat dadanya sesak.
"Kenapa kalian sembunyiin ini dari aku? Apa aku nggak dianggap lagi?" ujar Prilly disela tangisannya.
"Maaf, ini maunya Papi. Dia nggak mau bikin kamu cemas dan khawatir. Makanya kemarin Mami suruh kamu ambil cuti," jelas Puspa menahan tangisnya agar tak membuat Prilly semakin menangis sedih.
"Kalian harus jelasin kenapa Papi sampai begini." Prilly menuntut penjelasan dari keluarganya.
"Tante, biar Ali nanti yang menjelaskan," ujar Ali diangguki Puspa.
Penyesalan selalu datang terlambat, ketika dia datang semua memang sudah terjadi. Semoga Prilly tak terlambat untuk mendampingi papinya. Rasa menyesal kini tak ada gunanya lagi, yang terpenting sekarang adalah kesembuhan Rendra.
#####
Makasih, teman-teman atas bintang dan kesetiaannya menunggu cerita ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top