AIR*20 (Jurang pemisah)

Haruskah perbedaan menjadi jurang? Apakah yang beda tak dapat bersatu?
Mengapa harus ada perbedaan?
Itu semua menari-nari di kepala Prilly saat ini. Mengapa Tuhan menciptakan perbedaan di dunia ini? Mungkin dengan perbedaan semua dapat saling melengkapi.

Prilly bersiap diri karena Ali sudah menunggunya di depan kos. Siang ini mereka akan berangkat ke Surabaya, seperti yang sudah Ali rencanakan kemarin. Mengantar Prilly untuk interview ke Surabaya. Prilly menghela napas dalam, menyiapkan mental dan hatinya untuk menghadapi kenyataan.

"Kita naik taksi aja, ya, ke terminal Terboyo?" ujar Ali setelah Prilly keluar dari gerbang kosnya.

Prilly hanya mengangguk, kini dia lebih sering berdiam dan memikirkan sesuatu. Tak hanya soal perbedaan keyakinan di antara mereka yang sedang Prilly pikirkan. Namun, banyak hal yang membuat Prilly merasa bahwa Ali bukalah orang yang tepat untuk dirinya.

"Kita jalan sampai depan gang," ujar Ali menggandeng tangan Prilly.

Prilly menunduk memperhatikan cara Ali menggenggam tangannya, erat dan penuh perhatian, membuat Prilly merasa seperti terlindungi.

"Apa aku bisa menjalani perbedaan iman di antara kita, Li? Aku nggak yakin kita bisa menyatu. Apalagi keluarga kamu yang terlihat jelas menolak kehadiranku." Prilly membatin mengikuti langkah Ali untuk mencari taksi.

"Del, kamu tunggu di sini, kalau ada taksi di stop aja." Ali menyuruh Prilly menunggu di depan gapura.

Ali menyeberang masuk ke mini market, entah apa yang akan dia beli. Prilly masih sibuk dengan pikirannya yang meragu terhadap Ali. Tak lama kemudian Ali datang membawa botol air mineral dan beberapa camilan, mungkin untuk bekal perjalanan mereka.

"Ini, buat persiapan." Ali memasukkan botol ukuran sedang di kantong samping ransel Prilly.

Sedangkan botol berukuran besar dia masukkan di dalam tasnya. Prilly merasakan betapa besar kasih sayang yang dimiliki Ali untuknya, namun Prilly berusaha membuang jauh-jauh harapan untuk bersatu bersama Ali.

"Kamu kenapa sih diem aja? Apa kamu sakit? Apa lagi sariawan?" tanya Ali memandang Prilly heran dengan perubahan sikapnya yang seketika menjadi dingin.

"Nggak kok, lagi persiapan dan mikir jawaban nanti pas di interview," dusta Prilly yang tak ingin membuat Ali tersinggung dengan sikapnya.

Ali hanya tersenyum manis dan mengusap kepala Prilly pelan, membuat hati Prilly berdesir nyeri menahan pembohongan pada dirinya sendiri yang jelas rasa itu mulai tumbuh dalam hatinya.

"Itu ada taksi," seru Ali lalu menepuk tangannya keras untuk memanggil taksi.

Taksi yang dimaksud Ali menghampiri mereka, penuh perhatian Ali mengutamakan agar Prilly lebih dulu masuk.

"Pak terminal Terboyo," ujar Ali kepada sopir taksi.

"Baik Mas," jawab sopir taksi lalu ia melajukan mobil berwarna biru laut ke arah tujuan.

Prilly masih saja diam dengan pikiran yang berkecamuk. Deringan telepon Ali mengusik gendang telinga Prilly. Ali merogoh HP yang dia simpan di saku celananya. Ali menghela napas dalam sebelum mengangkat telepon itu. Prilly hanya diam memperhatikan Ali.

"Iya Ma," sahut Ali melirik Prilly sekilas.

Entah apa yang dikatakan orang di seberang sana, namun hal itu membuat wajah Ali berubah mengeras dan sepertinya Ali menahan sesuatu. Apa yang dibicarakan orang itu?

"Ya sudah, pulang besok saja kalau Ali sudah balik dari Surabaya." Ali menggenggam tangan Prilly erat namun justru Prilly membuang wajahnya keluar jendela.

Saat Prilly sibuk memandang keluar jendela, hingga tak memperhatikan apa yang Ali bicarakan lagi dengan orang di seberang sana. Namun tak berapa lama kemudian, Prilly merasakan tangan Ali menyentuh dagunya untuk ia arahkan ke wajahnya.

"Kenapa diam aja?" tanya Ali lembut mengelus pipi Prilly dengan ibu jarinya.

"Nggak papa, Li." Prilly menurunkan tangan Ali dari pipinya dan kembali menatap keluar. Prilly mendengar helaan napas berat dari Ali.

"Apa ada perlakuanku yang salah sama kamu?" seru Ali membuat Prilly cepat menolehnya.

Mengapa Ali berfikir hingga demikian? Apa sikap Prilly itu menyiratkan hal yang dituduhkan Ali tadi? Prilly segera menampik ucapan Ali agar hatinya tak tersinggung.

"Nggak Li, aku cuma sedikit cemas dan gugup." Walau Prilly membohongi Ali namun dia tak bisa membohongi perasaannya sendiri.

"Oh, aku pikir kamu diem karena aku," ujar Ali yang kini justru membuang wajahnya keluar jendela.

Prilly menjadi merasa tak enak hati, karena Ali sudah terlalu baik dengannya, mau menemaninya ke Surabaya dan setia menjaganya.

"Maaf ya Li, mungkin karena ini menyangkut masa depanku dan aku nggak ingin salah jalan untuk meraih cita-citaku," jelas Prilly menggigit bibir bawahnya sambil meremas-remas ujung bajunya.

Ali menoleh memandang Prilly dengan tatapan meneduhkan.

"Iya, aku tahu itu, tapi jangan diam saja karena kalau kamu diam mana aku bisa tahu yang kamu mau," sahut Ali menggenggam tangan Prilly yang sejak tadi meremas ujung bajunya.

Prilly melempar senyum untuk memastikan bahwa dia baik-baik saja dan tak ada masalah diantara mereka. Hingga taksi sampai di depan terminal, Ali membayar ongkos sesuai nominal argo yang tertera.

"Ayok!" Ali menggandeng tangan Prilly masuk ke terminal.

Mereka mencari jurusan bus luar kota, sesuai dengan tiket yang sudah mereka beli. Setelah menemukan busnya, mereka pun naik menunggu penumpang yang lain. Ali membantu Prilly menyimpan ranselnya di tempat yang tersedia di atas tempat duduk mereka.

"Kamu masuk dulu." Ali menyuruh Prilly duduk dekat dengan kaca agar dia dapat melindungi Prilly dari orang yang berjalan lalu lalang di gang bus.

Dering HP Prilly bergetar, ia segera mengambil HP-nya di saku celana. Ali memperhatikan Prilly seakan dia ingin tahu siapa yang menghubunginya.

"Assalamualaikum Mi," sapa Prilly setelah memencet tombol hijau dan melihat nama yang tertera di HP-nya.

"Waalaikumsalam, kamu jadi ke Surabaya hari ini?" tanya Puspa terdengar mengkhawatirkan putri sulungnya itu.

"Jadi Mi," jawab Prilly melirik Ali yang sedang memperhatikannya.

"Kamu sama siapa? Sendiri apa ada teman?" desak Puspa terdengar curiga.

"Sama ... mmm sama ... Ali, Mi," ujar Prilly sedikit merasa cemas karena takut Puspa akan berfikir macam-macam tentang mereka.

"Yakin sama temen? Nggak sendiri kan?" seru Puspa memastikan.

"Iya Mi, aku sama Ali." Prilly berusaha meyakinkan maminya.

"Awas ya, jangan aneh-aneh. Jaga diri, bagaimana pun Ali cowok jadi kamu kudu bisa menjaga diri, ngertikan maksud Mami?" tukas Puspa mewanti-wanti.

"Iya ... ya Mami, Prilly paham dan sadar itu. Mami tenang aja, besok selesai interview kita langsung balik ke Semarang lagi. Mami tenang aja ya?" ujar Prilly meyakinkan Puspa agar tidak terlalu kepikiran tentang keadaannya.

"Ya sudah, kamu hati-hati dan jangan lupa makan." Beginilah Puspa, walau dia membebaskan anaknya namun dia tak begitu saja melepaskannya. Puspa tetap masih memantau dan mengawasinya.

"Iya, Mi. Papi belum pulang kerja ya?" tanya Prilly yang merasa suasana di rumahnya sepi.

"Iya, Papi masih di kantor, Fia masih les, kalau jam segini Mami udah biasa di rumah sendiri," jawab Puspa terdengar menyindir hingga membuat perasaan Prilly merasa bersalah karena jarang menjenguk keluarganya.

Prilly terdiam dan merenung, dia merasa egois karena selalu mementingkan keinginannya sendiri, tak pernah memperhatikan keluarganya yang selama ini sudah mendukungnya dalam hal apa pun itu.

"Sayang, kamu masih dengerin Mami bicara kan?" seru Puspa mengagetkan Prilly.

"Eh iya Mi, Prilly masih denger Mami kok," ujar Prilly tersentak kaget karena suara Puspa sangat jelas mengusik gendang telinganya.

"Ya sudah, jaga kesehatan kamu," kata Puspa semakin memperkecil suaranya.

"Iya Mi, salam buat Fia dan Papi. Doakan agar semua lancar ya Mi?" ujar Prilly meminta doa restu kepada maminya.

"Iya, sudah pasti Mami selalu mendoakanmu. Jangan lupa solat ya, Nak? Di mana pun kamu berada, utamakan ibadah," ujar Puspa tak pernah bosan ia mengingatkan Prilly agar selalu mengerjakan kewajibannya sebagai seorang muslim.

"Iya, Mi. Insya Allah Prilly selalu ingat soal yang itu." Prilly melirik Ali yang ternyata masih setia memperhatikannya.

"Ya sudah, assalamualaikum."

"Waalaikumsalah." Prilly menutup panggilannya dan menyimpan kembali HP-nya ke dalam saku celana.

"Dari Tante Puspa?" sahut Ali menebak.

"Iya," jawab Prilly dingin dan bersikap tak acuh.

Prilly menyandarkan tubuhnya mencari posisi yang nyaman lalu menghela napas dalam, mengurangi beban pikiran dan sesak di dadanya. Prilly memejamkan matanya tak memedulikan apa yang dilakukan Ali. Namun, Prilly merasakan bus mulai melaju. Sepanjang perjalanan Ali maupun Prilly diam tak banyak bicara. Hingga bus singgah di tempat makan salah satu fasilitas perusahan bus tersebut, Ali tak pernah jauh dari Prilly sejengkal pun.

"Mau makan ini aja, apa cari di tempat lain?" Ali menawari Prilly saat mereka ikut mengantri untuk makan malam.

"Di sini aja, jam segini udah nggak selera makan," desah Prilly mengadu manja.

"Harus makan, kan kita belum kaman sejak tadi berangkat," bujuk Ali mengambilkan nasi untuk Prilly.

"Sedikit aja," seru Prilly menahan tangan Ali saat menyentongkan nasi di piringnya.

Ali sangat sabar membantu Prilly mengambilkan lauk pauk, membuat Prilly tak kuasa menahan gejolak rasa yang kian besar di dalam hatinya.

"Li, kamu jangan terlalu baik begini sama aku? Aku nggak bisa kamu giniin terus. Aku takut jatuh cinta sama kamu," pekik Prilly dalam hati ketika mereka duduk menyantap makan malam.

"Kamu kenapa lihatin aku begitu?" tegur Ali yang memergoki Prilly sedang memperhatikannya makan.

"Li, kalau seandainya aku layar dan kita nggak akan ketemu lagi bagaimana dengan kamu?" kata Prilly melontarkan pertanyaan yang sepertinya langsung membuat wajah Ali berubah sendu.

"Nggak usah ngomong yang macem-macem. Makan aja nasi kamu, soal itu biar Tuhan yang mengatur dan kita jalani seperti air yang mengalir. Sampai kapan kita akan bertahan seperti ini," seru Ali yang tak ambil pusing dengan pertanyaan Prilly.

Prilly mengedikkan bahunya, lalu melanjutkan makan. Mereka terdiam sibuk dengan pemikirannya masing-masing. Selesai makan, mereka pergi ke toilet hanya sekedar membuang air kecil dan membasuh muka agar terlihat segar karena perjalanan mereka masih jauh.

"Kamu ngantuk?" tanya Ali penuh perhatian setelah bus kembali melaju.

"Heem," jawab Prilly mengangguk malas.

Ali membenarkan posisi duduknya lalu menarik Prilly agar merebahkan kepalanya di depan dadanya. Jantung Prilly berjalan abnormal, sudah sekian lama dia merindukan dekapan seseorang yang membuat dirinya nyaman. Tapi, mengapa kenyamanan itu hadir di diri Ali? Pria yang jelas-jelas beda dari sudut pandang Prilly. Prilly tak memperdulikan apa pun saat ini, dia membuang egonya untuk sementara, ia ingin menikmati kebersamaannya dengan Ali sebelum dia benar-benar jauh darinya karena tuntutan pekerjaan.

"Tidurlah, perjalanan masih jauh. Mungkin besok subuh baru kita sampai." Ali mengeluarkan kain dari dalam tasnya lalu dia pasangkan untuk membalut tubuh Prilly yang terlanjur nyaman di dekapannya.

***

Tuhan memang hanya satu, iman yang berbeda, suku yang tak sama dan latar keluarga pun berpengaruh. Namun, apakah itu semua menjadi pembatas dua insan yang saling memiliki rasa cinta untuk bersatu? Mungkinkah mereka dapat melewati segala ujian dan rintangan yang akan menghadang? Tembok pembatas menjulang tinggi di antara Prilly dan Ali. Apakah mereka dapat merubuhkan dinding pembatas tersebut? Entahlah, hanya waktu yang dapat menjawabnya.

"Aaaaaahhhhhh, akhirnya sampai juga," pekik Prilly turun dari angkutan umum yang membawa mereka dari terminal Purabaya hingga sampai ke pelabuhan Tanjung Priok, Surabaya.

"Ini kantornya?" ujar Ali menunjuk sebuah ruko yang di jadikan kantor perusahaan tempat Prilly interview.

"Iya, sesuai alamatnya, ya ini," seru Prilly menyesuaikan alamat yang tertera pada amplop putih salah satu dari keempat amplop yang di berikan Dhani kala itu.

"Langsung mau masuk? Nggak bersih-bersih dulu? Masa iya mau interview penampilan preman begitu," tegur Ali mengingatkan Prilly.

"Oh iya, ya ampun. Terus gimana dong?" Prilly menepuk dahinya pelan lalu menggertakkan kedua kakinya ke tanah seperti orang yang sedang kebingungan.

"Kita cari hotel atau penginapan untuk sekedar membersihkan diri, gimana?" usul Ali membuat Prilly menatapnya curiga.

"Nggak usah lihatin aku begitu, aku masih waras dan nggak akan macem-macemin kamu. Janji." Ali mengangkat jarinya ke depan wajah Prilly membentuk huruf 'V'.

"Okey, tapi kamu harus tunggu di luar kamar sampai aku selesai mandi dan mengganti baju," serga Prilly serius.

"Iya ... ya," sahut Ali lalu berjalan mendahului Prilly.

Tak begitu jauh mereka berjalan akhirnya Ali melihat hotel sederhana, yang tak begitu mewah. Mereka segera masuk ke dalam hotel dan menyewa satu kamar.

"Kamu tunggu dulu di sini, aku mandi dulu," ujar Prilly menahan Ali saat mereka sampai di depan kamar.

"Iya ... ya bawel!" desis Ali lalu duduk di kursi depan kamar tersebut.

Prilly masuk ke dalam kamar lalu segera membersihkan diri dan bersiap memakai pakaian yang sopan. Sesudah siap dengan hem putih lengan tiga perempat, celana kain hitam dan rambut hanya dia kuncir kuda namun terkesan rapi, lalu ia segera keluar.

"Sudah?" tanya Ali berdiri dari duduknya.

"Kamu istirahat aja, biar aku interview sendiri," ujar Prilly melihat wajah lelah Ali hingga bibirnya pucat.

"Nggak, tunggu sebentar aku antar kamu sampai selesai interview," bantah Ali namun Prilly mencegah lengan Ali saat dia ingin masuk ke dalam kamar.

"Li, aku nggak akan lama. Cuma sebentar, kantornya juga kelihatan kan dari hotel ini. Kamu istirahatlah, selesai interview nanti kita jalan-jalan sebentar, bagaimana?" tolak Prilly halus karena dia melihat wajah kelelahan Ali.

"Tapi Del ...."

"Liiii ... please? Aku nggak mau sampai kamu sakit," seru Prilly memohon karena ia tak ingin memaksa tenaga Ali untuk selalu menemaninya setiap saat.

"Okey, kamu hati-hati ya?" Akhirnya Ali pun mengalah.

"Sip, doain aku ya biar interview-nya lancar," ucap Prilly di balas Ali dengan senyum yang sangat manis membuat hatinya tentram.

"Iya, pasti aku doain kamu, demi kebaikan kamu pasti aku selalu dukung asal kamu bahagia," jawab Ali mengelus rambut Prilly lembut.

"Ya udah aku berangkat dulu ya?" Prilly melambaikan tangan ke pada Ali dan melangkah mantap menuju gerbang masa depannya.

#####

Makasih yang sudah kembali membaca AIR. Semoga kali ini puas, ya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top