AIR*20
Cinta tak perlu di kejar dan tak perlu dicari karena gaya gravitasi bumi yang akan mendekatkan dengan sendirinya. Apa lagi cinta sejati, tak perlu banyak kata dan mengumbar bicara. Cinta sejati tak bersyarat, memberi tanpa harus menuntut balasan, karena sesungguhnya cinta itu menerima kekurangan setiap pasangannya, dengan perbedaan menjadikan sebuah pelengkap menyatukan yang berbeda.
"Li, apa yang kamu inginkan dari aku?" tanya Prilly saat mereka sedang menikmati panorama pantai pasir putih, Bondowoso.
Ali membalikan tubuh Prilly agar menatap wajahnya. Ali menghilangkan jarak diantara mereka, dengan merengkuh pinggang Prilly. Deru ombak yang saling bekejaran untuk mencapai di bibir pantai menjadi pemandangan yang alami. Hembusan angin dan teriknya matahari tak mengurangi rasa bahagia diantara mereka.
"Aku nggak mau apa-apa dari kamu, cukup jadilah diri kamu sendiri karena aku menyukai kamu yang apa adanya. Cintaku nggak bersyarat dan aku tulus ingin kita bahagia bersama bukan karena perbedaan tapi karena kita mau dan ingin melakukannya bersama." Air mata haru menggantung di pelupuk mata Prilly.
Ali tersenyum sangat manis dan menghapus air mata Prilly yang baru saja meluncur di pipinya.
"Apa yang bisa aku perbuat untuk kamu, Li?" sambung Prilly melingkarkan tangannya pada leher Ali.
"Tetaplah di sisiku apa pun yang terjadi, jadilah wanita yang kuat untuk menopangku saat aku terpuruk dan hampir terjatuh. Aku nggak akan biarkan kita terjatuh." Ali memeluk Prilly erat membuat Prilly memecahkan air mata bahagianya.
Cinta sejati datang dari relung hati yang paling dalam, tanpa paksaan dan tanpa terencana. Begitu pun cinta Ali dan Prilly, sekuat apa pun orang memaksa untuk mereka berpisah, namun jika takdir Tuhan menyuratkan untuk bersama, apakah manusia mampu untuk memisahkan cinta mereka? Tak ada seorang pun yang dapat memungkiri takdir Tuhan.
"Tapi aku malu Li, sama keluarga kamu. Lihatlah mereka, bagaimana berbicara tentang aku dan pekerjaanku. Mereka menganggap pekerjaanku ini hina," seru Prilly di dalam isakannya.
Ali semakin mengeratkan pelukannya. Kaki mereka yang berpijak di kayu dermaga pantai pasir putih, seolah mereka seperti berada di tengah lautan. Saling berpelukan di ujung dermaga berhiaskan lukisan tangan Tuhan yang luar biasa, membuat hati terasa damai walau ada rasa yang berkecamuk di dalam sana.
"Kamu jangan dengerin omongan mereka, mereka yang menginginkan kita berpisah, makanya mereka akan selalu menghasut kita dengan berbicara yang nggak-nggak soal kita dan pasti di antara kita selalu ada yang dijelek-jelekan. Kamu percayakan kalau aku akan memperjuangkan kamu?" Ali menangkup wajah Prilly agar menatapnya.
"Aku percaya sama kamu," ujar Prilly yakin karena memang itu yang dikatakan hatinya.
"Bagi aku kamu wanita hebat Delmora, tidak semua wanita di dunia ini yang punya tekat sekuat kamu." Ali mengelus lembut pipi Prilly sambil tersenyum sangat manis menatap wajah cantik pujaan hatinya.
"Tapi aku nggak secantik cewek-cewek yang berusaha mendekatimu. Apalagi cewek-cewek yang keluarga kamu pilihkan itu. Mereka cantik, anggun dan pekerjaannya lebih ringan, duduk di ruang ber-AC, memegang bolpen dan berkutat dengan kertas, pokoknya cewek banget deh ... nggak kayak aku yang kerjanya kasar dan menguras tenaga, selalu berkeringat, nggak bisa dandan apa lagi belanja pakaian yang modis," seru Prilly merasa minder dengan wanita-wanita cantik yang sedang mendekati Ali.
"Aku nggak suka cewek begitu, sok punya segalanya tapi nyatanya dia nggak bisa melakukan pekerjaan dasar. Cewek begitu kebanyakan gaya dan hidupnya lebih besar pasak daripada tiang," kata Ali tersirat tak suka membuat Prilly bingung.
"Pekerjaan dasar bagaimana maksudnya?" tanya Prilly ingin memecahkan rasa penasarannya.
"Yaaa ... misal nih, mereka emang pinter dandan dan kalau ke luar rumah pasti deh modis dan cantik. Tapi, coba lihat ke dalamnya, apa dia bisa masak? Mengerjakan pekerjaan rumah? Dan yang lebih pentingnya lagi, apa dia bisa mengurus orang lain? Yang ada, malah dia nanti sibuk ngurus dirinya sendiri," jelas Ali panjang lebar sambil menuntun Prilly untuk duduk di ujung dermaga.
Kaki mereka dibiarkan menjuntai ke bawah hingga menyentuh air laut. Prilly menyandarkan kepalanya di bahu kanan Ali, mereka sama-sama memandang lurus ke depan, luas hamparan air laut terlihat biru karena mendapat pantulan bayangan langit yang sedang cerah.
"Ngurus dirinya sendiri bagaimana, maksudnya?" timpal Prilly yang belum begitu paham dengan penjelasan Ali tadi.
"Aku kadang bayangin sendiri, cewek yang terlalu ribet sama penampilannya, kalau sampai dia punya anak terus mau pergi, apa dia masih ada waktu untuk mengurus anak dan suaminya? Sedangkan dia sendiri aja dandan nggak cukup dengan waktu yang singkat," tukas Ali membuat Prilly tertawa terbahak.
"Ya ampun Oncommmmm, kamu mikirnya jauh banget sih," pekik Prilly di sela tawanya yang lepas.
"Ya harus sejauh itu dong kita berfikir, karena niat kita nantikan membangun rumah tangga. Ada aku, kamu dan anak kita, kalau kamu sibuk dandan siapa yang akan ngurus aku dan anak kita? Siapa yang mau masakin dan beresin rumah?" Prilly semakin di buat tertawa, karena Ali sudah terlalu jauh memikirkan hal itu.
"Jadi kamu mau ngajak nikah aku cuma buat masakin dan beres-beres rumah, iya?" tanya Prilly di sela tawanya hingga memegangi perutnya.
"Ya nggak gitu, tapi sebagai cewek modal utama berumah tangga seminimnya bisa mengurus suami dan rumah. Dari hal sederhana itu nanti dia bisa mengurus segalanya termasuk managemen penghasilan. Karena keberhasilan dan kesuksesan keluarga itu kuncinya di tangan istri." Ali menowel hidung Prilly kecil, Prilly tak henti-hentinya selalu tertawa dibuatnya.
"Kok bisa di cewek? Kan kata orang suami itu supirnya dan istri itu kernetnya. Kalau suami nyetirnya nggak baik bisa-bisa busnya masuk ke jurang." Prilly berusaha memprotes sudut pandang Ali tadi.
"Yang pasti suami dan istri punya peranan yang sama pentingnya. Kalau suami udah berusaha mati-matian cari nafkah dan istri di rumah cuma hamburin duit, ya ... sama aja bohong. Kredit sana dan sini itu yang bikin rumah tangga bangkrut apalagi tanpa sepengetahuan suami, duh pasti deh remuk redam," seru Ali membuat Prilly merasa kagum dengan pola pikir pria yang sudah memenangkan hatinya tersebut.
"Iya ... iya deh." Akhirnya Prilly mengalah karena dia tahu betul bagaimana Ali yang selalu tak ingin kalah jika soal berdebat.
Saat mereka sedang mengobrol suara dering HP Prilly bergetar. Prilly segera mengambil di dalam saku celana tiga perempatnya.
"Siapa yang telepon?" tanya Ali mengintimidasi.
"Mami, ada apa ya?" jawab Prilly melihat Ali penuh tanya, dengan perasaan yang tak tenang.
"Angkat dulu, siapa tahu penting," perintah Ali, lalu Prilly memencet tombol menerima panggilan dari Puspa.
"Assalamualaikum, Mi." Prilly mengucap salam dengan suara lirih, menahan rindu di hatinya.
"Waalaikumsalam, kamu libur ndak sih, Pril?" tanya Puspa dengan nada suara tak seperti biasanya.
Prilly mengerutkan dahinya menatap Ali dengan pikiran yang entah mengapa tak bisa tenang. Ali mengelus rambut Prilly, memperhatikan obrolan Prilly dengan Puspa dari telepon.
"Prilly lagi libur Mi, kapal nggak jalan, nunggu jadwal baru belum keluar. Memang kenapa, Mi?" tanya Prilly merasakan jika Puspa gelisah di seberang sana.
"Nggak papa, kalau libur panjang pulang ya? Mami sama Papi kangen," ujar Puspa tak biasa membuat hati Prilly ikut gelisah.
"Iya Mi, pasti pulang kok kalau liburnya lama. Tapi semua sehatkan yang di rumah?" tanya Prilly menaruh rasa curiga pada maminya.
"Iya, sehat." Jawaban Puspa tak memuaskan hati Prilly karena suaranya menggantung.
"Mi, jangan bohong. Ada apa?" tanya Prilly mendesak agar Puspa jujur padanya.
"Nggak ada apa-apa, cuma Papi kangen sama kamu." Dari kata-kata Puspa, Prilly dapat menebak jika di keluarganya sedang ada sesuatu dan Puspa berusaha menutupinya.
"Kalau gitu mana Papi? Prilly mau ngomong," ujar Prilly ingin memecahkan rasa curiganya.
"Assalamualaikum, gimana kabarmu di sana, Nduk?" tanya Rendra dengan suara berat dan serak.
"Waalaikumsalam, Alhamdulillah sehat, Pi. Papi sakit?" tebak Prilly karena mendengar Rendra batuk hingga terpingkal-pingkal.
"Iya, cuma masuk angin biasa. Batuk udah seminggu ini belum sembuh-sembuh," jelas Rendra susah payah.
"Papi udah ke dokter belum?" tanya Prilly seketika hatinya di selimuti rasa cemas dan khawatir.
"Sudah, biasa kan kalau sakit flu dan batuk lama sembuhnya?" jawab Rendra berusaha menenangkan hati Prilly.
"Ya sudah, Papi istirahat aja dulu. Besok Prilly atur waktu cuti biar bisa di rumah agak lama," seru Prilly memendam rasa rindu yang menggunung kepada keluarganya.
"Iya deh, kamu hati-hati dan jaga diri. Ali masih sering menemui kamu?" tanya Rendra penuh perhatian.
Dari pihak keluarga Prilly tak ada yang keberatan soal hubungan Ali dan Prilly, mungkin hanya beberapa dari saudara Puspa dan Rendra yang mempermasalahkan pembedaan agama. Namun Puspa dan Rendra tak ambil pusing dengan hal tersebut, mereka mempercayakan pilihan di tangan Prilly.
"Masih kok Pi, ini Prilly juga lagi sama Ali. Papi mau bicara?" Prilly menawari sambil menatap Ali, siapa tahu Rendra ada yang ingin dibicarakan dengan Ali, pikir Prilly.
"Iya, boleh, mana Ali?" tanya Rendra berat seperti menahan batuk.
"Papi mau bicara sama kamu, nih." Prilly mengulurkan HP-nya kepada Ali.
Ali segera menerima HP Prilly, lalu menempelkan pada telinganya.
"Assalamualaikum, bagaimana kabarnya Om?" sapa Ali sedikit berbasa-basi.
Sambil mendengar obrolan Ali dengan papinya, Prilly bermain air dengan kakinya yang menjuntai ke bawah menyentuh permukaan air laut. Prilly tak begitu jelas dengan apa yang Rendra katakan, namun tiba-tiba Ali berdiri dan sedikit menjauh dari Prilly. Prilly menatap punggung Ali yang sedikit jauh darinya sambil menelepon dengan wajah serius.
"Kenapa sih harus di bawa ke sana? Aku kan anaknya, wajar kalau aku harus tahu yang mereka obrolin apa aja," gerutu Prilly yang tak terima jika Ali mengobrol dengan papinya harus menjauh darinya.
Prilly bermain air menunggu Ali selesai menelpon. Sekian menit dia menunggu akhirnya Ali menghampiri, langsung duduk di sebelahnya.
"Kalau pulang ke Salatiga sekarang waktunya nggak bakalan nuntut," ujar Ali tiba-tiba sambil mengembalikan HP Prilly.
"Emang ada apa dengan keluarga di Salatiga? Penting banget ya?" tukas Prilly menuntut penjelasan.
"Nggak, cuma tadi Om Rendra minta kita datang ke Salatiga. Besok kalau aku balik ke Semarang, aku sempetin main ke Salatiga dulu deh," ujar Ali yang sepertinya menyembunyikan sesuatu.
"Li, kamu jangan nutupin sesuatu deh dari aku," rajuk Prilly menatap Ali memohon.
"Nggak ada apa-apa Delmora sayang." Ali membelai wajah Prilly lembut.
"Yakin?" seru Prilly tetap belum bisa mempercayai kata Ali tadi.
"Iya, udah yok, kita jalan-jalan aja." Ali membantu Prilly berdiri.
Saat Ali merangkul Prilly ingin pergi dari tempat itu HP Ali berdering, panggilan masuk.
"Sebentar." Ali mencegah tangan Prilly untuk berhenti berjalan.
"Siapa?" tanya Prilly saat Ali melihat nama yang tertera di HP-nya.
"Dari kantor," jawab Ali lalu menerima panggilan tersebut.
Prilly sabar menunggu selama Ali menerima telepon. Tak berapa lama Ali menyudahi panggilannya.
"Kita balik ke Surabaya sekarang nggak papa kan?" ujar Ali terlihat terburu-buru.
"Kenapa?" tanya Prilly merasa kecewa karena baru saja mereka bersantai masih ada juga yang mengganggu.
"Besok pagi aku harus menggantikan kopilot rute Surabaya ke Semarang. Jam 6 pagi pemberangkatannya, dia katanya sedang sakit," jelas Ali membuat perasaan Prilly kecewa, namun Prilly harus memahami tugas dan pekerjaan Ali karena Ali sendiri juga selalu dapat memahami pekerjaannya.
"Ya sudah, aku langsung balik ke Lombok aja," seru Prilly dengan wajah bersedih.
"Kok balik sih? Nggak ikut aku ke Surabaya? Entar naik pesawat aja biar cepet," ujar Ali sepertinya dia juga belum puas melepas rindu bersama Prilly.
"Li, muter-muter kalau aku ikut kamu dulu ke Surabaya. Mending aku cari bus ke Banyuwangi terus nyeberang ke Bali cari bus jurusan ke Padang Bai, udah selesai," jelas Prilly yang tak ingin merepotkan Ali lagi.
"Tapi ...."
"Li ...." Prilly menyahut cepat sebelum Ali memaksakan keinginannya.
"Okey, maafin aku nggak bisa antar kamu sampai ke Banyuwangi," ucap Ali menyesal.
"Iya, aku bisa ngertiin situasi kita kok, Li. Kamu jangan mikir macem-macem, aku bisa jaga diri baik-baik kok," ujar Prilly memastikan pada Ali jika dirinya akan selamat sampai tujuan.
"Kalau kamu ambil cuti hubungi aku, nanti aku akan atur waktu cuti juga," ujar Ali berat hati.
"Iya Ali is Oncom," seru Prilly mengalungkan tangannya di leher Ali.
Ali merengkuh pinggang Prilly lembut menghilangkan jarak diantara mereka.
"Aku sayang sama kamu, jangan pernah ragukan cinta aku ya?" kata Ali tulus memejamkan matanya dan menyatukan kening dan hidungnya dengan Prilly.
"Iya, aku akan menunggu sampai waktu yang tepat untuk kita bisa bersatu. Jaga diri kamu baik-baik." Prilly merasa berat untuk berjauhan dengan Ali, namun bagaimana lagi, karena pekerjaan mereka yang tak memungkinkan untuk selalu bisa bersama.
"Aku sayang banget sama kamu," ucap Ali memeluk erat tubuh Prilly seakan dia tak ingin melepaskannya lagi.
"Aku juga sayang sama kamu," balas Prilly memeluk Ali memberikan ketenangan hati.
Dua pekerjaan yang sulit untuk mencari waktu bertemu, tetapi mereka selalu dapat mencuri waktu walau hanya sedetik pertemuan mereka, berasa sangat berharga. Jarak tak lagi menjadi penghalang dalam hubungan mereka, tetapi jarak yang justru mengajarkan mereka arti kesabaran dan arti saling mempercayai untuk menjaga tanggung jawab yang tergenggam di hati masing-masing.
#########
Kira" ada apa dengan Mami Puspa, ya?
Apa, ya, yang dikatakan Rendra sama Ali?
Apa Ali dan Prilly bisa bersatu?
Makasih untuk vote dan komennya.
Muuuuaaahhhhh
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top