AIR*16
Goyangan ombak yang pelan membuat Prilly merasa seperti di timang dan membuat dia malas untuk membuka mata, karena rasa lelahnya bekerja ditambah kurangnya waktunya istirahat. Namun sayang, sinar matahari yang menerobos masuk dari kaca jendela di kamar, menyengat kulitnya. Mau tidak mau dia harus membuka mata walau sebenarnya itu sangat berat.
"Ehhhmmmm." Prilly melenguh sambil menggeliat meregangkan otot pada tubuhnya yang terasa kaku.
Perlahan mata Prilly mengejap karena terbias sinar matahari.
Sreeek ...!!!
Suara gorden tertutup membuat Prilly membuka matanya dan melihat Ali-lah yang menutup gorden itu. Ali tersenyum sangat manis lalu mencium kening Prilly.
"Bangun yuk? Sudah siang menjelang sore." Ali membantu Prilly yang masih lemas dan sepertinya dia sangat malas hari ini.
Prilly menjatuhkan kepalanya di depan perut sixspack Ali, masih dengan mata terpejam. Ali mengelus rambut Prilly lembut dan mencium kepalanya.
"Badan aku rasanya nggak bertulang, capek," keluh Prilly manja melingkarkan tangannya di pinggang Ali.
"Iya, nanti kita turun dari sini cari tempat spa," kata Ali lembut.
"Nggak mau spa, pijatannya kurang mantap," ujar Prilly manja.
"Terus?"
"Cari aja tukang pijet, kan bisa di urut sama sekalian melemaskan otot-otot yang kaku."
"Otot aku juga kaku kalau kamu terus begini, Delmora sayangku." Ali meregangkan pelukan Prilly.
Prilly mendongak menengadahkan wajahnya kepada Ali.
"Ya udah sekalian aja kamu ikut pijat," tukas Prilly polos yang tidak mengerti maksud Ali.
"Kalau otot punyaku pijatannya khusus dan belum ada yang pegang kecuali aku sendiri. Kalau kamu mau, boleh, aku izinin." Prilly mengerutkan dahinya semakin tak mengerti arah pembicaraan Ali.
"Otot kecilku yang sekarang udah berdiri di balik celana dari semalam, Delmora sayang." Mata Prilly membulat sempurna saat Ali membisikan pelan di telinganya.
Prilly membekap mulutnya saat memahami maksud Ali tadi. Ali tertawa terbahak melihat wajah shock Prilly.
"Nggak ... aku bercanda. Aku masih bisa kontrol kok. Tenang aja, aman." Ali berjalan mengambil handuk untuk Prilly.
"Kamu mandi gih, aku tadi udah mandi sekalian ambil baju kamu yang kemarin aku laundry," titah Ali mengalungkan handuk di leher Prilly.
"Kamu mandi di mana? Terus, emang kamu bawa baju ganti? Kok dari kemarin aku nggak lihat kamu bawa tas tapi sekarang baju kamu udah beda sama yang kemarin," tanya Prilly heran.
"Aku ada baju cadangan di mobil, tadi mandi di hotel depan pelabuhan sekalian ambil baju kamu," jelas Ali.
"Kenapa nggak mandi di sini aja?"
"Nggak enaklah, aku kan bukan kru di sini. Udah mandi dulu nanti kita turun, sekalian cari makan karena kita belum makan dari kemarin." Ali menarik Prilly agar berdiri lalu mendorongnya ke luar kamar.
Dengan rasa malas Prilly masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Selesai berpakaian lengkap Prilly kembali masuk ke dalam kamar. Prilly tercengang dan berdiri bergeming di ambang pintu. Senyum tersungging di bibir ranumnya melihat kamarnya sudah rapi dan bersih.
"Kenapa berdiri aja di situ?" tanya Ali sambil mengikat kantong plastik berisi sampah.
"Kamu bisa juga beres-beres, Li?" tanya Prilly melangkah masuk menjemur handuknya di besi biasa dia menjemur pakaiannya.
"Kamu lupa, aku kan pernah jadi anak kos. Udah, kamu ganti baju sekalian bawa baju cadangan. Aku mau ajak kamu ke suatu tempat," kata Ali menenteng kantong plastik yang siap akan di buang.
"Emang kita mau ke mana?"
"Udah ikut aja. Aku nggak bakal nyakitin kamu dan nggak bakal aneh-aneh." Ali berlalu keluar membawa kantong plastik tadi dan menutup pintu.
Prilly segera menganti bajunya dan memasukan beberapa baju ganti seperti yang Ali perintahkan. Setelah siap Prilly keluar kamar melihat Ali sedang mengobrol dengan teman satu kapalnya.
"Udah siap?" tanya Ali saat melihat Prilly sudah keluar kamar.
"Udah." Prilly mengunci kamarnya.
"Aku pamit Captain dulu ya?" Prilly mengetuk pintu di sebelah kamarnya. Tak berapa lama Wiranto keluar.
"Jadi turun sekarang?" tanya Wiranto keluar dari kamarnya.
"Jadi Capt. Nggak papa kan?" tanya Prilly memastikan.
"Iya, nggak papa. Tapi ingat ya sebelum muat, kamu harus sudah naik." Peringatan Wiranto.
"Iya Capt. Siap!" Balas Prilly mengacungkan kedua jempolnya ke pada Wiranto.
"Ali, jagain Prilly ya? Kembalikan untuh, jangan kamu tambahi. Takutnya ntar kalian perginya berdua, pulang nambah satu." Wiranto menepuk bahu Ali sambil mengantar mereka keluar dari ruang kru.
"Iya Capt. Makasih Capt sudah mengizinkan Prilly turun kapal," ucap Ali tulus.
"Iya, kalian hati-hati." Wiranto hanya mengantar mereka sampai di tangga.
"Kita turun dulu ya Capt. Kalau ada apa-apa langsung hubungi aku." Prilly berpesan sambil melambaikan tangan kepada Wiranto.
"Iya, tenangkan pikiranmu. Bersenang-senanglah."
Prilly dan Ali pun menuruni 6 tangga hingga sampai di geladak bawah. Setelah itu mereka harus menyeberangi jembatan penghubung kapal dan daratan. Ali berjalan lebih dulu dan membantu Prilly melewati jembatan.
"Ahhhh, akhirnya, menginjak tanah juga," pekik Prilly girang.
Ali tersenyum manis lalu mengacak rambut Prilly pelan dan menarik kepalanya untuk merangkulnya.
"Mobil siapa yang kamu bawa?" tanya Prilly heran saat melihat Ali membukakan pintu sedan hitam mengkilap untuknya.
"Punya Mami nguda," jawab Ali lalu menutup pintu setelah Prilly masuk ke dalam mobil.
Ali berlari kecil mengitari mobil lalu masuk di jok kemudi. Ali segera melajukan mobilnya keluar dari area pelabuhan peti kemas.
"Mau makan apa kamu?" tanya Ali saat mereka sudah terbebas dari area pelabuhan.
"Terserah, yang penting ada nasinya." Prilly berkata sambil menyengir kuda ke arah Ali, membuat Ali tersenyum dan membelai rambutnya lembut.
Mobil sedang hitam membelah jalanan kota Medan, Prilly tersenyum mengamati indahnya kota Medan sore itu. Lampu jalan berwarna orange menjadi pencahayaan berbagai kegiatan, lalu lalang orang menjadikan kota Medan hiruk-pikuk.
"Li, kamu yakin orang Batak?" tanya Prilly memastikan sambil menoleh ke arah Ali yang fokus mengemudi.
"Bukan Delmora sayang. Aku orang Karo," jawab Ali sangat lembut menghangatkan perasaan Prilly.
"Sama aja, kan orang Medan terkenalnya Batak," bantah Prilly.
"Aku bukan orang Batak, aku orang Karo." Masih saja Ali menyangkal.
"Ih, setahu aku orang Medan ya sukunya Batak!" Prilly masih saja membantah dan kukuh dengan pengertiannya. Ali tersenyum melihat Prilly yang mencibikkan bibirnya.
"Delmora sayangku, aku kasih tahu. Tidak semua orang Medan itu bersuku Batak. Memang kalau orang di luar sana mengira, setiap orang yang dari Medan itu pasti bersuku Batak. Padahal aslinya kami berbeda suku, ada Batak Toba, Mandailing, Pakpak, Simalungun, Angkola, dan Karo," jelas Ali sangat lembut membuat Prilly sedikit tertarik dengan pembahasan itu.
"Oh ... terus apa yang bedain suku kamu sama Batak?"
"Banyak."
"Contohnya?"
"Kami punya nenek moyang yang berbeda. Kalau orang Batak berasal dari keturunan Raja Batak, orang Karo sendiri meyakini kalau mereka berasal dari Kerajaan Aru yang rajanya disebut Pa Lagan."
"Oh ... gitu? Bahasa kalian sama nggak sih? Kalau bahasa Jawa kan beda-beda tuh, walau ada yang mirip-mirip. Antara bahasa Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur aja kadang kita yang sama orang Jawa belum tentu tahu dan mengerti."
"Beda Delmora, bahasa kami sangat jauh berbeda. Walaupun masih dalam satu rumpun protoaustronesia, tapi orang Karo dan orang Batak nggak akan bisa paham bahasa satu sama lain."
"Kayak Sunda aja. Sunda bukan suku Jawa walaupun hidup mereka di pulau Jawa."
"Mungkin karena kita punya budaya yang berbeda-beda Sayang, jadi jangan menganggap semua suku sama. Ya, sederhananya mungkin seperti orang Sunda yang tidak bisa disamakan dengan orang Jawa, orang Katolik yang tidak bisa disamakan dengan Protestan. Batak ya Batak, Karo ya Karo, begitu." Ali memberi pengertian kepada Prilly sambil membelokan mobilnya masuk ke sebuah tempat makan.
"Perjalanan kita masih jauh ya?" tanya Prilly sambil melepas sabuk pengaman.
"Lumayan, daerah aku kalau dari sini masih sekitar 2 jam bisa juga 1,5 jam kalau kita sedikit ngebut."
"Jangan ngebut-ngebut aku takut," rajuk Prilly manja.
"Iya, nggak ngebut. Tapi, kita harus bisa sampai di rumah sebelum jam 8. Jadi masih ada waktu 3 jam," kata Ali sambil melirik arloji yang melingkar di tangan kanannya.
"Apa?! Ke rumah kamu?!" Prilly yang mendengar perkataan Ali tadi langsung shock, wajahnya cepat menoleh ke arah Ali yang tadinya bersiap membuka pintu.
Bayang-bayang wajah Widya menari-nari di kepalanya. Kata-kata yang sudah satu tahun lebih kembali terngiang di telinga Prilly.
"Aku mau tidur di hotel aja. Kamu ngapain ngajak aku ke rumah kamu," sahut Prilly cepat karena dia merasa belum siap bertemu kembali dengan Widya.
"Kamu kenapa sih jadi teriak-teriak begitu?" Ali menatap Prilly heran karena memang tadi Prilly meninggikan suaranya.
Prilly tak menjawab dan bersikap tak acuh. Dia membuang wajahnya ke luar jendela menghindari tatapan tajam Ali yang memperhatikannya.
"Ayo turun!" Ali mengajak Prilly namun Prilly masih bergeming tak mengacuhkan ajakan Ali.
"Ayo turun, jangan mengulur waktu. Kita harus makan," bujuk Ali lembut.
"Aku nggak laper. Carikan aku hotel." Prilly berkata datar dan dingin.
"Kamu belum makan dari kemarin. Habis kerja berat terus seharian tidur, pasti laperlah. Nggak mungkin nggak laper."
"Cariin aku hotel apa aku turun di sini. Kamu pulang aja sendiri," kata Prilly tanpa menatap Ali.
"Kamu kenapa sih?" Ali masih saja tak mengerti perubahan sikap Prilly.
"Okey, kamu pulang sendiri aku turun sini." Prilly membuka pintu namun Ali dengan cepat menahan tangannya.
"Okey," kata Ali terdengar tidak ikhlas.
Prilly kembali menutup pintunya, mereka mengurungkan niat untuk mengisi perut. Ali melajukan mobilnya menyusuri jalan kota Medan. Sepanjang perjalanan keheningan menyelimuti ruang mobil itu. Prilly masih saja setia membuang wajahnya ke luar jendela. Begitu pun Ali yang fokus menyetir.
HP Ali berdering namun Prilly tetap tak acuh. Prilly melirik dari ekor matanya, melihat Ali tak kunjung mengangkat teleponnya. Hingga berkali-kali panggilan itu masuk, Ali tetap tak memperdulikan.
"Berhenti!" titah Prilly dingin namun tak dihiraukan Ali.
"Aku bilang berhenti!" Prilly kembali meminta namun tak di pedulikan Ali.
"Tolong, hentikan mobilnya." Lagi-lagi Ali tetap diam tak mengeluarkan satu kata pun. Dia masih tetap fokus melajukan mobilnya diiringi deringan HP yang meraung-raung meminta perhatian Ali.
Prilly menghela nafas dalam, melihat sikap Ali yang seperti itu. Prilly berusaha membuka pintu namun sayang tak ada pergerakan sedikit pun karena Ali menguncinya. Ali tersenyum tipis namun wajahnya tetap fokus menatap ke depan. Prilly menghempaskan tubuhnya kesal di sandaran mobil.
Rasa kecewa dan menyesal mengalir melalui pembuluh darahnya. Kenapa dia sangat bodoh mempercayai Ali? Kenapa dia harus ikut Ali? Pikiran penyesalan itu menggelayuti otaknya. Prilly merasa ingin menangis, namun air matanya tertahan entah mengapa tak dapat keluar, membuat dada Prilly sesak. Prilly memejamkan matanya, menutup wajahnya dengan tas punggung yang dia bawa tadi. Dia menutup rapat wajahnya, berharap air matanya yang tertahan hingga di tenggorokan dapat keluar. Namun sayang, air matanya masih setia tertahan di dalam pelupuknya.
Prilly merasa Ali mengelus rambutnya, dengan cepat tangan Prilly menyingkirkan tangan Ali yang membelai lembut kepalanya. Tak terasa Prilly pun merasakan mobil itu berhenti, namun dia tak berniat menyingkirkan tasnya dari waja. Hingga terdengar pintu terbuka, sepertinya Ali keluar dari mobil. Prilly memiliki ide gila yang seketika terbesit di dalam pikirannya. Dia berusaha kabur dari Ali, saat Prilly ingin keluar dari mobil ternyata Ali tak sebodoh yang dia kira. Ali mengunci mobilnya, hingga Prilly tak bisa melarikan diri.
"Aaaarrrggghhhh!!! Prilly kamu bodoh banget sih? Kenapa percaya gitu aja, sampai ikut sama Ali. Kalau tahu begini jadinya aku lebih milih di kapal tadi." Prilly menggerutu sambil memukul-mukul kepalanya.
Tak perlu menunggu lama Ali pun masuk ke dalam mobil dan Prilly kembali bersikap stay cool.
"Makan ini." Ali memberikan sekantong plastik putih berlogo minimarket.
Prilly masih saja cuek tak menanggapi Ali. Prilly mendengar Ali menghela nafas panjang dan meletakkan begitu saja kantong tadi di pangkuan Prilly. Dia kembali melajukan mobilnya. Hening, sunyi dan sepi menjadi teman mereka saat ini. HP Ali kembali berisik itu membuat emosi Prilly kembali mendidih. Terdengar helaan nafas kasar dari Ali, lalu menerima panggilan itu dengan wajah terpaksa.
"Kai, Ma?" tanya Ali menggunakan bahasa daerah.
"Ija kam, Ali?" Suara dari seberang terdengar saat Ali mengeraskan suaranya.
"Di jalan." Ali menjawab terdengar malas.
"Banci kam reh?"
"Banci, Ma."
Ali segera memutuskan panggilannya sepihak, terdengar lagi deringan HP-nya, namun kali ini Ali justru menonaktifkan HP-nya. Prilly yang tak memahami apa-apa hanya diam tak ingin membuat suasana semakin runyam dan buruk. Ali tetap fokus melajukan mobilnya, kali ini dia meninggikan kecepatan laju mobil. Suasana dingin mulai terasa, sepi, gelap dan jalanan yang berkelok-kelok terlihat di depan mata. Walau di luar gelap, Prilly masih dapat melihat keadaan jalan, kanan kirinya ternyata jurang. Membuat Prilly takut dan memejamkan matanya, memasrahkan hidup dan matinya kepada Sang pencipta. Percuma saja Prilly memprotes Ali, karena saat ini dia meninggikan egonya hingga membiarkan Ali mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi.
############
"Kai, Ma?"
"Apa, Ma?"
"Ija kam, Ali?"
"Di mana kamu, Ali?"
"Banci kam reh?"
"Bisa kan kamu datang?"
"Banci."
"Bisa."
Wah, kira-kira mau di bawa ke mana ya si Prilly?
Datang ke mana tuh maksud Emaknya Ali.
Momsky widy4HS mau suruh datang ke mana Oncom? Hahahahahah lol
Makasih ya vote dan komennya.
Masih sabar kan menunggu next-nya? Semoga masih sabar ya? Hahahhahah
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top