XXXVII.✾ Bagon ✾
~•¤•~
Ainslen menelan ludah kuat-kuat setelah mendengar untaian kata yang keluar dari mulut Luke. Raut wajah yang semula berani bagaikan bara api, mendadak sirna begitu saja. "Apa! Batu bara itu ada di dalam perangkap Bagon?!"
Luke menghela napas sejenak, laki-laki itu berjalan mendekat ke arah di mana Ainsley berada. Hingga menyisakan jarak lima belas sentimeter di antara mereka.
Dia sedikit menunduk demi menyesuaikan tingginya dengan gadis itu. "Ke mana perginya wajah keberanianmu tadi? Sepertinya kau takut, heh?" bisiknya sambil tersenyum.
Ainsley membalas ucapan Luke dengan senyuman percaya diri sembari mendorong pelan tubuh laki-laki itu ke belakang. Karena menurutnya, jarak mereka terlalu dekat. "Takut? justru aku ingin ke tempat itu sekarang."
"Kau yakin?" tanya Luke tidak percaya.
"Ya tentu saja, batu bara itu adalah satu-satunya kesempatan agar kita dapat keluar dari sini," tukas Ainsley sembari berjalan terlebih dahulu, meninggalkan Luke yang berada di belakang.
"Baiklah, aku sudah berusaha mengingatkanmu bahwa tetanggaku itu sama sekali tidaklah ramah, heh." Luke memperingatkan seraya tersenyum hangat.
"Aku tidak peduli, yang terpenting aku bisa segera keluar dari tempat ini secepatnya." Ainsley berujar keras kepala.
Luke menghela napas panjang, laki-laki itu terlihat pasrah ketika berhadapan dengan Ainsley.
"Aku harus membuat rencana, agar kita bisa naik ke atas tebing itu." Ainsley memandang tebing curam yang menjulang tinggi itu dari bawah.
"Rencana? Untuk apa? Kita tidak membutuhkannya sekarang. Aku tahu jalan pintas yang dapat mengantarkan kita ke atas sana."
Ainsley menoleh ke arah Luke. "Di tempat ini terdapat jalan pintas? Kenapa tidak memberitahuku dari tadi?!"
"Ohh, maaf. Kupikir kau tidak memerlukannya setelah berhasil membuat alat penembus dinding, heh." Luke berucap enteng.
Ainsley mendengkus. "Ya aku akui itu tadi, tapi sekarang aku membutuhkannya."
Luke kembali tersenyum. "Baiklah, ikuti aku!" serunya sembari berjalan terlebih dahulu, sementara Ainsley mengikuti Luke dari belakang.
"Kau sepertinya tidak takut dengan makhluk bernama Bagon? Apa yang membuatmu seberani ini?" tanya Ainsley disela-sela perjalanan mereka.
Luke tersenyum lagi. Entahlah, sudah berapa kali ia tersenyum. "Dia tetanggaku, untuk apa takut dengan tetangga sendiri?"
"Jawaban yang cukup masuk akal," kata Ainsley sembari terkekeh, berusaha berjalan sejajar dengan Luke.
Luke berhenti tepat di depan sebuah dinding berbatu. Terdapat berbagai macam kerangka aneh yang tertempel di permukaan reliefnya. Si blonde menempelkan telapak tangan ke dinding, dalam sekejap membuat benda datar tersebut terbuka dengan sendirinya.
Luke dan Ainsley memasuki tempat itu tanpa rasa takut. Aura dan suasana kegelapan tengah menyambut mereka. Jauh di dalam kegelepan, terdapat sebuah tangga yang mengarah ke atas.
"Sepertinya, tangga itu akan menuntun kita ke tempat Bagon," sahut Ainsley, berusaha memecah keheningan.
Luke tidak menjawab. Laki-laki itu tampak fokus pada tangga tua yang kian merapuh. Ainsley mengikuti Luke dari belakang, mereka menaiki anak tangga satu per satu. Jauh di depan mata, secercah cahaya lentera kian muncul di ujung jalan. Aroma tak sedap menyambut. Pada akhirnya mereka berhasil keluar dari jalan pintas itu.
RAWWWHH.
GRAAAA.
Suara-suara mengerikan terdengar. Kedua bola mata Ainsley membulat secara sempurna, ketika dilihatnya berbagai macam monster tengah terkurung di sel mereka masing-masing.
Tidak hanya satu atau dua monster, tetapi ratusan monster tengah berada di tempat tersebut. Penjara-penjara monster tersusun rapi mengelilingi sebuah pusat, layaknya koloseum atau aula pertandingan.
Ainsley terkesiap. Sementara Luke hanya terdiam memperhatikan titik pusat tempat itu. Setelah diselidiki, Ainsley menduga bahwa para monster terlihat fokus pada satu titik. Lebih tepatnya pandangan mereka tertuju pada satu tempat. Ainsley tidak bisa melihat dengan jelas titik pusat tersebut, karena dibatasi tembok yang menjulang tinggi.
"Apa yang mereka lihat? Kenapa mata mereka tertuju pada pusat tempat ini?" tanya Ainsley.
Luke tidak langsung menjawab, laki-laki itu justru berjalan sedikit mendekat ke arah pusat. "Mereka memandang jantung tempat ini."
"Jantung?" ulang Ainsley.
"Ya, jantung. Barang yang kau perlukan juga ada di dalam sana."
Ainsley terdiam, ia tahu apa yang dimaksudkan jantung oleh Luke. "Jangan bilang kalau---"
"Ya, tepat sekali. Tempat itu adalah penjara nomor 314, kurungan milik Bagon."
Ainsley mendengkus. "Sudah kuduga" Gumamnya. "Baiklah, tunggu apa lagi? Kita membutuhkan batu bara untuk menjalankan alat ini bukan?"
"Heh, aku sangat suka dengan jiwa semangatmu, Nona," kata Luke sembari tersenyum. "Jangan lupa penutup hidungmu."
Ainsley membalas tersenyum. "Jangan khawatir, aku sudah mengikat kain ini dengan sangat erat di area hidungku. Mungkin, kau lah yang harus berhati-hati."
"Tentu saja," nawab Luke. "Ikuti aku dari belakang!"
Mereka berdua pada akhirnya berjalan mengendap-ngendap memasuki kandang Bagon yang sangat besar. Asap berwarna ungu memenuhi tempat itu, layaknya kabut yang mengganggu penglihatan Ainsley.
Selama pencariannya mencari batu bara, Ainsley tidak melihat adanya tanda-tanda Bagon. Apa karena kabut ilusinya terlalu tebal sehingga wujud sang monster tidak terlihat?
"Sepertinya, makhluk itu sedang tidur. Kita harus cepat mencari beberapa batu bara sebelum dia terbangun," bisik Luke.
Ainsley mengangguk mengerti, sembari mengikuti Luke dari belakang. Namun, sialnya sosok Luke menghilang dari pandangannya secara tiba-tiba. Kabut ilusi ungu kian menebal, sehingga membuat mereka terpisah.
"Sial" umpat Ainsley. "Luke menghilang. Tenang Ainsley, kau harus fokus!"
Ainsley tidak bisa melihat situasi sekitar, seakan-akan buta mendadak. Tempat itu masih saja dipenuhi oleh kabut ungu yang sangat pekat.
"Kalau begini terus, aku tidak akan pernah menemukan batu bara ataupun jalan keluar ... eh?" Ainsley menghentikan gumamannya setelah menginjak sesuatu, lebih tepatnya dia menginjak sebuah bongkahan batu.
Ainsley berjongkok, memeriksa apa yang baru saja diinjaknya dengan lebih teliti menggunakan jarak dekat. Dia menginjak batu bara, tidak hanya satu atau dua buah tetapi ratusan batu bara berada di sana.
"Batu bara? Aku menginjak batu bara?" gumam Ainsley senang. "Aku akan mengambil beberapa batu untuk dimasukkan ke ranselku."
Ainsley memasukkan satu buah batu bara berukuran kecil ke dalam alat ciptaannya. Tak lupa dimasukkannya beberapa batu bara sisa berukuran kecil ke dalam ranselnya. Ainsley menekan tombol di tubuh benda itu. Secara tiba-tiba alat penembus dindingnya mengeluarkan secercah cahaya kuning samar.
"Alat ini berhasil nyala!" Ainsley tersenyum bangga. "Baiklah, sekarang waktunya mencari Luke. Dia sepertinya tidak jauh dari ...."
Belum sempat Ainsley melanjutkan kalimatnya. Secara tiba-tiba gadis itu merasakan hembusan angin hangat di tubuhnya. Tidak hanya hembusan, suara geraman juga turut hadir tepat dibelakang Ainsley.
Ainsley meneguk salivanya seraya menoleh ke belakang secara perlahan. Dilihatnya mata merah raksasa tengah berkedip menatapnya.
"Sudah kuduga, Bagon."
ROAAARRR.
Bagon berteriak tepat di hadapan Ainsley, membuat gadis itu jatuh seketika. Ainsley berusaha bangkit berdiri---berlari menjauh dari Sang Monster.
Monster-monster lain yang terkurung di tempat itu berteriak hingga memukul-mukul jeruji sel penjara, seakan-akan menanti sebuah pertunjukan hebat di pusat tempat ini.
Tubuh monster raksasa itu menegak, demi mencari mangsanya. Kepalanya mirip dengan singa, namun tubuhnya hampir sama dengan ular raksasa.
Asap ilusi kian memudar di saat makhluk itu tenang, tapi semakin menebal jika beraktivitas.
"Aku harus segera keluar dari tempat ini? Tapi di mana Luke?" ucap Ainsley di dalam hati.
ROAAARRR.
Makhluk itu berkali-kali berteriak sembari mengibaskan ekornya. Untungnya saja, Ainsley berhasil menghindari serangan.
Tiba-tiba, seekor burung hantu putih terbang dengan sangat cepat melewati Ainsley. Burung itu terbang menuju ke arah Bagon berada.
Tabrakan burung hantu putih dengan Bagon menghasilkan percikan api kecil. Membuat kedua belah pihak tersebut saling menjauh dari kilatan api.
Bagon terjatuh, sialnya ekor makhluk itu jatuh ke arah dimana Ainsley berada. Dia memejamkan kedua matanya karena takut. Si Felton Kecil yakin bahwa ekor raksasa Bagon pasti jatuh menimpa kakinya.
Namun, setelah beberapa detik. Ainsley tidak merasakan adanya tanda-tanda kesakitan di bagian tubuhnya. Gadis itu mencoba membuka kedua mata, memastikan apa yang terjadi.
Terkejutlah Ainsley. Ketika dilihatnya ekor raksasa Bagon menembus tubuhnya, layaknya sebuah hologram. Makhluk itu pada akhirnya terbangun dan meninggalkan Ainsley tanpa menyisakan sebuah goresan.
"Ada yang aneh," gumam Ainsley.
Burung hantu tadi berubah menjadi sosok Luke. Bagon yang merasa terganggu, pada akhirnya murka. Wajahnya semakin mengerikan dibandingkan semula. Luke melawan Bagon dengan memanggil beberapa burung hantu agar menengerumuni seluruh tubuh si monster.
Makhluk itu pada akhirnya terjatuh---kalah tanpa syarat tepat di hadapan Luke. Semua monster yang terkurung bersorak atas kemenangannya.
Namun, satu hal yang membuat Ainsley terdiam. Mata semua monster yang terkurung di tempat ini berwarna merah, serasi dengan warna mata Bagon.
Bukan hanya serasi, tapi bagaimana kalau sama? Dari kejauhan, Ainsley dapat melihat dengan jelas mata para monster di atas sana satu per satu. Terdapat titik hitam layaknya ular jauh di dalam pupil mata mereka. Para monster tampak fokus pada satu titik, yaitu pusat tempat ini.
"Tapi, bagaimana jika yang dimaksudkan titik pusat, bukan sebuah tempat?" pikir Ainsley.
Ainsley berpikir sejenak, gadis itu mengamati mata Bagon. "Mata monster ular itu sejak tadi juga tertuju pada satu titik."
Ainsley mengikuti arah pandang mata Bagon. Dia terkejut mendapati mata Bagon tertuju kepada Luke. Tidak, lebih tepatnya ke arah mata Luke yang berwarna merah darah.
"Sudah kuduga," gumam Ainsley.
Luke menoleh menatap Ainsley, sembari tersenyum. "Kau sudah menemukan batunya ya?"
"Ya, di saat kau menghilang. A-apa yang kau tunggu ayo kita keluar dari sini?" jawab Ainsley setengah tergagap.
Luke tersenyum. "Kau itu hebat ya, sikapmu sangat tenang walaupun sudah tahu kebenarannya." Laki-laki itu memberikan Ainsley tepukan tangan.
Tepukan tangannya menggema di seluruh penjuru penjara ilusi. Para monster yang awalnya berisik, terdiam seketika. Layaknya terhipnotis pada satu titik.
"Kebenaran? Apa yang kau bicarakan?" Ainsley berusaha untuk tenang.
Luke tertawa sembari berjalan menuju ke arah Ainsley. Sementara gadis itu berjalan mundur. "Kau itu naif atau berpura-pura bodoh, heh?" tanya Luke dengan senyuman menawannya.
Ainsley secara reflek berjalan mundur, ketika dilihatnya Luke berjalan semakin mendekat.
"Oh iya, akan terasa tidak terhormat jika aku belum memperkenalkan diriku secara lengkap kepadamu, Nona."
Ainsley terdiam, dia berusaha tetap siaga di situasi ini ketika dilihatnya tubuh Bagon menghilang secara tiba-tiba.
"Namaku Lukeledon Royle Asmodeus, penguasa tempat ini. Mereka biasanya menjulukiku ... Bagon Sang Ilusi," kata Luke dengan senyuman misteriusnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top