XXXV. ✾ Asap Ilusi ✾

~•¤•~

"Huh." Ainsley mendengkus kesal. Entah sudah berapa lama gadis itu berjalan menyusuri lorong sembari bergumam tidak jelas.

Wajahnya memerah padam karena terlalu kesal, membayangkan ucapan yang dilontarkan Hugo kepadanya. Untung saja lorong yang tengah dilewatinya saat ini cukup sepi. Jika tidak, mungkin sejak tadi Ainsley sudah ditangkap oleh monster beruang.

"Cih, dia pikir dirinya itu siapa? Lihat caranya meremehkanku tadi!" ketus Ainsley. "Baiklah, jika anak itu tidak mau diajak bekerja sama, maka biar aku sendiri saja yang melakukannya!"

Gadis itu berjalan ke depan tanpa memperhatikan tujuannya, bahkan dia tidak sadar jika dirinya saat ini melewati asap berwarna ungu. Asap itu seakan-akan mengantarkannya ke kawasan lain, berbeda dari sebelumnya, terdapat banyak sekali lorong di sana.

"Tunggu! tempat Apa ini? Kenapa lorongnya banyak sekali?" gumamnya. Tempat itu sangat gelap, bahkan lebih gelap dari koridor sepi yang dilewati oleh Ainsley.

Setelah berdiam cukup lama, Si Felton Kecil mulai menyadari bahwa sekarang dirinya tengah tersesat karena ulahnya sendiri. Seharusnya sejak tadi, gadis itu tidak usah memikirkan ucapan Hugo.

"Sebaiknya aku kembali ke jalan yang tadi aku lewati saja," ide Ainsley. "Jika aku memilih salah satu dari lorong-lorong tersebut, entah masalah apa lagi yang tengah menantiku dihadapan sana."

Pada akhirnya Ainsley berjalan kembali ke belakang, namun sesuatu yang ganjil tengah dihadapkannya.

"T-tidak mungkin," ucap gadis itu tidak percaya. Lorong yang tadi tengah dilewatinya telah berubah menjadi sebuah dinding berbatu. "Bagaimana bisa, lorongnya menghilang?"

Ainsley tampak gelisah, berusaha memikirkan sesuatu. Dia tidak boleh terjebak. Satu-satunya cara agar terbebas dari tempat ini adalah dengan memilih salah satu dari ratusan lorong di hadapannya.

"Aku harus memilih!" tegas Ainsley. "Baiklah, cap cip cup ...," lanjutnya sambil bernyanyi.

"Lorong sebelah kiri nomor tujuh!" ucapnya ketika lagu yang dinyanyikannya telah selesai, serta jari telunjuknya mengarah ke lorong tersebut. "Aku harus ke sana!"

"BERHENTI!"

Belum sempat melangkahkan satu kakinya ke depan, secara tiba-tiba Ainsley mendengar suara laki-laki yang memerintahkanya untuk berhenti.

Ainsley pun spontan berhenti melangkah, mencari seseorang yang tengah menyuruhnya. Suara itu terdengar sangat dekat, namun tidak ada wujudnya. Justru yang tengah dilihatnya hanyalah ratusan lorong gelap.

"Mungkin cuma perasaanku saja," katanya berusaha berpikir positif sembari melangkahkan kaki ke depan.

"BERHENTI! SEKALI KAU MELANGKAH, MAKA TAMATLAH RIWAYATMU!"

Ainsley terdiam lagi. Sekali lagi, dia mendengar suara seseorang namun tidak ada wujudnya. "Sudah kuduga, suara ini pasti dari arwah bergentayangan yang diakibatkan oleh Fis! Siapapun itu, tolong jangan bermain-main denganku? Aku tidak berniat untuk mengganggumu---"

"Ya, kau memang tidak menggangguku. Namun jika dirimu jatuh dari tebing, itulah yang akan menggangguku," jawab si laki-laki tak kasat mata.

"Jatuh dari tebing? Apa maksudmu?" tanya Ainsley tidak mengerti.

"Sekarang balik ke belakang dan ulurkan tanganmu." Suara itu melembut.

"Kenapa aku harus menurutimu?" Ainsley berdecak kesal sembari bersedekap.

"Sudahlah dengarkan saja, jika kau ingin terbebas dari tempat ini."

"Baiklah."

Pada akhirnya, Ainsley menuruti perintah si laki-laki tak kasat mata dengan berbalik badan lalu mengulurkan tangan kanannya ke depan.

"Mungkin ini akan membuatmu sedikit terkejut, tapi jangan panik, oke?"

Secara tiba-tiba Ainsley merasakan tangan kanannya digenggam oleh seseorang namun tidak ada wujudnya.
Tangan tak kasat mata itu berusaha memberikan sesuatu untuk Ainsley.

Ainsley panik, tidak, lebih tepatnya terkejut. Dia berusaha untuk tetap tenang.

"Kau lumayan juga, biasanya anak perempuan selalu panik jika dihadapkan dengan hal-hal seperti ini, heh," katanya meledek. "Genggamlah tanganmu!"

Ainsley mengikuti instruksi suara tak kasat mata dengan sungguh-sungguh. "Benda apa yang kau berikan tadi?"

"Bukalah genggamanmu. Lihat apa yang aku berikan."

Ainsley membuka genggaman tangannya. Gadis itu terkejut ketika sepotong kain berwarna putih telah berada di tangannya.

"Sepotong kain?" gumam Ainsley.

"Ya, itu potongan kain dari bajuku yang kebesaran. Sekarang tutuplah hidungmu dengan kain itu! Untuk kali ini aku lebih sarankan jangan panik."

"Apakah kau bisa dipercaya?" Ainsley memastikan.

"Yah itu terserah kau saja, heh."

Ainsley menutupi hidungnya dengan kain putih sembari memejamkan kedua matanya. "Sudah! Lalu apa lagi?"

"Bukalah matamu!"

Ainsley sedikit demi sedikit membuka kedua matanya yang terpejam. Sontak pemandangan pertama kali yang dilihatnya membuatnya terkejut bukan kepalang. Yang awalnya hanyalah sebuah udara kosong secara tiba-tiba dihadapkan dengan sosok remaja laki-laki berambut blonde dengan mata tajam berwarna coklat.

"Hai," sapa laki-laki itu sembari tersenyum.

"Aaaa!" pekik Ainsley terkejut, dia berjalan mundur ke belakang. Merasa bahwa jalan yang awalnya rata secara tiba-tiba berubah menjadi terjal, ia pun tak kuasa menahan keseimbanannya.

"AWAS! KAU AKAN TERJATUH!" pekik laki-laki itu sembari menarik lengan Ainsley ketika ia hendak terjatuh.

Ainsley terkejut, secara perlahan menolehkan kepalanya ke belakang, berusaha mencari tahu penyebab dirinya menjadi tidak seimbang.

Lantas wajahnya memucat, mendapati dirinya tengah berada di atas tebing yang sangat tinggi. Jika saja laki-laki tadi tidak menyelamatkannya, sudah dipastikan ia mati terjatuh.

Tanpa berpikir panjang lagi, Ainsley berusaha menggapai jeruji sel penjara di hadapannya. Dia bahkan baru sadar, jika laki-laki berambut blonde itu tengah berada di dalam penjara. Sejauh mata memandang, terdapat ribuan penjara bertingkat-tingkat di antara tebing yang curam. Deretan penjara didesain menghadap langsung ke sebuah jurang nan gelap.

"Tempat apa ini?" kaget Ainsley.

"Penjara Ilusi."

"Penjara ilusi?"

"Karena asap ungu itu," jawab si blonde sembari menunjuk ke arah asap yang dimaksud.

"Asap ungu?" Ainsley tampak bingung.

"Ya, aku menamainya asap Ilusi. Asap itu bisa membuat seseorang terjebak ke dalam ilusi ketika menghirupnya. Biar ku tebak, sebelum kau menutup hidung, pasti dirimu melihat ratusan lorong, heh?"

Ainsley mengangguk setuju.

"Nah, ratusan lorong itu adalah ilusi, tempat yang sesungguhnya adalah tebing dan penjara yang tengah kau lihat ini. Kawasan Penjara ilusi memang dikhususkan untuk para monster namun tak jarang Fis juga memasukkan starseed berkekuatan lebih," sambungnya.

"Ilusi ya?" gumam Ainsley sembari memperhatikan asap berwarna ungu yang terus menyebar. Dia berusaha menyembunyikan rasa takutnya. "Lalu kenapa kau tidak menutup hidungmu, bukannya asap itu dapat membuat seseorang berhalusinasi?"

"Aku? Tentu saja tidak, heh. Aku terkurung di tempat ini semenjak lima tahun yang lalu, asap ilusi telah kuhirup setiap waktu. Maka dari itu, tubuhku berubah menjadi kebal."

Ainsley terdiam, berusaha memikirkan sesuatu.

"Takut, heh?" ledeknya.

"T-tidak, siapa yang takut?" Ainsley berusaha menyembunyikan ketakutannya.

"Oh, begitukah? Lalu mengapa tanganmu terlihat menegang?"

Ainsley secara spontan melepaskan genggaman tangannya dari jeruji sel.

Gadis itu berkacak pinggang sembari menunjukkan wajah angkuhnya. "Nah lihat kan aku tidak takut, mungkin cuma perasaanmu saja."

Ainsley menoleh, mengecek keadaan dasar jurang di belakangnya, bahkan ia mampu mendengar suara derasnya air mengalir dari dalam sana. "Dibawah sana ada sungai?" pikir Ainsley.

ROOOARRR.

"Suara apa itu?" tanya Ainsley waspada, berusaha mencari asal suara. "Suaranya terdengar dari penjara atas."

Laki-laki itu tersenyum dan duduk bersandar pada dinding sel penjara. "Tetanggaku, sel penjara nomor 314, sejak kemarin lidah ular raksasa itu kesakitan karena tergores jeruji yang rusak."

"Hmm ... kau terlihat sangat hafal dengan tetanggamu Ya?"

"Tentu saja, harus. Itulah contoh tetangga yang baik, heh."

"Baiklah, ceritakan padaku berapa banyak starseed yang terkurung di kawasan ini?" tanya Ainsley serius.

"Hmm ... sepertinya cuma satu."

"Satu? Jangan bilang cuma dirimu saja?" ucap Ainsley.

"Yup, benar sekali. Baiklah, seorang anak perempuan yang berani tidak akan mungkin berjalan dengan bebas di dalam kawasan penjara ilusi, bukan? Katakan apa tujuanmu, heh?"

"Hmm, sebenarnya aku tidak memiliki tujuan ditempat ini, lebih tepatnya tersesat. Tapi karena kau menanyakan tujuanku, baiklah akan kukatakan. Jadi, aku ingin membebaskan temanku yang terkurung di dalam penjara penyiksaan, serta membebaskan anak-anak lain dari Kastil Wysperia."

"Terdengar mustahil, tapi sepertinya aku bisa membantumu."

"Sungguh? Kau mau membantuku?" pekik Ainsley dengan mata yang berbinar-binar.

"Ya tentu saja, jika kau membantuku keluar dari penjara ini," tawarnya.

"Kau terlihat mencurigakan bagiku, bagaimana jika sebenarnya dirimu ini adalah monster yang sedang menyamar menjadi Starseed?" ucap Ainsley Memastikan. "Tapi, karena tadi kau telah menyelamatkanku maka aku akan berbalas budi untuk mengeluarkanmu juga."

"Terima kasih karena telah mempercayaiku."

"Baiklah, sekarang apa yang harus aku lakukan?" tanya Ainsley.

Si blonde tersenyum. "Tekan saja tombol merah di samping penjara."

Ainsley bergerak cepat, mencari tombol merah yang dimaksud oleh laki-laki itu.

Ainsley pada akhirnya mendapatkan tombol dengan mudah dan menekannya. Secara tiba-tiba pintu jeruji sel milik si blonde terbuka dengan sendirinya.

Terlihat seekor burung hantu putih terbang dengan sangat cepat dari dalam penjara. Burung itu berputar mengelilingi tebing, kemudian mendarat tepat di hadapan Ainsley.

Ainsley tidak terkejut, ia yakin jika burung hantu putih merupakan jelmaan laki-laki tadi. "Aku telah membalas kebaikanmu, tapi kau tidak melupakan janjimu juga 'kan?

Burung hantu itu secara tiba-tiba berubah kembali menjadi sosok laki-laki tampan berwajah eropa dengan baju putih kebesaran. "Tentu saja. Baiklah siapa namamu?"

"Ainsley Felton, dan namamu?"

Dia tersenyum, memunculkan lesung pipi di wajahnya. "Lukeledon."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top