XXVII. ✾ Monster Sosis ✾
~•¤•~
Setelah berhasil melarikan diri dari penjara melewati sebuah jalan rahasia yang diberitahukan oleh Rasbeth. Monster-monster kelinci tadi ternyata mengetahui keberadaan ruang rahasia itu lalu menangkap Rasbeth. Beberapa di antaranya juga berusaha mengejar Ainsley.
Terlepas dari kejaran para monster, Ainsley menemukan dapur di sudut koridor bawah tanah. Lantas dia pun memasukinya, tak lupa menutup pintu serta menahannya dari belakang.
Gadis itu menganga tidak percaya. "Dapur?" gumamnya terkejut seraya menggosok kedua mata berulang kali. "Jadi, perjalanan yang sangat panjang tapi mematikan itu berujung ke tempat ini?"
Ainsley menghembuskan napasnya kuat-kuat. Dia menggeser karung sayur sebagai penahan pintu, siapa tahu monster kelinci mengikutinya, bukan?
"Rasbeth? Bagaimana keadaan Rasbeth? Para makhluk itu pasti sudah menangkapnya. Seharusnya aku tidak mendengarkan dia untuk memasuki pintu rahasia." Ainsley berusaha menetralkan napasnya. Secara reflek, ia mengepalkan kedua tangan. "Cukup, tidak akan ada lagi korban! Aku harus menyelamatkan Rasbeth dan yang lainnya!"
Ainsley melangkah pelan. Rupanya jalan rahasia tadi tersembunyi di balik papan tulis tua yang sudah tidak terpakai. Untungnya jarak papan dengan pintu rahasia tidak terlalu dekat, sehingga Ainsley bisa dengan leluasa berjalan keluar dari sana.
Ainsley mengintip dari balik papan, memandangi dapur secara menyeluruh. Kalian pasti bertanya-tanya, mengapa Ainsley bisa langsung mengetahui bahwa tempat ini adalah dapur? Padahal jelas-jelas saat ia masuk ke dalam ruangan, Si Felton Kecil telah dihadapkan dengan sebuah papan tua terlebih dahulu.
Ainsley memang cukup tahu, dia sangat mengenal aroma dapur. Tekstur lantai di tempat itu sering digunakan untuk pembuatan dapur. Melihat apa yang ada dihadapannya sekarang, ia menjadi sedikit bingung.
Tempat ini terlihat bersih dan rapi. Yang lebih mencoloknya lagi, dinding dan mejanya terbuat dari emas. Aroma harum masakan menguar lembut, memasuki rongga hidung. Gadis itu memejamkan mata, menikmati setiap sentuhan lembut aroma harum.
Perut Ainsley berbunyi.
"Kapan ya terakhir kali aku makan?" pikir Ainsley. "Seingatku selama aku menginjakkan kaki di tempat ini, hanya wortel-lah yang selalu mengisi perutku dan tentunya ditambah garam."
Ainsley terkekeh pelan. "Untung saja aku selalu membawa persediaan garam di dalam ranselku." Ainsley berjalan sedikit membungkuk menuju meja dapur yang letaknya berada di tengah ruangan.
Berbagai macam masakan tersaji lengkap di atas meja. Ainsley memeriksa sekelilingnya sekali lagi.
"Aman," gumam Ainsley. "Sangat sepi, apakah koki di tempat ini sedang beristirahat? Sekarang 'kan sudah sudah menunjukkan jam malam, seharusnya mereka tengah beristirahat," ujarnya.
"Menurut analisa singkatku setelah melewati beberapa jam di tempat ini. Waktu Wysperia lebih cepat malam ketimbang siang. Yah ... meskipun di siang hari juga masih gelap. Sungguh cerdas 'kan diriku ini," ucap Ainsley membanggakan diri. Dia beranjak berdiri, memandangi makanan yang tersaji di atas meja. "Aromanya sangat harum, tentu saja makanannya sangat ...."
Ainsley terkejut mendapati bentuk makanan yang sekarang berada di hadapannya. Sungguh, ekspektasi sangat berbeda dengan realita. Makanan-makanan itu terlihat persis dengan pasir berwarna putih.
"Apa ini?"
Ainsley mengutak-atik makanan yang tersaji dengan sendok berbentuk kotak yang diletakan pada sampingnya. Lantas, ia pun bergidik ngeri.
"Makanan apa ini? Kenapa ada matanya?" Makanan itu memperlihatkan banyak mata berukuran sekecil jentik nyamuk. Bahkan, masih terlihat bergerak.
Ainsley berusaha mengalihkan pandangannya, menahan isi perut yang hendak keluar. "Aku benci hidupku."
Kekesalan Ainsley tidak berlangsung lama setelah kedua matanya tidak sengaja menangkap panci di atas kompor yang masih menyala, terlihat asap menggebu-gebu keluar dari panci. "Kompornya masih menyala? Bukankah seharusnya ketika beristirahat mereka mematikannya?"
Ainsley mengerutkan keningnya. Dia berpikir. Lantas ia menelan salivanya keras-keras. "Analisaku ternyata salah, sekarang masih ... siang hari!"
Tap.
Ainsley tampak kebingungan, mendapati suara langkah kaki kian mendekat. Dia melirik pintu rahasia yang digunakannya tadi, namun segera ia tepis. "Untuk apa masuk ke pintu itu lagi? Kalau aku ke sana, sudah pasti akan tertangkap."
Lantas, Ainsley berusaha mencari tempat persembunyian yang aman. Matanya tidak sengaja tertuju pada sebuah lemari tua di sudut dapur, tampak tinggi dengan bahan dasar kayu---sedikit lapuk. "Apa sebaiknya aku bersembunyi di dalam lemari saja, ya?" pikir Ainsley sedikit ragu. "Tapi bagaimana jika ... bodo amat, aku bersembunyi di atas lemari saja!"
Ainsley bergegas naik ke atas meja seraya memanjat setiap rak lemari secara perlahan tanpa menimbulkan suara. Sadar bahwa suara langkah kaki semakin mendekat, Ainsley pun tidak tanggung-tanggung melompat ke atas lemari. Sialnya ketika melompat, Ainsley tidak sengaja menjatuhkan sebuah piring hingga pecah.
Suara pecahan itu terdengar nyaring. Ainsley terkejut. Dia berusaha merangkak ke tengah-tengah atap lemari. "Dasar ceroboh!" umpat Ainsley dalam hati.
Langkah kaki terdengar semakin cepat. Ainsley yang penasaran, berusaha mengintip dari atas lemari. Sekitar lima makhluk aneh berjalan masuk ke dapur, mengenakan pakaian putih khas juru masak. Kepalanya hampir mirip seperti sosis bakar, hanya saja memakai topi koki.
"Sadarlah Ainsley, sekarang bukan saatnya membayangkan sosis bakar!" Ainsley menggosok kedua matanya sekali lagi untuk memastikan apakah yang dilihatnya tadi itu benar atau bukan. Ainsley mengintip sekali lagi dan ternyata benar, kepala monster juru masak terlihat persis seperti sosis bakar beserta tambahan mata.
"Mereka sedang apa sih? Mencariku?" Ainsley terkekeh dalam hati. "Kalian tidak akan mungkin menemukanku."
Semua pikiran itu seketika hancur setelah salah satu dari mereka berusaha melihat ke atas lemari.
"Makhluk itu tidak mungkin kan mengecek ...." Jantung Ainsley memompa keras. Ternyata para monster sosis sudah mengetahui keberadaanya. Mereka berusaha memanjat lemari tetapi sayangnya tergelincir.
Ainsley panik. Gadis itu harus segera pergi dari sana. Tapi harus ke mana?
Ainsley memojok, sorot matanya tanpa sengaja menemukan ventilasi udara di belakang lemari. Usut punya usut, lemari yang tengah ia pijak ini tidak diletakkan terlalu rapat pada dinding sehingga menyisakan celah. "Ventilasi itu terlihat cukup besar untuk ukuran tubuh seseorang. Aku harus bersembunyi di sana!"
Ainsley tidak punya pilihan lain. Dia harus pergi dari tempat ini apa pun caranya. Saat para makhluk itu berbondong-bondong memanjat lemari bagian depan, Ainsley justru menuruni lemari belakang secara perlahan dengan tangan yang masih setia memegangi atap lemari. Jarak antara lemari dengan dinding cukup dekat meskipun menyisakan cela, sehingga membuat Ainsley sedikit kesempitan. "Untung saja ventilasinya tidak tertutup."
Gadis itu melompat hingga berhasil menggapai landasan ventilasi. Ainsley pun berusaha memasukinya lalu berdiam diri sejenak. Dalam sana dia bisa mendengar bahwa para monster sosis sudah berada di puncak lemari.
Trtrtt.
Karena tidak menemukan apa-apa, kelima monster segera pergi untuk melanjutkan aktivitas memasaknya.
"Sudah? Begitu saja? Kenapa mereka dengan santainya meninggalkan penyusup yang masuk?" Ainsley tidak habis pikir. "Mereka tadi tidak benar-benar melihatku atau bodoh sih? Peduli amat, kekarang aku harus pergi dari sini."
Ainsley menoleh ke dalam saluran ventilasi, cukup gelap dan berlorong panjang. "Sepertinya ventilasi ini berujung keluar kastil, berarti aku harus mengikuti jalurnya."
Ainsley berjalan merangkak menyusurinya. Sudah sekitar lima belas menit lamanya ia berjalan tanpa menemukan tujuan yang jelas. "Sampai kapan aku harus merangkak? Ventilasi ini seperti tidak memiliki ujung."
Ainsley berhenti merangkak setelah mendapati dua jalur di hadapannya. "Ventilasi ini memiliki dua arah. Jalur mana yang harus kupilih? Baiklah tidak ada cara lain, aku harus melakukan itu!"
"Cap cip cup kembang kuncup ... ah yang kanan rupanya." Ainsley tersenyum sumringah, melanjutkan perjalanannya mengikuti jalur kanan.
Cahaya redup di kejauhan membuat Ainsley tampak bersemangat, maka ia pun segera mempercepat langkahnya. Ternyata cahaya itu berasal dari lilin yang berpijar pada sebuah kamar tidur.
Setelah dirasa cukup aman, Ainsley membuka penutup ventilasi kemudian melompat ke atas tempat tidur. Saking nyamannya, Ainsley mempergunakannya untuk berbaring sebentar. "Nyaman sekali, tidur sebentar mungkin tidak apa-apa. Sadarlah Ainsley! Ini kastil dunia lain. Bukan rumahmu! Kamu bisa mati suatu saat!" Ainsley segera membuka mata seraya beranjak bangun. Dia mengecek keseluruhan kamar. "Kamar ini didesain sangat mewah dan berkelas tetapi cukup redup sekaligus menyeramkan."
Ainsley tampak tertarik pada beberapa lukisan yang terpajang di dinding. Gambar satu keluarga bahagia yang terdiri dari ayah, ibu, dua anak laki-laki dan satu anak perempuan. Di setiapnya terdapat berbagai aktivitas yang berbeda-beda.
"Sepertinya anak laki-laki yang berdiri di sebelah kiri itu si sulung dan anak laki-laki yang disebelah kanan itu si tengah," pikir Ainsley. "Dan anak perempuan itu pasti anak bungsu."
Ainsley memandangi lukisan sekali lagi. Lantas dia menyipitkan mata. "Tapi, kenapa wajah-wajah pada lukisan ini dirobek," ucap Ainsley "Kecuali, wajah si anak sulung dan tengah. Kalau dilihat-lihat tampan juga mereka."
Ainsley tanpa sengaja mendapati sebuah buku tua di atas meja. Ainsley pun membukanya secara perlahan. "Sebuah buku diary."
Cukup tertarik, ia pun membacanya. Terdapat nama sang penulis yang tertera di halaman pertama. "Fis? Jadi buku ini milik Fis dan kamar ini juga?!" pekiknya tidak percaya. "Ternyata Fis bukan Sang Pesulap. Dia berusaha mengumpulkan anak-anak Starseed dengan tujuan mengambil energi mereka agar menjadi lebih kuat. Kalau Fis bukan Sang Pesulap, lalu siapa pesulap yang sesungguhnya?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top