XXIV. ✾ Tersangka ✾


Gelap tidak selalu gelap, karena kegelapan pasti memiliki titik terangnya

~¤•¤~

"Ijinkan kami mengintograsi putra anda," ucap salah satu petugas kepolisian yang tidak sengaja menangkap wajah Tuan Robert yang garang. "... ya jika anda mengijinkan," lanjut petugas itu sedikit grogi.

"Silahkan," kata Tuan Blake yang membuat mata para Keluarga Dirgory tertuju tidak percaya kepadanya.

"Suamiku, apa yang---"

"Jane ... jika Orion tidak bersalah, percayalah bahwa ia tidak akan ditangkap," ujar Tuan Blake menenangkan istrinya.

"Ayah, apa maksudnya ini? Kak Orion tidak bersalah! Ayah tidak bisa membiarkan mereka untuk---"

"Camila, ayah tadi sudah bilang, bukan?" jawab Blake pada putri satu-satunya itu.

"Iya, Ayah," cicit Camila. Sementara Pak detektif dan beberapa anak buahnya mulai mendekati Orion.

"Berhenti!" perintah Tuan Robert, membuat semua orang di tempat itu terkejut. "Kalian tidak boleh mendekati cucuku, ini sama saja dengan penghinaan terhadap keluarga Dirgory!"

"Tidak bisa Robert! Jika cucumu tidak bersalah, ijinkan para polisi ini menanyakan beberapa pertanyaan padanya," timpal Tuan Felton.

"Penghinaan tetap---"

"Biarkan saja, Kek," ucap Orion memotong perkataan sang kakek.

"Orion!"

"Tidak kakek, biarkan saja. Toh, aku juga tidak melakukan kesalahan." Orion mengatakannya dengan penuh percaya diri.

Pak detektif tersenyum formal ketika tatapan matanya tidak sengaja bertemu dengan Orion. Orion menunjukan senyuman khasnya lalu menatap Isabel yang berdiri tepat di samping Pak detektif  "Kita lihat saja, kalian akan menyesal menuduh Orion Dirgory!" Orion berucap dalam hati.

"Ehem ...," batuk pak detektif yang disengaja untuk mencairkan suasana. "Baiklah, Tuan Orion. Kami akan memberi beberapa pertanyaan kepadamu."

Pak detektif memberikan isyarat kepada ketiga anak buahnya untuk memberikan pertanyaan dan menulis jawaban.

Orion duduk di atas sofa sementara Pak detektif dan para anak buahnya berdiri.
Camila menjauh dari kedua belah pihak keluarga yang paling disegani di kota Shea menuju belakang pohon. Gadis itu mengeluarkan ponselnya lalu menelepon seseorang.

"Hallo?"

"Jeffrey! Cepat segera menuju ke mansion! Kakak dalam bahaya," ucap Camila.

"Apa?!'" tanya Jeffrey tidak mengerti di dalam telepon.

Camila mematikan ponselnya.

Para polisi itu terlihat berjalan mondar-mandir sehingga mengganggu pandangan Orion untuk berpikir. "Silahkan duduk, Pak."

"Tidak perlu, kami berdiri saja," tolak Pak detektif sedikit tegas.

Orion terkekeh. "Kalian duduk, atau tidak ada pertanyaan sama sekali?"

"Ah iya, baiklah." Detektif itu mengisyaratkan tangannya agar para polisi duduk di tempat yang disediakan. Tuan Blake terlihat tenang dan tidak mempedulikan Orion. Menurutnya, masalah yang dibuat oleh putranya harus anak itu sendiri yang menyelesaikannya.

"Pertanyaan pertama, apakah benar anda bertemu dengan Nona Ainsley Felton di toko buku Tuan Ding pada sore hari?"

Suasana tegang mulai menyelimuti atmosfer kediaman Dirgory. Orion tersenyum. "Iya, benar sekali."

"Apakah anda adalah orang yang mengambil buku milik Nona Ainsley Felton?"

"Tidak mengambil, aku membelinya secara diam-diam."

"Oke, apakah setelah kejadian tersebut anda bertemu dengan Nona Ainsley lagi?"

"Tidak, setelah kejadian berlangsung aku selalu berdiam diri di rumah, membaca buku yang kudapatkan," jawab Orion.

"Apakah anda yakin, tidak sempat melihat Nona Ainsley setelah kejadian berlangsung?"

Orion mencoba mengingat-ingat kejadian sesudah bertengkarnya dengan Ainsley sekali lagi. "Ah, iya," ucap Orion, yang membuat orang-orang di tempat itu seketika menatapnya penuh harap.

"Setelahnya, aku tidak sengaja bertemu dengan Ainsley dan Isabel. Saya sendiri sedang membaca buku di air mancur kota," ingat Orion. "Saat itu saya mencoba bersembunyi dari mereka."

"Oh oke, kapan peristiwa itu terjadi?"

"Saya kurang tahu, tapi sepertinya satu jam kemudian sesudah mengambil buku," jawab Orion terang-terangan.

"Jadi setelahnya, anda tidak pernah bertemu dengan Nona Ainsley lagi?" tanya si juru bicara.

"Tidak." Orion menjawab dengan mantap.

"Bisakah anda menunjukan buku itu pada kami?" sahut Pak detektif.

"Bisa," ucap Orion sambil tersenyum.

Orion memanggil pelayan dan mengisyaratkan tangannya untuk mengambil buku yang dimaksud. Pelayan mengangguk dan mengambil buku novel dengan sampul berwarna hitam kemudian menyerahkannya pada Orion.

"Ini bukunya," kata Orion sambil menyerahkan buku Arsène Lupin pada juru penulisnya. Beberapa petugas kepolisian berebutan memandang buku tersebut. Hingga mereka berhenti setelah melihat tatapan tajam dari Sang Detektif.

Pak detektif mengambil buku itu dari anak buahnya lalu memotretnya dengan menggunakan kameranya.

"Ada apa Pak detektif?" tanya Bibi Clara.

"Maaf Nyonya, sepertinya kami masih belum menemukan jawaban."

"Apa? Terus bagaimana dengan nasib cucuku?" sahut Nyonya Felton.

"Kami akan tetap melanjutkan penyelidikan, tapi ...," ucap polisi bagian juru pertanyaan.

Orion masih tetap setia tersenyum meremehkan sambil mendengarkan ucapan yang keluar dari mulut si pembicara.

"Tapi apa? Langsung saja!! tidak usah bertele-tele," tegas Tuan Felton.

"Tapi yang saya takutkan bahwa Nona Ainsley benar-benar hilang karena legenda kota ini." Orang-orang di tempat itu terlihat tegang sembari menatap tajam pada pak polisi tersebut. Seakan-akan, kalimat ia katakan adalah kutukan.

"Benar, kami sudah sering mendapatkan beberapa kasus anak hilang sebelum Nona Ainsley. Bahkan kasus-kasus ini tidak meninggalkan suatu petunjuk sekalipun," sahut Polisi yang menjadi juru tulis.

"Bagaimana bisa polisi seperti kalian mempercayai legenda tua yang sudah terkubur ratusan tahun yang lalu?" marah Tuan Felton.

"Ah maafkan para anak buahku tuan dan nyonya. Maklum mereka masih belum makan siang," ucap pak detektif sambil sesekali menatap tajam pada ketiga anak buahnya.

Orion yang menyaksikannya tampak terhibur dengan aksi para polisi dan kedua keluarga yang sejak puluhan tahun saling bermusuhan.

"Baiklah kami akan melakukan penyelidikan yang kedua," tegas Pak detektif. "Sementara itu Tuan Orion akan tetap menjadi tersangka utama."

Orion yang sejak tadi tersenyum seketika berubah menjadi terkejut.

"Apa?!"

🎪

Hugo berusaha membuka kedua mata secara perlahan. Sebuah pagar jerujilah yang pertama kali dilihatnya. Anehnya lagi, pagar itu dikelilingi cahaya berwarna biru tua. Hugo beranjak bangun, namun terhenti setelah mendapati kedua tangannya tengah diborgol. 

Hugo tampak kebingungan, berusaha mengecek suasana sekitar. "Tempat apa ini?" gumamnya ketika tidak sengaja melirik cahaya obor yang terus-menerus berpijar di luar penjara.

Dia terdiam sejenak, berusaha mengingat semua kejadian yang menimpanya. "Kelinci setan itu menculikku! Aku harus segera pergi dari tempat ini!"

Hugo menarik kedua tangannya kuat-kuat, berusaha melepaskan kerangkeng yang mengikat. Namun, tetap saja tidak mempan. Mau tidak mau ia harus menarik paksa borgol tersebut, menahan sedikit sakit di bagian kedua tangannya.

Rasa itu ia tepis agar dapat membuatnya berjalan untuk menggapai jeruji besi. "Arghh!" pekik Hugo nyaris terlempar karena menyentuh jeruji sel yang diselimuti oleh cahaya biru.

"Percuma saja." Suara tegas tapi sedikit berserak itu mengagetkan Hugo. "Kau tidak akan bisa terbebas dari tempat ini."

Hugo merangkak menuju ke arah si pembicara---pria berusia sekitar 30 tahun---mengenakan jubah hitam panjang tanpa motif. Sekelilingnya memancarkan aura kuat dan gelap, tubuhnya tegap dengan rambut berwarna perak.

"Lepaskan aku, Iblis!!" umpat Hugo.

"Hah iblis? Hahaha ...." Pria itu tertawa dengan sangat keras, samar-samar suaranya berubah menjadi seperti monster. Hugo menatapnya tajam seakan-akan dapat membunuhnya saat ini juga. "Hugo Lichfield, itu namamu bukan?" 

Alih-alih menjawab, Si Lichfield Muda justru menatap tajam sekaligus waspada kepada sosok di luar jeruji. Pria itu mengisyaratkan pada salah satu prajurit manusia setengah beruang untuk melakukan sesuatu kepada Hugo.

Penjaga beruang mengangguk lalu menekan tombol pada dinding, secara otomatis borgol yang melingkari kedua tangan Hugo semakin menyempit bahkan mengkerut paksa pada kulitnya.

"Arrrghh!"

"Sekarang masih tidak mau berbicara?"

Hugo tertawa sinis, tetap pada pendiriannya. "Arghhh!!" pekik Hugo lagi, ketika makhluk tanpa perasaan seperti mereka menekan tombol di dinding berulang kali.

"Kau sangat mirip dengan ayahmu, Hugo. Ah, aku lupa namanya. Kejadian itu sudah lama sekali," ucapnya. "Aku ingat, Harold 'kan?"

Hugo merapatkan giginya, tampak penuh amarah hingga gatal untuk memukul wajah mereka satu per satu.

"Tutup mulutmu, Iblis!" marah Hugo, yang secara tiba-tiba mengeluarkan cahaya biru terang---listrik---dari kedua tangannya. Lantas kekuatan itu menghancurkan borgol hingga menjadi debu pasir. Aksinya membuat si pria berambut perak terkejut seraya menyeringai kecil.

Hugo berlari, berusaha menggapai jeruji. Lantas tubuhnya kembali terpental ke dinding karena menyentuh cahaya biru tua yang telah mengelilingi sel penjara. Hugo terjatuh tertunduk.

"Oh iya, aku lupa memberitahumu. Jika pagar itu dapat mementalkan tubuh ketika disentuh."Buka jeruji besinya." perintahnya pada belasan prajurit kepala beruang yang menjaga.

Penjara pun terbuka. Sosok pria tinggi itu memasuki penjara, kemudian sedikit menundukan tubuhnya, ia mengakat wajah Hugo dengan tangan. Hugo menatapnya tajam, tetesan darah merembes keluar dari mulutnya.

"Ikutlah denganku. Kita dapat menguasai dan mengalahkan makhluk-makhluk fana bersama," ucapnya pelan.

Hugo terkekeh seraya meludahinya. "Dalam mimpimu, Iblis."

Pria itu tersenyum sebelum mengisyaratkan kepada anak buahnya untuk menyiksa Hugo sekali lagi.

"Arghhh!"

Para penjaga berusaha menekan tombol lain, membuat Hugo benar-benar disetrum beberapa kali oleh alat yang berada tepat diatasnya.

"Arghhh! Hentikan!" pekik Hugo berkali-kali hingga terjatuh ambruk.

"Tutup jeruji besinya!" perintah sosok itu kepada anak buahnya, setelah berjalan keluar dari dalam sana.

Tubuh Hugo terlihat tidak berdaya akibat setruman. Tampak setengah sekarat.

"Aku memberi dua pilihan, Hugo," tawar pria jahat. "Yang pertama, menjadi anak buahku atau menjadi salah satu korban pertunjukan yang akan kuselenggarakan?"

"Sudah kubilang, aku tidak mau bekerja sama dengan iblis sepertimu!"

"Arghhh!!" pekik Hugo kesakitan.

"Pikirkan itu baik-baik!" tegasnya sembari berjalan meninggalkan ruang penjara.

"Siapa kamu sebenarnya?!" pekik Hugo, membuat langkah kaki pria itu terhenti sesaat.

Lantas dia memutar balik kepalanya hingga 180 derajat ke belakang. Sosoknya tersenyum lebar, memperlihatkan gigi runcing layaknya gergaji kepada Hugo.

"Fis."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top