XXII. ✾ Isabel Felton ✾

Hidup itu sama seperti rumus yang mempunyai cara dan jawabannya sendiri

~¤▪¤~

"Apa?! Ainsley Hilang!"

Tuan Felton terkejut hingga secara reflek beranjak bangun dari kursi kebesarannya. Pemimpin Keluarga Felton itu menatap cucunya Isabel yang tengah berdiri gemetaran sambil menahan tangis.

Prang.

Bibi Clara menjatuhkan segelas teh hangat beserta nampannya ke lantai hingga pecah berceceran. Wajah wanita itu terlihat pucat setelah mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Tuan Felton.

"Ibu ..., " cicit Isabel.

Bibi Clara menghampiri Isabel dan berlutut di depannya sambil memegang kedua bahu sang anak lembut. "Katakan pada ibu yang sebenarnya, Nak!"

Isabel tidak langsung menjawab. Air mata menetes keluar dari dalam kedua kelopak matanya setelah menatap kedua manik biru tua milik Bibi Clara, lantas ia menangis tersedu-sedu.

"A-Ainsley h-hilang, Bu." Isabel menangis, berusaha mengusap keras air mata yang mengalir.

Tuan Felton frustasi. Pria tinggi berkumis tipis itu berjalan mondar-mandir---berusaha mencari jalan keluar untuk menemukan cucunya, Ainsley.

"Hilang bagaimana? Bukannya sejak tadi malam kalian di dalam kamar?"

"Iya bu, tapi ...." Tangisan Isabel tambah menjadi-jadi.

"Tapi apa?"

"T-tapi ... tadi pagi ada kertas ini di atas meja," ucap Isabel sambil memberikan kertas tipis pada Clara.

Tuan Felton menoleh ke arah Clara yang berusaha membaca kertas itu. Clara pun terdiam seribu bahasa setelah membacanya.

"Isa, kenapa kamu baru memberitahukan semua ini kepada kakek," tanya Tuan Felton dengan suara lembut tapi sedikit tegas kepada cucunya. "Kakek tahu, kamu ingin membantu saudara sepupumu. Tetapi bukan dengan cara seperti ini."

Isabel tidak menatap wajah Tuan Felton. Dia masih menahan tangis, berusaha mengelap wajahnya dengan tisu yang disediakan di atas meja.

"Ayah, sepertinya Ainsley masih berada di taman kota," sahut Bibi Clara. "Aku akan kesana untuk mencarinya."

"Berhenti Clara! Ini sudah malam. Ainsley tidak mungkin berada di taman kota sekarang," Tegas Tuan Felton.

"Besok ayah akan melaporkannya kepada polisi."

Cekrek.

Pintu ruang tamu terbuka. Nyonya Felton baru saja pulang dari supermarket sambil membawa barang belanjaannya.

"Apa yang terjadi?" Nyonya Felton tampak terkejut setelah mendapati pecahan gelas dan wajah cucunya Isabel yang sembab.

🎪

Tidak terasa cahaya mentari pagi mulai menerobos masuk ke dalam rumah Keluarga Felton, melalui jendela yang sedikit mewah tetapi cukup sederhana. Pagi yang seharusnya menjadi awal bahagia dari suatu aktivitas, berubah menjadi kelam karena kejadian yang menimpa mereka tadi malam.

"Tenang, Ibu," ujar Bibi Clara sambil memeluk Nyonya Felton---berusaha menenangkan.

Nyonya Felton menangis setelah mendengar bahwa cucunya Ainsley menghilang. Wanita tua itu terjaga semalaman bersama Tuan Felton dan Bibi Clara di ruang tamu. Demi mencari keberadaan Ainsley. Bahkan Tuan Felton harus menelepon polisi di jam 3 pagi.

Polisi telah mencari keberadaan Ainsley hingga menjelajah seluruh Shea bahkan di taman kota sekalipun. Tetapi, hasilnya tetap nihil.  Ainsley tetap dinyatakan hilang.

Isabel hanya terdiam. Gadis itu duduk disebelah Tuan Felton sambil menatap Nyonya Felton yang tengah menangis dengan tatapan kosong.

"Sudah kubilang, 'kan? Untuk tidak menghukum mereka terlalu berat!" Nyonya Felton berucap sedikit histeris pada suaminya.

Tuan Felton hanya terdiam dengan memijat pelipis, berusaha memikirkan sesuatu.

"Tenang Ibu ... Ainsley pasti akan kembali." Bibi Clara berusaha menenangkan Nyonya Felton.

"Ainsley cucuku ...." Nyonya Felton menangis tersedu-sedu sambil memanggil nama Ainsley. "Apa yang harus kita katakan sekarang pada Patra, hah?" 

Tuan Felton membuka kedua matanya, terbangun dari semua pikiran setelah mendengar kalimat yang diucapkan oleh istrinya. Bibi Clara sama terkejutnya dengan Tuan Felton. Apa mereka harus memberitahukan semuanya kepada ayah Ainsley?

Suasana ruang tamu tiba-tiba berubah menjadi hening.

"Kita harus memberitahunya," tegas Tuan Felton. Jawaban itu sontak membuat Nyonya Felton dan Bibi Clara terkejut bukan kepalang.

"Apa ayah yakin?" Bibi Clara berusaha memastikan ulang.

"Dia adalah ayah Ainsley. Patra berhak mengetahui keadaan anaknya."

Tuan Felton mengambil ponselnya dan berusaha mencari nomor telepon Patra. Tetapi aksinya itu ia hentikan setelah mendengar ketukan pintu dari ruang tamu. "Biar Clara yang buka," ucap Bibi Clara menawarkan diri.

"Selamat pagi Bu, kami dari kepolisian. Apakah Tuan Felton berada di rumah?" ucap pak detektif sambil tersenyum ramah.

"Oh ya silakan masuk. Beliau ada di dalam."

Pak detektif masuk terlebih dahulu ke dalam ruang tamu dan diikuti oleh tiga polisi di belakangnya.

Tuan Felton menyambut para tamunya.
"Mari, silahkan duduk."

"Apakah ada kabar terbaru tentang cucu saya?" tanya Tuan Felton tidak sabar.

"Maaf, Mister. kami sejak tadi malam belum menemukan keberadaan cucu anda di taman kota dan wilayah sekelilingnya," jawab Pak detektif. Wajah Tuan Felton berubah kembali menjadi pucat. Pria tua itu duduk dengan tatapan kosong. "Kami datang kesini, karena ingin menanyakakan sesuatu."

"Sesuatu? Apa itu?"

"Apakah ada salah satu dari keluarga anda yang tahu lebih detail tentang hilangnya Nona Ainsley?" tanya detektif itu dengan tenang.

"Saya." Isabel membuka suara, menunjuk dirinya sendiri. Membuat semua mata tertuju padanya.

"Nak, bisakah kami menyakan beberapa pertanyaan kepadamu?" tanya polisi lainnya.

"Tentu."

"Sebelumnya, apa yang anda lakukan terakhir kali sebelum saudara Ainsley menghilang?"

"Tidur," jawab Isabel singkat.

"Apakah aaudara Ainsley sekamar dengan anda?"

"Iya."

"Kenapa anda bisa tahu bahwa saudara Ainsley menghilang?"

"Saat itu saya membereskan buku-buku diatas meja. Namun, saya tidak sengaja menemukan kertas tipis ini ...." Isabel memberikan kertas tipis itu kepada para polisi.

Pak detektif mengangguk-ngangguk pelan setelah membacanya. "Apakah anda langsung memberitahukan kertas ini kepada anggota keluarga yang lain?" 

Isabel menatap Tuan Felton sekilas sebelum menjawab. "Tidak, kupikir Ainsley hanya bermain-main dan akan pulang saat jam makan siang." 

Polisi lainnya sibuk mencatat ucapan Isabel. "Oke, pertanyaan terakhir. Apakah anda dan saudara Ainsley pernah membuat kesalahan atau meninggalkan barang ditempat lain sebelumnya?"

"Meninggalkan barang sih tidak. Tapi, dua hari yang lalu kami berdua pulang agak sore dan dihukum oleh Kakek."

Para polisi itu mulai bingung dan saling menatap satu sama lain. "Kalau boleh tahu, kenapa kalian bisa pulang sore?" 

"Ah itu, kami berdua habis pergi untuk membeli buku ...." Isabel menghentikan kalimatnya secara tiba-tiba, sehingga membuat para polisi kebingungan.

"Nona? Ada apa?" tanya Pak detektif.

"Iya! Aku tahu. Buku itu ...," pekik Isabel, membuat semua orang di ruangan itu terkejut bercampur bingung. "Buku Arsène Lupin! Pasti Ainsley mencarinya!"

"Isa, apa yang---"

"Iya Kakek. Ainsley pasti mencari buku itu!" Isabel menegaskan.

"Isa---"

"Kakek inilah alasan kami pulang sore. Saat itu, Ainsley bertengkar dengan Orion di toko buku Kakek Ding Dong hingga menjatuhkan semua raknya. Ainsley dan Orion bertanggung jawab untuk membereskan semua kekacauan. Mereka bertengkar karena buku tersebut, tetapi sayangnya Orion berhasil mendapatkannya sehingga membuat Ainsley marah."

"Oke, Orion siapa?" tanya detektif itu lagi.

"Orion Dirgory," jawab Isabel yakin. Semua orang di tempat itu menjadi terkejut dan terdiam seribu bahasa setelah mendengar nama belakang yang paling dihindari.

Tetapi, tidak untuk Tuan Felton.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top