XVII. ✾ Papan Catur ✾

UPDATE TELAT? MAAFKAN AUTHOR YA :')

SEBAGAI GANTINYA AUTHOR PANJANGIN CERITANYA, OKE?


.

.
.

Manusia hanya akan mengingat kesalahan seseorang dari pada kebaikannya

~¤•¤~

Entah sejan kapan salju sedikit demi sedikit membasahi kota Shea di langit sore yang kian menggelap.

Beberapa orang berlalu-lalang di emperan pertokoan dengan aktifitas mereka masing-masing. Sedangkan yang lainnya, berhenti sejenak memasuki kafe dan restoran.

Langit yang tadinya berwarna oranye, berubah sekejap menjadi biru gelap dengan awan putih layaknya kabut tengah menyelimuti.

Semua itu tak dapat menghentikan langkah kaki seorang remaja laki-laki tampan tetapi sedikit angkuh, Orion menghembuskan napasnya kuat-kuat setelah berhasil melarikan diri dari toko buku Tuan Ding Dong.


Remaja laki-laki berusia lima belas tahun dengan mata abu-abu beserta mantel coklat, berlari cepat menyusuri emperan pertokoan. Orion tersenyum. Lebih tepatnya senyuman licik mulai merekah di wajahnya.


Setelah berlari cukup jauh, Orion merogoh saku celananya untuk mengeluarkan buku seri terbaru Arsène Lupin yang sudah ia tunggu sejak dulu. "Dosa tidak ya?" Gumam Orion. "Ah, bodo amat. Toh, aku sudah meminta izin dan membeli buku ini kepada Kakek Ding."


Putra sulung keluarga Dirgory itu mulai membaca buku kesukaannya di tepi air mancur kota yang telah membeku menjadi es.

"Hahaha" tawa Orion, keasikkan membaca. Membuat orang-orang yang lewat dibuat terkejut olehnya. Sudah lima belas menit lamanya Orion duduk di sana. Bahkan ia tidak lagi peduli ketika ribuan salju mulai turun satu per satu memenuhi setiap helai rambut coklat tuanya.


"Ainsley tunggu!" Suara Isabel yang muncul secara tiba-tiba, mengejutkan Orion.

"Suara Isabel?" Orion secara spontan menghentikan aktivitasnya. "Ah, perasaanku saja," tepisnya lalu melanjutkan aktivitasnya kembali.

"Oh astaga! Ainsley! Iklaskan saja. Aku akan meminjamkan buku yang lain, oke?"

Ketika suara Isabel mulai mendekat, Orion tanpa berpikir panjang segera berlari bersembunyi di balik semak-semak taman kota.

Isabel berlari mengejar Ainsley yang tidak menghiraukannya sama sekali. Kedua gadis itu berjalan setengah berlari melewati beberapa toko. Ainsley pada akhirnya berhenti tepat di depan air mancur kota.


"Fyuhh ... untung saja aku telah bersembunyi di tempat yang aman," gumam Orion lega dari dalam semak-semak.

"Orion, lihat saja nanti ketika batang hidungmu muncul di hadapanku! Jadi, dari tadi dia pulang duluan karena menyembunyikan buku berharga itu dariku?"

"Heh ... gadis kampung itu berani mengancamku? Toh, memang aku yang mendapatkan buku ini duluan," bela Orion dari dalam hati.

Ainsley yang kesal tiba-tiba berhenti sejenak di tempat itu hingga membuat Isabel berhasil menyusulnya.

"Astaga, kenapa gadis kampung itu malah berdiri di sana sih?" gumam Orion kesal. "Dan sejak kapan tempat ini berubah menjadi sangat dingin?" pikir Orion sambil memeluk dirinya sendiri. Lantas tak berlangsung lama, mereka pun pergi. Setelah situasi dirasa cukup aman, Orion segera melompat keluar dari dalam semak-semak.


"Haha ... mungkin aku memang berbakat menjadi pencuri berjubah hitam," ujar Orion membanggakan dirinya. "Sebaiknya aku segera pulang."


Anak itu segera merogoh saku celana, mengambil ponsel canggihnya untuk menelepon seseorang. "Halo, pak Tony?"

"Halo tuan muda? ada yang bisa saya bantu?"

"Pak, tolong jemput saya di depan air mancur kota," kata Orion menjelaskan.

"Baik tuan muda ...."

"Oh ... Pak saya berada di kursi taman---"

"Tuan muda, silahkan ikuti saya." Belum sempat Orion melanjutkan kalimatnya, pria paruh baya berjas rapi sudah datang membawa payung dan perlengkapan lainnya.

🎪

"Tuan muda, bagaimana harimu di hari ini?" Pak Tony mencoba berbasa-basi seraya menyetir.

"Cukup baik." Orion menjawab sembari menunjukkan senyuman tipis, nyaris tidak terlihat. Setelah sepuluh menit lamanya, pada akhirnya mobil mereka tiba di kawasan Mansion Dirgory yang megah.

Pintu pagar secara otomatis dibuka lebar oleh dua penjaga berseragam. Mobil mewah itu memasukinya, melewati taman yang luas dan berakhir berhenti sempurna di depan mansion. Belum sempat, pelayan pria berjas membuka pintu mobil Orion, putra sulung keluarga Dirgory pun sudah membuka pintunya terlebih dahulu---bergegas masuk ke dalam mansion tanpa melihat suasana sekitar.

"Selamat sore, Tuan Muda," sapa beberapa pelayan wanita serempak.

Orion tidak menjawab, Si Dirgory Kecil hanya menunjukkan senyumannya. "Ada siapa saja di rumah?"

"Hanya teman-teman anda dan Nona Camila, Tuan," kata salah satu pelayan wanita di tempat itu.

"Dimana ayah dan ibu?" Orion bertanya lagi.

"Tuan dan Nyonya Besar masih menghadiri acara perusahaan," jawab pelayan dengan kepala tertunduk.

Orion terkekeh seraya memutar bola matanya malas, lantas ia pun beralih masuk ke dalam mansion. "Sudah kuduga."

Hal pertama yang Orion lihat untuk pertama kalinya adalah papan catur yang baru saja ia beli kemarin telah berantakan di atas meja kaca.

"Oh ... astaga Jeffrey sepertinya babak ini aku yang menang," sahut Boby sambil mengambil pion milik Jeffrey.

"Miya, lihat betapa lucunya, Coco!" pekik Camila, memilih berbincang dengan sahabatnya di sofa yang berbeda dari Boby dan Jeffrey.

"Wahh!! Coco ... sini peluk," panggil Miya pada anak anjing betina berbulu putih bernama Coco seraya memasangkan pita merah pada ekornya.

"Apa yang kalian lakukan di rumahku?" Orion membuka suara, tampak kesal dengan kekacauan yang terjadi di rumahnya. Tentu saja kedatangan Si Sulung Dirgory sontak membuat mereka semua terkejut.

"Wah, Bos ... apa kabar." Boby menyapa sembari berusaha membereskan pion-pion yang berserakkan.

"Bos, aku tidak menyentuh papan caturmu!" Jeffrey spontan melempar papan catur itu hingga kembali berantakan.

"Oh ayolah Kak, ini rumahku juga." Camila menyahut.

"Woof ... woof ...." Coco melepaskan diri dari gendongan Camila dan memilih berlari melingkari Orion dengan antusias.

Orion yang melihat tingkah Coco tersenyum lalu menggendongnya seraya tertawa terbahak-bahak. Sontak, membuat mereka kebingungan.

"Kenapa kalian diam saja?" tanya Orion "Ayo berpesta---"

"Tidak ada pesta Orion" Tiba-tiba suara berat seorang pria dewasa membuat Orion terkejut bukan main. Bukan cuma Orion tetapi semua orang di tempat itu juga sama terkejutnya.

"Ayah?" cicit Orion.

"Astaga Blake sayang , jangan begitu dengan anak-anak. Mereka kan tidak melakukan hal yang aneh-aneh," ujar seorang wanita cantik dengan gaun biru tua yang anggun. Rambut hitam pekatnya disanggul rapi, sorot mata sang wanita tampak sayu dengan warna hijau emerald.

"Jane, kita harus mengajarkan anak-anak sejak dini untuk tidak berpesta pora. Apa kata orang-orang di luar sana jika keluarga bangsawan seperti kita melakukan hal itu?" Blake menimpali.

Nyonya Jane yang mendengar perkataan suaminya hanya bisa tersenyum pasrah.

"Permisi Tuan dan Nyonya besar," ucap seorang pria tua berjas rapi.

"Ada apa Fernando?" Tanya Tuan Blake pada kepala pelayannya.

"Anda kedatangan tamu, Tuan."

"Siapa? Perasaan tidak ada jadwal tamu yang datang." Blake bersedikap, mencoba mengingat-ingat.

Kepala pelayan berdehem."Ini tamunya Tuan muda Orion."

"Apa? Siapa?" Orion berucap terkejut.

"Putra tunggal Keluarga Lichfield?" jawab kepala pelayan seraya menunduk hormat.

"Apa?" kaget Nyonya Jane. "Apa yang kalian tunggu? Cepat persilahkan dia untuk masuk!"

Senyuman Nyonya Jane mulai merekah kembali setelah mendengar kabar bahwa keponakannya datang mengunjungi putranya, Orion.

Pintu ruang tamu yang ukurannya tiga meter terbuka lebar, memperlihatkan seorang anak laki-laki berambut hitam legam, hidung mancung, rahang yang tegas dengan mata berwarna emeraldnya yang tajam tetapi di sisi lain terlihat lembut, bergegas masuk menuju Tuan dan Nyonya Keluarga Dirgory berada.

Anak laki-laki itu memakai pakaian seperti anak bangsawan lainnya. Namun ada satu hal yang paling mencolok, yaitu ia selalu memakai jubah hitam. Jubahnya tidak telalu panjang, hanya sebatas menutupi daerah tangan dan badan. "Selamat malam Tuan Blake dan Nyonya Jane Dirgory," sapanya sopan.

"Selamat malam juga, Hugo. Kenapa memanggil kami seperti itu, Kau harus memanggil kami Paman dan Bibi. Oke?" balas sapa Tuan Blake dengan tersenyum ramah. Sepertinya, Tuan besar Keluarga Dirgory menaruh perhatian khusus terhadapanya.

"Hmm ... kurasa panggilan itu kurang cocok jika digunakan pada bangsawan tingkat tinggi seperti anda," puji Hugo sembari tersenyum.

"Hahaha ... kau terlalu melebihkan, Nak," tawa Tuan Blake.

"Gimana kabarmu?" Nyonya Jane terlihat senang.

"Baik, Bi. Lalu, bagaimana keadaan Bibi? Apakah kaki bibi sudah sembuh?"

"Tentu saja, berkat anjuranmu untuk mengonsumsi obat dari alam, kaki Bibi kembali sembuh dengan sangat cepat." Nyonya Jane menepuk pundak Hugo.

Orion menunjukkan senyum khasnya kepada Hugo. Ia menyambut saudara sepupunya dengan berjabat tangan. "Heh lihat! Sudah berapa lama kau tidak mengunjungi rumah ini?"

"Terkahir kali ya?" Hugo mengingat sambil memandangi langit-langit. "Ketika pesta atas kemenangan lomba pencak silat. Benar bukan?"

"Haha ... benar sekali. Tetapi, kau menghilang di saat pesta berlangsung."

"Ah iya benar, Bibi tidak melihatmu di saat para penjahat itu memojokkan kami," sahut Nyonya Jane.

"Oh, waktu itu aku sibuk mencari jam tanganku yang terjatuh." Hugo berucap tenang.

"Kenapa bisa hilang? Apakah sudah ketemu?" Nyonya Jane tampak khawatir.

"Untungnya sudah, Bi. Oh iya, Kakek Robert mana?" Hugo tersenyum seraya memeriksa situasi sekitar.

"Ah, beliau ada urusan bisnis," jawab Nyonya Jane. "Bibi tinggal dulu ya. Orion, Camila! Temani saudara sepupumu!" ucapnya pada kedua anaknya sambil mengikuti Tuan Blake ke lantai dua.

"Nah Bob, sekarang aku yang menang," ucap Jeffrey antusias setelah ribuan kali mencoba pada akhirnya menang dalam bermain catur.

"Cih, satu kali menang saja sombong," kata Boby.

"Hey Hugo, ayo lawan aku bermain catur. Sudah lama kita tidak bermain ini?" Boby menantangngnya lembut.

Hugo bersedikap dada. Dalam sekejap, senyuman misterius terpampang jelas di wajahnya. "Oke, tapi aku sarankan jangan menyesal."

"Tentu saja, aku tidak mungkin  melakukan kesalahan semacam itu," ucap Boby percaya diri.

🎪

"Arghhh!" pekik Boby kesal.

Sudah lima belas babak dimenangi oleh Hugo. Bahkan Boby tidak diberi kesempatan menang sama sekali.

"Skak mat." Hugo berbisik pelan sambil menggerakkan bidak Ratu Hitam dalam papan caturnya pada Raja Putih.

"Woww!" ucap Camila dan Miya yang sedari tadi memperhatikan cara Hugo bermain.

"Cukup! Aku menyerah," kata Boby. Bocah bertubuh sedikit gemuk itu bergegas menyingkir dari kawasan papan catur menuju Sofa.

"Siapa yang mau menantangku lagi?" tanya Hugo.

"Aku." Orion menjawab cepat.

Hugo tersenyum dan mengisyaratkan pada Orion untuk duduk di depan papan catur untuk melawannya.

"Oke." Orion berujar tenang.

Orion menggerakkan pionnya yang paling depan, lalu diikuti dengan Hugo. Pion milik Hugo dikalahan oleh kuda putih milik Orion. Entah karena kesialan apa, Ratu putih milik Tuan Muda Dirgory jauh lebih unggul dari Ratu Hitam kebanggaan Hugo.


Hugo terkekeh santai. "Giliranmu."

Orion meletakkan pionnya di depan ratu hitam agar melindungi ratu putih miliknya.

"Tidak seharusnya kau mengorbankan prajuritmu untuk ratunya sendiri," ucap Hugo. Laki-laki bermata Emerald itu tanpa basa basi menghindari pion yang lemah.

"Terkadang, di saat kehidupan masih berjalan, kita pasti akan mengorbankan sesuatu," balas Orion tidak kalah cepat. Si Dirgory Muda berhasil menyingkirkan ratu milik Hugo tanpa diduga. Pertempuran kedua saudara sepupu itu disaksikan oleh teman-teman mereka, aura gelap dan menantang terasa menusuk.

"Wow kak, sejak kapan kau bisa bermain catur?" tanya Camila.

"Berisik," timpal Orion.

"Kakak kenapa sih? Padahal aku cuma tanya," gerutu Camila.

"Skak mat," kata Orion. "Aku menang."

Hugo tersenyum ketika ratu putih milik Orion berhasil mengalahkan raja hitamnya.

Orion beranjak dari lantai menuju sofa tempat di mana Boby duduk. Lantas, ia pun mengeluarkan buku Arsène Lupinnya.


"Hey, buku apa itu?" tanya Miya penasaran.

"Arsène Lupin," jawab Orion terang-terangan.

"Ah, aku tahu buku itu. Buku seri Arsène Lupin terbaru, bukan?" tebak Hugo seraya terkekeh, beralih duduk di sofa yang tersedia.

Orion tersenyum. "Tepat sekali. Aku pun harus bersusah payah untuk mendapatkan buku ini."

"Susah payah kenapa?" sahut Jeffrey.

"Yah ... ini semua gara-gara gadis kampung itu, ternyata dia juga ingin mengambil buku di toko," jawab Orion sarkas.

"Hahaha ... aku ingat gadis kampung yang kau jahili di pesta kemarin, bukan?" tanya Boby.

Hugo tampak tidak nyaman, lantas ia pun mulai menyingkir dari pembicaraan. Jelas dia anti dengan namanya gosip atau membicarakan seseorang dari belakang.

"Hey dia itu juga dari keluarga berada, kenapa kalian menyebutnya gadis kampung?" bela Jeffrey.

Boby memutar bola mata jengah. "Diam, Jeff."

"Siapa nama gadis itu sebenarnya sih?" tanya Jeffrey.

"Namanya Ainsley Felton," kata Orion yang masih terpaku pada bukunya.

"By the way, dia cantik," ujar Jeffrey sembari berkacak pinggang.

"Iya juga sih," sahut Boby mencoba mengingat-ingat.

"Cantik dari kaos kakimu, mungkin kalian berdua harus memakai kacamata," usul Orion.

"Aku pulang dulu," kata Hugo seraya beranjak berdiri dari sofa.


"Loh! Kok tiba-tiba sih?" tanya Miya tampak tidak rela.

"Ini sudah jam sembilan malam, apakah orang tua kalian tidak khawatir?" Hugo menjawab dengan tenang.

"Loh Hugo mau ke mana?" tanya Tuan Blake yang baru saja turun dari lantai dua.

"Paman Blake, saya pamit pulang dulu," pamit Hugo sembari membukukkan sedikit tubuhnya, memberi salam kepada sosok yang lebih tua.

Blake mengangguk. "Tetapi kenapa tiba-tiba?"

"Iya, soalnya saya harus mengurus beberapa berkas perusahaan di rumah."

"Oh iya paman lupa, kalau sekarang perusahaan milik orang tuamu diturunkan ke dirimu sebagian besar," kata Tuan Blake sedikit pikun.

"Paman, sampaikan salamku kepada bibi ya," ucap Hugo

"Oke ... oke ... hati-hati ya, Nak."

"Aku juga mau pulang ah, soalnya sudah malam." Miya tiba-tiba menyahut sambil beranjak dari tempat duduknya.

"Loh! Kok kamu jadi ikut pulang sih?" tanya Camila sambil mengikuti Miya dari belakang.

Orion memandangi punggung tegap Hugo yang kian menjauh, melewati pintu ruang tamu lalu sepenuhnya pergi. Orion pun memutar otaknya kembali. "Ada yang aneh."


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top