XVI. ✾ Tertangkap basah ✾
Hidup tidak selamanya seperti roda berputar
~¤•¤~
Suara kicauan burung Pipit di sore hari merambat lembut, mengiringi langit Kota Shea yang kian menggelap. Lampu jalan menyala terang bersamaan dengan rumah-rumah penduduk, mengisyaratkan bahwa malam akan segera tiba.
Angin mendesir lembut menerpa wajah Ainsley. Gadis itu memandangi indahnya cakrawala dengan sayu di emperan toko Tuan Ding Dong. Ia pun menghela napas, menikmati sejenak hawa dingin yang menusuk kulitnya.
"Hey, gadis kampung. Sampahnya itu dibuang bukan hanya dipegang saja!" Orion berucap lantang setelah mendapati Ainsley terdiam menatap langit seraya membawa tumpukan kertas bekas tanpa membuangnya.
Ainsley yang tadinya tersenyum berubah menjadi cemberut setelah menoleh---menatap Orion garang. "Diamlah, kau cerewet sekali."
"Pekerjaanku sudah selesai, tinggal punyamu yang belum. Lihat tuh di dalam!" kata Orion sambil menunjuk sedikit buku---sekitar lima buah---masih berserakan di dalam toko.
Ainsley dengan kasar membuang tumpukan kertas-kertas itu ke sampah. Lalu melangkah cepat, mendekati Orion dengan tatapan kesal. "Cih.. kau mengatakan sesuatu yang sangat tidak tepat, Anak Manja! Seharusnya aku yang mengatakannya. Bukankah dari tadi aku sudah bekerja keras? Sementara dirimu---"
"Aku membetulkan rak, kau lupa?" potong Orion.
"Iya, cuma rak!"
Orion terkekeh sinis sembari berkacak pinggang, memajukan wajahnya ke si gadis. "Aku juga membersihkan sarang laba-laba di atap."
"Ya itu ...." Ainsley tampak ragu-ragu, mengalihkan pandangannya dari si bocah tinggi Orion.
"Aku juga membersihkan---"
Ainsley memelototi Orion. "Cukup! Ya-ya ... aku tahu kau membersihkan semuanya, tapi---"
"Astaga apa yang kalian lakukan disana? Cepat bersihkan buku-buku ini!" Isabel memanggil dari dalam toko.
"Dasar remahan micin." Ainsley mengumpat sebelum bergegas meninggalkan Orion---memasuki toko---membereskan beberapa buku yang berserakkan. Toh, tinggal lima buku. Setelah lima belas menit berlalu, toko buku Tuan Ding Dong kembali bersih mengkilap. Isabel yang sedari tadi juga ikut membantu Ainsley, berakhir duduk kelelahan di atas sofa. "Selesai!"
"Wah! Terima kasih ya nak sudah membersihkan semua rak di toko saya," ucap Tuan Ding Dong senang. "Padahal saya hanya menghukum kalian berdua untuk membereskan rak yang jatuh hehe."
"Tidak apa-apa Kakek Ding, saya juga ingin meminta maaf atas perlakuan saya hingga membuat toko anda berantakan." Ainsley menjawab seraya tersenyum bahagia.
Tuan Ding Dong tertawa santai. "Tidak apa-apa, Nak. Baiklah, Ainsley dan Isabel pulang saja, sudah mulai gelap."
"Baik, Kek." Isabel beranjak berdiri dari sofa, lantas ia pun celingak-celinguk mencari seseorang. "Loh, Orion mana?"
"Iya ya, anak itu ke mana?" Ainsley menimpali malas.
"Oh ... putra Keluarga Dirgory sudah pulang, sekitar sepuluh menit yang lalu."
Ainsley mengangkat alis kirinya, penasaran. "Hah? Kok aku tidak lihat ya?"
"Haha ... anak itu berpamitan kepada saya dengan berbisik." Tuan Ding Dong menjawab seraya membereskan beberapa buku di kasir.
Ainsley menggelengkan kepalanya, sungguh mencurigakan. Perasaan Ainsley berubah menjadi tidak enak.
"Sebenarnya Orion pulang secara sembunyi-sembunyi seperti itu karena apa sih?" Isabel menyahut tidak mengerti.
"Mana aku tahu, oh iya kakek Ding ... saya mau membeli buku Arsène Lupin yang tadi. Boleh?" Ainsley tersenyum antusias.
"Hehehe ... sudah habis nak."
"Apa? Kok bisa?"
Tuan Ding Dong berusaha mengingat-ingat. "Tadi Orion sudah membelinya."
🎪
"Oh ... astaga! Ainsley! Iklaskan saja buku itu. Aku akan meminjamkan buku yang lain, oke?" Isabel berusaha membujuk sambil berjalan mengejar sepupunya.
Kedua Felton bersepupu berjalan seraya berlari-lari kecil melewati beberapa toko di pinggir jalan, menghiraukan langit yang telah menggelap.
"Orion, lihat saja nanti ketika batang hidungmu muncul di hadapanku! Jadi, dari tadi dia pulang duluan karena menyembunyikan buku berharga itu dariku?" Ainsley berucap kesal seraya berhenti melangkah, hingga membuat Isabel berhasil menyusulnya dengan napas terengah-engah. "Katakan padaku Isabel, apakah di kota ini masih ada toko buku yang lain? Ayo kita kesana?"
"Ainsley ini sudah malam! Relakan saja bukunya, paham?!" bentak Isabel yang sukses membuat Ainsley terkejut setengah mati.
"T-tapi ...."
"Tidak ada tapi-tapi! Ayo pulang! Kakek pasti marah jika kita pulang terlalu sore." Selama perjalanan pulang Isabel hanya berdumel sambil menarik Ainsley. Dia sangat tertekan sekarang. Setibanya mereka di kediaman Keluarga Felton. Mereka berdua terkejut karena pintu ruang tamu tidak terkunci.
Isabel mengecek suasana sekitar, sebelum memasuki rumah. "Sebentar."
"Ada apa?" tanya Ainsley.
"Sepertinya aman, kakek tidak ada." Isabel berjalan mengendap-ngendap memasuki ruang tamu.
"Isabel, apa yang kau lakukan?" bisik Ainsley.
"Ssttt ... diamlah dan ikuti aku."
Mereka berdua berjalan mengendap-ngendap layaknya seorang mata-mata.
Brakk.
Ainsley dan Isabel terkejut. Pintu ruang tamu tertutup sendiri karena angin.
"Fyuhh ... hanya angin," lega Isabel.
"Dari mana saja kalian?" Suara berat dan serak terdengar keras hingga membuat kedua Felton bersepupu terkejut.
Isabel membelalakan mata. "Kakek?!"
"Kenapa baru pulang? Sudah jam berapa sekarang?" tanya Tuan Felton yang sedari tadi duduk di kursi kebesarannya.
Ainsley melirik jam kuno di sebelah kiri sang kakek. "Setengah tujuh," jawabnya.
"Kalian pergi kemana dari tadi, hah?" Tuan Felton mengintograsi.
"Kami hanya pergi ke toko buku Kakek Ding Dong," Isabel menjawab dengan tenang.
"Isabel! Sejak kapan kakek mengajarimu berbohong!" bentak Tuan Felton yang sukses membuat Isabel terkejut. "Kalian berdua pergi ke museum baru, bukan?"
Bagaikan terkena hantaman petir dahsyat, Ainsley dan Isabel terkejut bukan kepalang, mendapati kemarahan sang kakek. Bagaimana bisa dia tahu bahwa mereka mengunjungi museum Ouija?
"Cucu perempuan Keluarga Dirgory yang memberitahukannya kepadaku." Tuan Felton menjelaskan, seakan-akan tahu apa yang tengah Ainsley pikirkan.
"Camila? Demi kaos kaki ayah, kakak dan adik sama saja," gumam Ainsley. "Tapi, kami memang benar-benar pergi ke toko Tuan Ding Dong."
"Ainsley! Cukup! Kakek tidak butuh alasan apapun!" benyak Tuan Felton sekali lagi hingga membuat kedua cucunya menundukkan kepala.
"Sekarang kakek menghukum kalian! Mulai besok, tidak ada yang boleh keluar rumah, paham?"
🎪
Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 21.30. Isabel yang sehabis menangis, sudah terlelap di tempat tidurnya. Sedangkan Ainsley, ia lebih memilih duduk di kursi belajar Isabel untuk membuka jurnal. Semenjak Sang Kakek murka, mereka tidak menyentuh sedikitpun makan malam yang disediakan Nyonya Felton. Felton bersepupu lebih memilih berdiam diri di kamar.
Ainsley pun kembali membolak-balikan halaman jurnal satu per satu. Ia memikirkan ucapan para lukisan wali kota. "Sebenarnya, apakah semua ini ada hubungannya dengan pesulap yang diceritakan di dalam jurnal? Dan siapa sebenarnya Davendra van Lichfield? Mengapa aku harus menemukan keturunannya yang sekarang?"
Semua pikiran itu berputar hebat di atas benaknya Gadis itu seperti tokoh detektif terkenal yang harus memecahkan sebuah kasus seperti di buku-buku ceritanya.
"Ah iya kertas teka-teki." Ainsley merogoh sebuah kertas tipis dari balik saku roknya. Lantas ia pun membacanya berulang kali. Jika bukan rumah Keluarga Dirgory, lalu di mana?
Si Felton Kecil berusaha mencari celah untuk permasalahan ini.
"
Tanah berwarna hijau?" gumam Ainsley sembari menatap langit-langit kamar. Aha! Aku tahu! Tanah berwarna hijau adalah rumput. Taman kota! Di sana juga terdapat berbagai pohon. Ya pasti di sana!"
"Nah ... sekarang aku baru bisa tidur nyenyak!" ucapnya berbicara sendiri seraya melompat ke atas tempat tidur.
Hening.
Ainsley membalikkan tubuhnya berkali-kali---tidak bisa tidur. "Ngomong-ngomong aku jadi teringat Kakek. Sebenarnya kalau dipikir-pikir lagi, kita memang salah sih."
Ainsley menghela napas panjang. "Apa aku harus turun ke ruang tamu untuk meminta maaf kepada kakek ya? Masih terdengar suara televisi di ruang bawah, sepertinya kakek belum tidur."
Ainsley menyibakkan selimutnya lalu bergegas bangun dari ranjangnya, membuka kenop pintu dengan pelan hingga menimbulkan suara deritan ringan. Ainsley keluar dari dalam kamar, menyusuri koridor gelap yang sengaja dimatikan lampunya agar menghemat listrik.
Ainsley menuruni tangga, menuju ruang tamu dengan lampu yang masih menyala. Suara televisi terdengar sangat jelas. Ainsley berjalan pelan menuju ruang tamu, mendengar beberapa orang tengah berdiskusi.
"Apa yang harus kita lakukan?" Nyonya Felton berkata.
Ainsley bersembunyi di balik tembok ketika Nyonya Felton mulai menuju kearahnya.
"Mereka sedang apa sih?" pikir Ainsley.
"Ayah, orang itu sudah meneleponku kemarin. Apakah kita harus menyerahkan putrinya?" Bibi Clara terdengar lirih.
Ainsley yang mendengar semua itu, lantas semakin dibuat bingung. Dia pun memberanikan diri untuk mengintip di balik sela-sela dinding. Terlihat Tuan Felton duduk di kursi kebesarannya sembari memijit pelipis. Nyonya Felton berada di sofa lain dengan raut wajah cemas, sedangkan Bibi Clara berjalan mondar-mandir. Mereka semua tampak gelisah akan sesuatu.
"Ayah, bagaimana ini?" Bibi Clara menanyakan kepastian.
"Sayang, jangan diam saja! Bagaimana nasib cucu kita Ainsley?" Nyonya Felton menimpali.
Ainsley terkejut. "Mereka semua membicarakanku? Apa yang terjadi?"
"Cukup! Kita terima saja apa maunya" tegas Tuan Felton.
Nyonya Felton bangkit berdiri. "Tidak! Aku tidak mau! Aku tidak mengizinkan Patra datang."
"Patra adalah ayah Ainsley! Dia berhak datang dan menjemputnya kembali ke Surakarta!" Tuan Felton menegaskan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top