XV. ✾ Arsène Lupin ✾

Hidup adalah pilihan

~¤•¤~

"Temukan keturunan Wali kota Davendra Van Lichfield yang sekarang, karena cuma dia satu-satunya yang bisa membantumu mengungkapkan kebenaran kota dan pesulap," kata Antonius Wallace sungguh-sungguh.

"Apa? Itu tidak mungkin! Terdapat ratusan manusia di planet ini yang memakai nama belakang Keluarga Lichfield," timpal Ainsley. "Akan sangat susah untuk menemukannya!"

"Ayolah nak, kau pasti bisa menemukannya. Tenang, kami semua akan mendoakanmu dari jauh," sahut Albert Dirgory dari dalam lukisannya.

"Astaga kalian tidak mengerti---"

"Ainsley, percayalah padaku. Kau pasti bisa," Angelica menyemangati.

"Sekarang, geserlah lemari itu!" ucap Antonius Wallace sambil menunjuk kearah lemari yang letaknya tepat dibelakang Ainsley.

Ainsley menatap lemari itu dengan raut wajag bingung. "Apa?"

"Tunggu apa lagi? Kau mau tinggal di tempat ini selamanya, huh?"

"Ah ... iya!" Ainsley segera menggeser lemari tua yang ditutupi oleh kain putih berdebu. Hebatnya lagi, ternyata lemari itu tidak berat layaknya lemari tua pada umumnya.

"Ruangan ini benar-benar dirancang sangat fleksibel. Siapapun orang yang membuatnya pastilah seorang yang jenius," pikir Ainsley.

Setelah lemari tua itu sudah sepenuhnya bergeser, debu-debu kian berterbangan hingga membuat Si Felton Kecil bersin. Ternyata dibaliknya terdapat sebuah pintu rahasia.

"Pergilah Ainsley! Jangan lupakan kami," ucap lukisan wali kota lainnya.

"Pasti! Sampai jumpa lagi kawan-kawan." Ainsley menjawab seraya memasuki pintu yang ditujukan untuknya.

🎪

"Ainsley!!" panggil Isabel setengah berteriak seraya berlari ke arahnya. "Dari mana saja sih kamu? Aku pikir kamu pulang duluan."

"Ah ... tadi aku. Uhuk ... uhuk ...." Batuk Ainsley yang dibuat-buat.

"Kamu kenapa, Sley?" Isabel bertanya heran.

"Entahlah tenggorokanku ini tersedak, karena itu aku harus keluar dari museum untuk memuntahkannya," ujarnya berbohong.

Isabel memicingkan mata, curiga pada Ainsley. "Hmm ...."

"Kenapa?" Ainsley berkacak pinggang.

"Tidak apa-apa, sudah ayo kita ke toko buku. Mumpung belum terlalu sore," kata Isabel sembari berjalan lebih dulu menuju toko buku di sebelah menara AZ.

"Syukurlah Isabel tidak curiga," gumam Ainsley lega seraya menoleh ke belakang, menatap museum yang hendak tutup. Ternyata pintu yang dimasukinya tadi terhubung langsung ke halaman belakang. Yang masih menjadi pertanyaanya adalah ... kenapa para lukisan wali kota tidak pernah melihat seseorang selain Ainsley masuk ke tempat itu?

Bukankah lilin-lilin di lampu Chandelier selalu menyala? Logikanya pasti ada sesorang yang tahu tempat itu dan selalu mengganti lilin-lilinnya, bukan? Aneh.

Selama perjalanan, Ainsley memikirkan semua yang terjadi di tempat tadi. Tak jarang juga dia bergumam sendirian.

Isabel yang melihat tingkah aneh sepupunya itu berusaha menyadarkannya. "Ainsley! Ada apa denganmu?"

"Hah? tidak apa-apa. Sudah ayo cepat jalannya! Nanti buku seri Arsène Lupinku habis!" Ainsley bergegas melanjutkan perjalanannya.

Belum sempat Ainsley melangkahkan kaki kirinya, Isabel menarik lengan gadis itu kuat-kuat. "Eits ... mau ke mana?"

"Ke toko buku," jawabnya polos.

"Ainsley, kamu tahu kan toko buku itu letaknya dimana?"

"Tentu saja, di sebelah menara AZ persis, bukan?"

"Tepat sekali." Isabel menepuk pundak Ainsley. "Coba sekarang lihat ke atasmu."

Ainsley mengadahkan kepalanya ke atas, mendapati menara jam dengan ketinggiannya kira-kira 300 kaki.

"Nah menara jam yang kau lihat tadi itu namanya apa?" tanya Isabel.

"Menara AZ."

"Pintar, berarti untuk apa jalan lagi? Kita sudah sampai kan? Makanya jangan kebanyakan termenung," kata Isabel sambil menarik lengan Ainsley menuju toko buku.

Criing.

Bunyi lonceng kecil berdengung di daun telinga Ainsley ketika Isabel membuka pintu toko buku. Seorang pria tua berkacamata tebal dengan jenggot putih, keluar untuk menyambut pembelinya.

"Selamat datang di toko buku Ding Dong, ada yang bisa saya bantu?" sapa pemilik toko itu.

"Kakek Ding Dong, ini Isabel." Isabel mengingatkan.

"Isabel yang mana ya?" tanya Tuan Ding Dong agak lupa.

"Isabel Felton astaga, putrinya Clara Felton itu loh, Kek."

"Oh Isabel," kata Tuan Ding Dong sambil tersenyum bahagiam "Maafkan kakek ini nak, maklum sudah agak pikun."

"Kakek Ding, ini sepupu Isabel." Isabel memperkenalkan Ainsley pada Tuan Ding Dong.

Ainsley tersenyum seraya membungkukkan sedikit tubuhnya. "Perkenalkan nama saya Ainsley Felton, senang bertemu dengan anda Tuan Ding Dong."

Tuan Ding Dong tersenyum. "Tidak usah terlalu formal Nak, panggil saya kakek Ding Dong saja ya."

Ainsley begitu terkesiap dengan sifat Tuan Ding Dong yang begitu kebapakan. Betapa berbeda dirinya dengan Tuan Felton---kakeknya---yang notabene mirip guru matematika di sekolah. Ainsley menggeleng cepat, segera mengusir pikiran buruk tentang kakeknya sendiri.


"Jadi, kalian mau mencari buku apa?" tanya Tuan Ding Dong.

"Itu ... buku Arsène Lupin." Ainsley menjawab antusias.

"Oh astaga ... stok bukunya hampir habis. Coba kamu cari di rak-rak paling belakang. Siapa tahu masih ada," kata Tuan Ding Dong menyarankan.

Ainsley lekas pergi mencari, melewati rak-rak buku yang menyegarkan pandangan. Terkagum-kagum dengan toko buku, Ainsley pun terhipnotis untuk berkeliling lebih lama. Toko buku tersebut jika dilihat dari luar terlihat kecil tetapi ketika masuk berubah menjadi luas.

Ainsley berlari menelusuri buku-buku dengan mata yang berbinar-binar. Sementara itu Isabel dan Tuan Ding Dong sedang bercengkrama di depan meja kasir.


"Apa jangan-jangan bukunya sudah habis ya?" pikir Ainsley. "Pupuslah harapanku memiliki buku ...." Mata gadis itu tanpa sadar tertuju pada sebuah buku bergambar pria bertopi dengan jubah hitam. "Ketemu, akhirnya! Setelah sekian lama! Untung masih sisa satu."


Tangan Ainsley segera meraih buku impiannya dengan hati-hati layaknya bayi ubur-ubur yang hendak belajar berenang. Anehnya ... buku itu tidak bisa diambil. Seperti ada yang menariknya juga.


"Astaga ada apa denganmu, buku? Ayo kita pulang! Kenapa tidak bisa diambil sih?" Ainsley sekuat tenaga menarik buku itu.

Si Felton Kecil samar-samar mendengar geraman seseorang dibalik rak yang sama. Lebih tepatnya geraman anak laki-laki. Tidak berlangsung lama, rak milik Tuan Ding Dong terjatuh hingga membuat puluhan buku terjatuh berceceran.


Brakkk.

Sontak membuat Isabel dan Tuan Ding Dong lekas datang melihat kekacauan yang terjadi. Ainsley pun beranjak bangun dari lautan buku.

"Astaga apa yang terjadi?" Tuan Ding Dong terkejut bukan kepalang.

"Ainsley, sebenarnya apa yang ...." Kalimat Isabel terhenti setelah mendapati anak laki-laki berambut coklat tua keluar dari tumpukan buku yang sama.


Ainsley secara reflek menolehkan kepalanya ke orang yang baru saja keluar dari lautan buku tersebut. "Orion!"

"Kau! Gadis kampung!" Orion terkejut melihat Ainsley.

Sementara itu Isabel hanya melongo memperhatikan mereka berdua.

Mata Ainsley tertuju pada buku Arsène Lupin yang terjatuh di tengah-tengah Orion dan dirinya. Tanpa aba-aba mereka pun saling berebutan, mengambil buku yang sama.


"Apa yang kau lakukan? Ini bukuku!" pekik Ainsley.

"Bukan, Gadis kampung! Ini adalah bukuku! Aku yang mendapatkannya duluan!" Orion tidak mau kalah. Mereka berdua tampak seperti orang kerasukan.

"Astaga kalian berdua, hentikan!" Teriakan Isabel tidak mereka hiraukan. Sudah berkali-kali Isabel menghentikan mereka tetapi hasilnya tetap nihil.


"Berhenti!" perintah Tuan Ding Dong dengan suara luar biasa menggema. Lantas mereka berdua terdiam spontan dengan pose kedua tangan Ainsley mengunci kepala Orion dari belakang. Ainsley yakin, pasti telinganya sekarang sudah divonis keluar busa setelah mendengar suara Tuan Ding Dong.


"Apa kalian tidak diajarkan tata krama di rumah , huh?" bentak tuan Ding Dong.

Ainsley dan Orion yang mendengarnya hanya bisa diam seribu bahasa.

"Sekarang ... bereskan semuanya hingga bersih seperti semula!! Kalian mengerti!" marah Tuan Ding Dong bukan main.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top