XLV. ✾ Nomor 13 ✾
~•¤•~
Ainsley dan Luke pada akhirnya berjalan mengikuti Hugo dari belakang. Mereka berusaha sebaik mungkin agar tetap siaga di balik punggung pria itu.
Ainsley memandang punggung Hugo dengan wajah was-was. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari sebelumnya.
Penyebabnya, bukan karena jatuh cinta layaknya seorang gadis remaja pada umumnya. Melainkan karena suasana koridor yang mereka lewati terlihat begitu sepi dan suram.
Ainsley bahkan dapat mendengar suara langkah kakinya yang sangat ringan itu di seluruh penjuru koridor. Ditambah lagi dengan udara dingin yang menyempurnakan aura pekat di kastil hitam.
"Hey bocah, apakah kau takut?" tanya Hugo tiba-tiba dengan menggunakan teknik telepatinya.
Ainsley mendadak tersentak. "Siapa yang takut? Aku hanya merasa sedikit kedinginan," timpalnya tidak terima.
Hugo tersenyum geli setelah mendengar jawaban dari Ainsley. "Oh oke, bagus kalau begitu. Untuk kedepannya jangan membuatku susah. Kau tahu? Dirimu ini sungguh merepotkan," ucapnya tanpa membalikkan badan.
Sekali lagi, anak itu telah membuat Ainsley kesal. Padahal jelas-jelas dia tidak sedang mencari masalah.
Ainsley segera memutuskan telepatinya dengan Hugo. "Huh, menyebalkan. Siapa juga yang mau berurusan dengan laki-laki pemarah seperti dirinya."
Ainsley menghela napas sejenak. "Tenanglah Sley! Semua ini tidak akan lama! Setelah keluar dari dunia Wysperia, aku tidak akan lagi bertemu dengan dirinya," batin Ainsley.
Di perjalanan mereka yang cukup panjang, gadis itu lebih memilih menyibukkan dirinya dengan berpikir.
"Setelah berhasil melarikan diri dari tempat ini, aku akan kembali ke Kota Shea. Lalu, apakah kakek akan percaya dengan ceritaku ini? Jika salah satu cucunya menghilang karena diculik oleh sekelompok monster kelinci dengan menggunakan kereta api terbang? Aku yakin kakek tidak akan percaya," pikirnya.
"Atau, aku justru dianggap gila oleh kakek? Si Orion jahanam itu pasti semakin menertawakanku! Lihat saja nanti! setelah aku pulang, aku akan mengancamnya! Ia harus mengembalikan buku kesayanganku."
Gadis itu terlalu sibuk dengan alam bawah sadarnya. Bahkan dia tidak begitu menyadari bahwa mereka bertiga sudah memasuki koridor baru yang cukup ramai.
"Waspada! Prajurit beruang berada di sekitar kita! Tetap dalam posisi tenang!" ucap Hugo memperingatkan.
Ainsley dan Luke yang telah menerima pesan suara dari Hugo, segera memasang sikap waspada.
Mereka dengan berani, berjalan melewati koridor. Semua prajurit beruang berseragam lengkap itu berbaris rapi sembari membungkukkan sedikit tubuhnya ke depan---memberi hormat kepada Hugo---Sang Jendral Kastil Hitam.
Hugo berjalan dengan angkuh melewati setiap prajurit. Ainsley dan Luke yang tengah menyamar hanya bisa mengikuti Hugo dari belakang dengan tenang.
Ainsley memandang semua prajurit itu satu per satu. "Oh, seperti ini ya rasanya menjadi seseorang yang begitu dihormati. Ya, walaupun yang sedang dihormati mereka adalah Hugo, bukan diriku," pikir Ainsley. Dia menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Apa yang sedang aku pikirkan? Sadarlah! Sekarang bukan saatnya untuk memikirkan hal yang tidak penting!"
Hugo secara tiba-tiba menghentikan kedua langkah kakinya. Sikap Hugo yang begitu mendadak, membuat Ainsley dan Luke terkejut.
"Ada apa? Kenapa be---" tanya Ainsley pada Hugo dengan menggunakan telepatinya. Namun Ainsley menghentikan kalimatnya ketika menemukan sosok lain berada tepat di hadapan mereka.
Gadis itu terkejut, rasa takut kembali menghantuinya. Dia menemukan sosok monster yang hampir mencelakainya. Ya, sosok itu adalah monster berambut ular. Siapa lagi kalau bukan dia?
Monster ular berjalan dengan tenang menuju ke arah Hugo, diiringi dengan sekelompok prajurit beruang di belakangnya.
"Wah ... wah ... jendral. Rupanya kita bertemu lagi," ucap monster itu, sembari memperlihatkan deretan giginya yang terlihat mirip dengan gergaji.
Hugo tidak menjawab. Si Lichfield Muda hanya menatap datar kedua manik mata ular di hadapannya.
"Kau tahu, sejak kejadian kemarin di aula raja. Aku menjadi sedikit terkesan denganmu," kata si monster sambil memasang aura yang tidak mengenakkan.
Ainsley yang berada di belakang Hugo, hanya bisa menahan napas menyaksikan monster ular itu berbicara.
"Tricks, kau mendengarku?" Suara Luke tiba-tiba terdengar oleh Ainsley. Sepertinya dia ingin menyampaikan sesuatu yang begitu penting kepadanya dengan menggunakan telepati.
"Ya Luke, aku mendengarmu. Ada apa?"
"Kau harus berhati-hati dengan monster yang tengah berada di hadapan Pangeran. Dia sangat berbahaya."
"Berbahaya? Aku tahu! Waktu itu dia pernah hampir membunuhku!" ucap Ainsley dengan telepatinya. "Kau tahu siapa dia?"
"Ya tentu saja aku tahu. Dia adalah Qer, Sang Monster Ular Putih. Sekaligus perdana menteri di kastil ini. Sejak awal, dia memang sudah mengabdi cukup lama pada Fis."
"Kau membuatku takut. Jangan mencoba untuk menakutiku, Luke," jawab Ainsley.
"Aku tidak sedang menakutimu! Aku hanya memperingatkan! Untuk sekarang kita hanya bisa menjaga ketenangan agar dia tidak curiga!" saran Luke.
Ainsley hanya bisa menelan salivanya ketika mendengar penjelasan dari Luke. Wajahnya terlihat pucat sembari menatap monster yang tengah mereka bicarakan.
Hugo menyeringai. "Langsung pada intinya. Apa mau-mu?"
Monster itu tertawa. "Jangan terlalu serius, Jendral. Aku hanya berniat untuk menyapamu."
Manik mata Qer mendadak berpindah ke arah Ainsley dan Luke yang tengah berdiri di belakang Hugo.
Qer melangkahkan kedua kakinya menuju ke arah kedua prajurit kelinci itu. Wajah Ainsley mendadak tegang ketika monster ular lebih memilih menuju ke arahnya.
"Astaga, kenapa monster itu datang ke sini?" batin Ainsley. Jantungnya sudah berdetak sangat cepat. Ia sangat takut.
"Aku baru tahu, prajurit kelinci bisa menggunakan tas ransel milik manusia," katanya ketika sudut matanya menangkap tas yang tengah dipakai Ainsley.
Ainsley sangat terkejut bukan kepalang ketika mendengar kalimat yang berhasil diucapkan monster ular. Begitupun juga dengan Hugo dan Luke.
Wajah gadis itu mendadak pucat. "Bodoh, aku lupa menyembunyikan tasku!"
"Biarkan saja, mereka berdua ini masih prajurit baru. Kedua prajurit ini baru saja diciptakan kemarin." Hugo berusaha melindungi Ainsley. Nadanya terdengar sangat tenang. Sehingga tidak menimbulkan efek kecurigaan.
Qer menyeringai, kedua matanya masih terpaku pada Ainsley. "Prajurit baru, ya? Kalau begitu, biar aku ajarkan tentang apa itu yang namanya kedisiplinan!" Qer mengangkat satu tangannya ke atas. Monster itu hendak menampar Ainsley.
Ainsley yang mengetahui niat Qer, secara spontan memejamkan kedua matanya dengan rapat.
Namun, setelah cukup lama menunggu. Ainsley tidak merasakan tamparan itu sama sekali. Lantas ia mencoba membuka matanya secara perlahan. Mata indahnya menangkap sosok Hugo tengah mencekal kuat tangan Qer.
Wajah Qer berubah menjadi mengeras. Aura tidak mengenakkan mulai terpancar dari dalam dirinya.
Bagaikan hujaman pedang, kedua mata hijau emerald milik Hugo menajam ke arah Qer. "Singkirkan tangan kotormu itu darinya!"
Qer memandang tangannya yang dicekal oleh Sang Jendral, lalu berpindah menatap laki-laki itu dengan tajam. Rambut ularnya mengeluarkan suara desisan yang melambangkan amarah.
"Jangan pernah mengajari prajuritku tentang apa kedisiplinan! Mereka adalah hak-ku! Aku yang memiliki kuasa untuk mengajari mereka. Aku harap kau paham Qer, Sang Perdana Menteri Yang Agung?" ucap Hugo dengan penuh penekanan sembari melepas tangan monster itu.
"KAU!"
"JENDRAL! PERDANA MENTERI AGUNG! KITA SEDANG DALAM MASALAH!" Tiba-tiba salah satu prajurit beruang datang menghadap. Suara prajurit itu menggema sehingga membuat kalimat Qer mendadak terhenti. Semua fokus tertuju pada prajurit yang tengah berlutut.
"Ada apa?" tanya Hugo.
"Tawanan nomor 13 tidak bisa dikendalikan!"
"Sudah aku katakan bukan? Starseed itu seharusnya dibunuh sejak dulu!" marah Qer pada prajuritnya.
"Maaf Tuan, tapi kami hanya menjalankan perintah dari Yang Mulia," jawab prajurit itu.
"Tawanan nomor 13?" ucap Hugo mengulangi kalimat prajurit yang tadi.
Qer tertawa meremehkan. "Apakah kau tidak mengenal tawanan nomor 13, Jendral? Kau ini sungguh lucu."
"Apa maksudmu?"
"Tawanan nomor 13 adalah tawanan yang sangat suka memberontak. Yang Mulia tidak pernah menghisap jiwanya, karena kekuatannya mengandung api racun. Anehnya, tawanan itu masih saja dibiarkan hidup ...." Qer menjelaskan. "Padahal jelas-jelas kekuatannya tidak berguna. Tapi kau tidak perlu khawatir, Starseed itu akan dibunuh saat ini! Yang Mulia sudah menetapkan kebijakan untuk membunuhnya!" lanjutnya sembari menyeringai.
"Oh," jawab Hugo.
"Dibunuh? Apakah sesadis itu para monster di kastil ini?" kata Ainsley pada Luke dengan telepatinya.
"Ya, aku tidak menyangka Fis bisa berbuat sekeji ini!" jawab Luke.
"Jendral, kau harus ikut dengan kami! Kita semua akan menyaksikan tawanan nomor 13 dibunuh," ajak Qer sembari menunjukkan senyuman gergajinya.
Hugo menyeringai. "Tidak perlu, aku masih memiliki urusan."
"Urusan?" Qer tertawa meremehkan. "Apakah kau takut melihat makhluk sebangsamu dibunuh? Atau ada maksud lain?" Katanya dengan nada intimidasi, berusaha memojokkan Hugo di setiap perkataannya.
Ainsley berpikir sejenak. Gadis itu harus menyusun taktik yang bagus agar menyelamatkan diri mereka dari kekangan Qer.
"Hugo, ikuti saja kemauannya. Jika kau memilih untuk pergi dari kastil, dia akan lebih mencurigaimu." Ainsley berucap dengan telepatinya.
"Oke jika kau memaksa, aku akan ke sana," jawab Hugo pada Qer setelah mendapatkan pesan suara dari Ainsley.
"Bagus. Kau tidak akan menyesal, Jendral. Pertunjukan ini akan selalu terbayang hingga ke dalam tidurmu," kata Qer sembari menyeringai.
Mereka pada akhirnya berjalan menuju ke tempat tawanan nomor 13 berada. Menurut rumor, Starseed itu akan dihukum mati saat ini. Mereka harus segera bergegas.
"Di mana tawanan nomor 13 berada?" tanya Hugo memastikan.
"Di lapangan penyiksaan, Tuan," jawab prajurit beruang tadi.
Setelah berjalan cukup lama, mereka pada akhirnya tiba di lapangan penyiksaan. Pintu gerbang yang besarnya empat kali lipat itu kemudian dibuka untuk mereka.
Suara teriakan seorang anak perempuan menyambut. Halaman dari lapangan penyiksaan itu terlihat suram, senada dengan langit siang di Wysperia yang terlihat menggelap.
Aroma kematian menghantui seluruh penjuru tempat. Membuat Ainsley bergidik hanya karena merasakan suasana suram tersebut.
"LEPASKAN AKU! MAKHLUK-MAKHLUK BODOH!"
Gadis itu tengah dikerumuni oleh sekelompok prajurit beruang. Sehingga Ainsley tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas.
Para prajurit beruang terlihat bersusah payah membuat si gadis terdiam karena terlalu kuat.
"Tuan, apa yang harus kita lakukan? Jika begini terus, tawanan nomor 13 tidak akan bisa dibunuh. Para monster sudah cukup kesusahan mengikat kedua tangannya," kata prajurit beruang lainnya.
"Kalian ini bagaimana? Dia itu takut dengan besi. Borgol saja kedua tangannya!" bentak Qer.
"Sudah kami lakukan, Tuan. Tapi, entah kenapa ... sekarang kekuatannya meningkat dua kali lipat dari sebelumnya. Bahkan sebagian dari prajurit kami terbakar karena apinya."
"Siram seluruh tempat ini dengan air," kata Hugo dengan tiba-tiba. Kalimat itu membuat Ainsley dan Luke terkejut. "Api akan padam jika disiram dengan air. Dia pasti akan melemah jika tempat ini basah."
Ainsley menoleh ke arah Hugo. Dipandanglah wajah rupawan itu, rambutnya terlihat berantakan karena desiran angin dingin. Sedangkan jubah hitamnya terlihat berkibar.
Dia tidak menyangka, Hugo bisa setega itu kepada orang lain. Bagaimana bisa dia menyarankan ide gila pada musuhnya sendiri? Apa yang sedang dipikirkannya?
Qer menyeringai. "Aku tidak menyangka. Ide-mu sangat brilian, Jendral," pujinya sembari tertawa. "Dengarkan semuanya! Kalian harus menyiram seluruh tempat ini dengan air! Ini perintah!"
"Baik Tuan!" jawab para prajurit serempak.
Para prajurit dengan segera membawakan banyak air. Lalu, disiramlah seluruh tempat itu hingga basah.
Seperti dugaan Hugo, kekuatan gadis api racun mendadak melemah. Kedua tangannya berhasil diborgol. Gadis itu kemudian dibawa menuju ke sebuah altar, lalu diikatlah ia di sana. Wajahnya masih belum juga terlihat. Para prajurit masih sibuk mengerumuninya.
Setelah semua prajurit itu pergi, Ainsley dapat melihat keseluruhan wujudnya.
Rambut hitam pendeknya terlihat berantakan karena tertiup angin dan aura berani bagaikan bara api kian meredup dari sorot matanya.
Ainsley terkejut. Tubuh gadis itu terdiam bagaikan membeku. Ia mengenal siapa gadis yang tengah berada di atas sana.
Lidahnya kelu untuk sekedar menyebut nama si korban. "R-Rasbeth?!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top