V. ✾ Invitation ✾

Jika kemustahilan itu ada, tolong pertemukan aku dengan Unicorn

~¤•¤~

Hujan deras terus membasahi kota Shea di malam yang gelap. Diikuti angin ribut laksana ombak samudra. Sekarang waktu menunjukkan pukul 23.30. Semua orang telah tertidur dan beraktivitas di dalam mimpi mereka masing-masing, kecuali Ainsley.

Dengan penerangan sebuah lilin, gadis itu masih terdiam di depan meja belajarnya yang membelakangi tempat dimana Isabel tertidur. Tidak bergerak sama sekali setelah membaca secarik kertas tipis yang baru saja ditemukannya, Ainsley memucat. Mencerna kembali semua kalimat yang ditulis pada kertas misterius.

Ainsley berusaha menemukan hal-hal yang logis tentang alasan kertas ini bisa sampai di jurnalnya. Apakah ada yang mengerjainya selama ini? Tapi untuk apa? Ainsley akui dirinya memang cukup cantik, namun apa harus sampai segitunya—menggunakan teror semacam ini untuk menarik perhatian?

"Bagaimana bisa kertas ini tahu namaku? Tidak mungkinkan, aku yang menempelkan kertas asing di jurnalku sendiri? Dan apa maksudnya kalau ada orang lain yang memegang jurnal?" Ainsley berpikir keras. Gadis itu membolak-balikan halaman jurnalnya sekali lagi. Siapa tahu ia dapat menemukan petunjuk lain. Walaupun hanya sia-sia.

Braaak!

Tiba-tiba jendela kamar terbuka dengan sangat kencang. Cahaya lilin di atas meja seketika menjadi padam karena angin badai yang berusaha masuk. Ainsley beranjak dari tempat duduknya untuk menutup jendela yang terbuka. Merasakan sejenak rintik-rintik hujan dan angin malam menerpa wajahnya.

Dilihat dari balik jendela, suasana Kota Shea sangatlah gelap, hanya diterangi beberapa lampu jalan. Sudut matanya tanpa sengaja menangkap salah satu tiang lampu yang berkedap-kedip di ujung jalur.

"Lampu itu akan rusak," pikir Ainsley.

Kamar Ainsley dan Isabel yang berada di lantai dua, memang menghadap jalan raya yang ukurannya cukup kecil. Ketika hendak menutup jendela, tiba-tiba tepat di bawah lampu yang berkedap-kedip tadi, Ainsley tanpa sengaja menemukan seorang pria aneh berpostur tinggi tengah berdiri terdiam menatap sesuatu.

Wajahnya tidak terlihat begitu jelas, karena hujan angin mengaburi penglihatan Ainsley. Ditambah topi hitam nyentrik berukuran besar yang biasa dipakai oleh pesulap-pesulap sirkus tengah menghiasi kepalanya, sehingga hanya terlihat hidung mancung dan bibir tipisnya saja.

"Apa yang dilakukan pria berkostum aneh itu di bawah sana?" gumam Ainsley penasaran. Sekitar tiga puluh detik ... dia sama sekali tidak menunjukkan suatu pergerakan. Ainsley menduga orang ini sedang memikirkan sesuatu.

"Apa mungkin dia diusir dari rumahnya atau ia kabur dari pertunjukan sirkus?" Ainsley mencoba untuk berpikir secara rasional. "Bodoh! mana ada pertunjukan sirkus di tengah malam!"

Tiba-tiba pria itu bergerak. Dia mengadahkan kepalanya ke atas, merasakan tetesan air dari langit sembari tersenyum. Kemudian berakhir dengan menoleh ke arah Ainsley yang sedari tadi menatapnya.

Ainsley terkejut. Wajahnya memucat setelah tatapan mereka bertemu. Gadis itu segera menutup jendela kamar rapat-rapat. Lalu, bergegas naik ke atas tempat tidur dan menutup seluruh tubuh dengan selimut.

Ainsley berusaha memejamkan kedua matanya. Dia ketakutan. Bukan karena orang itu menatapnya, tetapi karena ia tersenyum.

"Aku yakin. Aku melihatnya dengan mata dan kepalaku sendiri kalau ... k-kalau deretan giginya beruncing seperti gergaji," takut Ainsley.

🎪

Ainsley mengerjap-ngerjapkan mata demi menyesuaikan cahaya mentari pagi yang menerobos masuk melewati jendela kamar.

"Hey, Ainsley! Bangun!" pekik Isabel sambil menggoyang-goyangkan tubuh Ainsley, layaknya adonan kue.

Ainsley yang tadinya mau beranjak bangun, mendadak mengurungkan niatnya. Gadis itu membalikkan tubuhnya ke dinding hingga memunggungi Isabel.

"Ainsley! Ayo bangun kita main salju diluar!" ucap Isabel yang masih menggoyangkan bahu Ainsley. "Kau ingat, hari ini turun salju."

Ainsley tidak menjawab. Ia sudah terhanyut kembali ke dalam mimpinya.

"Ainsley!"

"Aduh! Iya aku bangun." Ainsley duduk di tepi ranjangnya dengan memasang wajah baru bangun tidur.

"Nah gitu, cepat sana mandi!" kata Isabel. "Aku tunggu di halaman depan!"

Isabel dengan cepat segera pergi meninggalkan Ainsley. Sepupunya itu terlihat sangat antusias menyambut salju.

Ainsley menghela napas panjang. "Sepertinya aku tengah mengalami mimpi buruk," gumamnya berusaha mengingat pertemuannya dengan sosok pesulap sirkus. "Aku yakin semua kejadian itu hanya ilusi mimpi."

Dia segera beranjak bangun dari ranjangnya dan bergegas ke kamar mandi.

Namun, langkahnya terhenti ketika sorot matanya tidak sengaja tertuju pada secarik kertas tipis yang ia temukan tadi malam tengah duduk manis di atas jurnalnya. "Jadi, semua itu bukan mimpi?"

🎪

Salju turun dengan sangat lebat. Saking lebatnya membuat atap rumah Keluarga Felton kian memutih. Ainsley dan Isabel tidak lupa memakai baju hangat beserta sarung tangan.

Ainsley memakai syal berwarna ungu dan baju biru tua. Karena masih dingin, ia menambahkan jaket hitam.

"Ainsley! Lihat! Apa yang aku lakukan!" Isabel tersenyum ceria sembari menunjukkan hasil karya boneka saljunya kepada Ainsley.

Ainsley melirik sekilas, ia sedikit tertegun dengan batu yang tengah menancap pada wajah boneka salju milik Isabel.

"Untuk apa batu itu?" tanya Ainsley dengan raut wajah bingung. Dia kemudian melipat kedua tangannya tepat di depan dada.

"Itu hidungnya tau!" sambar Isabel.

"Terlihat aneh," hardik Ainsley.

Isabel yang kesal, tanpa aba-aba langsung melemparkan bola salju ke arah wajah Ainsley. Sontak, bola salju itu terlempar tepat sasaran.

"Awww!" pekik Ainsley.

Isabel tertawa. "Rasain!"

Ainsley segera membersihkan wajahnya yang terkena salju. Isabel tertawa dengan keras ketika menyaksikan wajah datar sepupunya itu.

Ainsley kemudian membalas perbuatan Isabel yang masih sibuk tertawa dengan melemparkannya bola salju.

"Aww!" pekik Isabel. "Ainsley!"

"Enak kan? Rasanya dingin," ledek Ainsley.

Isabel segera membersihkan wajahnya. Dia mengambil beberapa salju, kemudian membentuknya menjadi benteng pertahanan.

Ainsley terkejut melihat apa yang dilakukan Isabel. Ia beramsumsi bahwa sepupunya itu terkena demam salju, yang menurut rumor selalu menjumpai para pecinta salju di hari pertama.

Terdengar cukup konyol, namun itulah kenyataannya. Jika orang lain mengalami hal semacam ini, mungkin saja dia akan melakukan hal yang sama seperti Isabel.

"Ini istanaku dan aku ratu disini. Lihat Ainsley! Sekarang kamu tidak punya benteng pertahanan," ucap Isabel sambil menunjuk Ainsley yang kini tidak memiliki persiapan apapun. "Kita akan perang bola salju!" tegasnya.

"Apa?" kaget Ainsley.

Isabel tanpa menunggu lagi, segera melemparkan beberapa bola salju kepada sepupunya. Ainsley dengan sigap segera berlindung dibelakang pohon apel kemarin, membuat bola-bola salju yang dilempar Isabel melesat terkena batang pohon.

Ainsley kemudian mengambil beberapa salju, lalu membentuknya menjadi bola sekepal tangan dan melemparkannya pada Isabel.

"Ya, kena!" pekik Ainsley ketika bolanya mendarat ke wajah Isabel.

"Ini masih permulaan, Sley," tukas Isabel di sela-sela wajahnya yang memutih karena salju. Gadis itu kemudian melemparkan beberapa bola salju ke benteng Ainsley.

Pergerakan kedua tangan sepupunya itu terlihat sama persis dengan kincir air yang berputar cepat. Ainsley bahkan harus berlindung, agar tidak terkena lemparan salju milik Isabel.

"Yes, jackpot." Lagi-lagi Isabel berhasil melemparkan bola saljunya tepat di wajah Ainsley.

Ainsley yang tidak mau kalah, segera melemparkan bola saljunya lagi. Tapi sialnya, bola saljunya tersebut tidak mendarat di wajah Isabel melainkan seorang pria paruh baya yang tengah berdiri di depan pagar. Sontak membuat kedua saudari sepupu Felton sama-sama terkejut.

"Arghh ... singkirkan benda ini!" marah si pria paruh baya.

Ainsley segera menuju ke pria paruh baya yang berdiri di depan pintu pagar sembari menundukkan kepalanya. "M-maafkan saya, Pak."

Pria paruh baya bermantel hitam itu segera membersihkan wajahnya, lalu menatap Ainsley dengan garang.

"Dasar—" Sebelum melanjutkan kalimatnya, tiba-tiba Tuan Felton datang dan menemui pria itu.

"Ada apa ini?" tanya Tuan Felton.

"Kakek ... itu," ucap Isabel.

"Selamat pagi Tuan, saya Josh Spencer. Bisakah saya bertemu dengan Tuan Stefanus Felton?" tanya pria tua itu sembari tersenyum ramah. Wajahnya yang semula marah mendadak ramah ketika berhadapan dengan Tuan Felton.

"Iya, saya sendiri," jawab Tuan Felton dengan aura dinginnya. "Ada apa ya?"

Josh Spencer yang melihat aura dingin Tuan Felton bak tirani tujuh lautan itu mendadak gugup seketika.

"Ehem ... saya datang ke sini untuk memberi anda undangan dari Tuan Robert Dirgory." Pria tua bernama Josh itu segera mengambil undangan berwarna putih dari tasnya dan memberikannya kepada Tuan Felton.

"Robert? Ada acara apa sampai mengundang musuhnya sendiri ke pestanya?" ucap Tuan Felton. Sebuah senyuman sinis mendadak tersungging di wajahnya. Aura kegelapan telah menyelimutinya saat ini.

Mendengar kalimat Tuan Felton mendadak membuat tenggorokan pria tua bernama Josh itu tersedak. "Tuan Robert hanya mengadakan pesta kecil atas kemenangan cucu laki-laki kesayangannya dalam meraih juara 1 lomba Pencak Silat tingkat kota."

Ainsley yang mendengar tutur kata dari pria tua itu, membuatnya tidak habis pikir. Bagaimana bisa, menang lomba juara 1 saja harus diadakan pesta?

Ainsley yang pernah juara 1 berturut-turut dalam lomba merakit robot tingkat negara saja tidak pernah mengadakan acara ataupun pesta kecil. "Dasar anak manja!" pikirnya.

"Cih, sepertinya dia mau menyombongkan prestasi cucunya," kata Tuan Felton blak-blakan.

"Benar! Aku setuju denganmu, kakek!!" ucap Ainsley dalam hati.

"Tuan, saya harap anda bisa datang nanti sore di pesta kecil keluarga majikan saya. Itu saja, saya undur diri dulu, terima kasih." Pria tua bernama Josh itu segera pergi dengan menaiki mobil Jeep-nya.

"Kakek, apakah kita akan datang nanti sore ke pesta mereka?" tanya Isabel sedikit ragu.

"Tentu saja, kita harus menunjukkan kepada mereka bahwa Keluarga Felton tidak akan pernah kalah!" tegas pemimpin Keluarga Felton itu. "Ainsley! Isabel! nanti sore kita akan mendatangi acara tersebut! Kita akan membuktikan kepada keluarga Dirgory, kalau keluarga Felton lebih unggul!"

"Siap, Kakek!" jawab Ainsley dan Isabel serempak.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top