LVIII. ✾ Puzzle ✾

Hembusan angin dingin mampu menuntunmu ke dunia antah berantah

~•¤•~

Semenjak kejadian tadi siang, Ainsley menghabiskan harinya di sisi lain rumah Sor yang megah. Ruang tamu penuh lukisan antik dengan karpet beludru merah lah yang menjadi tempat singgahnya saat ini. Bukan semata-mata untuk bersantai, melainkan disidang oleh Luke dalam waktu lama.

Mimik wajahnya memuram, memperhatikan sang pesulap yang tak kuasa berhenti mengoceh. Keruwetan semakin bertambah, ketika sapu terbang secara terang-terangan menjajakan teh hangat untuknya. Usut punya usut, Sor memperkerjakan sapu taman miliknya sebagai pelayan. Entah apa yang ia masukkan ke dalam sapu itu hingga bisa hidup layaknya manusia?

"Baiklah, aku memaafkanmu. Dengan catatan, kau tidak boleh melarikan diri seperti tadi lagi, heh." Luke berucap sembari menyilangkan kedua kakinya di sofa. Tubuh mungilnya nyaris tak terlihat, tertutup bantal.

"Benar, apa yang dikatakan oleh Remus. Kau tidak bisa bertingkah sesuai dengan keinginanmu di tempat ini. Jika ada sesuatu yang membahayakan di luar sana, kami belum tentu bisa menolongmu." Sor meletakkan setoples kue kering di atas meja tamu. Lalu mengambil tempat, tak jauh dari Luke dan Ainsley. Sekaligus, memberikan isyarat kepada pelayan sapu terbangnya untuk segera kembali ke dapur.

Ainsley meminum secangkir teh hangatnya sejenak. "Iya, aku mengerti. Setelah ini, aku akan lebih berhati-hati lagi."

Luke berdehem. "Lalu ... kapan rencanamu itu akan berjalan? Aku dengar, seorang gadis jenius dengan tekad kuatnya ingin menyingkap tabir kematian Ariadna dan Harold."

Ainsley secara spontan menyemburkan teh hangatnya ke lantai setelah mendengar kalimat yang baru saja dilontarakan oleh Luke. Kedua mata indahnya langung tertuju ke arah Hugo. Jauh di depan jendela besar dengan motif abstrak, laki-laki itu memilih memisahkan diri dari orang-orang sejenak untuk mempelajari jurnal peninggalan ayahnya. Mengingat juga bahwasanya Luke terlalu berisik, tentu saja Hugo dengan cepat tanggap langsung mengambil keputusan agar terdiam di sofa yang jauh demi kelangsungan hidup panca indranya.

"Aku tidak habis pikir, apakah kau sedari tadi mencoba membaca isi pikiranku, Luke? Ataukah mungkin, Tuan muda Lichfield yang memberitahumu?" Ainsley tersenyum singkat seraya melirik sinis ke arah Hugo yang untungnya cukup acuh.

Luke tertawa. Tawa khasnya itu terdengar cukup jahat jika didengar oleh orang lain. "Pilihan pertama. Aku yang mencoba membaca isi kepalamu. Percayalah, Pangeran tidak akan mungkin menyebarkan rahasiamu dalam waktu cepat. Jadi mulai sekarang sebagai tim, kita harus saling mempercayai, Tricks. Bukankah begitu, Pangeran?"

Alih-alih menggubris, Hugo justru memutar bola matanya jengah seraya menyumpal telinganya dengan tisu. Luke yang menyaksikan respon dari si jubah hitam pun hanya bisa terkekeh menanggapi.

"Jadi, kau tetap ingin mencari pembunuh orangtuamu, heh?" Luke berucap lagi sembari menyilangkan kedua kakinya di sofa.

Ainsley mengangguk. "Ya, keputusanku sudah bulat. Sekeras apapun kau menghalangiku, aku akan tetap mencarinya."

Luke menghela napas panjang, dia terdiam sejenak. "Pembunuh seperti mereka pastinya sudah mati dimakan karma. Untuk apa mencari sesuatu yang akan berakhir sia-sia?"

"Ya, mungkin kau benar. Tetapi sayangnya, aku tidak yakin ... karma dapat melahirkan keadilan setimpal." Ainsley menanggapi dengan kalimat santai. "Aku ingin menunjukkan sesuatu kepada kalian."

Luke mengerutkan dahinya tidak mengerti. "Apa itu?"

Ainsley tersenyum. "Sesuatu yang aneh. Aku sempat mengira benda ini bisa dijadikan acuan untuk mengungkapkan kebenaran Kota Shea. Ya, meskipun tidak penting. Rasa penasaranku sangat besar pada saat itu."

Luke dan Sor terdiam saling menatap, lalu kembali memusatkan perhatiannya kepada si bocah jenius. Ainsley merogoh tas ranselnya, mengambil buku jurnal kehidupan yang diwariskan oleh sang ibu. Ukiran pohon melekat pada sampulnya, semerbak debu bercampur aroma apek nyaris membuat Ainsley bersin-bersin. Dengan sangat berhati-hati, ia membukanya-mengeluarkan secarik kertas tipis dari dalam sana.

"Kertas misterius yang sampai sekarang belum bisa kupecahkan." Ainsley kembali berucap sembari menyodorkan kertas kuno itu kepada mereka.

Luke dengan tubuh kelincinya, melompat lincah ke atas meja. Dilihatlah kertas aneh yang hanya menuliskan sesuatu tidak berguna. Terdiri dari beberapa kalimat singkat yang diduganya adalah teka-teki. Jika dilihat sekilas memang tidak penting, namun otak tua luke kembali berputar ketika mendapati kata 'Jika kau menemukannya dan memasuki tempat itu, jangan pernah melihat kebelakang' pada bagian akhir kalimat.

"Ini bukan teka-teki biasa," sahut Luke tiba-tiba. Sontak saja membuat Ainsley dan Sor terdiam keheranan. Suasana semakin sunyi, menyisakan amukan salju yang marah. 

"Maksudmu?" Sor menimpali, kali ini pria tua itu benar-benar sudah tidak bisa lagi membendung rasa penasarannya. "Katakanlah, Remus. Jangan bertele-tele."

Luke mendengkus namun disisi lain masih terpaku pada surat tipis tersebut. Mata biru yang semula berwarna merah, sekali lagi menelusuri tiap kata yang ditintakan pada lembaran usang. Dia memejamkannya, menerawang masa lalu yang indah bersama sang ayah walaupun samar bak nestapa termakan oleh zaman.

"Ayah! Kakak Fiserius mencarimu." Suara tak kasat terlintas di atas benaknya, bahkan terasa begitu nyata untuk Luke. Seorang anak laki-laki bersurai pirang mengalahkan indahnya mentari pagi, melenggang masuk menuju taman ajaib yang dibatasi oleh rimbunan pepohonan berdaun violet. Kaki kecilnya berlari, menuju ke sosok pria dewasa yang kelihatannya sangat sibuk menulis sesuatu di atas meja kerjanya. Ya, sebuah meja kerja di tengah pepohonan rindang. "Apa yang sedang kau tulis? Mungkinkah itu puisi untuk ibu? Aku ingin membacanya."

"Bukan," sanggah sang ayah pelan, suaranya terdengar berat. Seakan-akan menyimpan beban besar tak terwujud. "Sesuatu yang rahasia. Kau akan mengetahuinya kelak."

"Tidak adil, hari kelak sangat lama. Berikan padaku. Aku akan membacanya sebelum hari itu tiba."

Sang ayah tersenyum menanggapi. Wajahnya samar, tertutup oleh bayang-bayang. Surai rambutnya gelap, sehitam jelaga. Jubah putih yang ditorehkan dengan warna kuning keemasan melambangkan statusnya sebagai seorang raja Negeri Shea terdahulu.

"Jangan, Lukeledon kecil. Baiklah, jika pangeran manis ini memaksa. Ayah akan membacakannya untukmu. Hanya kalimat terakhir, selebihnya kamu akan menemukannya sendiri. Kelak, teka-teki ini bisa menjadi kunci utama untukmu."

"Baik, aku mendengarkan. Kali ini jangan menipuku lagi ya ayah."

Sang Raja berjubah tersenyum sejenak, ia mengangkat secarik kertas tipis murni yang belum disentuh oleh debu kotor dan tangan pendosa. "Jika kau menemukannya dan memasuki tempat itu, jangan pernah melihat kebelakang," ucapnya lembut, membacakan seutas kalimat terakhir.

Bagaikan sebuah mantra tersembunyi, gemuruh angin mendesir tatkala kalimat tersebut terucap. Hembusan diantara pepohonan violet, sekejap membuat langit menggelap. Suara kasak-kusuk dedaunan menyatu dengan derasnya air mengalir. Alam bersaksi atas terciptanya kalimat itu. Luke terdiam, sorot mata berwarna birunya memancarkan bara keantusiasan. Dia yakin, apa yang diucapkan oleh sang penjaga kota mampu memantrai tanah Shea dan seisinya.

"Luke?"

Luke spontan membuka kelopak matanya ketika suara Ainsley secara terang-terangan menyadarkannya dari lamunan panjang. Sedari tadi dia tersenyum, memandang langit-langit sejenak. Perilaku aneh itu sontak saja membuat Ainsley dan Sor kebingungan.

"Ada apa?" kaget Luke.

Ainsley mendengkus. "Kau sedari tadi memejamkan mata sembari tersenyum tidak jelas. Sebenarnya apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Ainsley seraya melipat tangan di dada. Dia beranjak berdiri dari sofa, lalu mencondongkan sedikit tubuhnya ke arah Luke. Nyaris saja wajah mereka berdekatan. "Ataukah jangan-jangan kau memikirkan trik jitu untuk menjahili orang lain?" bisiknya pelan.

Luke tertawa renyah memandang wajah Ainsley dari dekat.  "Mana mungkin? Aku tidak sepertimu, Tricks. Ya, meskipun aku mau."

Ainsley terdiam sejenak. "Lalu? Oh, aku tahu. Biarkan aku yang menebaknya!" sahut gadis itu menimpali seraya menarik wajahnya agar menjauh dari sosok putra sang pesulap. "Ah, pasti tentang fantasi laki-laki puber, bukan?"

Hugo secara tiba-tiba tersedak biskuit yang baru saja ia kunyah seusai Ainsley berucap. Alhasil membuatnya terbatuk-batuk hebat. Namun dengan segera, ia mengambil sikap tenang-berusaha menutupi kejadian tadi.

Luke mendengkus. "Tidak, bukan seperti itu. Setelah membacanya, pikiranku menerawang ke sebuah taman rahasia."

"Taman rahasia?" Ainsley spontan mengulangi kalimat Luke.

"Iya, sekarang aku mengingatnya. Ratusan abad telah berlalu, semua memori di dalam hidupku kian sirna dimakan oleh zaman. Inilah efek samping dari hidup abadi. Namun, ada kalanya memori-memori itu kembali hadir." Luke tertawa lirih, meninggalkan keheningan setelahnya. "Teka-teki adalah sebuah kunci dan ayahku sendirilah penulisnya, Sang Pesulap ... Penjaga Negeri Shea."

Ainsley dan Sor sontak terkejut secara bersamaan. Terutama Ainsley-dia sungguh tidak percaya. Ternyata kertas misterius yang selama ini berdiam di dalam jurnalnya merupakan salah satu harta legendaris dari Sang Pesulap itu sendiri. Ibunya-Ariadna-menyimpan harta besar kota Shea dengan aman hingga akhir hayat. Lalu sekarang menurun kepadanya bagaikan sebuah wasiat.

Sor meneguk ludah sejenak. Dia mengangguk setelah berpikir cukup lama. "Yang Mulia telah memberimu mandat, Remus. Namun kau melupakannya. Memorimu semakin menghilang karena terlalu banyak dihabiskan untuk bermain menggunakan kekuatan ilusi," ujarnya mengkritik.

"Diamlah, Sor." Luke menanggapi dengan kekehan kesal. "Kertas ini akan membawa kita ke taman tersembunyi. Dan kostum pesulap itu pastinya berada di sana."

Ainsley tersenyum puas. Lalu kembali duduk ke tempatnya semula. "Bagus kalau begitu, tujuan utama semakin dekat. Kita hanya perlu menjawab teka-teki ini lalu mengambil kostumnya."

Luke terkekeh menanggapi. "Andai bisa semudah itu, tetapi sayangnya ... teka-teki ini sepasang. Ayahku yang pintar, menuliskannya lagi pada kertas lainnya. Beliau menyukai kerumitan."

Senyuman Ainsley memudar. "Astaga, apakah sebegitunya dia mencurigai manusia berhati kotor hingga memperumit kuncinya," sahutnya tidak percaya.

"Aku menduga, ini hanya bentuk dari antisipasi agar benda yang dilindunginya itu tidak terjatuh ke tangan yang salah." Sor menimpali perkataan Ainsley.

Ainsley menghela napas pasrah. "Baiklah, apa yang harus kita lakukan sekarang? Percuma saja mengartikan teka-teki ini jika kertas yang satunya belum ditemukan."

"Kalian mencari ini?" Hugo menyahut sembari meletakkan buku jurnal dan secarik kertas tipis lain di hadapan mereka. Dengan langkah santai dia terkekeh sembari menelusupkan jemari-jemari kokohnya ke dalam saku. "Secarik kertas teka-teki dari jurnal Harold Lichfield sepertinya bisa dijadikan kepingan puzzle yang hilang."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top