LVII. ✾ Atap ✾
~•¤•~
Bagaikan tersambar guntur di musim kemarau, Ainsley terbelalak kaget, mengetahui orangtuanya tewas karena dibunuh. Kalimat yang baru saja dilontarkan oleh Sor, sontak membuat atmosfer di dalam ruangan itu menjadi sunyi.
Ainsley awalnya tampak tidak percaya, lalu sedetik kemudian dia tertawa. Seakan-akan menganggap ucapan Sor adalah lelucon. "Jangan bercanda, Paman. Ibuku meninggal karena sakit, ayah sendiri yang mengatakannya. Jadi, tidak mungkin orang sebaik ibu dibunuh."
"Dia benar, Tricks," sahut Luke yang membuat semua mata kembali tertuju padanya. Luke melompat keluar dari dalam gendongan Ainsley. Mengingat dirinya saat ini masih berwujud seekor kelinci, dia dengan cekatannya melompat ke atas meja terdekat. Sepertinya sang pesulap berniat memberikan pidato kepresidenan di tempat yang lebih tinggi.
Sor sempat dibuat terkejut oleh aksi Luke. Dia lupa, bahwa mantra pengunci mulut miliknya hanya dapat bertahan hingga lima belas menit.
"Apa maksudmu?" tanya Ainsley kepada Luke.
Luke menghentakkan kaki kelincinya di meja, menandakan bahwa ia ingin melanjutkan pidatonya. "Apa yang dikatakan oleh Sor mengenai orangtua kalian itu benar. Ariadna dan Harold tewas karena dibunuh. Kematian mereka yang begitu tiba-tiba, membuat Fis murka. Fis yang telah gelap mata, berusaha menghancurkan kota Shea. Bahkan, aku---adiknya---dikurung di dalam penjara ilusi agar tidak ikut campur. Dia berusaha mengumpulkan kekuatan para Starseed, guna melancarkan aksinya di saat hari pembalasan tiba."
Ainsley berusaha untuk tetap tenang. Dia yakin, semua cerita mengenai orangtuanya hanya kebohongan semata. "Aku tidak percaya dengan kisah omong kosong! Jika itu benar, kenapa ayah dan kakek tidak menceritakannya kepadaku?"
Luke mendengkus. "Kau tentu saja tidak mengetahuinya. Keluargamu berusaha menyembunyikannya darimu. Cepat atau lambat kau harus mengetahui fakta ini."
Ainsley menggeleng. Dia sungguh tidak percaya atas fakta yang baru saja didengarnya. "Jika kalian ingin bercanda, ini sama sekali tidak lucu."
Sor menghela napas berat. Dari sorot matanya, ia merasa kasihan kepada Ainsley. "Aku paham, ini sangat berat untukmu ... tapi kau harus tahu bahwa kami tidak berbohong. Ariadna yang saat itu ditinggal ayahmu pergi, meninggal karena diracun-"
"BOHONG!" pekik Ainsley tidak terima. Sontak membuat Luke dan Sor terkejut. "Semua itu bohong!"
Ainsley yang telah dikuasai oleh emosi, bergegas ke luar ruangan meninggalkan Luke, Sor dan Hugo dalam keheningan mencekam. Tempat yang semula mewah, sekejap berubah menjadi gubuk tua tak terawat setelah Ainsley berjalan keluar melewati pintu marmer.
Luke dan Sor yang masih berada di dalam ruangan megah---hanya bisa terdiam---menyesali perbuatan mereka karena menceritakan kisah kelam itu kepada Ainsley. Tapi mau bagaimana lagi? Toh, bocah seperti Ainsley harus diberitahu sebelum terlambat.
Keheningan tidak bertahan lama setelah Hugo mulai membuka suara. "Biar aku saja yang berbicara dengannya," ujarnya sedikit datar, namun terdengar cukup tegas.
🎪
Ainsley termenung, memandang derasnya aliran sungai yang kian membeku dari atap rumah Tuan Sor. Bahkan, hujan salju serta desiran angin dingin di tengah kabut tipis, tidak dipedulikannya sama sekali.
Menurutnya, atap adalah tempat yang paling pas untuk dijadikan base camp. Selain itu, Luke dan Sor tidak akan terpicu untuk mencarinya hingga ke atas rumah. Bayangkan saja, bagaimana mungkin ada orang waras yang mau memanjat atap di tengah badai salju seperti ini? Ya, kecuali Ainsley.
Sebenarnya, Ainsley sempat menyesali sikapnya yang tiba-tiba kesal lalu berlari menghindar seperti tadi. Biar bagaimanapun juga, Luke dan Sor tidak ada hubungannya dengan kematian sang ibu. Tapi, kendati demikian, kenyataan pahit itu sangat menyakitinya.
"Baru kali ini, ada gadis aneh yang memilih atap sebagai tempat menyendiri."
Suara yang terdengar cukup familiar itu seketika mengagetkan Ainsley. Dia tahu betul siapa sosok yang tengah berada di belakangnya.
Ainsley mendengkus tanpa menoleh ke asal suara. "Apa yang kau lakukan di sini, huh?" tanyanya kesal. "Aku sedang tidak ingin berkelahi denganmu, Tuan Pemarah."
Hugo---si Tuan Pemarah yang dimaksudkan oleh Ainsley---terkekeh pelan menanggapi sebutannya. Dia dengan langkah ringannya, duduk bersila di sebelah Ainsley seraya menopang dagu. "Siapa yang sedang mengajakmu berkelahi? Kau selalu merasa percaya diri sejak awal kita bertemu."
Ainsley memutar bola matanya jengah. "Bukankah kau selalu membuatku kesal? Terkadang aku iri denganmu. Hidup yang kau jalani selalu sempurna; lahir dari keluarga kaya raya, dikenal oleh banyak orang dan bahkan sejak lahir dirimu sudah dianugerahi kekuatan listrik. Sedangkan aku? Aku hanyalah gadis lemah yang tidak menarik. Bodoh dan jelek! Ayahku bahkan tidak pernah peduli dengan anak perempuannya."
Hugo sedikit terkejut mendengar kisah yang diceritakan oleh Ainsley. Lalu, tanpa sadar dia pun tertawa. Bahkan, sedikit terpingkal-pingkal.
Ainsley yang kesal, berusaha untuk tidak tersulut emosi. Nyaris saja, dia menghadiahi tinju ke wajah seorang penerus Keluarga Lichfield. "Apa yang lucu, bodoh?"
Hugo berusaha menghentikan tawanya. Walaupun sulit, tapi untungnya saja berhasil ia hentikan. "Sudah kubilang, bukan? Kau itu gadis aneh. Baru kali ini ada bocah yang mengatakan dirinya sendiri jelek dan bodoh."
Ainsley mendengkus kesal. "Aku berusaha bersikap rasional. Apakah itu lucu?"
Hugo menoleh ke arah Ainsley. Senyuman menawan tersungging di wajahnya yang berdebu. "Menurutku, kau tidak jelek dan bodoh. Justru, selama ini aku yang iri denganmu."
Ainsley terkejut, dia melirik Hugo yang juga tengah memandangnya. "Apa maksudmu?"
Hugo kembali menghadap depan, memandangi sungai yang terus mengalir walaupun sebentar lagi akan berubah menjadi es. "Kau tahu? Aku iri dengan kehidupanmu. Dirimu sangat cerdas, hidup dengan penuh kebebasan dan yang terutama ... kau masih memiliki seorang ayah, keluarga yang masih menantimu pulang. Aku tahu, kau sangat membencinya. Tapi percayalah, apapun yang beliau lakukan, semua itu pasti ada sebabnya."
Ainsley terkekeh. "Kau tidak tahu apa-apa tentang Ayahku," ucapnya ketus. "Dia sebelas duabelas nya Fis. Kau tidak akan sanggup tinggal dengannya. Bahkan jika ada olimpiade orangtua yang acuh dengan anaknya, dia pasti akan memenangkannya dalam sekali kedipan mata."
Hugo menghela napas panjang, berusaha menahan rasa tawanya yang hendak meledak. "Aku sangat tersanjung dengan kesabaran ayahmu. Yah, jika aku jadi dirinya, mungkin sudah bunuh diri duluan karena mempunyai anak perempuan pembangkang sepertimu."
Ainsley memutar bola matanya malas. Lagi-lagi Hugo kembali membuatnya kesal. "Ngomong-ngomong, apakah kau percaya tentang apa yang dikatakan oleh Luke dan Paman Sor mengenai orangtua kita baru saja?"
"Ya, aku percaya," Hugo menjawab dengan nada santai, namun terdengar cukup dingin disisi lain.
"Begitu ya? Mengapa kau berpikir demikian?" Ainsley sedikit terkejut, namun dia berusaha untuk memakluminya.
Hugo tersenyum simpul tanpa mengalihkan sudut matanya dari diorama hutan pinus, tak jauh dari aliran sungai.
"Semua yang mereka katakan itu benar. Ayahku memang tewas karena dibunuh. Bahkan ibuku juga. Mirisnya, mereka berdua dibunuh di depan mataku. Aku yang saat itu masih berusia lima tahun, hanya bisa bersembunyi di balik lemari. Menyaksikan kedua orang yang sangat kusayangi tewas dengan cara ditikam berkali-kali menggunakan pisau tajam oleh para pembunuh bertopeng. Tidak hanya orangtuaku, mereka membunuh semua orang di dalam Mansion Lichfield. Untungnya saja, Paman Blake berhasil menyelamatkanku dan para pelayan yang tersisa walaupun sedikit terlambat."
Ainsley menganga mendengar kisah Hugo yang menurutnya cukup menyayat hati. Dia tidak menduga bahwa sosok laki-laki disampingnya ini memiliki masa lalu lebih kelam dibandingkan dirinya.
Hugo menghela napas dalam-dalam. "Sejak saat itu, aku selalu berutang budi kepada keluarga Dirgory. Bahkan, menganggap Paman Blake dan Bibi Jane seperti kedua orangtuaku sendiri. Begitupun juga dengan Orion dan Camila, mereka seperti keluarga bagiku."
"Maaf ... karena aku, kau jadi mengingat masa lalumu," kata Ainsley menyesali. "Aku tidak menyangka, hidupmu jauh lebih berat dari yang ku-kira selama ini."
"Tidak apa-apa. Lagi pula, hidup itu selalu berjalan, bukan? Apa gunanya menyesali masa lalu?" ujar Hugo, hingga membuat Ainsley takjub. "Asal kau tahu, kota yang sekarang kita tempati ini dipenuhi oleh orang-orang tamak. Yang kuat, dialah yang akan bertahan. Jadi, jangan pernah menunjukkan sisi kelemahanmu! Seperti kisah orangtua Luke, musuh selalu berada di sekitar kita, bahkan orang yang sangat dipercayai juga bisa menjadi lawan. Maka, berhati-hatilah!" lanjutnya.
"Kalau begitu, kenapa kau mengatakannya kepadaku? Bukankah aku bisa menjadi musuhmu kapan saja?"
Hugo tersenyum nyengir. "Menurutku tidak."
"Kenapa kau bisa berpikir demikian?" tanya Ainsley yang mulai tertarik.
"Ya ... karena instingku mengatakan tidak," jawabnya dengan aksen datar.
Ainsley mengelus dada setelah mendengar jawaban yang tak layak disebut sebagai jawaban dari si laki-laki berjubah. Adegan ini mengingatkannya pada peristiwa pertengkaran Hugo dan Luke sewaktu berada di penjara ilusi.
"Namun, semua kisah kelam tadi tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kehidupan hantu tanpa kepala yang tengah berdiri di pinggir sungai itu," ucap Hugo spontan sembari mengarahkan sorot mata emeraldnya ke arah yang menurut Ainsley cukup membuatnya bergidik---deretan hutan pinus tua.
Ainsley mendelik. "Jangan bercanda! Di sana kosong!" pekik si gadis, berusaha menyembunyikan rasa ngerinya.
Hugo tertawa. "Aku tidak bercanda. Mereka menari memutari pohon, sepertinya sedang ada pesta musim dingin," ucapnya seraya tersenyum, memandangi para hantu tanpa kepala dari kejauhan. "Terkadang ... memantau hantu seperti ini, membuat pikiranku tenang," gumamnya pelan, nyaris berbisik.
Ainsley yang mendengarnya, lantas menutup telinga menggunakan kedua tangan secara spontan. Bagaimana bisa laki-laki ini beramsumsi bahwa menatap hantu dapat membuatnya tenang? Apakah dia sudah gila?
Hugo menoleh, menyaksikan raut wajah Ainsley yang telah berubah. "Kau takut dengan hantu, rupanya. Aku tidak menyangka ... bocah sepertimu, punya rasa takut," ledeknya.
"Hey, semua manusia itu memiliki rasa takut! Lagi pula, siapa juga yang takut dengan hantu? Aku hanya sedikit terkejut saja," ucapnya setenang mungkin.
Hugo terkekeh pelan. "Alasan."
Ainsley tersenyum samar. Lalu mendadak, dia teringat sesuatu. "Ah, iya!" pekiknya sedikit keras hingga membuat Hugo menoleh kaget ke arahnya.
"Ada apa?"
"Aku lupa mengembalikan pedang yang kau pinjamkan," kata Ainsley mengingat seraya mengambil pedang yang diikatnya pada ransel Pembenci Sihir.
"Pedang itu sudah menjadi milikmu," tukasnya tiba-tiba.
"Apa? Tapi kenapa?" kaget Ainsley. "Tumben, laki-laki sepertimu berbaik hati?"
Hugo mendengkus kesal. "Karena aku tidak butuh senjata, bodoh! Lagi pula aku mendapatkannya ketika menjadi jendral Fis. Awalnya ingin kubuang, tapi karena kasihan ... kuberikan saja padamu," ucapnya ketus.
"Demi kentut pertama kali kakek, kenapa dia mendadak marah? Padahal, lima belas detik yang lalu ia terlihat cukup ramah. Apakah orang ini memiliki kepribadian ganda atau semacamnya?" batin Ainsley bingung. "Bocah aneh."
Ainsley tersenyum mencoba melupakan isi benaknya. "Hey, terima kasih."
"Untuk apa?"
"Semuanya. Kau datang ke atas atap juga untuk membujukku, bukan?"
"Tidak. Aku datang ke tempat ini, hanya sekedar menikmati suasana hutan terlarang. Kau besar kepala sekali," umpatnya yang membuat Ainsley semakin bertambah emosi.
Ainsley berusaha untuk tetap tenang, walaupun dia ingin sekali meninju wajah datar Hugo dari dekat. "Hey, terkadang aku bertanya-tanya, sebenarnya kau ini manusia atau bukan? Kepribadianmu lebih aneh ketimbang Fis."
"Bukan, tentu saja manusia," jawabnya sengit.
Gadis bersurai brunette itu terkekeh geli. "Kupikir, kau ini alien yang tengah menyamar. Sudahlah, Aku akan turun ke bawah," tukas Ainsley seraya bangun dari duduk bersilanya.
Hugo menghela napas lagi. "Secepat itu? Kau kan masih marah dengan Luke? Biasanya, gadis sepertimu harus dibujuk lebih lama dulu agar mau berkompromi," ucapnya tanpa sadar.
"Ya, itu tadi. Tapi seperti katamu barusan, hidup selalu berjalan, bukan? Untuk apa menyesali masa lalu? Jika Ibuku memang benar meninggal karena diracun maka biarlah berlalu," ujar Ainsley sembari mengambil tas ranselnya.
Hugo tersenyum lega seraya mengangguk pelan. "Akhirnya, misi membujuk gadis gila ini berhasil kulakukan dengan sangat baik," batinnya bangga.
"Namun, bukan Ainsley Wijaya Felton namanya kalau tidak bisa menyelidiki kasus besar." Ainsley kembali bersuara, sontak membuat Hugo yang mendengarnya terkejut. "Meskipun kematian ibuku dan orangtuamu dilupakan, keadilan tetap harus ditegakkan. Selama masa pencarian topi sang pesulap, aku akan menyelidiki semua misteri yang belum terpecahkan."
"Kau yakin mau melakukan hal itu? Kita tidak tahu siapa dalang di balik pembunuhan ibumu dan orangtuaku. Sejak dulu, orang-orang kota selalu beranggapan bahwa mereka tewas karena berhubungan dengan Fis dan Luke," hardik Hugo.
"Kita lihat saja, mereka semua tidak akan berlama-lama mempertahankan keyakinan konyol itu setelah kebenaran terungkap. Pada dasarnya, Luke, Fis dan orangtua kita dijebak," ucap Ainsley menganalisa.
Hugo terdiam cukup lama. "Hah? Maksudmu?"
"Aku sangat yakin, pembunuh orangtua kita pasti memiliki motif lain di balik aksi brutalnya," jawab Ainsley menyimpulkan. Lalu beralih pergi, meninggalkan Hugo dalam keheningan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top