LII. ✾ Roh Hutan ✾
Kau mengingatku?
~•¤•~
Hugo, Luke dan Rasbeth tersentak kaget ketika mendengar apa yang diucapkan oleh Ainsley.
Angin dingin masih saja berhembus di kala itu, begitupun juga dengan nyanyian Sang Hutan---bagaikan sebuah kaset rusak yang terus-menerus diputar ulang.
Untungnya; Ainsley, Luke dan Rasbeth tidak terhasut oleh nyanyian Sang Hutan. Cukup Hugo saja yang pernah terhasut.
"Katakan padaku, bagaimana caranya? Agar kita bisa menghancurkan zona waktu berhenti ini?" tanya Rasbeth. "Kita tidak bisa berlama-lama terperangkap di dalam Hutan Wysperia."
Ainsley termenung sejenak, memikirkan jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan Rasbeth. "Untuk saat ini, aku belum menemukan jawabannya."
Hugo terkekeh. "Sudah kuduga, kau akan menjawab seperti itu." Hugo kemudian membuka buku jurnalnya. Dibacalah halaman yang membahas tentang nyanyian Sang Hutan itu sekali lagi. Ujung-ujungnya, Dia menggeleng pasrah.
"Kenapa, Hugo?" Rasbeth bertanya sembari melipat kedua tangannya tepat di depan dada. Begitupun juga dengan Ainsley yang turut serta mendengarkan.
Sementara Luke, entah apa yang merasukinya? Dia lebih memilih bersandar di bawah pepohonan---menikmati kesuraman hutan dalam diam. Sepertinya, laki-laki ilusi itu sudah pasrah akan keadaan.
"Di jurnal ini tertulis, bahwa Sang Hutan tidak memiliki kelemahan. Satu-satunya jalan adalah jangan pernah memasuki kawasan Hutan Wysperia," kata Hugo sembari menutup buku jurnalnya, lalu memasukkannya kembali ke dalam jubah. "Sepertinya kita akan membusuk di tempat ini."
Ainsley dan Rasbeth terdiam sejenak, berusaha mencari solusi yang tepat untuk meloloskan diri dari Hutan Wysperia.
Mata indah Ainsley tidak sengaja tertuju pada Luke, yang mana laki-laki itu lebih memilih terdiam memikirkan sesuatu.
"Ada apa Luke?"
Luke menoleh, menatap Ainsley. Mata berwarna merahnya terlihat sayu. "Aku lapar."
Dua kata itu membuat Ainsley, Hugo dan Rasbeth terdiam cukup lama. Bisa-bisanya di saat seperti ini, Dia mengatakan hal yang sungguh berguna untuk melatih tekanan darah seseorang.
"Kau lapar?" tanya Hugo dengan tiba-tiba. "Kenapa tidak memakan daun-daun yang berserakan di tempat ini saja?"
"Leluconmu sungguh tidak lucu, Pangeran," tukasnya sembari menunjukkan senyuman mengejeknya.
"Kalian dengar? Suara nyanyiannya sudah berhenti!" ucap Rasbeth berusaha memastikan berhentinya nyanyian Sang Hutan dengan gendang telinganya.
Hugo dan Luke saling menoleh, mencari suara seperti yang dilakukan oleh Rasbeth.
"Ya, kau benar," kata Hugo dengan gembira. "Sepertinya, kita sudah keluar dari zona waktunya."
Ainsley berusaha mendengarkan suara nyanyian itu sekali lagi. Seperti yang diucapkan Rasbeth, suara Sang Hutan telah berhenti. Hanya desiran angin saja yang mampu di tangkap oleh indera pendengarannya.
Ainsley terdiam, dia berpikir sejenak. "Secepat itu? Hutan Wysperia yang sangat ditakuti, tidak mungkin berhenti mencari mangsanya dengan begitu mudah."
"Ainsley ...."
Ainsley menoleh ke arah pepohonan rindang di sebelah Luke, bisikan seorang wanita mendadak terdengar--memanggil namanya.
"Ainsley ...."
"Aku mendengar suara bisikan," kata Ainsley.
"Bisikan apa lagi?" tanya Hugo.
"Bisikan seorang wanita, terdengar seperti memanggil namaku," tukas Ainsley. "Sudah kubilang, hutan ini tidak semudah itu melepaskan makanannya."
"Teman-teman ...," kata Rasbeth pelan. "Sepertinya, kita sedang kedatangan tamu."
"Apa---"
Hugo menghentikan kalimatnya, ketika kedua mata emeraldnya menangkap sekumpulan---lebih tepatnya sepasukan makhluk berwajah serupa tengah bersembunyi di setiap pepohonan tinggi.
Wajah mereka tidak terlihat begitu jelas, karena suasana hutan yang memang sedikit gelap.
Namun, Rasbeth bisa menyimpulkan bahwa kumpulan makhluk itu adalah hantu penyalin wajah yang kerap kali ditemuinya pada saat memasuki gerbang Hutan Wysperia.
Pasukan berwajah serupa itu berjalan semakin maju---berusaha mengepung Ainsley, Hugo, Luke dan Rasbeth.
Mereka berempat secara spontan berjalan mundur hingga terpojok pada pohon yang tadinya digunakan Luke untuk bersandar.
Makhluk-makhluk berbaju putih itu berjalan semakin dekat, bahkan beberapa dari mereka, berniat menyerang Hugo dengan kukunya yang panjang.
Hugo mengarahkan satu tangannya ke depan, lalu segeralah Ia mengeluarkan perisai listriknya, membuat makhluk-makhluk itu terpental ketika menyentuhnya.
Rasbeth pun membantunya dengan menembakkan api racun dalam skala ringan ke arah pasukan penyalin wajah. Namun sayangnya, kekuatan apinya justru menembus tubuh mereka layaknya hantu.
"Kenapa tidak berhasil?" gumam Rasbeth yang tengah berdiri di sebelah Hugo.
"Sepertinya mereka hantu," sahut Hugo. "Hantu orang Wysperia."
"Tidak mungkin, mereka bukan hantu, lihat saja wajahnya itu! terlihat menyerupai kita! kecuali Luke. Di antara mereka semua, wajah Luke sama sekali tidak disalin," jelas Rasbeth.
Hugo melirik Luke yang sedari tadi tersenyum bangga karena wajahnya tidak disalin.
"Sungguh tidak adil," gerutu Hugo tidak terima.
"Tricks, kau bisa melihat mereka?" tanya Luke, di saat ini Ia hanya mengandalkan Ainsley untuk mengartikan kondisi.
"Tidak, aku hanya melihat sekumpulan cahaya berwarna biru terang, sama seperti pada waktu itu," jawab Ainsley.
Luke tersenyum. Ainsley sempat merutuki laki-laki yang tengah berdiri di sebelahnya. Bisa-bisanya di waktu seperti ini, Dia mencoba memamerkan senyumannya untuk yang kesekian kalinya.
"Apakah kau kesurupan nyanyian hutan? Bisa-bisanya tersenyum di waktu yang tidak tepat," gerutu Ainsley.
"Kenapa? Kau terpesona dengan senyumanku, Tricks? Aku tahu---"
"Jika kau tidak membantu, berhentilah mengoceh Luke! suaramu mengganggu perisaiku bekerja!" kesal Hugo sembari menyumpal mulut Luke dengan daun pohon yang sempat terjatuh di atas jubahnya.
Untungnya, tangan kanan Hugo tidak bekerja sehingga ia bisa dengan leluasa menyumpal daun itu ke mulut si pesulap, alhasil membuatnya terbatuk-batuk.
Luke memuntahkan daun-daun itu dari mulutnya. "Kau sungguh tidak mengenal tata krama, Pangeran," gerutunya tidak terima. "Meskipun wujudku remaja, umurku jauh lebih tua dari---"
"Yang Mulia, Remus?"
Suara sang penyanyi mendadak terdengar dalam aksen bertanya. Sontak membuat Luke terdiam sembari menoleh mencari asal suara.
Hugo, Rasbeth dan Ainsley dilanda rasa keheranan ketika mendapati para makhluk yang sangat hobi menyalin wajah secara tiba-tiba terdiam, lalu berjalan menyingkir hingga menyisakan jalur jalan di bagian tengah pasukan.
Sesosok makhluk---lebih tepatnya cahaya menyilaukan berwarna merah, terbang menelusuri jalur tengah yang sudah dipersiapkan oleh pasukan penyalin wajah. Cahaya itu mengambang hingga menembus perisai Hugo dengan begitu mudah.
Plop!
Bunyi 'plop' terdengar bersamaan dengan masuknya si cahaya ke dalam perisai milik Hugo. Alhasil, perisai listrik itu meletus layaknya gelembung udara.
Mata Hugo, Ainsley, Luke dan Rasbeth sama sekali tidak berpaling dari Si Cahaya. Bagaimana bisa, cahaya merah berukuran bola tenis begitu mudah memecahkan perisai milik Hugo?
"Tricks, apa yang tengah kau lihat?" bisik Luke tanpa mengalihkan pandangannya dari cahaya aneh tersebut.
"Aku melihat cahaya berwarna merah tengah mengambang di udara," jawabnya sedikit terpukau.
"Benar, aku juga melihatnya" bisik Luke lagi.
Cahaya itu terbang mengitari Luke. "Yang Mulia, Remus! Ternyata itu anda!"
"Remus? Bukankah namamu Luke?!" tanya Ainsley dengan memberikan tatapan tajam bak sayatan pedang ke arah Luke.
Luke terdiam sejenak, saraf otaknya masih bekerja di situasi seperti ini. "Kau mengenalku?"
"Apa! Kau melupakanku! Padahal seribu dua ratus tiga puluh tiga tahun yang lalu kau pernah mengunjungi hutan ini dan memberikan kami daging monster sungai! Anda lupa?"
"Benarkah? Kenapa aku tidak mengingatnya, ya?" gumam Luke yang membuat Si Bola Cahaya menangis.
"Kau membuat seorang wanita bersedih," ucap Hugo tanpa berpikir.
"Oh, aku ingat! Kau dan mereka adalah roh hutan waktu itu! Yang memakan anak buahnya Fis, benar bukan?" tebak Luke.
"Ya benar! Sejak saat itu aku menjadi pengagum berat anda, Remus. Bahkan aku memanggilmu Yang Mulia," katanya dengan bersemangat, bola bercahaya secara tiba-tiba berhenti menangis.
"Kau masih berhutang jawaban padaku, Luke!" sambar Ainsley yang semakin menambah kerumitan otak Luke.
"Nanti akan aku jelaskan," kata Luke berusaha menyelesaikan masalah setenang mungkin.
"Luke? Nama yang aneh, kenapa nama anda begitu banyak, Remus?" gerutu Si Cahaya.
"Tunggu, apakah kau berniat menipu kami!" timpal Hugo. "Kau mengatakan namamu Luke!"
"Oke-oke cukup, kalian menang. Akan aku jelaskan semuanya, jadi nama asliku itu Remus. Luke untuk wujudku yang sekarang Lalu Asmodeus adalah sosok monster serigala emas, kemudian Bagon untuk ular raksasa dan nama yang lain masih belum bisa dijelaskan secara sah," jelas Luke panjang lebar. "Ya, aku akui. Namaku banyak, tapi aku menyukainya. Kalian tahu? sekedar hobi," jelasnya sembari memasang senyuman bangga.
Ainsley yang mendengarnya bahkan berusaha mati-matian menahan tangannya yang begitu gatal. Ingin sekali dia ikut menyumpal daun ke dalam mulut laki-laki itu.
"Anda sepertinya tidak bosan menjadi pelupa dan kolektor nama. Tunggu, siapa bocah ini? Apakah dia kekasihmu?" kata bola cahaya itu sembari berputar-putar di atas kepala Ainsley.
"Apa?! Mana mungkin?!" ucap Ainsley, Luke dan Hugo secara bersamaan. Mereka bertiga mendadak terkejut dan saling menatap secara bergantian.
"Lalu, wujud apa yang tengah kau pakai ini?! Aku lebih suka rupa asli anda yang begitu tampan dan dewasa."
"Tunggu! Jadi, wujud aslimu itu kakek-kakek?" kaget Hugo tidak percaya.
"Apa?! Tidak mungkin! Wujud asliku itu berumur sekitar 30 tahun-an."
"Tapi, Dia tampan! Benar kan anak-anak?" ucapnya kepada pasukan peniru wajah.
Para pasukan itu mendadak berubah menjadi sekumpulan cahaya berwarna biru terang, sama seperti yang dilihat oleh Ainsley sebelumnya.
Cahaya-cahaya itu terbang mengelilingi Luke, terutama di atas rambut pirangnya.
"Apa yang mereka katakan?" tanya Ainsley.
"Mereka sangat senang bertemu dengan Remus karena dia tampan dan baik dalam bahasa Wysperia."
"Tricks, apa yang tengah kau lihat?" Luke lagi-lagi bertanya kepada Ainsley.
"Sama seperti tadi, cahaya berwarna biru. Bedanya, sebagian dari mereka tengah mengelilingimu," jawab Ainsley.
"Oh, jadi kau bisa melihat wujud asli roh hutan, gadis kecil. Pantas saja dari tadi dirimu tidak terhasut oleh nyanyian kami, bahkan Remus pun tidak bisa melihatnya," ucap Si Cahaya. "Kau mengingatkanku pada seseorang."
"Seseorang? Apakah dia wanita? sepertinya, yang kau maksudkan itu adalah ibuku?" tebak Ainsley.
"Tidak-tidak bukan wanita, lebih tepatnya seorang pria. Baiklah lupakan masalah itu! Sekarang atas seluruh keluarga roh hutan di tempat ini, aku meminta maaf karena mengganggu perjalanan kalian. Kami tidak tahu bahwa kalian adalah komplotannya Remus. Mata tua kami sudah seharusnya diistirahatkan, walaupun sebenarnya rupa asli roh hutan masih terlihat begitu muda ...."
" ... Terutama anda, tampan. Kau sempat terhasut oleh nyanyian kami, bukan?" kata Si Cahaya kepada Hugo yang hanya dibalas tatapan bisu olehnya.
"Astaga, anda dingin sekali. Oke, apa yang kalian lakukan di tempat ini? apakah kalian ingin mencari harta karun Dewa? atau memburu rusa emas?"
"Tidak, kami---"
"Kami mencari Portal Paralel yang melegenda," sambar Hugo, memotong telak kalimat Luke. "Bisakah kau menghilangkan zona waktu berhentinya?"
"Zona waktu berhenti? Oh, maksud anda perangkap ilusi ciptaan kami?"
"Ya, itu maksudku," kata Hugo.
"Tentu saja, tampan. Kenapa tidak mengatakannya dari tadi?" kata Sang Cahaya. "Baiklah, tolong minggir anak-anak!"
Para pasukan berwajah serupa yang telah berubah menjadi cahaya biru tanpa berpikir panjang segera menyingkir dari sana mengikuti perintah si merah.
Si cahaya merah secara tiba menembakkan kilatan kecil berwarna serupa menuju ke arah pepohonan tinggi di hadapannya.
Pyar!
Kilatan merah itu meretakkan pemandangan pepohonan kosong-- layaknya kaca yang dipecahkan oleh sebuah batu. Sontak membuat Ainsley dan Hugo tersentak terkejut.
Pemandangan yang semula dipenuhi hutan belantara tanpa batas, berubah bagaikan sulap menjadi jalur hutan biasa yang berujung ke sebuah cahaya terang.
"Masuklah ke dalam cahaya terang itu! di sana kalian akan menemukan hamparan rumput yang ditumbuhi sedikit pohon. Portalnya berada di tengah-tengah!"
"Terima kasih" ucap Ainsley.
"Tidak perlu berterima kasih, jalur itu memang jalan sesungguhnya menuju ke portal. Cuma disayangkan, kalian masuk ke dalam perangkap kami."
"Oke, ayo kita berangkat sekarang!" kata Hugo yang sudah tidak sabar. "Terima kasih banyak. Kami tidak akan melupakan kalian"
Ainsley, Luke, Hugo dan Rasbeth pada akhirnya berjalan memasuki jalur yang baru saja terbuka. Melewati para pasukan biru yang berterbangan di sekitar mereka.
Perubahan atmosfer yang begitu kental terjadi ketika keempat orang itu berhasil sepenuhnya menyeberangi jalur yang diretakkan oleh si merah.
Ainsley menoleh ke belakang, memandang hutan Gelap Wysperia dan jelmaan roh hutan untuk yang terakhir kalinya.
"Sampai jumpa lagi! jangan sungkan-sungkan untuk datang kemari! terutama anda Remus! awas saja kalau melupakan kami!"
Suara si cahaya merah bergema bersamaan dengan menutupnya jalur hutan berkabut. Mereka telah menghilang, bersembunyi di dalam zona waktu berhenti. Menyisakan hutan dengan pepohonan rindang yang akan mengantarkan mereka ke Portal Paralel.
"Apakah kita berhasil keluar dari zonanya?" tanya Rasbeth yang mulai membuka suara.
"Sepertinya sudah. Hugo, coba lihat jam tanganmu!" ujar Ainsley.
Hugo menoleh sejenak menatap Ainsley lalu mengecek jam tangannya. "Jamnya sudah kembali berdetak," ucapnya. "Kita berhasil keluar dari zona itu, berkat penggemarnya Luke---maksudku Remus."
"Panggil Luke saja, jika kalian sudah terbiasa," sahut Luke.
Hugo menyeringai. "Aku tidak menyangka, sosokmu sangat berguna di situasi seperti ini."
"Ya, aku tahu itu," katanya dengan bangga. "Sebenarnya, ada keuntungannya juga memasuki zona waktu berhenti. Kita jadi tidak kehilangan banyak waktu menuju ke Bumi, benar bukan?"
"Ya, kau benar, Luke. Kali ini aku setuju dengan pendapatmu," kata Ainsley
"Lihat! Bayangan portalnya sudah terlihat dari balik pepohonan!" seru Rasbeth sembari menunjuk Portal Paralel ke pada teman-teman sepetualangannya.
Mata abu-abu Ainsley kemudian mengarah ke portal yang ditunjuk Rasbeth---terlihat seperti bayangan cermin raksasa yang ditutupi oleh ratusan pohon. Namun, anehnya cahaya portal itu kian memudar. "Teman-teman apakah cahaya Portal Paralel selalu menipis?"
"Gawat!" pekik Luke.
"Ada apa?!" Hugo membuka suara.
"Portal nya sebentar lagi akan menghilang!" ucapnya, sontak membuat ketiga temannya itu terperanjat kaget.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi? kita harus segera bergegas ke sana!" tegas Hugo.
Mereka berempat pada akhirnya berlari sekuat tenaga menuju ke cahaya putih yang ditunjuk oleh Si Merah---demi menemukan portal tersebut. Luke berada di depan sebagai penuntun jalan.
Saat ini Ainsley percaya, portal itu adalah satu-satunya harapan agar Ia bisa tiba di Bumi dengan selamat.
"Sedikit lagi, Ainsley," gumamnya mencoba menyemangati diri.
Setelah mereka berlari memasuki cahaya putih itu, rasa lega kian membendung semua jiwa dan raga tatkala mendapati portal bak cermin raksasa tengah berdiri jauh di depan sana.
"Kita menemukan portalnya!" seru Ainsley.
Mereka berempat sangat gembira. Bahkan; Ainsley, Hugo, Luke dan Rasbeth tidak sadar bahwa sedari tadi sesosok makhluk tengah menunggu kedatangan mereka.
"Tidak semudah itu, Nak."
Bagaikan terkena hantaman Sang Petir, suara berat bernada licik secara tiba-tiba mengagetkan Ainsley, Luke, Hugo dan Rasbeth. Asap berwarna hitam pekat mendadak muncul jauh di depan mereka.
Asap itu menyatu menjadi jubah berwarna hitam lalu merambat naik hingga memperlihatkan wajah seorang pria dengan mata hitam penuh, rambutnya berwarna perak terlihat rapi untuk ukuran monster.
"Fis!" Luke mengucapkan nama itu. Suaranya terdengar begitu berat dan nafasnya memburuh.
Sosok itu tersenyum. "Senang bertemu lagi denganmu, Remus."
Brakk!
2278 kata
7 April 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top