III. ✾ Diary Hitam ✾
Kenapa manusia selalu menilai sesuatu dari sampulnya?
~¤•¤~
Brak!
"Ainsley! Isabel! Apa yang kalian lakukan disini?" Clara menjatuhkan balok-balok kayu yang akan digunakannya untuk menyalakan perapian ke tanah. Wajahnya tampak pucat, seakan-akan takut pada sesuatu.
"Ibu?" kaget Isabel.
"Sekarang pulang!" Melupakan sejenak posisinya sebagai seorang ibu berhati lembut, Clara menarik lengan Isabel dan Ainsley dengan kasar ke luar hutan. Meninggalkan balok-balok kayu yang jatuh berserakan.
"I-Ibu Isa bisa jelasin semuanya," kata Isabel berusaha meredam kemarahan sang ibu.
"Tentu saja Isa, kau harus menjelaskannya kepada kakekmu setelah kita sampai dirumah," jawab Clara.
🎪
"Apa?!" ucap Tuan Felton terkejut. Wajahnya berubah semakin serius.
Ainsley dan Isabel duduk berhadapan dengan Tuan Felton di sofa ruang keluarga. Sedangkan Clara dan Nyonya Felton berada di dapur, menyiapkan makan siang.
Dua saudari sepupu itu terlihat kebingungan. Bahkan, mereka takut, setelah tidak sengaja menatap raut wajah sang kakek yang begitu garang.
"Bagaimana bisa kalian masuk ke dalam hutan tanpa pengawasan orang dewasa?!" bentak Tuan Felton, suaranya terdengar sangat keras. Bahkan Ainsley yakin, suara kakeknya itu mampu meretakkan sejumlah kaca jendela saat ini.
Isabel menangis."I-ini salah Isa-"
"Ini salah Ainsley, Kek." Ainsley memotong kalimat Isabel. "Seharusnya, Ainsley tidak penasaran dengan hutan itu."
"Ainsley ...." Isabel menatap Ainsley dengan perasaan tidak percaya. Bagaimana bisa, sepupunya itu mengarang cerita yang jelas-jelas bukan kesalahannya? Pada kenyataannya, Isabel lah yang mengajaknya terlebih dahulu.
"Seharusnya, kalian berdua tidak bermain di dalam hutan," kata Tuan Felton sedikit melembut. "Hutan itu sangat berbahaya!"
"M-maaf, Kek," jawab Isabel sedikit lega. Wajahnya sembab, sehabis menangis.
"Mulai sekarang kakek tidak mau melihat kalian berdua pergi ke tempat sepi! Paham?"
"Paham," jawab Ainsley dan Isabel serempak.
"Bagus." Tuan Felton mengangguk pelan. "Kakek harap, kalian berdua tidak menemukan rumah di pinggir sungai," tukasnya tiba-tiba, sontak membuat Ainsley dan Isabel terkejut lalu saling menatap secara bergantian.
"Rumah apa, Kek?" Ainsley membalas bertanya. Dia berbohong. Padahal, jelas-jelas mereka berdua tahu, rumah yang dimaksudkan oleh pemimpin Keluarga Felton yakni rumah panggung milik pria pemotong kayu. Ia yakin, kakeknya itu akan membuangnya ke laut jika dirinya berkata jujur.
"Lupakan saja. Sekarang pergilah makan siang," ucap Tuan Felton seraya melanjutkan aktivitas membaca korannya yang sempat tertunda.
Isabel mengangguk, lalu bergegas pergi ke ruang makan. Tetapi, tidak untuk Ainsley. Alih-alih mendengarkan titah sang kakek, ia lebih memilih duduk terdiam di hadapan pemimpin Keluarga Felton yang garang.
"Kakek," panggil Ainsley.
"Bukankah baru saja Kakek mengatakan untuk pergi makan siang?" ulang Tuan Felton yang masih saja terpaku pada korannya. Wajah pria tua itu sepenuhnya telah dihadang oleh koran yang ukurannya cukup besar menurut Ainsley.
"Kakek, sebenarnya ada sesuatu yang ingin aku tanyakan," kata Ainsley tanpa adanya rasa takut. Rasa penasaran telah memenuhi dirinya saat ini. Bahkan, ia sungguh tidak peduli dengan wajah sang kakek yang setara dengan tirani tujuh lautan.
"Jika ingin membahas hal tadi, pembicaraan kita cukup sampai disini saja, Ainsley." Tuan Felton meletakkan koran dan kacamata bacanya di atas meja kayu berwarna hitam. "Pergilah makan siang, kakek tahu kamu sudah lapar."
"Aku ingin tahu, siapa pesulap itu?"
"Ainsley!"
Ainsley terdiam menunduk. Melihat reaksi cucunya itu, perasaan bersalah semakin menyatu di dalam diri Tuan Felton yang sudah tak lagi muda. Sekali lagi, beliau menyesal karena telah membentak cucunya.
Tuan Felton menghela napas panjang. "Pergilah, Sley," katanya melembut.
"Baik, Kek." Ainsley beranjak berdiri dari sofa empuknya, ia pergi menuju ke ruang makan, mengikuti titah sang kakek.
Setelah Ainsley pergi, Tuan Felton menghembuskan napasnya kuat-kuat. "Apa aku harus mengatakan tentang hal itu kepada Ainsley, ya?"
🎪
Setelah makan siang, Ainsley bergegas kembali ke kamarnya. Dia mengunci pintu, kemudian menutup jendela rapat-rapat dengan menggunakan tirai putih.
Ainsley mengambil buku diary hitam yang sengaja disembunyikannya di bawah bantal. Buku ini adalah satu-satunya wasiat yang dititipkan oleh mendiang ibunya untuk Ainsley. Ukurannya tidak terlalu kecil ataupun besar. Tapi, tebalnya bisa membuat orang pingsan dalam sekali pukul.
Orang-orang pada umumnya akan terkecoh. Mereka mengira, wasiat yang tengah dijaganya ini merupakan benda tak berharga. Sayangnya, mereka tidak tahu, apa yang sebenarnya ada di baliknya.
Buku ini adalah jurnal. Ya, jurnal. Bukan Diary.
Jurnal yang berisikan informasi penting mengenai suatu wilayah dan bahkan peta misterius pun ada di dalamnya.
Ainsley sejak dulu memang memasangkan stiker bertuliskan 'my diary' di bagian sampul hitamnya, agar menutupi lambang pohon emas yang jenisnya bahkan tidak pernah ada di bagian Bumi manapun. Namun, jika dilihat secara kemiripan, reliefnya hampir serupa dengan Beringin.
Dia sengaja melakukannya, guna mencegah usaha pencurian dari orang-orang yang ingin menguasai jurnal wasiat sang ibu.
Ainsley membuka jurnal hitam dengan hati-hati, layaknya menggendong bayi baru lahir. Halaman 612 adalah sasaran utamanya saat ini. Untuk pertama kalinya dalam hidup, dia harus membuka halaman tersebut. Pasalnya, Ainsley memang cukup jarang mengutak-atik buku warisan sang ibu. Ia lebih memilih berpacaran dengan buku hariannya yang lain ketimbang jurnal usang.
Halaman 612 menjelaskan tentang seluruh informasi Kota Shea. Bahkan, gambar-gambar tidak penting dan jumlah penduduk pun juga ditulis di dalam buku ini.
"Eh, seru juga baca kayak ginian," pikir Ainsley. "Bodoh! kembali ke topik utama!" ucapnya seraya menepuk jidat.
Ainsley dengan semangat bak api membara, berusaha mati-matian menemukan informasi pesulap yang disebutkan oleh bapak pemotong kayu sewaktu berada di hutan.
Seharusnya sebagai anak sekaligus cucu yang baik, Ainsley Felton tidak boleh ikut campur terhadap masalah yang akan berujung dengan kemarahan orangtua. Tapi itulah Ainsley. Ketika ia sudah dihadapkan oleh sebuah misi, maka misi itu harus diselesaikannya secara tuntas.
Ya, bisa dibilang sekarang Ainsley sedang mendapatkan sebuah misi rahasia, bukan?
"Yess dapat!" Hati Ainsley kembali berbunga tatkala mendapati nama pesulap di kalimat terakhir.
Yang bertuliskan:
"Ada seorang pesulap di kereta emas, dia tampan dan penuh karisma, dia bisa menghilang di tengah kabut, dia terlihat seperti malaikat tanpa sayap, matanya berwarna biru setajam elang, tapi ...."
Ketika Ainsley hendak ingin membaca kelanjutan dari kisah si pesulap, kertas di halaman berikutnya menghilang, menyisakan bekas robekan yang begitu panjang.
"Kertasnya hilang? Kenapa bisa?" pikir Ainsley. Dia dengan rasa penasaran tingkat tinggi, kembali mencari halaman yang hilang dengan membuka tas ranselnya. Tapi sialnya, kertas robekan itu tak dijumpainya di dalam sana. "Masa sih terjatuh?" gumamnya kesal.
"Ainsley! buka pintunya!"
Suara ketukan dan panggilan Isabel dari luar kamar, sontak mengagetkan Ainsley. Dia dengan pikiran kacau setengah bingung, berusaha menyembunyikan jurnal hitam di dalam kantong rok-nya.
"Ainsley!"
"Ya, ya sebentar."
Oh iya, satu lagi. Benda ini bisa menyesuaikan ukuran sesuai dengan wadah tempatnya dikarenakan Ainsley sendiri yang menambahkan teknologi modern dibuku jurnalnya.
Maka dari itu, tidak perlu heran jika jurnal sebesar kamus bahasa inggris muat ketika dimasukkan ke dalam kantong. Kepintarannya memang sangat diandalkan ketika berada di dalam situasi terdesak. Ainsley sungguh keren, bukan?
Ainsley dengan cepat membuka tirai putih yang ditutupinya, kemudian pintu kamar. Betapa terkejutnya dia ketika wajah datar Isabel telah menyambutnya di saat pintu kamar mulai terbuka.
"Lama sekali sih," keluh Isabel. Gadis itu dengan cekatannya, melompat ke atas tempat tidur. Meninggalkan Ainsley dengan mulut menganga. "Aku mau tidur siang, sana keluar!"
"Cih, main ngusir-ngusir saja," ucap Ainsley kesal lalu berjalan keluar dari kamar tanpa menutup pintu.
Sadar bahwa pintu kamarnya tidak ditutup oleh Ainsley, Isabel dengan suara bak toa meneriakinya sembari mengumpat.
"Apa kamu tidak pernah punya pintu di rumah, heh?"
Ainsley tidak menjawab. Dia berusaha menahan tawa setelah mengerjai saudara sepupunya sendiri. "Rasain!"
🎪
Criiingg!
"Iya, sebentar." Clara segera berlari menuju ke ruang keluarga untuk mengangkat telepon.
"Hallo?"
"...."
"Iya benar, ini dengan keluarga Felton."
"...."
"Ini dari siapa ya?"
"...."
"APA?" kaget Clara.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top