II. ✾ Tersesat ✾
Kau tahu? Dunia ini menyimpan banyak sekali misteri
~¤•¤~
Suasana pagi yang cerah, memberi semangat kepada Ainsley untuk membaca buku di teras rumah keluarga Felton.
Angin pagi berderu lembut, meniup setiap helai rambut ikal Ainsley. Daun-daun kering kian berjatuhan di halaman rumah yang tampak sederhana, namun tidak meninggalkan kesan elegan. Suara kicauan burung yang bertengger di dahan pohon, terdengar merdu mewarnai hari. Sungguh, suasana pagi yang sempurna.
"Hey Sley, sedang apa?" Kemunculan Isabel yang begitu tiba-tiba di balik pintu ruang tamu, seketika mengacaukan acara pagi Ainsley. Gadis yang namanya dipanggil lantas menoleh dengan perasaan kesal.
Ainsley mendengkus. "Astaga! Kenapa sih, kau selalu datang dengan tiba-tiba?" gerutunya kesal.
"Suka-suka aku dong, kamu sedang membaca buku apa?" ucap Isabel penasaran. Gadis berambut pirang sepinggang itu berjinjit, berusaha melihat isi buku yang dibaca oleh sepupunya.
Ainsley yang mengetahui niat Isabel, segera menutup bukunya dalam kurun waktu 0,1 detik. "Geografi," jawabnya.
"Apa? Kau serius?" Isabel memasang raut wajah kaget yang dibuat-buat. "Aku baru tahu, di hari libur yang sangat singkat ini masih ada saja orang yang membuka buku pelajaran."
Ainsley memutar bola matanya jengah. "Suka-suka aku dong, sudah sana pergi! Jangan mengganggu orang yang sedang belajar!"
"Dari pada membaca buku, lebih baik kita jalan-jalan," ujar Isabel sembari menarik lengan Ainsley.
"Eh, untuk apa?"
"Sudah, ikut saja. Aku akan menjadi pemandu wisata untukmu dalam sehari," kata Isabel seraya memaksa Ainsley untuk berdiri. "Kakek, Isabel dan Ainsley pergi dulu, ya!" pamitnya bertepatan dengan keluarnya sang kakek dari dalam rumah.
"Mau pergi kemana?" tanya Tuan Felton memastikan.
"Keliling kota. Tenang saja kek, kami akan pulang di saat jam makan siang," jawab Isabel antusias seraya berlari keluar pagar. Tak lupa, Ainsley pun juga digiring olehnya.
"Ya, tapi jangan jauh-jauh!" seru Tuan Felton sedikit terlambat karena kedua cucunya telah pergi dengan begitu cepat dari pekarangan rumah. "Astaga, anak-anak ini."
🎪
Isabel menarik lengan Ainsley dengan kuat seperti membawa seekor kerbau. Gadis berambut pirang sepinggang itu mengajak Ainsley ke suatu tempat yang sepi nan jauh dari keramaian.
"Isabel, kita mau kemana?" tanya Ainsley penasaran.
"Kau ini cerewet sekali. Sudah kubilang, dari pada belajar geografi, lebih baik pergi ke tempat seru," ujar Isabel seraya melepaskan genggaman tangannya.
"Tempat seru? Serius? Ini hutan tahu! Tidak ada serunya." Ainsley menggerutu kesal. "Kenapa tidak di kota saja? Kita kan bisa makan bakso."
Isabel menepuk jidatnya sendiri. "Hello, Ainsley. Kau tahu tidak? pemandangan kota itu sangat membosankan. Lebih baik kamu diam saja dan ikuti aku," sambarnya seraya memekik.
Ainsley hanya pasrah dan ya, dia juga bosan. Apa salahnya mengikuti Isabel? Toh, berjalan-jalan di hutan juga bukan hal yang buruk.
Pada akhirnya, mereka berjalan semakin jauh memasuki hutan. Cahaya mentari pagi terlihat tidak berhasil menerobos masuk melalui celah-celah akar pohon yang menggantung, membuat suasana hutan terlihat gelap di pagi hari. Meskipun begitu, Ainsley sangat menyukai hutan ini.
Hembusan angin yang membisu, suara nyanyian burung di pepohonan dan aroma embun pagi. Sempurna! Hutan ini menggabungkan semua elemen alam menjadi satu. Tentu saja, membuat siapa saja betah untuk berjalan lebih lama di bawah pepohonan rindang.
"Bukankah tadi kau mengatakan tempat ini tidak ada serunya? Tapi kenapa raut wajahmu justru menunjukkan bahwa dirimu sedang senang?" goda Isabel yang dibalas lirikan tajam oleh Ainsley.
"I-itu kan tadi, mana aku tahu kalau suasananya bisa berubah sesejuk ini," jawab Ainsley.
Isabel tertawa setelah mendengar penuturan kata yang keluar dari mulut sepupunya itu. "Kau tahu, sebenarnya hutan yang sedang kita injak ini adalah kawasan terlarang."
Ainsley seketika membelalakan kedua matanya tidak percaya. "Apa?!"
"Menurut kesaksian penduduk, hutan terlarang banyak ditinggali oleh makhluk aneh," ucapnya menjelaskan.
Wajah Ainsley berubah semakin serius. Dia cukup terkejut mendengar cerita yang dikisahkan oleh Isabel.
Isabel melirik sepupunya, sedetik kemudian dia mulai tertawa. Tawanya bahkan terdengar agak nyaring menurut Ainsley.
"Apa yang lucu?"
"Wajahmu lho, tolong dikondisikan ketika terkejut," ucap Isabel di sela-sela tertawanya. "Tenang saja, hutan ini memang dianggap terlarang oleh penduduk sekitar, tapi itu hanya sebuah legenda."
Isabel kembali melanjutkan aktivitasnya dengan sangat riang. Seakan-akan buta akan kisah terlarang di balik hutan yang indah. Namun, tidak untuk Ainsley. Perasaan was-was semakin menggerogoti jiwanya. Meskipun tidak percaya dengan hal-hal mistis, Ainsley sangat taat dengan yang namanya aturan. Jika hutan dikatakan terlarang, maka pemerintah telah mengecap bahwa kawasan ini sangat berbahaya. Entah karena hewan buas ataupun tanaman beracun.
Ainsley menduga bahwa kewarasan Isabel sempat menghilang dua jam yang lalu setelah sarapan. Dimana saat itu ia lebih memilih untuk mengonsumsi roti bakar yang telah gosong ketimbang nasi goreng.
Alhasil ia terbatuk-batuk. Sampai-sampai Bibi Clara yang panik, memberikannya dua botol air sekaligus. Entahlah, apa yang tengah dipikirkannya?
"Nah, sudah sampai," kata Isabel.
"Wow," kagum Ainsley. Dia takjub, ketika pemandangan air terjun yang terlihat begitu indah, terbentang luas jauh dihadapannya.
Air terjun itu mengalir dari tebing bebatuan tinggi menuju ke sebuah sungai yang sangat panjang.
Angin berhembus kencang, membuat dedaunan pohon cemara berjatuhan di aliran sungai yang begitu jernih.
"Hey Ainsley, kenapa masih berada di sana? ayo kemarilah! kita bermain air!" ajak Isabel yang sudah melepaskan sandalnya. Gadis itu bergegas memasuki sungai yang terlihat cukup dangkal.
Ainsley juga ikut melepaskan sandalnya dan meletakannya disebelah sandal Isabel.
"Aku akan kesana!" seru Ainsley dengan antusias sambil mengangkat roknya supaya tidak basah ketika terkena derasnya aliran sungai.
"Ainsley lihat sini!" pekik Isabel. Gadis itu mencipratkan air pada wajah Ainsley hingga membuat bajunya basah.
"Isabel! Awas kamu!" Ainsley membalas mencipratkan air kepada Isabel.
Mereka saling menciprat dan tertawa satu sama lain. Kedua gadis muda itu bahkan tidak sadar, kalau mereka sudah menghabiskan waktu berjam-jam di dalam air.
"Lihat kan! Bajuku basah!" kesal Ainsley.
"Bajuku juga basah keles" jawab Isabel tidak kalah keras.
Ainsley menghentikan aksi bermain airnya bersama Isabel. Melawan rasa dingin akibat diterpa oleh angin, dia bergegas naik ke atas bongkahan batu besar sembari mengeringkan dirinya di panas matahari yang begitu hangat.
Kota Shea adalah kota yang sangat sejuk, mungkin karena letaknya di atas perbukitan. Oleh karena itu, sepanas-panasnya di tempat ini sama saja dengan sedingin-dinginnya Kota Surakarta.
"Ini, makanlah!" Isabel memberikan satu buah sosis kepada Ainsley.
"Dari mana kau mendapatkannya?" tanya Ainsley penasaran. Pasalnya di sekitar area sungai ini, Ia tidak mendapati warung ataupun toko yang menjual sesuatu. Yang ada, hanyalah pepohonan dan hewan hutan yang kerap kali dijumpainya selama perjalanan.
"Sudahlah, makan saja."
Ainsley mengambil sosis yang diberikan Isabel kepadanya. "Makasih," ucapnya.
"Sama-sama."
"Kamu tidak makan?" tanya Ainsley.
"Sudah, ini masih banyak" Isabel mengeluarkan satu kantung plastik berisi sosis. Kira-kira jumlahnya 10 sosis.
"Kau yakin, akan memakan semua sosis itu sendiri?" tanyanya tidak percaya. Sebenarnya Ainsley ingin meminta sosis itu lagi, namun ia cukup sungkan dengan Isabel.
"Tentu saja," jawab Isabel polos sambil memakai sandalnya, lalu pergi meninggalkan Ainsley.
Setelah sosis yang dimakan Ainsley habis, gadis itu segera turun dari batu dan berlari cepat menyusul Isabel.
"Hey, tunggu!" gerutu Ainsley ketika mendapati Isabel berjalan meninggalkannya di tepi hutan seperti ini.
Isabel berjalan semakin menjauh, sedangkan Ainsley masih berlari mengejarnya. Tiba-tiba hutan yang awalnya cerah mendadak berubah menjadi berkabut. Membuat bayangan Isabel semakin menghilang ditelan oleh kabut tebal.
"Astaga, kenapa Isabel jalannya cepat sekali sih?" kesal Ainsley dengan nafas yang terengah-engah. "Isabel!" teriak Ainsley ketika seluruh hutan sudah tertutup sepenuhnya oleh kabut. "Isabel!" panggil Ainsley lagi. Namun, panggilan dari gadis itu tidak di jawab oleh sepupunya sama sekali.
Kepala Ainsley mendadak pening, ia sungguh tidak tahu arah jalan pulang. Seluruh hutan sudah dipenuhi oleh kabut putih.
Dibalik semua itu, Ainsley samar-samar melihat bayangan hitam di kejauhan. Seseorang dengan topi nyentrik yang agak panjang—seperti kostum seorang pesulap—tengah berdiri ditengah hutan berkabut.
"Isabel! Hentikan main-mainnya!" pekik Ainsley yang mengira bayangan tersebut adalah akal-akalan Isabel. Namun selang beberapa detik, orang itu hanya berdiri dan tidak bergerak sama sekali.
"Ainsley!" panggil Isabel.
"Hah?" kaget Ainsley.
"Kau sedang apa?" tanya Isabel bingung.
"Bukannya kau tadi menghilang?" kaget Ainsley.
"Menghilang?" Isabel tertawa. "Kamu bercanda, ya?" tanyanya.
"Jangan main-main! Tadi, aku melihatmu jalan lebih dulu. Kemudian, menghilang ditelan oleh kabut," kata Ainsley menjelaskan.
"Kabut? Sejak kapan hutan ini berkabut? Cuacanya juga sangat cerah kok," ucap Isabel bingung. "Aku dari tadi disebelahmu, Sley."
"Tapi—"
"Sudahlah, mungkin kamu kecapekan saat bermain air tadi."
Ainsley bingung, tidak mungkin ia berhalusinasi. Kejadian tadi terlihat sangat nyata. Atau mungkin dia memang benar-benar kecapekan?
Ainsley mengikuti Isabel dengan perasaan pasrah, yang dimana mereka memilih berjalan menelusuri arus sungai sebagai penuntun arah pulang.
"Isa, kenapa kita harus mengikuti arus sungai? Bukannya tadi kita datang dari arah yang berbeda, ya?" tanya Ainsley.
"Tenang saja, arus sungai ini akan mengarah ke rumah kok," jawab Isabel.
"Oh ok, ngomong-ngomong ini sudah jam berapa?"
Isabel mengecek jam tangannya. "Jam 11 pagi," ucapnya sambil mengeluarkan kantong sosisnya lagi.
"Kau mau sosis lagi?" tanyanya berusaha menawarkan sebuah sosis yang aromanya sangat menggugah selera.
"Tidak, makasih" tolak Ainsley sopan, ia sudah tidak memiliki nafsu makan semenjak kejadian kabut di tengah hutan tadi.
"Ya sudah."
Isabel memakan sosisnya dengan begitu lahap. Lalu secara mendadak, dia berhenti melangkah.
"Ada apa?" tanya Ainsley bingung tatkala mendapati sepupunya terdiam mematung.
"Tidak-tidak, kita sepertinya berjalan ke arah yang salah!" kata Isabel. Wajahnya terlihat takut akan sesuatu.
"Hah?"
"Kau lihat itu? Disana ada rumah!" Isabel menunjuk sebuah rumah panggung yang terlihat cukup nyaman. Hunian itu sangat sederhana dan kokoh karena letaknya berada di pinggir sungai.
"Iya memang kenapa?" tanya Ainsley.
"Setahuku jalan menuju ke rumah kakek tidak pernah dibangun rumah apa pun, yang ada hanyalah hutan," ucap Isabel. "Rumahnya terlihat sangat aneh, sebaiknya kita pergi ke jalan yang tadi saja" katanya lagi.
"Hah? Bukannya kamu sering lewat sini, ya?" tanya Ainsley bingung.
"Iya, tapi aku tidak menyangka kalau kita salah jalur," tukas Isabel.
Ainsley hanya menepuk jidatnya. "Ya sudah, kita kembali ke air terjun tadi saja."
Isabel dan Ainsley pada akhirnya berjalan kembali menuju ke arah air terjun. Mereka berdua sama-sama berjalan melawan arus sungai, dengan harapan segera tiba ke tempat tujuan.
Mereka berjalan cukup jauh dan telah memperkirakan akan segera tiba di air terjun sebentar lagi. Tapi hal aneh ini terjadi.
"Loh kok bisa?" kaget Isabel. "Kenapa kita kembali ke rumah tua ini lagi?"
Ainsley bingung. Dari tadi mereka sudah berjalan lurus mengikuti arus sungai, tetapi kenapa kembali lagi ke tempat ini?
"Jadi selama ini kita hanya berputar-putar?" panik Isabel.
"Tenang Isa, coba kita tanyakan kepada bapak itu."
Tidak jauh dari sana, Ainsley tanpa sengaja menemukan seorang pria paruh baya berjanggut putih tengah memotong batang pohon cemara.
"Tidak mau! Sebaiknya kita pergi—"
"Ya sudah, aku saja. Sepertinya bapak ini tahu arah jalan ke kota."
Isabel hanya bisa pasrah melihat tingkah sepupunya. Ainsley dengan segala keberaniannya, segera mendatangi bapak pemotong kayu itu.
"Permisi pak, bolehkah saya bertanya? Jalan menuju ke arah kota lewat sebelah mana, ya?" Ainsley tersenyum ramah. Mencoba untuk bersikap sesopan mungkin di depan sosok orang yang lebih tua.
Bapak itu menghentikan aktivitasnya. Beliau dengan sengaja menjatuhkan beberapa balok kayu yang baru saja dipotongnya ke tanah. Ainsley dan Isabel pun terperanjat kaget secara bersamaan.
"Kalian bisa mengambil jalan lurus mengikuti arus sungai, dan jangan ke arah kalian datang."
"Oh oke. Terima kasih, Pak."
Bapak itu melanjutkan aktivitasnya kembali. "Sebaiknya kalian cepat pulang, sebelum sang pesulap datang lalu menculik kalian."
"Hah pesulap?" tanya Ainsley bingung.
"Sudah, ayo pulang!" Isabel bergegas menarik lengan Ainsley. Mereka berdua dengan cepat berlari menjauh.
"Cepat pergi! Sebelum pesulap itu datang dengan kereta apinya! Hahaha." Bapak pemotong kayu secara tiba-tiba berteriak seperti orang gila. Membuat kedua gadis Keluarga Felton bergidik ngeri. Lalu—berlari ketakutan—meninggalkan tempat tersebut.
Kedua kaki Ainsley bergerak dengan sendirinya, seakan-akan dituntun untuk berlari menjauh dari kawasan terlarang.
"Bapak itu kenapa sih? Ada apa dengan pesulap?" tanya Ainsley ketika dirasa mereka telah berlari cukup jauh dari tempat tadi.
"Bapak itu gila, sudah kubilang jangan ke sana!" kata Isabel.
Ainsley terdiam.
"S-Sudah kubilang kan, ayo kita pulang! Sudah saatnya jam makan siang," ucap Isabel berusaha menarik lengan Ainsley.
Ainsley segera menepis tangan Isabel. "Isabel, apakah kau sedang menyembunyikan sesuatu dariku?" tanyanya dengan tatapan menyelidik.
"Hah? tidak!" jawab Isabel sambil mengalihkan pandangannya ke arah sungai yang mengalir.
"Kau berbohong," kata Ainsley.
"Sudah kubilang ... Tidak!"
"Isabel!" bentak Ainsley yang membuat Isabel seketika terdiam.
"Sebaiknya kita pulang, Sley," saran Isabel dengan perasaan yang tidak enak.
"Katakan sekarang!"
Isabel terdiam cukup lama. "Baiklah," pekiknya kesal. Dia menghela napas panjang, berusaha menstabilkan emosinya. "Sebenarnya ...."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top