I. ✾ Mobil Hitam ✾

Percayakah kau pada keajaiban?

~¤•¤~

Klakson kereta terdengar begitu mengusik di kala malam. Kereta yang terlihat cukup modern itu membelah luasnya hutan dengan penerangan minim. Suara hiruk-pikuk penumpang semakin tidak terdengar. Mereka satu per satu turun di kota sebelumnya, meninggalkan seorang gadis kecil di dalam gerbong yang sunyi.

Sepi. Satu kata itu mewakili suasana perjalanan malam ini. Ainsley, gadis yang menjadi penumpang terakhir- menyibukkan dirinya dengan termenung-memandang sang rembulan dari dalam kereta. Dia merapatkan punggungnya ke senderan kursi. Lalu menghela napas gusar, menyudahi menikmati pemandangan malam di luar jendela. Mata indahnya terpejam sebentar- memikirkan libur panjangnya setelah ini.

"Pergi menjenguk kakek? Apakah itu alasan yang sangat tepat untuk aku katakan kepada Bibi Rani?" ragunya, mengingat dirinya saat ini tengah kabur dari rumah.

Untungnya, Ainsley telah meninggalkan surat kepada Bibi Rani dan memberitahu kakeknya lebih awal akan kedatangannya melalui telepon rumah. Untuk sementara waktu ia akan menghindari ayahnya. Ainsley sengaja mengunjungi sang kakek, Tuan Felton. Karena dia tahu, hubungan ayahnya dengan Keluarga Felton-keluarga ibunya Ainsley-tidak begitu baik.

Perseteruan itu, membuat hubungan Ainsley dengan keluarga sang ibu menjadi jauh. Walau bagaimanapun juga, Tuan dan Nyonya Felton terkadang menyempatkan diri untuk mengunjungi cucu tersayang ini. Hanya saja, Ainsley tidak pernah bertemu dengan anggota keluarga Felton selain kakek dan neneknya.

Ini kali pertamanya, Ainsley mengunjungi kota sang kakek. Yakni Kota Shea yang dirumorkan tidak pernah ada. Kota ini memang nyaris tidak pernah terdengar. Hanya manusia tertentu yang bisa memasukinya, termasuk Ainsley.

Kota kakek sangat dirahasiakan. Membuatnya sangat sulit untuk dijangkau. Maka dari itu, demi mempermudah penduduk yang memiliki keluarga di kota tersebut, pemerintah mempercayakan kereta khusus sebagai alat transportasi rahasia.

Kota Shea dijadikan tujuan terakhir dan namanya sama sekali tidak pernah dicantumkan di dalam pengumuman. Mungkin itu sebabnya penumpang lain turun di kota sebelumnya. Mereka mengira kereta telah berhenti di tujuan terakhir.

Ainsley sejak kecil hidup di Surakarta. Ibunya telah meninggal dunia ketika ia berusia 1 tahun akibat sakit yang dideritanya.

Sejak kematian ibunya, sang ayah pergi ke luar negeri dan tidak pernah kembali. Bahkan, untuk sekedar menjenguk putri satu-satunya. Mungkin karena alasan itu, Bibi Rani menjadi sangat menyayangi Ainsley dan mengijinkannya untuk tinggal di rumahnya. Bahkan biaya sekolah Ainsley, beliau dan sekeluarga yang menanggungnya.

Bibi Rani adalah adik dari ayahnya. Sejak kecil, Ainsley selalu bertanya kepada wanita itu tentang sang ayah. Namun, beliau selalu saja mengatakan hal yang sama, bahwa ayah Ainsley sedang bekerja di luar negeri. Bibi Rani bahkan tidak mengatakan alasan yang logis kemana ayahnya pergi. Jika ditanya, beliau selalu saja mengganti topik lain yang berhubungan dengan sekolah Ainsley.

Semua itu membuatnya muak. Ainsley menjadi sangat benci pada ayahnya. Dia tidak habis pikir, bagaimana bisa seorang ayah tidak memperdulikan anak perempuannya sama sekali?

Bahkan-mungkin saja-ayahnya itu tidak akan pernah tahu; makanan kesukaan, cita-cita dan prestasi anak perempuannya atau yang lebih parahnya lagi, ia tidak akan pernah mengingat hari ulang tahunnya.

"Dan sekarang di usia 13 tahun ini, Ayah ingin menjengukku?" gumam Ainsley kesal. "Lucu sekali, Jangan berharap aku akan senang bertemu dengannya. Aku sudah meminta izin kepada Bibi Rani untuk berlibur ke kota Kakek, walaupun dalam bentuk surat. Untuk sementara waktu aku akan menyingkir darinya. Toh, untuk apa Ayah baru mengunjungiku sekarang?"

CKIITT!

Suara derit kereta membuyarkan semua lamunan Ainsley yang merambat lebat di atas kepalanya. Tak terasa kereta itu telah berhenti di sebuah stasiun yang sangat teramat gelap.

Dia bahkan tidak mendengar pengumuman yang biasa diumumkan oleh masinis. Semua terjadi dengan begitu tiba-tiba. Apakah sesibuk itu pikirannya hingga membuat Ainsley menjadi tuli sesaat?

Pintu kereta telah dibuka, memperlihatkan seorang pria paruh baya beserta dengan seragam kondekturnya datang menuju ke tempat Ainsley.

"Permisi, Nona," ucap tuan kondektur sembari tersenyum ramah.

"Iya, ada apa ya, Pak?" tanya Ainsley berusaha sesopan mungkin.

"Kereta ini sebentar lagi akan kembali ke Surakarta. Kota Shea adalah tujuan terakhir kami. Anda akan turun di sini atau kelewatan kota?" tanya si kondektur memastikan.

Ainsley sedikit tersentak mendengar perkataan yang diucapkan oleh kondektur. Saking terkejutnya, gadis bersurai brunette itu secara reflek beranjak berdiri dari tempat duduknya.

Iris mata Ainsley tidak sengaja tertuju pada papan nama kota yang berada di luar jendela. Seperti yang baru saja dijelaskan oleh kondektur, kereta ini telah tiba di Kota Shea.

"Sudah sampai? Kenapa cepat sekali?" gumamnya terkejut. "Aku yakin, kereta ini baru saja berangkat lima belas menit yang lalu dari stasiun sebelumnya. Ataukah mungkin, jarak kota Shea memang cukup dekat?"

Tuan kondektur mengerutkan dahinya. "Apakah ada masalah, Nona?"

"Ah, tidak ada. Saya memang akan turun di kota ini." Ainsley dengan segera mengambil ransel hitam yang sengaja diletakannya pada kursi penumpang. Terpampang jelas tulisan 'pembenci sihir' di bagian depan tas-nya.

Gadis itu segera turun dari kereta sembari mengucapkan terima kasih beserta permintaan maafnya kepada kondektur.

"Apakah anda yakin ingin turun di kota ini?" tanya pria paruh baya itu dari atas kereta. Nada suaranya menyiratkan perasaan khawatir kepada Ainsley.

"Iya, tentu saja," jawab Ainsley yakin.

"Jaga dirimu ya, nak," kata si kondektur tiba-tiba.

Mesin kereta kembali dinyalakan. Bersamaan dengan derap langkah kaki Ainsley, memasuki stasiun Kota Shea yang sepi dan hanya dihiasi lampu redup.

Asap mulai mengepul dari cerobong kereta, kemudian pergi meninggalkan Ainsley seorang diri di peron stasiun seram berkesan kuno.

"Jaga dirimu untuk apa?" pikir Ainsley mencoba mengingat apa yang diucapkan bapak itu baru saja. "Kondektur yang aneh."

Ainsley memandang bangunan tua di hadapannya dengan sedikit tertegun. Stasiun sepi nan gelap terlihat sedang menantang adrenalinnya.

"Jadi, ini yang dinamakan stasiun Kota Shea?" gumamnya seraya tersenyum. "Cukup menyeramkan."

Ainsley mengambil ponsel miliknya dari dalam ransel. Ditataplah benda berteknologi canggih itu dengan saksama.

Seperti dugaannya selama ini, GPS di ponselnya mendadak tidak berfungsi semenjak turun dari atas kereta.

"Sudah kuduga, jaringan GPS-nya tidak ada," kesal Ainsley. "Bagaimana bisa kakek dan nenek begitu betah tinggal di kawasan tanpa jaringan GPS?"

"Ainsley!"

Suara berat namun terdengar cukup tegas itu bergema-memecah keheningan malam-membuat Ainsley tersentak kaget untuk yang kedua kalinya.

Dia menoleh ke asal suara. Mendapati pria tua berkumis putih berbusana adat Jawa berjalan cepat ke arahnya dengan ditemani oleh seorang gadis kecil ber-dress merah muda.

"Kakek?" gumam Ainsley berusaha mengatur fokus matanya sekali lagi, ketika mendapati sosok sang kakek di kejauhan.

Awalnya Ainsley sempat takut, bahwa yang tengah dilihatnya itu merupakan sosok hantu penunggu stasiun. Namun, sepertinya dia salah menduga.

Tuan Felton tanpa berpikir panjang lagi segera memeluk Ainsley. Gadis itu pun menyambut pelukan hangat sang kakek dengan tangan terbuka.

"Jangan terlalu erat, Kek! Ainsley nanti bisa-bisa mati berdiri karena kehabisan napas alam!" kata gadis itu berusaha mencairkan suasana.

"Hus!" ujar Tuan Felton disertai gelak tawa oleh kedua manusia kecil yang berada dihadapannya. "Astaga, kakek terlalu bersemangat. Bagaimana kabarmu, nak?" lanjut Tuan Felton sembari melepaskan pelukannya.

"Baik, kakek sendiri bagaimana?"

"Tentu saja sehat-sehat, nenek pun juga begitu. Oh iya, kenalkan ini Isabel ... dan Isabel, ini Ainsley," kata Tuan Felton memperkenalkan.

"Hai," sapa Ainsley.

"Ah, hai juga," jawab gadis yang bernama Isabel itu.

Tuan Felton tersenyum senang melihat kedua cucunya. "Ayo kita pulang, nenek sudah menyiapkan makan malam untuk kita!"

Pria berwajah keeropa-an berumur sekitar enam puluh lima tahun itu, berjalan keluar stasiun bersama dengan Ainsley dan juga Isabel.

Stasiun Shea sangat sepi, seakan-akan sudah tidak pernah lagi dijamah oleh kaum Adam dan Hawa. Padahal, sekarang waktunya liburan akhir tahun-bulan yang dinanti-nantikan oleh banyak orang.

Ketika mereka sudah tiba di halaman parkiran mobil, perasaan tidak percaya terasa begitu kentara di dalam lubuk hati seorang Ainsley.

Bagaimana bisa, tidak ada satupun mobil yang terparkir di tempat ini? Menurutnya, kesunyian di stasiun Shea sudah terlampau cukup tinggi dibandingkan tempat normal pada umumnya. Bahkan, satu-satunya yang terparkir hanyalah mobil jadul berwarna hitam milik Tuan Felton, sang kakek.

Saat berada di dalam mobil, Ainsley duduk di kursi belakang sedangkan Isabel memilih di kursi bagian depan.

Sebenarnya, Ainsley telah mengambil kesimpulan bahwa kota yang tengah dikunjunginya ini merupakan pedesaan hantu.

Bahkan, sebuah ide konyol sempat terlintas di atas kepalanya. Dia akan menciptakan kendaraan terbang yang mampu memulangkannya saat ini juga.

Namun, ide itu tidak mungkin dilakukannya sekarang, ia masih memiliki akal sehat. Apalagi, bahan pembuatan mesin terbang sangat langka untuk didapatkan.

"Kalian, tunggu sebentar ya. Kakek mau memeriksa ban mobil dulu," ucap Tuan Felton bertepatan dengan tertutupnya pintu mobil. Suasana di tempat itu kembali menjadi hening.

"Hey," sapa Ainsley berusaha untuk memecah keheningan.

"Ah, iya kenapa?" tanya Isabel.

"Apakah kota ini memang selalu sepi?" tanya Ainsley memastikan.

"Tidak juga," jawabnya.

"Benarkah? Tapi kenapa stasiun ini terlihat sangat sepi dan tidak terawat?"

Isabel hanya mengangkat bahunya. "Entahlah, biasanya sih ramai," jawabnya polos.

"Ah iya Isabel, apakah di stasiun ini tidak bisa memuat jaringan GPS? soalnya dari tadi GPS di ponselku tidak berfungsi-"

"Kau pasti pernah mendengar tentang Kota Shea sebelumnya, bukan? Kota ini tidak pernah terlacak oleh satelit. Jadi, GPS tidak akan berfungsi setelah memasuki kawasan kota," potong Isabel.

"Tidak terlacak? Kupikir rumor itu tidak benar?" gumam Ainsley.

Isabel tidak lagi menjawab, begitupun juga dengan Ainsley. Kedua gadis itu kini termenung menatap lahan parkiran kosong dari balik jendela mobil tua milik sang kakek.

Hening. Suasana di dalam mobil turun secara drastis ke tahap sunyi, menyisakan kegugupan pada diri Ainsley.

Dia menyumpahi dirinya sendiri karena Tuan Felton tega meninggalkannya bersama Isabel dalam suasana cukup canggung seperti sekarang.

"Kamu juga cucu kakek ya? Soalnya aku baru pertama kali melihatmu," ucap Ainsley berusaha membuyarkan keheningan.

"Ah iya, aku jarang keluar kota. Karena itu, kau baru mengenalku saat ini," jawabnya sambil tersenyum.

"Jadi kita saudara sepupu?" tanya Ainsley dengan senyuman sumringahnya.

"Ya, tentu saja. Sebenarnya, kau tidak perlu gugup seperti itu. Aku tidak sejahat seperti yang kau pikirkan. Jika kau butuh pemandu wisata, aku siap melakukannya untukmu," sahut Isabel dengan senyuman cerianya.

"Baiklah, apakah kita sekarang sudah menjadi teman?"

"Ya, sebelum kau mengatakannya. Sstt, diam! Kakek datang!" ucap Isabel sedikit antusias, di saat Tuan Felton hendak membuka pintu mobil.

Ainsley lekas terdiam mengikuti Isabel. Dia sempat menghela nafas lega ketika mendapati sosok Sang Kakek yang mampu menyelamatkannya dari situasi kecanggungan.

Orang-orang pasti akan bertanya-tanya tentang sosok Ainsley yang cerewet di awal cerita. Jika boleh jujur, gadis bersurai brunette ini sebenarnya cukup sulit berbaur ketika bertemu dengan orang baru.

Ainsley cenderung menjadi sosok pribadi yang lebih banyak berpikir ketimbang berbicara. Dia sangat cerdas bahkan terlampau jenius untuk anak seusianya.

Logikanya seperti ini, bagaimana bisa seorang gadis berusia 13 tahun sepertinya mampu membuat tas ransel kecil berteknologi yang dapat memasukkan tujuh barang berukuran besar sekaligus?

Orang biasa pasti menggeleng tidak mungkin, tapi itulah kenyataanya dan sekarang 'tas Anti Penuh' itu tengah dipakainya. Ya, tas ransel bertuliskan 'pembenci sihir' adalah teknologi ciptaannya sendiri.

Oleh karena itu dia berusaha sekeras mungkin untuk menjadi pribadi yang lebih terbuka. Tak jarang juga, Ainsley menyembunyikan bakat terpendamnya dari khalayak umum.

"Sudah selesai, ayo kita berangkat," kata Tuan Felton ketika sudah berada di dalam mobil.

Mesin mobil mulai dinyalakan. Mobil mereka kemudian pergi meninggalkan stasiun berkesan suram itu dengan sangat cepat.

Mobil Kakek berjalan melewati jalan yang panjang, layaknya tol. Bedanya jalan tersebut sedikit sempit dan kelewatan sepi.

Suara deru mesin tua dan aroma apek menemani perjalanannya saat ini. Hutan gelap nan lebat seakan-akan siap memakan mobil sang kakek hidup-hidup.

Tidak ada satu pun lampu jalan yang hidup di saat itu. Hanya lampu mobil tua milik Tuan Felton lah yang mampu menyinari perjalanan mereka.

Suasana seram tak dapat Ainsley hindari. Tapi, keseraman itu sekejap menghilang setelah musik jadul mulai dinyalakan pada radio mobil mereka.

Lagu itu pun sebenarnya terdengar cukup seram menurut Ainsley, tapi mau bagaimana lagi? Toh, paling tidak dengan mendengarkan lagu jadul, suasana perjalanan mereka akan menjadi lebih baik.

"Kakek, kapan sampainya?" tanya Ainsley yang mulai jenuh dengan pemandangan gelap gulita di luar sana.

"Lima detik lagi sampai kok," jawab Tuan Felton.

"Lima detik?" ulang Ainsley tidak percaya.

Pasalnya tempat yang mereka lewati ini tidak menunjukan suatu tanda-tanda lingkungan perumahan ataupun perkotaan, yang ada hanyalah hutan lebat.

"Apakah rumah Kakek berada di tengah hutan?" pikir Ainsley.

"Nah sampai. Selamat datang di kota Shea, Ainsley," sahut Isabel setelah mobil mereka memasuki sebuah gapura yang diduga Ainsley adalah pintu masuk Kota Shea.

Gadis itu berusaha melihat sesuatu dari balik jendela tua yang tak tertutup. Ainsley mencari keberadaan Kota Shea yang menurut rumornya, sangat misterius.

Namun, bukan sebuah rumah atau pedesaan yang ia lihat, melainkan hutan gelap masih saja mengelilinginya.

"Jangan bercanda, aku ...."

Tapi, hal aneh ini terjadi. Beberapa detik setelah mobil mereka masuk semakin dalam ke pintu gerbang kota, sedikit demi sedikit rumah dan deretan gedung pencakar langit mulai terlihat dengan jelas.

Rumah-rumah tersusun dengan sangat rapi. Berbagai papan iklan bergantung di gedung-gedung tinggi. Kota itu terlihat cukup kuno, namun indah untuk di sisi lain.

Sekarang waktu menunjukkan pukul 21.00 malam. Seharusnya di jam tidur seperti ini, aktivitas kota pada umumnya akan berkurang. Berbeda dengan Kota Shea yang masih terlihat ramai.

Bermacam-macam aktivitas berlangsung di kota ini. Rasa kaget dan bingung membuncah menjadi satu. Kota Shea tidak seperti yang gadis itu pikirkan.

"Kenapa bisa? Jalan yang sepi dan menyeramkan seperti tadi bisa menembus ke dalam kota yang sibuk?"

Aneh.

Ainsley berpikir keras, dia tidak pernah percaya pada hal-hal mistis.
Jelas-jelas jalan yang tadi tengah dilewati oleh mereka dipenuhi pepohononan dan sangat gelap.

Jika memang ada kota besar seperti ini di tengah hutan, seharusnya dari tadi lampu-lampu papan reklamenya terlihat, bukan?

Gadis itu terus berpikir keras dan tanpa sadar mobil mereka telah sampai di kediaman Keluarga Felton.

"Ainsley," panggil Isabel. Nama yang dipanggil tidak menjawab, gadis itu masih terhanyut di dalam pikirannya sendiri. "AINSLEY!" Isabel memanggilnya lagi dengan suara lebih keras.

"Aduh, telingaku!" pekik Ainsley mengeluh sembari mengusap telinganya. Ia tidak menyangka saudara sepupunya itu dianugerahkan suara sekeras toa sejak lahir.

"Tuh, sudah sampai," kata Isabel.

Ainsley segera keluar dari mobil. Gadis itu menghirup udara malam di Kota Shea sesaat sembari menatap bentuk arsitektur kediaman keluarga Felton yang akan ditinggalinya selama tiga pekan kedepan.

Angin dingin menyambut kedatangan Ainsley di kala malam. Membuat gadis bersurai brunette itu sedikit merasakan hawa dingin. Suara gemerisik dedaunan kering juga semakin menambah kesempurnaan elemen alam.

Ainsley menghela napas. "Selamat berlibur, Ainsley," gumamnya sembari tersenyum. "Semoga kota ini tidak seperti dugaanku."

Tuan Felton membuka pintu rumahnya, lalu Isabel mengikuti di belakangnya.

"Astaga, di mana Ainsley?" Tiba-tiba seorang wanita tua memakai kebaya putih keluar dari rumah itu dengan tergesa-gesa.

"Nenek?" gumam Ainsley.

"Astaga Ainsley, nenek kangen sama kamu, sayang." Nyonya Felton langsung menyambar Ainsley ke dalam pelukannya. Tak lupa, beliau memberikan ciuman khas seorang nenek pada pipi kanan dan kiri cucunya itu.

"Iya, Ainsley juga kangen," ucapnya sembari menyambut pelukan Sang Nenek.

Wanita tua itu sedikit mengeluarkan air mata. "Sudah, ayo makan! Pasti kamu lapar, nenek dan Bibi Clara sudah memasakan makanan untukmu."

Nyonya Felton mengantarkan Ainsley, memasuki rumah bertingkat dua milik keluarganya.

Ketika Ainsley memasuki ruang makan, dia tidak sengaja melihat Isabel berlari memeluk seorang wanita berumur sekitar tiga puluh enam tahun dari belakang. Wajah wanita itu terlihat mirip dengan Isabel.

"Astaga, Isa jangan membuat Ibu kaget!" ucap Ibunya Isabel, beliau tanpa sadar melihat Ainsley.

"Clara, lihat siapa yang datang!" kata Nyonya Felton sambil mengusap kepala Ainsley.

"Ah Ainsley, kau sudah datang," serunya. "Ayo makan! Bibi sudah siapkan makan malam!"

Sebelum Ainsley duduk untuk menikmati hidangan makan malam, gadis itu mencuci tangannya terlebih dahulu di wastafel.

"Isabel! cepat cuci tanganmu dulu sebelum memegang roti," Perintah ibunya Isabel ketika mendapati anaknya memegang roti dengan tangan yang kurang bersih.

"Iya, Bu." Isabel dengan terpaksa bergegas ke wastafel dan mencuci tangannya.

"Sudah-sudah, ayo kita makan!" timpal Tuan Felton yang sudah terlihat lapar.

"Ayo, kita semua makan!" kata Nyonya Felton sembari mengambil piring.

🎪

Ainsley berada di dalam kamar yang disiapkan Bibi Clara kepadanya. Meskipun hanya diterangi lilin, kamar itu tetap memberikan kesan hangat dan elegan pada penggunanya.

"Kenapa tempat tidurnya ada dua?" gumam Ainsley ketika mendapati dua tempat tidur berada di dalam kamarnya. "Ah, peduli amat. Dua atau satu sama saja. Toh, yang penting aku tidak tidur di atas atap."

Ainsley tidak memperdulikannya, gadis itu lebih memilih menulis sesuatu di dalam diary-nya.

"Hai ... akhirnya perjalanan jauhku dari Surakarta ke Kota Shea berjalan cukup lancar. Hari ini adalah hari pertamaku di Kota Shea. Menurut rumor, kota yang aku kunjungi ini tidak pernah dikenal oleh dunia. Tapi aku tidak menyangka, Kota Shea bisa secanggih dan sedamai ini ... meskipun awalnya ada yang sedikit tidak beres-"

CEKLEK!

Suara pintu yang tiba-tiba terbuka, membuat Ainsley secara spontan berhenti menulis. Gadis itu terkejut ketika mendapati Isabel secara terang-terangan memasuki kamarnya.

"Apa yang kau lakukan disini?" tanya Ainsley kaget.

Isabel menepuk jidatnya. "Ini kan kamarku. Kalau bukan disini, aku tidur dimana?"

Ainsley tertawa. "Santai Isa, aku hanya bercanda," jawab Ainsley. Gadis itu kemudian melanjutkan aktivitas menulis diary-nya kembali.

Isabel memutar bola matanya malas, lalu segera melompat ke tempat tidur yang letaknya bertepatan di sebelah Ainsley.

"Hey, kamu tidak tidur, Sley?" kata Isabel yang tubuhnya sudah dipenuhi oleh selimut.

"Hmm." Ainsley tidak terlalu menanggapi pertanyaan Isabel, dia terlanjur terpaku pada buku diary-nya.

Suasana di dalam kamar itu berubah menjadi sunyi. Saking heningnya, suara gesekan pena pada selembar kertas putih milik Ainsley bisa terdengar oleh Isabel.

"Kamu tidak takut kalau dia datang?" tanya Isabel. Nada bicaranya merendah, menunjukkan bahwa ia takut pada sesuatu.

"Siapa?" tanya balik Ainsley.

"Sudah ah, aku tidak mau membahasnya malam-malam," kata Isabel sembari membalikkan tubuhnya menghadap dinding.

"Emang siapa yang datang?" tanya Ainsley bingung.

"Sudah pokoknya kamu tidur saja! atau nenek akan marah!" ucap Isabel memperingatkan.

"Oh jadi si Dia itu nenek?" ledek Ainsley sambil menahan tawa.

"Sekarang sudah terlalu malam. Sebaiknya kamu tidur, Sley," saran Isabel sembari menutup seluruh badan beserta kepalanya dengan selimut.

"Iya, aku tidur."

Ainsley menutup buku diary-nya, lalu beranjak naik ke atas tempat tidur. Tak lupa ia meniup lilin yang menjadi penerang di malam kala itu. "Emang siapa sih yang akan datang? Aneh."

Ainsley memejamkan kedua matanya yang indah, kemudian tidur menghadap dinding. Suasana kamar seketika berubah menjadi gelap dan sunyi.

Ainsley dan Isabel terlelap di dalam mimpi mereka masing-masing. Tapi, ditengah kegelapan itu ... lilin mereka menyala sendiri.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top