Luka Hati

Jika dipertanyakan luka apa yang paling sakit adalah luka hati. Tidak berdarah. Tidak terlihat tapi begitu membekas. Lama dan sulit untuk dipulihkan. Luka hati ini yang saat ini aku rasakan. Luka mendalam yang ditorehkan oleh seorang lelaki yang kemarin paling kucintai dan kubanggakan. Seorang lelaki yang setiap kali dalam doa kuharapkan menjadi imam dihidupku. Seorang lelaki mapan dengan dasar agama yang kuat. Seorang Firman Sabharna, lelaki berperawakan tinggi dengan wajah tampan bermata teduh. Senyumnya selalu terkembang dengan lembut. Kata kata yang keluar dari mulutnya sopan dan santun. Lelaki berkelas dengan pendidikan yang sangat baik. Lelaki terbaik yang aku temui. Dia selalu menemani hariku. Menjagaku dan menghadirkan cinta dalam keseharianku. Perhatiannya tanpa cela. Sempurna. Aku memujanya sebagai seorang lelaki sempurna untukku. Bahkan ketiga sahabatku sempat iri melihat perlakuannya yang begitu manis kepadaku.

" Ah, semua sudah berakhir." Aku merutuki diriku yang masih saja memujinya.

Aku melemparkan ponselku sembarang, setelah tadi tak henti memelototi foto foto lelaki yang kurang lebih satu tahun ini mengisi hariku.

" Ya, finished." Aku kembali menggerutu kesal.

Lalu airmata itu merebak. Rasa sakit seolah menonjok hatiku. Nyeri. Aku merasakan luka itu terbuka lebar. Menganga.

" Eeerrghh...ampun ya Allah, sakit sekali." Perlahan aku memukul dadaku. Tapi tidak mengurangi rasa sakitku.

" Kamu tega sekali, Fir. Tega." Aku menyebut lagi namanya. Padahal beberapa jam lalu aku berjanji untuk tidak lagi menyebut namanya.

Aku melangkah mencari ponselku yang ternyata tergeletak pasrah didalam tong sampah. Aku akan menghapus semua fotonya. Videonya dan juga kiriman kiriman puisi cintanya. Cepat aku menghapus semuanya.

" Sudah semuanya." Gumamku.

Lalu aku berjalan menuju meja belajarku, membuka lacinya dan mengeluarkan isinya. Semua. Puluhan kertas warna warni yang didalamnya tertulis puisi puisi alay si pembohong itu. Cowok lebay kurang kerjaan. Aku tersenyum sambil mengusap kasar air mata yang mengalir di pipiku. Aku tidak menyebut namanya lagi. Aku malah mengatainya.

Aku menatap ponsel yang tergeletak di atas tempat tidur. Sepertinya ada panggilan masuk. Aku menghampirinya dan menatapnya. Adelia, sahabatku yang menghubungiku.

" Assalamualaikum, Del."

" Alaikumsalam, Ai. Kamu baik baik saja kan?" Nada suara disebrang terdengar khawatir. Inginnya aku menjawab bahwa aku tidak baik baik saja. Tapi aku tidak ingin membuat sahabatku itu khawatir. Aku menghela napasku perlahan.

" Aku baik baik saja, Del."

" Kamu yakin, Ai. Aku akan kesitu setelah pulang kerja. Dena dan Ayuning juga ikut. Aku bawain makanan ya."

" Iya, Del. Terima kasih ya. Aku tunggu."

Aku menutup sambungan telepon dan mengedarkan pandanganku ke penjuru kamar yang berantakan. Aku bergegas mencari kantong untuk memasukan barang barang yang tadi ku campakkan begitu saja. Masih ada waktu sekitar setengah jam. Aku harus membereskan semua.

" Ya Allah, aku juga belum shalat."
Tergesa aku membereskan kamar dan  kemudian berlari ke kamar mandi untuk berwudhu. Aku akan menghadap pada-Nya dan mengeluhkan luka hati yang aku rasakan. Aku kembali menitikkan air mataku.

Aku menitikkan air mata lagi. Air mata yang sebenarnya percuma kubuang. Aku menangis untuk lelaki yang telah membuat luka hati. Membuat lubang besar dihatiku. Tidak terlihat. Tapi kurasakan. Aduh, aku merasa tolol. Tolol sekali. Menangis demi seorang pembohong. Penghianat. Penoreh luka. Harusnya aku tidak menangisinya, seperti kata Ayuning. Biarkan dia pergi, karena pasti nanti akan datang lagi seorang yang menggantikannya. Kapan, pertanyaan itu bergema dalam hati. Ketika aku memutuskan memilih lelaki itu, aku meninggalkan Gery yang sudah menemaniku dua tahun lamanya. Karma, Entahlah. Kini aku yang ditinggalkan. Menangis lagi. Inginnya begitu. Tapi no, aku kini menangisi kekeliruanku. Bukan karena kepergian lelaki bodoh itu.

Ting tong..
Bel rumah berbunyi nyaring, aku tahu itu ketiga sahabatku. Aku bergegas menghampirinya. Berbincang dengan mereka akan membuatku merasa lebih baik. Aku yakin itu. Aku mengulas senyum. Luka hati itu akan segera sembuh aku pastikan itu. Dan lelaki itu akan menyesal meninggalkanku. Aku kian melebarkan senyumku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top