Episode 9
"Jadi gini kak, aku pikir kakak nggak perlu melibatkan diri dalam masalah Nona Y ini." Vie menelan kasar salivanya. "Ini, masalah Dyni dan aku."
Vie menatap Willy, namun tak ada reaksi dari cowok di hadapannya. "Kak?"
"Hmm," sahut Willy, ia masih setia mendengar kalimat selanjutnya yang keluar dari bibir tipis merah muda di hadapannya.
"Iya, aku pikir kak Willy nggak perlu terlibat. Dan maaf, sudah merepotkan. Aku janji bakal selesaikan masalah ini tanpa melibatkan nama kakak."
Willy masih diam menatap gadis yang terlihat gugup di depannya. Ingin ketawa, tapi tengah serius. Ia terpaksa menahan tawa yang menggelitik di perutnya.
Sebenarnya setelah hari di mana pertama kali Willy menunjukkan skill basketnya di depan Vie, saat itu Vie terlihat sangat kesal. Ia sampai menjadikan bola basket yang sangat dihormati Willy menjadi pelampiasan.
Makanya, Willy mencoba membuat Vie sedikit reda akan emosinya. Namun berakhir dengan Vie yang menjadi bak kepiting rebus. Setelah cukup aman, Willy mengorek informasi dan mengetahui tentang kejadian itu. Tidak mudah menyuruh Vie untuk menceritakan masalah yang sebenarnya, namun Willy meyakinkan jika ia bersedia menjadi pendengar yang baik. Dan fakta bahwa tantangan Nona Y juga menyeret namanya, membuat Willy semakin tertarik dan menawarkan bantuan.
Dan berujunglah pada mereka yang bertemu di sini, perpustakaan.
"Kamu yakin? Sejauh apa persiapan kamu untuk melawan Nona Y?" tanya Willy yang berhasil membuat Vie tertohok.
"Engg ... Belum tau sih, tapi aku bakal ngelakuin apa pun untuk menghentikan Nona Y," sungut Vie berapi-api.
"Ya sudah, kalau itu sudah menjadi keputusanmu." Willy beranjak.
"Eh? Kak Willy mau kemana?"
"Balik."
Vie diam. Ia nggak tahu apakah keputusan yang diambilnya dengan membiarkan Willy tidak terlibat adalah keputusan yang benar atau malah sebuah kesalahan terbesar.
"Ya sudah." Vie berkata pelan, mendengkus pasrah.
Willy kembali duduk. Membuat Vie mentapnya dengan penuh tanda tanya.
"Kenapa? Nggak boleh aku duduk lagi?" Willy balas menatap Vie dengan beribu tanda tanya. "Ya kali aku ninggalin kamu sendiri. Aku tahu kok, kamu mau minta bantuan tapi gengsi kan? Ye, kan?"
"Apaan sih kak!" ujar Vie melempar udara dari tangannya.
Willy tertawa. Mereka lanjut membahasa tentang Nona Y sampai bel masuk berbunyi dan kembali menuju kelas masing-masing.
° ° °
Vie membuka lokernya. Setelah hampir satu minggu nggak menemukan surat abu-abu dari Nona Y, sekarang surat itu datang lagi dan tengah tertidur manis di dalam loker.
Dengan kehati-hatian, Vie membukanya. Hanya ada beberapa baris kalimat yang tertulis di sana.
Bagaimana, pahlawan? Apa pilihanmu?
Aku pikir kamu pasti sangat kebingungan untuk menentukan pilihan, bukan? Bagaimana jika aku saja yang memilihnya. Jadi, keputusan dariku adalah kamu harus mendapatkan hati Leon. Aku beri waktu empat puluh dua hari, cukup? Ingat, aku selalu mengawasimu.
Tertanda,
Nona Y.
Vie meremuk surat yang kini tak berbentuk lagi, dilemparnya asal masuk ke dalam tempat sampah di sudut kelas. Apa sebenarnya yang diinginkan oleh Nona Y?
Vie mendengkus. Ia menghempaskan bokongnya di atas kursi putih. Kepalanya masih mencoba memikirkan sebab akibat yang akan terjadi.
Mungkin Nona Y benar, mendapatkan hati Leon adalah pilihan yang paling aman. Ia hanya perlu berjuang, lagian juga ada Willy yang bersedia membantu. Jika Vie memilih pilihan yang lain, yaitu menyuruh Dyni untuk mengungkapkan perasaan suka kepada Willy di depan banyak orang, maka itu akan sangat menambah masalah.
Dyni akan dicap sebagai gadis yang nggak berkelas sama sekali dan juga ada banyak masalah yang akan mengingtai. Salah satunya Ira, fans akut Willy. Ia pasti nggak akan membiarkan Dyni hidup dengan damai. Vie menarik napas panjang sebelum ia mengerang frustasi membuat belasan pasang mata menoleh ke arahnya.
° ° °
"Hai, Dee!" sapa Vie yang langsung duduk di bangku sebelah Dyni.
"Halo Vie," jawab Dyni yang menoleh sekilas.
Dyni terlihat masih sibuk menyalin tugas. Vie nggak enak jika harus mengganggu kembarannya itu. Ia memustuskan untuk menunggu Dyni sampai pekerjaannya selesai.
Vie mengamati anak-anak di kelas Dyni. Tidak ada kerjaan membangkitkan sisi gabutnya. Ia menatap wajah-wajah yang terlihat suntuk, suram, dan beberapa cerah secerah mentari pagi ini.
Ada Hadi, si biang kerok kelas IPA satu. Ada juga Reno, cowok berkacamata yang selalu menjadi bahan keusilan Hadi. Ada Olivia, gadis cantik yang pendiam. Dan pandangan terakhir Vie berhenti di ambang pintu.
Cowok dengan lengan alamamater yang digulung sesiku dan rambut yang tertata rapi berjalan menghampirinya. Dia, Leon. Vie hampir tak percaya, ia beberapa kali meneguk ludah.
Vie mendengkus. Ternyata Leon bukan menuju ke arahnya. Ia duduk di bangkunya yang berada di belakang Dyni.
Vie merapatkan bangkunya mendekati Dyni. "Dee, Amy itu rivalmu, kan?"
"Rival?" Dyni menatap Vie bingung, membuat kerutan tercetak di keningnya.
"Iya, dia lawanmu di putri sekolah kan?"
"Oh," sahut Dyni, ia kembali menyalin lalu mengedikkan bahu. "Mungkin."
"Kok mungkin sih, Dee?"
"Ya, terus aku mau jawab gimana? Pasti?"
Vie hanya diam.
"Aku udah selesai." Dyni merapikan peralatannya. "Ayo," ujarnya menarik tangan Vie menuju ke kantin.
° ° °
"Kamu ...." Dyni menunda kalimatnya. Ia kembali menyereuput es jeruk di atas meja kayu.
"Aku kenapa?" Vie masih sibuk dengan menuangkan saus dan kecap manis ke dalam mangkuk baksonya.
"Kamu dekat dengan ... Kak Willy?"
"Iya. Eh? Apa? Enggak!" tukas Vie cepat. Ia terbelalak kaget dengan perkataan Dyni. "Kenapa? Kok kamu bilang begitu?"
"Habisnya, ya gitu deh." Dyni mengedikkan bahu.
Kerutan tercetak di dahi Vie. Ia nggak ngerti arah pembicaraan Dyni. Dengan acuh, Vie masih sibuk meracik baksonya.
"Lah? Kak Willy dateng tuh."
Vie menoleh, ia melihat Willy yang melangkah ke arahnya. "Kak Willy? Mau ngapain?"
Dyni tak menghiraukan, ia kembali memasukkan satu pentol bakso kecil yang ditusuknya dengan garpu ke dalam mulut, memakannya.
Ternyata Willy nggak menghampiri Vie, ia berbelok arah ke meja yang ada di depan kanan dari meja Vie dan Dyni. Willy makan bersama teman-temannya dan di sebelah meja Willy ada sosok Ira yang terus memperhatikan gerak-geriknya.
"Dasar fans fanatik!" celetuk Vie tiba-tiba yang membuat Dyni menghentikan laju sendoknya.
"Apa Vie?"
"Eh? Enggak. Lupakan aja ya? Makan-makan." Vie mendorong tangan Dyni agar kembali melaju menyuapkan bakso ke dalam mulut.
Vie hanya mengaduk-aduk mie yang telah bercampur pentol, saus, kuah, dan kecap itu. Ia nggak berminat lagi memakannya. Perutnya kenyang seketika saat telinganya nggak sengaja menangkap beberapa kalimat pembicaraan anak-anak di kantin.
Maklum, kantin gedung dua lebih didominasi oleh anak kelas sebelas dan kelas tiga. Sehingga mereka lebih leluasa untuk berkuasa, apalagi sampai mengobrol membuat kantin menjadi heboh.
"Lihat deh, si kembar itu. Aku yakin, meski mereka sama-sama cantik, tapi pasti yang lebih unggul itu gadis yang rambutnya dikuncir rapi kan, ya? Dia si Dyni-Dyni itu, kan?"
"Mau aja punya kembaran kek gitu, kalo gua mah ogah."
Dan ada banyak variasi kalimat lainnya. Namun hal itu justru nggak menganggu Vie sama sekali. Dirinya sudah terbiasa dibandingkan dengan Dyni. Menurutnya itu hal wajar. Yang lebih membuatnya terusik saat ada beberapa kelompok anak yang menyebut-menyebut tentang putri sekolah.
"Gilak! Kalau begini bakal sengit banget pertarungannya!"
"Dyni? Meski pun dia hampir di posisi satu, tapi kan masih ada Amy? Amy juga nggak jauh unggulnya lho!"
"Ya mungkin Amy sama Dyni ya? Yang terkuat?"
"Kalo gua mah, cari aja aibnya. Terus sebarin deh, jadinya musuh gue kalah telak!"
Glek.
Vie hanya diam membatu.
° ° °
Vie menunggu teman-temannya satu persatu pergi meninggalkan kelas. Jam istirahat ke dua karena waktu makan siang membuat kelas biasanya akan sepi. Kebanyakan anak SHS akan makan di kantin, mereka jarang membawa bekal. Termasuklah Vie.
Namun, Vie nggak buru-buru ke kantin. Mengingat perutnya sudah nggak bernafsu dan nggak memberi kode untuk diisi. Kelas sudah lengang, menyisakan Vie, Bayu, dan Amy. Vie melangkah mendekati meja Amy.
"Amy," sapanya, lalu menarik kursi di depan Amy, duduk di hadapannya.
"Ya?" jawab Amy yang tengah membuka bekal makannya.
"Aku mau nanya ya?"
"Nanya aja."
"Kamu, Nona Y?"
Amy menatap Vie dengan alis bertaut.
"Maksudku, kamu yang ngirim surat-surat itu, kan? Kamu yang ngancem buat jatuhin Dyni? Kalau dipikir-pikir masuk akal sih, kamukan rival Dyni." Vie bicara sesukanya saja, tanpa ia sadari Amy telah diam seribu bahasa.
"Benar, kan?" lanjut Vie tanpa mengetahui suasa hati Amy yang sudah mendidih.
"Kamu punya bukti? Tindakanmu ini bisa jadi pencemaran nama baik lho, Vie." Amy menutup bekalnya lalu pergi meninggalkan Vie yang kini diam mematung.
"Bukti ya?"
° ° °
•to be continued•
With love,
akuhujan_
The author in the shadow.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top